“Kenalkan, namaku Arieska Arief,” kataku pada cowok yang tak setampan Romeo itu.
Oh, jadi cowok bertampang jutek ini yang akan menjadi bos di posko lapangan belajar nanti? Selama dua minggu kami akan kembali ke peraduan zaman nenek moyang dengan berteduh di desa yang apa adanya, sebagai tugas salah satu mata kuliah kami.
Cowok yang akan memimpin kami itu sebagai koordinator desa bernama Icank. Penampilannya kacau dan ugal-ugalan. Ini sih masih mending begitu kubayangkan di desa nanti mungkin ia akan lebih berantakan lagi. Icank menatapku seperti kucing yang mau digaruk punggungnya dengan mendekatkan telinganya ke arahku.
“Apa?! Awieska Awief?”
Gubrak!!! Aku runtuh seperti kucing kesambar petir.
Begitulah perkenalanku dengan cowok aneh sejagad raya bernama Icank itu. Suara merduku yang serba cadel itu menghentakkan dunia gondrongnya. Ingin rasanya kuacak-acak rambutnya yang gondrong itu biar kutunya pada tak betah. Tapi ternyata ia tak seburuk yang kuduga. Ia menerawang. Ternyata hasil terawangannya itu bukan untuk menerjemahkan bahasa cadel yang kukatakan, melainkan memberikanku sebuah panggilan baru, tanpa berpikir untuk menyembelihkan seekor kambing imut berpita untukku.
“Bagaimana kalo kupanggil kamu AA’ saja?” tanyanya tanpa perasaan berdosa.
Kumerenung, ternyata inisial namaku bisa juga jadi seperti itu. Lalu aku pun tersenyum karena merasa geli. AA’, ya itulah panggilan baruku sekarang. Ternyata Icank tak sejutek dugaanku, ia malah gokil banget!
= ^-^=
“Icank! Bangun! Subuh, oi!” pekikku membangunkannya sambil berusaha mengguncang-guncangkan tubuhnya sedahsyat gempa bumi dengan skala richter terbesar.
“Ng? Inikan hari libur…,” sahutnya dengan mulut berlumuran pulau, plus tsunami kecil yang menyiprat-nyiprati baju kebangsaanku.
“Ih, solat ngga ada liburnya tauk!” gusarku menatap wajah bantalnya dengan perasaan gemuruh. Mungkin aku perlu payung begitu ia berbicara lagi, untung Cuma gerimis.
“Cewek aja ada cutinya… kok cowok ngga sih…,” sahutnya teler. Pulau ciptaannya menetesi bantal. Huh, harus ganti bantal nih!
Aku tak menjawab. Kali ini kubuat gempa bumi segempar mungkin dengan berlari-lari di sekitarnya. Hihi, untung rumah panggung bisa kubuat segempar mungkin. Wajahnya yang masih bersatu dengan bantal itu lalu membuka mata. Dengan mata yang seterang senter redup itu ia lalu mengambil air wudhu.
Kupuas berhasil memisahkan wajahnya dari bantal. Untung aja hari itu ia teler di ruang tamu, jadi bisa kubangunkan dengan mudah, seperti merebut mainan dari anak ingusan.
= ^-^ =
Kami bertujuh menempati rumah pak kepala desa sebagai posko kami selama beraksi. Posko kami berupa rumah panggung yang sangat sederhana, tapi kehidupan kami nyaman tersubsidi. Di sini fasilitasnya mencukupi, tak seperti posko di desa yang lain. Orang-orang desa ramah-ramah. Kami harus menjalankan tugas sebaik mungkin memberi penyuluhan kesehatan pada mereka yang sudah menyambut kami seperti ada acara akikah saja.
Hidup kami di pedalaman ini memang memenuhi. Tapi hari itu para pemilik rumah sedang tak di posko. Hanya ada aku siang itu yang sedang menjaga posko sambil menyiangi ruang nonton dengan gossip-gosip terafdol.
Icank pulang dari pengembaraannya yang panjang menelusuri jalan-jalan desa penuh rintangan empang di kanan kirinya. “AA’, masak dong! Lapar!” rengeknya bengis.
What! Masak?! Lapar?! Aku merinding, seolah takut ditusuk garpu olehnya karena dikira daging. Mana tak ada orang lagi mengudara di sekitarku. “Ah, masak aja sendiri,” balasku sambil menyembunyikan ‘aib’ yang tak terselamatkan. Dia menatapku memelas seperti anak kucing yang dibuang. “Aku… aku ngga bisa masak,” kataku lagi tanpa belas kasihan.
