Belakangan ini, self publishing makin marak saja. Makin banyak penulis (termasuk saya) yang tidak menawarkan naskahnya ke penerbit yang ada, tapi menerbitkannya atas biaya dan upaya sendiri. Selain itu, layanan publishing service pun makin menjamur. Ada indie-publishing.com, nulisbuku.com, leutikaprio.com, dan masih banyak lagi. Secara umum, tugas mereka adalah membantu para penulis yang ingin menerbitkan buku secara self publishing.
Bagi kita sebagai penulis, tentu fenomena ini sangat menggembirakan. Bagaimana tidak? Menerbitkan buku adalah impian hampir semua penulis. Selama ini, banyak di antara kita yang belum berhasil menerbitkan buku, karena masih ditolak di sana-sini. Dengan self publishing, kita bisa menerbitkan buku apapun sesuka kita, dengan cara yang sangat mudah dan cepat. Seratus persen bebas dari penolakan! Betapa bahagianya, bukan?
Tapi pengalaman menunjukkan, kebahagiaan seperti ini seringkali cuma bertahan beberapa hari. Tepatnya beberapa hari setelah si buku terbit.
Ketika si penulis menemukan fakta bahwa bukunya kurang laku, atau dikritik oleh penulis lain bahwa kualitas bukunya masih buruk, maka sang kebahagiaan pun segera berganti menjadi kegalauan.
Self publishing memang memungkinkan setiap penulis menerbitkan buku secara bebas, semau-maunya, cepat, mudah, dan bebas dari segala macam penolakan. Di satu sisi ini sangat menggembirakan. Tapi di sisi lain faktor KUALITAS menjadi masalah tersendiri
Salah seorang penulis senior – Pipiet Senja – pernah membahas hal ini di update status Facebooknya. Dia prihatin melihat banyaknya buku self publishing yang miskin kualitas. Coba lihat gambar berikut ini:
Saya pun sering melihat buku self publishing yang kurang bagus dari segi konsep. Misalnya, ada buku nonfiksi tapi diberi judul dan cover seperti novel. Atau buku yang temanya sangat bagus, tapi menjadi kurang laku karena si penulis kurang piawai dalam mengatur konsep nilai jual.
* * *
Tapi perkecualian pasti ada. Buku kumpulan puisi RUANG LENGANG karya mas Epri Tsaqib adalah contoh buku “indie label” yang isinya bagus dan terbukti laris manis. Biasanya, buku kumpulan puisi selalu gagal di pasaran. Pembelinya sangat sedikit. Tapi buku Ruang Lengang justru laris manis, saat ini sudah masuk cetakan ke-2, dan penulisnya sempat diundang ke Malaysia untuk membedah buku tersebut.
Dan ketika mas Epri menerbitkan buku berikutnya – Para Guru Kehidupan – nasib baik pun kembali terulang. Buku ini menjadi best seller dan mas Epri kembali harus repot diundang ke sana ke mari.
Salah satu kunci sukses Mas Epri adalah kecermatannya dalam memilih konsep buku yang bagus, mengemas nilai jual yang tinggi, dan mengelola sistem marketing yang efektif.
Terus terang, saya banyak belajar dari buku-buku mas Epri yang diterbitkan secara self publishing. Hasil belajar tersebut – antara lain – yang saya terapkan pada buku Cara Dahsyat Menjadi Penulis Hebat. Alhamdulillah, buku ke-4 saya ini pun bisa diterima dengan baik oleh teman-teman yang ingin menjadi penulis sukses. Bahkan, buku ini sudah memasuki cetakan ke-2. Karena buku ini, alhamdulillah saya pun sering diundang ke sejumlah kota di Indonesia.
Nah, teman-teman mungkin tertarik untuk menerbitkan buku self publishing. Tidak sekadar menerbitkan, tapi ingin agar buku Anda bagus dari segi kualitas, konsep nilai jual dan marketing, serta laris manis di pasaran. Ingin seperti itukah?
