Produksi daging menyebabkan 80% pemanasan global. Angka tersebut sungguh membuat kita tercengang-cengang dan tak habis pikir. Apa kaitannya sehingga produksi daging berperan besar terhadap pemanasan global? Benarkah mengurangi jumlah industri peternakan dengan mengurangi konsumsi daging adalah cara yang paling efektif untuk memangkas emisi gas rumah kaca? Tentunya kedua pertanyaan ini menjadi kontroversi.
Pemanasan global merupakan sesuatu yang sedang ramai dibicarakan dan mungkin sudah tak asing lagi di telinga kita karena kita sudah sangat sering mendengarnya di berbagai media baik itu dari media elektronik maupun media cetak. Tapi menghubungkannya dengan produksi dan konsumsi daging, mungkin saja banyak masyarakat yang tak pernah menduganya.
Pada dasarnya angkutan dan industri sering dituding bertanggungjawab terhadap efek pemanasan global. Selain oleh penyebab lain, efek pemanasan global disebabkan oleh tiga gas yaitu methana, karbon dioksida dan nitrogen oksida. Ketiganya berasal dari peternakan besar.
Dua belas persen emisi gas methana dihasilkan hanya oleh milyaran ternak yang dipelihara di seluruh dunia. Hal ini jauh lebih berbahaya, jika kita tahu bahwa satu molekul methana menyumbang efek pemanasan global 25 kali lebih besar daripada satu molekul karbon dioksida.
Menurut laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), sektor peternakan sapi, kerbau, domba, kambing, babi, dan unggas menghasilkan emisi gas rumah kaca yang setara dengan 18 persen CO2.
Seekor sapi rata-rata menghasilkan Nitrogen dua kali lipat dibandingkan mobil dengan katalisator yaitu sekitar 36 kilogram per tahun. Jumlah ini lebih banyak dari gabungan seluruh transportasi di seluruh dunia sehingga dengan mudah kita dapat menjadikan peternakan sebagai sebuah solusi utama dalam memerangi pemanasan global.
Sektor peternakan menghasilkan 65 persen dinitrogen oksida yang berpotensi terhadap pemanasan global yang lebih besar daripada CO2 yang sebagian besar berasal dari kotoran ternak. Sektor itu juga menghasilkan 37 persen dari semua metana yang dihasilkan oleh manusia, metana mempunyai efek pemanasan 23 kali lebih kuat dari CO2, yang sebagian besar dihasilkan oleh sistem pencernaan hewan pemamah biak. Metana memiliki dampak sekitar 25 kali CO2. Tetapi sungguh, ketika metana sudah berada di atas sana, di atmosfer dan bereaksi, ia akan mempunyai dampak 72 kali lebih besar dari CO2 dan itu mempunyai pengaruh yang sangat besar.
Selain itu peternakan juga menghasilkan 64 persen amonia yang secara signifikan menghasilkan hujan asam, Emisi amonia dari peternakan mencapai angka 90% dari seluruh tinja cair. Amonia ditemukan di area tertentu, seperti di peternakan dan juga tempat penyimpanan dan produksi pupuk organik. Amonia dan Nitrogen yang dihasilkan dapat diturunkan dengan cara mengurangi jumlah ternak, mengubah makanan ternak, dan mengurangi produksi tinja cair. Hal ini akan menguntungkan tak hanya secara ekologis tapi juga secara ekonomis.
Peternakan sekarang menggunakan 30 persen dari tanah di seluruh permukaan bumi yang pada umumnya berupa padang rumput permanen tetapi juga menempati 33 persen dari lahan subur di seluruh dunia yang digunakan untuk menghasilkan makanan ternak. Pada saat hutan dibabat untuk membuat padang rumput baru, peternakan menjadi penyebab utama penggundulan hutan. Seluruh data ini membuat kebanyakan orang memutuskan untuk tidak memakan daging alias vegetarian.
Tapi apakah menjadi vegetarian menjadi langkah yang tepat untuk mengatasi masalah pemanasan global tersebut jika dikaitkan dengan produksi dan konsumsi daging? Kita perlu mengkaji masalah tersebut secara kritis dalam berbagai disiplin ilmu.
Tak dapat dipungkiri, masalah ini berkaitan dengan ilmu Peternakan. Dalam ilmu Peternakan, terdapat hubungan timbal balik antara pemanasan global dengan produksi dan konsumsi daging. Dampak pemanasan global itu sendiri bagi peternakan salah satunya adalah nafsu makan ternak menjadi menurun.
Metana yang berasal dari pembuangan angin pada ternak memang dapat berpotensi pemanasan global. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian kapsul khusus ternak agar tak mengeluarkan kentut yang mengandung metana.
Selain dilihat dari disiplin ilmu Peternakan, tentu saja ilmu Gizi memegang peran penting dalam hal ini. Dalam ilmu Gizi, protein tertinggi terdapat dalam bahan makanan hewani, baik itu berupa daging, susu maupun telurnya. Dengan kata lain, protein hewani merupakan zat penyumbang gizi terbaik.
Di Indonesia, masih banyak masyarakat yang bertubuh pendek. Dalam ilmu Gizi, orang bertubuh pendek dianggap kurang produktif. Oleh karena itulah protein hewani sangat dibutuhkan untuk mencetak generasi yang berkualitas dan produktif. Jika mengkonsumsi daging dikurangi atau bahkan dihentikan, mungkin harapan bangsa Indonesia untuk menjadi generasi yang berkualitas akan jauh panggang dari apinya.