Gubrak!!! Icank menggelepar-menggelepar menggenaskan. Kasihan Icank di tengah terik begini hanya ditemani olehku. Perutnya semakin membahana. Tapi untunglah pertolongan segera datang. Bantuan bahan pangan tiba. Teman-temanku yang bisa memasak akhirnya nongol juga setelah melepas sandal-sendal yang menggelitik kaki-kaki mereka.
Kami pun mulai memasak. Icank juga menaikkan lengan bajunya tanpa pamrih. Mulanya kumeremehkannya. Heh, cowok yang tadinya gersang tadi mana bisa masak? Hihi. Aku tengah mengaduk-aduk telur yang belum siap untuk mematuk, kemudian memberanikan diri menghadapi wajan yang tersenyum menyeringai dengan gelak tawa api di bawahnya.
“Kyaaa!!” pekikku begitu telur memeluk muka wajan yang jerawatan. Suaranya begitu mengerikan berhasil menumbangkan sisi feminismeku. Aku ketakutan dan menjauh seolah wajan itu akan melemparkan telur ke wajahku hingga akhirnya Icank yang ambil alih sambil terkekeh-kekeh, mencoba menjadi stunt man hantu di film-film horor.
Ia menggoreng telur itu seperti emak-emak. Seharusnya aku berterima kasih, tapi, “Hyah, getoh ajah dah kayak dipatok telur. Gini nih caranya,” katanya belagu. Huh, untung ngga sempat mengucurkan kata terima kasih, hehe. Makasih ya, lidah…
Akhirnya makan siang sok restoran kami terhidang sudah. Sudah tersaji beraneka ragam makanan yang aneh-aneh bentuknya. Kami makan melantai melingkar. Aku duduk di dekat Icank. Rasanya tak sabar teman-teman mencoba telur buatanku, hya meskipun yang goreng hasil tangan ajaib si Icank sih. Masakan pertama nih. Bagaimana kalau dibandingkan dengan ikan goreng buatan Icank ya? Hehe.
Sepertinya teman-teman tak terlalu merespon masakan kecilku. Tapi saat mencicipi masakan Icank, “Hm,, enak ikannya,” kata mereka dengan tak lupa jika mereka masih memiliki jempol untuk diacungkan.
Hah?! Kucoba telurku dulu, rasa asin memeluk mesra lidahku. Tapi tetap kuhabiskan. Kujuga mengambil ikan buatan Icank dan rasanya memang enak. Ternyata Icank jago masak juga. Jadi minder karena aku cewek. Saingan emak aku nih!
Baru saja kumenyesali sisi feminimku yang kurang berapi sambil memejamkan mata sejenak, dalam sekejap mata nasi di piringku sudah bertambah. Hah? Darimana datangnya nih? Kumendongak ke atap, nggak mungkinlah. Yang logis saja dong. Lalu kumenolehi Icank. “Kalo makan jangan melamun, nambah baru boleh!” katanya sambil belajar senyum terpayah, tapi ia juga menyikat habis telur dodolku. Seharusnya aku terharu ia mau makan adonan kritisku, tapi…
“Icaaaaaankk!!” jeritku. Namun meskipun perutku mampus, kuhabiskan juga mati-matian semua nasi segunduk itu karena takut mubasir. Dasar Icank, keterlaluan! Ingin rasanya kuberi cap bekas telapak tanganku di pipinya.
= >.< =
Setiap
sore posko kami ramai seperti ada acara pembagian sembako saja.
Teman-teman dari posko lain rela antri demi menjejakkan kaki di kamar
mandi posko kami yang bersejarah untuk pertama kalinya. Hm, sebenarnya
bukan kamar mandi istimewa yang ada pemancur dan bak mandi disertai
sabun buih melenakan. Tapi hanya saja kebanyakan posko mereka tak ada
airnya, hehe. Kemarau deh mereka…
Kamar
mandi yang menyelamatkan banyak jiwa itu telah memanjakan beberapa
teman-teman kami. Pak kepala desa tak keberatan akan hal itu, karena
sumber air posko kami tinggal ditimba dari sumur ‘emas’, hehe. Posko
kami seperti menjadi objek wisata permandian yang wajib didatangi. Tapi
tentu saja tak semuanya datang, dan juga tidak setiap hari menyantuni
posko kami. Semoga tak ada yang menyebarkan brosur kenyamanan posko
kami, ntar semua pada mau tinggal di sini lagi.