Bagi kita sebagai penulis, tentu fenomena ini sangat menggembirakan. Bagaimana tidak? Menerbitkan buku adalah impian hampir semua penulis. Selama ini, banyak di antara kita yang belum berhasil menerbitkan buku, karena masih ditolak di sana-sini. Dengan self publishing, kita bisa menerbitkan buku apapun sesuka kita, dengan cara yang sangat mudah dan cepat. Seratus persen bebas dari penolakan! Betapa bahagianya, bukan?
Tapi pengalaman menunjukkan, kebahagiaan seperti ini seringkali cuma bertahan beberapa hari. Tepatnya beberapa hari setelah si buku terbit.
Ketika si penulis menemukan fakta bahwa bukunya kurang laku, atau dikritik oleh penulis lain bahwa kualitas bukunya masih buruk, maka sang kebahagiaan pun segera berganti menjadi kegalauan.
Self publishing memang memungkinkan setiap penulis menerbitkan buku secara bebas, semau-maunya, cepat, mudah, dan bebas dari segala macam penolakan. Di satu sisi ini sangat menggembirakan. Tapi di sisi lain faktor KUALITAS menjadi masalah tersendiri
Salah seorang penulis senior – Pipiet Senja – pernah membahas hal ini di update status Facebooknya. Dia prihatin melihat banyaknya buku self publishing yang miskin kualitas. Coba lihat gambar berikut ini:
Saya pun sering melihat buku self publishing yang kurang bagus dari segi konsep. Misalnya, ada buku nonfiksi tapi diberi judul dan cover seperti novel. Atau buku yang temanya sangat bagus, tapi menjadi kurang laku karena si penulis kurang piawai dalam mengatur konsep nilai jual.
* * *
Tapi perkecualian pasti ada. Buku kumpulan puisi RUANG LENGANG karya mas Epri Tsaqib adalah contoh buku “indie label” yang isinya bagus dan terbukti laris manis. Biasanya, buku kumpulan puisi selalu gagal di pasaran. Pembelinya sangat sedikit. Tapi buku Ruang Lengang justru laris manis, saat ini sudah masuk cetakan ke-2, dan penulisnya sempat diundang ke Malaysia untuk membedah buku tersebut.
Dan ketika mas Epri menerbitkan buku berikutnya – Para Guru Kehidupan – nasib baik pun kembali terulang. Buku ini menjadi best seller dan mas Epri kembali harus repot diundang ke sana ke mari.
Salah satu kunci sukses Mas Epri adalah kecermatannya dalam memilih konsep buku yang bagus, mengemas nilai jual yang tinggi, dan mengelola sistem marketing yang efektif.
Terus terang, saya banyak belajar dari buku-buku mas Epri yang diterbitkan secara self publishing. Hasil belajar tersebut – antara lain – yang saya terapkan pada buku Cara Dahsyat Menjadi Penulis Hebat. Alhamdulillah, buku ke-4 saya ini pun bisa diterima dengan baik oleh teman-teman yang ingin menjadi penulis sukses. Bahkan, buku ini sudah memasuki cetakan ke-2. Karena buku ini, alhamdulillah saya pun sering diundang ke sejumlah kota di Indonesia.
Nah, teman-teman mungkin tertarik untuk menerbitkan buku self publishing. Tidak sekadar menerbitkan, tapi ingin agar buku Anda bagus dari segi kualitas, konsep nilai jual dan marketing, serta laris manis di pasaran. Ingin seperti itukah?
Jika ya, teman-teman bisa bergabung dengan kegiatan bertajuk:
[INFO] Soal Ijin Penerbitan
Jul 5, '06 12:51 AM
untuk semuanya
Saya seringkali ditanya oleh sejumlah orang tentang ijin penerbitan. Umumnya mereka bilang:
"Saya mau menerbitkan buletin. Perlu minta ijin enggak?"
"Kalau mau mendirikan majalah, minta ijinnya ke mana?"
"Kalau saya mau menerbitkan sendiri buku saya - indie label - bagaimana proses perijinannya?"
Heran juga sih, bagaimana ceritanya sehingga banyak orang yang berpikir bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan penerbitan itu mesti pakai ijin?