Menurut data, di Indonesia kelebihan konsumsi beras dari rata-rata yang diharuskan. Tapi di sisi lain, masyarakat kita masih kurang mengkonsumsi produk hewani (daging, susu dan telur). Hal ini disebabkan karena adanya kemiskinan yang masih tinggi di Indonesia serta budaya masyarakat di mana hanya mengkonsumsi daging pada saat-saat tertentu, misalnya di pernikahan, lebaran, pesta, akikah dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam ilmu gizi, untuk mengembangkan potensi sumber daya manusia kita perlu meningkatkan konsumsi daging dan produk hewani lainnya.
Lain lagi dalam pandangan disiplin ilmu Fisika. Dalam data Fisika, diketahui bahwa CO2 dan kenaikan suhu saling independent atau tidak saling mempengaruhi dan terikat satu sama lainnya. Siklus matahari dan suhu justru lebih berhubungan.
Dalam Ilmu Biologi dan Kimia, CO2 bukanlah polutan. Terbukti dengan dikeluarkannya CO2 pada tumbuhan. Selain itu, masyarakat juga sangat memerlukan kendaraan bermotor untuk menempuh perjalanan jauh dalam waktu singkat.
Dalam ilmu Ekonomi, mungkin saja isu ini dimanfaatkan oleh pihak yang berbisnis bahan makanan nabati, di mana bisnisnya ini kalah dengan bisnis bahan pangan hewani sehingga menyuruh masyarakat menjadi seorang vegetarian atau mengurangi mengkonsumsi daging.
Kita dapat melihatnya dari sudut ilmu Agama Islam juga. Tuhan telah menciptakan hewan untuk kita manfaatkan. Hewan ternak diciptakan agar kita dapat mengkonsumsi daging, susu dan telurnya serta memanfaatkan tulang, kulit dan bulunya. Kita tentu saja tak boleh menyia-nyiakan rezeki dari Tuhan.
Hal ini masih kontroversi karena data-data yang ada masih berupa perkiraan yang sewaktu-waktu dapat berubah kapan saja. Kita perlu menyikapi masalah ini dengan berpikir kritis dan bijak terhadap isu pemanasan global.
Bagaimana pun juga, pemanasan global merupakan suatu hal yang alami terjadi mengingat bumi yang kita tempati ini sudah sangat tua dan akan menemui akhirnya. Tapi kita tak boleh menyikapinya dengan berlebihan, misalnya saja dalam hal ini, berhenti mengkonsumsi daging dan menjadi vegetarian.
Pemanasan global memang memiliki dampak buruk bagi lingkungan hidup di sekeliling kita, seperti cuaca, tinggi muka laut, pertanian, hewan dan tumbuhan serta kesehatan manusia. Kita memang harus peduli untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih serius lagi. Usaha-usaha yang dapat kita lakukan adalah menanam pohon sebanyak-banyaknya dan mengadakan penghijauan hutan.
Bersikap berlebihan dalam menghadapi pemanasan global dengan tak mengkonsumsi daging, sama saja bersikap overprotective menjalani hidup. Mencegah memang lebih baik, tapi tidak dengan menyingkirkan unsur-unsur yang baik bagi kehidupan. Kita seharusnya mencegah dengan sesuatu yang lebih wajar dan bisa diterima serta diterapkan banyak orang pada umumnya.
Lagipula keberadaan hewan ternak memang diciptakan untuk dimakan. Hal ini diibaratkan seperti hukum alam, yang terdapat dalam rantai makanan. Bayangkan jika kita menghentikan pengkonsumsian daging, artinya keseimbangan ekosistem akan rancu. Bumi kita mungkin tak akan berwarna hijau lagi karena habis dikonsumsi oleh hewan pemamah biak. Hal ini dikarenakan gerakan pengendali populasi hewan ternak terhambat karena sudah dilarang makan daging.
Sebagai pecinta binatang, yang sebagian besarnya membawa-bawa dan menyebarluaskan isu mengenai pemanasan global yang disebabkan oleh produksi dan konsumsi hewan ternak, menyarankan agar masyarakat menjadi vegetarian. Jika memang hewan ternak dilarang untuk dikonsumsi, maka apalah arti keberadaan hewan ternak tersebut di muka bumi ini. Entah ke mana arah pikiran mereka. Jika memang mengaku sebagai pecinta binatang, artinya hewan ternak harus dimusnahkan, karena produksi hewan ternak turut ambil andil dalam pemanasan global.
Mengapa kita harus repot-repot dengan tak memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah ruah untuk mencegah pemanasan global, padahal masih banyak alternatif lain untuk menanggulanginya? Apa kita harus membuang segala yang enak-enak selama itu masih dihalalkan oleh Tuhan?
(Lomba Essai Persatuan Wartawan Nasional Indonesia Wilayah SulselBar: Tema essay "peran pendidikan dalam menjawab permasalahan nasional di bidang lingkungan hidup”)
1 komentar:
wih, bagus banget ini artikelnya. kebetulan saya kuliah di peternakan, bingung ada orang bilang peternakan bikin global warming. This article is a good answer for people who judge animal husbandy. Mampir juga ke tipstrikharian.blogspot.com yaa
Posting Komentar