Sore
itu seharusnya dosen pembimbing kami memunculkan batang hidungnya. Tapi
jam segini belum juga kedengaran sapa mesra raungan motornya. Padahal
kami mau minta pengarahan untuk proyek sejuta umat besok.
“Teman-teman,
aku punya kabar tentang Pak Wali yang janjinya mau membekaskan jejak
kakinya di sini,” kata Icank sambil meluncur di hadapan kami.
“Apa tuh?” Tanya kami seadanya, sok mau tahu demi menghargai Icank yang sudah capek-capek meluncur.
“Ada dua kabar. Satu kabar baik dan yang satunya lagi kabar buruk.”
“Kabar baiknya dulu deh,” kata kami harap-harap cemas tapi tak secemas para ayah yang menanti kelahiran selusin anaknya.
“Kabar baiknya, Pak Wali lagi meluncur ke sini.”
“Bagus
dong,” respon kami simple sok antusias. Kami sudah terlihat bernafas
lega seolah baru saja mengenal udara. Tapi begitu Icank membeberkan
kabar buruknya,
“Kabar
buruknya, motor Pak Wali kecebur di empang sehingga beliau tidak jadi
kemari,” jelasnya tanpa perasaan berdosa telah membuat kami menghirup
udara kehampaan.
Kami menatap wajah innocence-nya
dengan pandangan kosong, sambil membuka mulut kayak ikan tersedak.
Padahal di benak kami ingin rasanya menggigiti kepalanya kemudian
memangkas habis rambut gondrongnya itu. Biar dengan begitu otaknya jadi
lebih intensif membedakan kabar baik dan kabar buruk.
“Itu
sama saja, dodol!!! Intinya tetap aja kabar buruk! Mana kabar
baiknya?!” kami memekik-mekik kayak anak burung yang lupa diberi makan
emaknya. Kami ingin mencekik lehernya, tapi lehernya terlalu kecil untuk
tangan-tangan berlumuran dosa kami berenam.
= >.< =
Awan
‘kintom’ kecil, kendaraan tak bersertifikat milik Son Goku itu
terparkir di wajahku. Kusegera mengibas-ngibaskan tanganku untuk
melenyapkannya, kayak tukang parkir kehabisan modal. Kucari sumber
‘merapi’ tersebut dan sudah menduganya. Rupanya asap dari rokok edan
Icank. Ini yang tak kusuka darinya. Ia selalu saja bercumbu dengan rokok
di setiap rapat pada malam itu.
Aku
sudah berkali-kali menegurnya, tapi teguranku itu hanya sampai sebatas
asap rokok yang tak dipedulikan. Padahal mahasiswa kesehatan, tapi kok
merokok? Aku sudah mengibarkan bendera seputih melati jika menegurnya.
Kupandangi kotak rokok kegemarannya itu di meja. Benda itu sudah membuat
masa depan rapat yang penuh berkah jadi suram.
Tiba-tiba saja sebuah lampu yang kepedean menyinari kepala jeniusku. Maafkan aku, Icank. Tapi aku harus ngelakuin ini…
= >.< =
Seperti
biasa pagi itu aku membangunkan ‘korban-korban’ keganasanku untuk solat
subuh, termasuk Icank. Hari ini ia mendengkurkan nafasnya di kamarnya.
Tentu saja aku tak berani masuk. Setelah ketukan pintu hati dikacangin,
kumencoba caraku sendiri.
Kurakit
pesawat-pesawatan dari kertas-kertas yang tak kuasa melawan pelintiran
jemari-jemari emasku, lalu kulayangkan mereka dengan hati bersih melalui
sela atas pintu yang lebar. Entah mengapa aku memilih cara konyol
begini. Memang sih dengan mempercayakan masa depan pada teori trial and error ini kuharap bisa merampas tidurnya yang semena-mena.
Pesawat
pertama masih tak ada reaksi darinya. Lalu kucoba lagi dengan pesawat
kertas lainnya, hingga terdengar suara, “Hah! Apa ini?!” pekik suara
orang jantungan di dalam. Mungkin ada salah satu seranganku yang
menjatuhkan bom di lelap tidurnya.
Kuketuk pintu sangkarnya sekaligus pintu hatinya. “Icank, solat yuk!” ajakku berlagak malaikat putih salah jadi.
***Icank turun sarapan pagi itu sambil menggenggam kertas-kertas bekas terlipat sana-sini. Ia seperti sedang membaca-baca satu per satu isi kertas-kertas itu dengan memindahkan kertas yang satu ke belakangnya lagi dan seterusnya.
