Aku bermimpi sedang berjalan di atas hamparan bunga beraneka warna. Mereka tetap tegar dan bermekaran indah meskipun diinjak-injak di bawah telapak kakiku. Bunga-bunga itu berpijar lembut memanjakan kakiku. Aku begitu menikmatinya hingga kumembuka mata.
Bau khas obat-obatan menyerbu indra penciumanku begitu kuterbangun. Kulayangkan pandanganku. Lagi-lagi aku masuk rumah sakit! Aku bergegas bangun, namun rasa sakit di pergelangan tanganku membekukku. Aduh! Baru kusadari ternyata aku diinfus. Kutarik selang infus itu hingga terlepas. Rasa sakit pun menjalar. Tapi aku tak peduli. Aku harus segera pergi dari sini untuk menemui mereka.
Sekarang kakiku tidak melangkah di hamparan bunga lagi. Dengan bertelanjang kaki aku melangkah di atas aspal yang panas, batu-batu kerikil dan kotoran-kotoran. Tapi aku tak peduli akan apa yang mengenai kakiku itu. Aku terus bertahan untuk tetap melangkah menemui mereka. Entah butuh berapa lama. Padahal aku bisa naik angkutan umum, tapi aku memutuskan untuk melangkah sendiri demi memperlihatkan kesungguhanku mendatangi mereka. Aku ingin melangkah tanpa bantuan dari siapa pun. Mereka adalah orangtuaku. Aku merasa kesepian karena merasa terbuang oleh mereka. Terbuang karena merasa tak diperhatikan lagi. Padahal putra mereka ini tengah mendapat ujian, tapi mereka tak pernah mendampingiku mengalami kesulitan itu.
Langit tampak gelap. Kumemandang ke atas dan samar mendengar suara petir. Aku tahu sebentar lagi akan hujan, tapi aku terus melangkah. Aku tak peduli kendala apa yang akan kulalui dalam perjalananku ini. Tak lama tubuhku pun diguyur hujan. Sementara orang-orang mencari tempat berlindung, aku terus berjalan. Perjalananku jadi semakin berat. Padahal aku belum sembuh benar. Kepalaku jadi pusing karena diguyur hujan. Tapi aku tak boleh berhenti. Aku pun memaksakan diri untuk tetap melangkah.
Aku menunduk lesu membiarkan kepalaku dihajar hujan. Sungguh ini bukan jalan seempuk melalui hamparan bunga. Dingin. Badanku menggigil. Tapi aku tetap tak mau berhenti. Jalan berduri pun akan kulalui, kalau bisa petir pun kuterobos. Hujan takkan bisa mengalahkan aku!
Perjalanan masih panjang. Aku mulai berjalan sempoyongan. Perih mengibas kakiku. Aku yakin kakiku sudah lecet-lecet. Tapi aku masih saja menguatkan diri untuk melangkah. Hujan malah semakin deras. Nafasku sesak. Air mataku mengalir. Apakah aku masih sanggup berjalan dalam kondisi seperti ini?
Aku lalu jatuh terjerembab karena lemas. Oh, aku sudah tak sanggup lagi. Tapi tidak! Aku tak boleh berhenti! Aku harus berjuang. Jika aku pulang, mereka pasti akan kaget. Aku harus tetap melangkah meskipun sampai harus merangkak. Aku pun merangkak. Seandainya aku bisa lebih daripada ini, berlari misalnya agar cepat sampai. Tapi apalah dayaku. Tubuhku benar-benar tak bisa bekerjasama.
Aduh! Ada rasa sakit menjalar tiap kali aku bertopang pada tangan kiriku. Kupandang tanganku dan miris melihatnya. Pergelangan tanganku luka dan berdarah. Pasti karena kucabut selang infus-nya dengan paksa. Tapi kalau merangkak saja susah, aku harus bagaimana lagi? Aku mulai putus asa. Tapi tetap saja aku ngotot tak ingin menyerah. Sesulit apa pun akan terus kulalui perjalananku ini.
Di mana aku sekarang? Aku mendongak dan membaca papan nama jalan. Jalan Bunga. Aku terpaku begitu melihat orang-orang di salah satu rumah di jalan itu. Mereka tinggal di sebuah rumah yang meskipun sederhana, tapi ketiganya tampak bahagia. Kupandangi seorang pemuda sebayaku. Ia dikecup sayang ibu bapaknya sebelum berangkat ke sekolah. Seandainya saja anak itu adalah aku. Oh, aku sungguh merindukan kasih sayang kedua orangtuaku. Aku menangis. Ya Tuhan, apakah aku takkan pernah sebahagia anak itu? Karena sedih dan cemburu, kusumpahi anak itu mendapat nasib sepertiku. Cacat sehingga orangtuanya membuangnya.
