“Arrrgghhh!!!”
Kulihat tubuh Mamat
dicabik-cabik oleh kuku-kuku tajam kedua sosok di balik kegelapan tersebut.
Ups! Sebenarnya aku ingin menolongnya, tapi tak bisa. Padahal aku ada di sini
mengintip kemesraannya dengan kedua sosok yang semakin ganas merajam tubuh dan
wajahnya. Duh, kasihan! Aku harus bagaimana?!
Wah, kalau begini ia
bisa mati! Ia bahkan sudah berdarah-darah. Sakitnya tuh, di sini!
Aku masih terdiam di
tempat. Kasihan memang melihatnya dicakar sana-sini, tapi aku sama sekali tak
bisa keluar dari tempat persembunyianku di balik sesemakan ini. Kalau aku
keluar, bisa-bisa mereka…
“Mamat! Tolongin, dong!
Ada hantu yang mengikuti kita!” pekik Inet, sosok pertama yang dikenal sebagai
gadis manis tapi usil di posko KKN kami.
“Iya! Mat! Plis, cek
sesemakan itu! Aku takut!” raung Uty, tak kalah nyaringnya. Ia adalah bendahara
di posko juga yang gifo (gila foto).
Sedangkan Mamat sendiri
adalah…
“Arrrgghhh!!!” Si Koordinator
Desa kami itu terus saja meraung.
Sebenarnya sih, malam
ini Mamat menemani kedua teman ceweknya untuk buang air kecil ke permandian
umum, karena di posko kami tak ada toiletnya. Jaraknya cukup dengan berjalan
kaki. Namun, saat mereka tadi meninggalkan posko, tiba-tiba saja sebuah ide
usil terbersit di pikiranku hingga tibalah aku di tempat ini, di balik
sesemakan.
“Sepertinya yang harus
kuhindari adalah cakaran kalian. Aku lebih memilih untuk jalan sama hantu itu.
Siapa pun dia, aku akan memaafkannya karena sudah menakut-nakuti kita!”
Pernyataan emosi Mamat
malah membuat perasaanku jadi lega.
Namun kedua cewek
cantik itu semakin kalap. Mereka terus mencakari Mamat, hingga sarung yang
dikenakan Mamat melorot jatuh seketika. Celana kolor hijau Mamat pun setor
muka.
Kedua rekanku
menghentikan kegilaan mereka dan memberi kesempatan pada Mamat untuk kembali
mengenakan sarungnya.
“Duh, sobek sudah
sarung baruku!” pekik Mamat kesal. “Aku tuh bawa sarung ke sini hanya satu,
tahu!”
“Maaf ya, Ketua!” sahut
Inet dan Uty dengan mata sebesar Candy-Candy saking memelasnya. “Tapi jadi
temani kami ke toilet umum, kan?”
“Iya! Jadi. Asalkan
kalian merahasiakan warna celana pendek yang kukenakan pada teman-teman
lainnya.”
***
Bulan Juli-Agustus
merupakan momen yang bersejarah untuk kami berdua belas, di mana kami memilih
untuk mengikuti program KKN Profesi Kesehatan di Bantaeng ini. Beginilah, kami
ditempatkan di sebuah Desa nan sejuk karena lokasinya yang di pegunungan, di
sebuah Desa Labbo.
“Loh, kenape kamu
luke-luke begitu? Memangnya di toilet umum harus rebutan gitu ya sampai kau
koyak seperti itu?” tegur Kak She,
sekretaris posko kami dengan logat Malaysianya yang lucu.
“Atau habis intip
toilet cewek, kali!” komentar Wah, pacar Kak She. Ia keturunan Singapura yang
lahir di Bali.
Mamat masih saja terus
meringis-ringis sambil meratapi sarungnya yang sepertinya butuh tambalan
sana-sini. Dalam semalam sarung baru Mamat berubah menjadi sarung keluaran
lama. “Sakitnya tuh di sini!” ratapnya sambil mengacungkan dompetnya yang
kuyakini isinya tak cukup untuk membeli sarung yang baru.
“Mamat seperti itu
karena…” Perhatian mereka lalu teralihkan padaku. “Menolong Inet dan Uty dari
kejaran anjing. Iya, kan?” Kumeminta kerja sama Uty dan Inet untuk
mengiyakannya. “Nih, sarung Bali buat kamu!” Kulemparkan benda itu pada Mamat.
Mamat mengernyit. “Tapi
kenapa kau…”
Kutersenyum
menyeringai. “Mat, kamu sudah maafin aku, kan?”
“Maafin untuk apa?”
“Memaafkanku karena
akulah ‘hantu’ yang menakut-nakuti kalian tadi di jalan…”
0 komentar:
Posting Komentar