“Serius amat? Surat cinta dari siapa sebanyak itu?” tanya Ani sok penasaran.
Icank mencibir. “Ditulis dengan tinta putih,” katanya sambil melirikku. Aku lalu menyadari rupanya kertas-kertas pesawat itu prajurit-prajurit yang kukerahkan untuk membangunkannya. Aku diam-diam saja berlagak autis. Hehe, sepertinya Icank bakal mencari-cari sesuatu hari ini…
Tapi siang itu Icank terlihat santai-santai saja kayak nenek-nenek. Apa rencanaku kurang semempan baygon ya? Kok ia tak mencari-cari belahan jiwanya? Aih, mesti ganti merek nih.
Iya. Sebenarnya tadi malam aku menyembunyikan rokoknya di bawah kursi. Kusembunyikan, di dalam sebuah ‘peti’ yang terkubur rapi. Kalau bisa biar dimakan tikus busung lapar tuh rokok. Tapi hingga saat ini tuh anak belum juga merasakan sesuatu yang beda di saku kumalnya. Aneh. Tumben ia bisa hidup sepanjang ini tanpa merokok.
Tiba-tiba saja Pak Anto, pak kepala desa uring-uringan. Pasti ia mencari-cari kunci motornya lagi. Kubantu ia mencari tanpa direstui. Tapi kuhentikan pencarian begitu ia mengumandangkan sesuatu yang menggetarkan duniaku.
“AA’, kamu lihat rokok bapak tidak?”
Aku seperti membatu. Tak bergerak. Jadi, rokok itu… rokok itu… bagaimana ini? Bagaimana caranya menyembunyikan bukti kriminalitasku yang berujung KDRT ini?! Somebody, help me!!!
Untung saja Icank segera menyelamatkanku. “Pak, nih rokokku dibawa saja,” katanya sambil menyerahkan sebungkus rokok. Karena buru-buru, Pak Anto meminjam rokok kebangsaan Icank dulu, lalu berangkat ke kantor.
“AA’, kamu napa?” tanyanya keautis-autisan. Entah Icank menyelamatkan siapa. Aku atau pak kepala desa? Tapi ia telah menyelamatkan jiwa-jiwa yang malang ini.
= >.< =
Akhirnya tibalah derai-derai air mata mengiringi kepulangan kami setelah 2 minggu menunaikan misi kesehatan. Memang berat perpisahan ini. Banyak kenangan manis dan kenangan lucu dengan penduduk setempat yang ramah-ramah. Baru kali ini kulihat si Icank menyemburkan air mata. Wajahnya jadi sedamai Romeo sekarang.
Kami pun melambaikan tangan keharuan. Tanpa belas kasihan, mobil pun berkeluh kesah bergegas memisahkan kami dengan penduduk desa menyisakan bulir-bulir air mata. Uh sedihnya! Selamat tinggal, bye-bye…!!!
= T.T =
Di mataku telah muncul seorang cowok berambut rapi dan bersih. Kutatap baik-baik cowok kinclong itu. “Icank?!” Ia mengangguk bangga sok merapikan dasinya. “Kamu cukur ya? Huah…,” tapi aku gengsi seribu abad mengakuinya. ‘Rapi sekali,’ batinku merah jambu.
Ternyata beberapa hari di desa tak membuat Icank semakin berantakan, tapi malah sebaliknya. Icank jadi belajar hidup rapi dan bersih di desa. Omong-omong sebenarnya sih isi kopernya yang selalu bergerumul keluar dari tempatnya menghirup udara kebebasan itu jadi sarang kucing melahirkan. Kucing-kucing yatim piatu itu senang tidur di atas baju-bajunya yang bergelimpahan keluar koper, hehe.
Lalu terbersit ide di kepalaku, masa kepalanya. Kuhadiahkan ia sebuah nama yang tak terpikirkan olehnya selama 19 tahun kami hidup. “Bagaimana kalo kupanggil kamu Ii’?” kataku semena-mena. “Karena kamu sudah ngga gondrong lagi, namamu kupangkas juga.”
Ia tersenyum pepsodent, meskipun tak diberi upah. “Jadi Aa’ dan Ii’ dong.” Begitulah ‘tragedi’ sejarah nama jadul kami berdua. Tapi tentu saja tak sampai mengorbankan nyawa kambing lebih banyak lagi.
(Jumat, 19 November 2010, jam 1 siang)
V(^_^)V
0 komentar:
Posting Komentar