Mereka yang tengah berbahagia itu tak menyadari kehadiranku. Pemuda itu lalu keluar dari rumahnya sambil membawa payung hitam. Aku memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Aku mencoba untuk berdiri lagi. Tiba-tiba saja seseorang mengulurkan tangannya padaku. Tak hanya itu, payungnya ikut melindungiku. Payung itu kan.. Kuperhatikan orang itu. Ia tersenyum ramah. Aku membuang muka karena malu. Pemuda itu. Padahal aku baru saja mendoakannya yang jelek-jelek, tapi dia…
Aku tak pantas menerima bantuannya setelah apa yang kupikirkan tentangnya. Ia lalu berjongkok dan menatap wajah sedihku. Wajahnya lalu ikut-ikutan sedih seolah mengerti penderitaanku. Ia lalu menggamit tanganku, lalu menggenggamkan payungnya ke jemariku.
Setelah mengulum senyum ia langsung pergi sambil menerobos hujan deras. Aku merasa semakin tak enak padanya. Ia rela kehujanan dan merelakan payungnya padaku. Aku memanggil-manggilnya, tapi suara hujan mengalahkanku.
Tiba-tiba saja sebuah mobil meluncur kencang di ujung jalan. Tapi pemuda yang hendak menyebrang sambil berlari menghindari hujan itu tak menyadarinya. Gawat! Ia bisa celaka. Spontan aku pun berlari sebelum terjadi hal yang tak diinginkan. Aku berlari begitu kencang dan mendorongnya menghindar. Mobil itu semakin mendekat. Aku memejamkan mata ngeri. Aku tak peduli apa yang terjadi pada tubuhku. Bukankah sudah tak ada lagi yang peduli dan menyayangiku?
Ciiiit! Mobil itu langsung berhenti tepat di hadapanku. Tak terjadi hantaman yang menyakitkan. Kumembuka mata perlahan. Terdengar suara pintu mobil terbuka.
“Astaga! Ya Tuhan! Fay?! Faaaaaaaaaayyy!!” pekik sebuah suara yang kukenal. Seorang wanita lalu keluar dan berhambur memelukku. “Kau tidak apa-apa kan, sayang?”
Lalu seorang pria keluar dari mobil. “Ya ampun, Fay? Kau bisa berjalan?!” tanyanya tak percaya. Ia lalu menghampiriku. “Kenapa kabur dari rumah sakit? Hujan-hujan begini lagi. Kami baru saja hendak mencarimu. Kami sangat mencemaskanku, sayang.”
“A.. aku pikir ayah dan ibu sudah tak mempedulikanku lagi,” gagapku. “Di saatku menderita, kenapa kalian tak pernah menemani dan menghiburku?” protesku.
“Bodoh. Mana mungkin kami membuangmu, nak. Maafkan kami jarang berada di sisimu. Tapi itu semua demi kesembuhanmu, nak. Kami ingin melihat kau bahagia. Makanya kami sibuk ke sana kemari mencarikan dokter yang hebat dan obat agar kau bisa berjalan kembali,” tutur ibu panjang lebar. “Itulah sebabnya kami tak bisa berlama-lama menemanimu, sayang.”
“Maafkan kami, nak. Kami sudah membuatmu sedih. Kami tak nyangka kau akan berpikiran buruk seperti ini,” kata ayah sambil membelai rambutku.
Aku mengulum senyum terharu. Ternyata ayah dan ibu masih peduli padaku. Aku menyesal telah berpikiran yang tidak-tidak tentang mereka. Air mataku menetes. “Yah, Bu, aku kabur karena ingin memperlihatkan ‘ini’ pada kalian. Tanpa kursi roda lagi, aku bisa. Aku ingin membuat kalian terkejut. Oleh karena itulah aku terus melatih diri untuk berjalan. Sebenarnya aku sudah bisa berjalan beberapa hari yang lalu. Tapi aku malah jatuh dari tangga dan dilarikan ke rumah sakit.”
Aku lalu memeluk mereka hangat. “Bu, Yah, maafkan Fay. Fay sudah salah sangka pada ayah dan ibu. Fay nyesel banget sudah berprasangka buruk pada ayah dan ibu! Kalian mau kan memaafkan Fay?”
“Tentu saja, sayang. Tentu. Kau anak kami satu-satunya,” kata mereka. “Kami akan tetap mencintaimu apa pun keadaanmu.” Mereka lalu mengacak-acak rambutku.
Kami lalu saling berpelukan tanpa sadar hujan telah reda. “Aku janji akan jadi anak yang berbakti dan membahagiakan kalian. Sekarang aku sudah normal. Kalian tak perlu mengorbankan banyak hal lagi untukku,” kataku senang.
Ternyata inilah maksud dari jalan penuh bunga yang kulalui dalam mimpiku tadi. Ternyata aku akan menemukan kebahagiaanku di jalan Bunga. Ini juga tak lepas dari peranan pemuda tadi. Kalau saja tak ada dia, kami pasti takkan bisa berkumpul seperti ini.
Kutatap pemuda tadi. Ia turut tersenyum. Aku lalu menghampirinya kemudian mengulurkan tangan. “Kenalkan. Aku Fay. Terima kasih ya atas perhatiannya,” kataku. Kami pun saling berjabat tangan. “Oh iya. Nama kamu siapa?”
Pemuda itu lalu menggerakkan tangannya berupa isyarat-isyarat. Bibirnya yang tak bersuara bergerak mengucapkan vokal yang tak jelas.
(Sabtu, 7 Agustus 2010, malam hari)
(***)
0 komentar:
Posting Komentar