Saya tidak tahu kondisi di negara lain. Tapi di Indonesia.. sejak orde baru berakhir, berakhir pula segala aturan mengenai perijinan media massa atau yang semacam itu. Dulu memang ada SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbita Pers) yang menyebabkan pemerintah dapat mengendalikan semua penerbitan yang ada di Indonesia. Saat itu, kita sering melihat adanya "media bawah tanah" yang diterbitkan secara ilegal. Satu di antaranya adalah majalah SABILI.
Sejak jaman reformasi 1998, praktis tak ada lagi aturan atau perijinan dalam penerbitan pers/media/buku yang berlaku di indonesia. Artinya, "Ente mau nerbitin apa saja, mulai dari media atau buku yang bernuansa dakwah hingga media/buku yang penuh dengan esek-esek, terserah ente. Silahkan terbitkan semau ente, karena tak ada yang melarang." (Ini terlepas dari masalah moral lho...)
Kalaupun ada ijin, itu hanya sebatas IJIN PERUSAHAAN. Dalam mengurus sebuah ijin perusahaan, setahu saya si pemilik usaha harus mendaftarkan jenis usaha apa saja yang akan mereka jalankan. Jadi jika sebuah perusahaan menndaftarkan jenis usaha: penerbitan, percetakan, event organizer, jasa penulisan, maka ia hanya boleh menjalankan usaha yang berhubungan dengan keempat jenis usaha tersebut.
Dan ijin tersebut hanya perlu diurus satu kali saja, yakni ketika si perusahaan mengurus ijin usaha. Setelah itu, jika si perusahaan hendak menerbitkan buku misalnya, ia tak perlu lagi meminta ijin untuk menerbitkan buku tersebut. Silahkan langsung terbitkan saja.
Dan jika si penerbit buku adalah perorangan, maka sama sekali tak ada ijin yang harus ia urus. Kecuali ijin pada orang tua atau istri/suami barangkali, agar usahanya direstui, hehehehe...
Jadi, jika ada di antara anda yang ingin menerbitkan buku secara indie label, ingin membuat bulletin masjid, dan sebagainya, silahkan langsung terbitkan saja. Tak perlu repot-repot memikirkan perijinan.
* * *
Oke, sekarang kita masuk pada sejumlah pertanyaan yang sering muncul sehubungan dengan perijinan ini.
Pertanyaan 1:
Kalau dalam buku saya ada kutipan data dari penulis lain, atau ada profil tokoh masyarakat tertentu, apa tetap tidak perlu ijin?
Jawaban:
Ijin seperti ini sama sekali tidak berhubungan dengan ijin penerbitan. Ini adalah ijin penulisan. Tentu anda bisa membedakannya, bukan?
Sekadar bonus info: hal2 seperti ini pun sebenarnya tak perlu ijin. Kita tak perlu meminta ijin pada seorang penulis jika kita mengutip bagian tertentu dari tulisan mereka. Cukup sebutkan sumbernya yang jelas, itu saja!
(Tentu saja, ada standar tentang BERAPA BANYAK dari tulisan orang lain yang boleh dikutip. Seperlunya saja. Entar kalo kebanyakan, malah jadi menjiplak. Ini sudah lain urusannya)
Pertanyaan 2:
Kalau tak perlu pakai ijin, bagaimana dengan urusan perpajakan?
Jawaban:
Perijinan adalah masalah hukum, sedangkan perpajakan adala masalah bisnis atau perusahaan. Keduanya adalah hal yang berbeda.
Perpajakan itu terkait dengan ijin usaha, badan usaha, dan sejenisnya. Jika buku anda diterbitkan oleh sebuah perusahaan, maka ada pajak tertentu yang harus anda keluarkan.
Tapi jika buku atau buletin tersebut diterbitkan oleh perorangan, atau organisasi tertentu seperti remaja masjid atau pers kampus dan sebagainya, tak usah takut karena anda tak akan dikejar-kejar oleh petugas pajak.
Yang perlu diingat: Pajak yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan (atas usahanya dalam menerbitkan buku) sama sekali tidak ada hubungannya dengan IJIN TERBIT. Jadi, buku itu ada ijin terbitnya atau tidak, pajaknya tetap dikenakan.
Pertanyaan 3:
Bagaimana dengan ISBN atau ISSN?
Jawaban:
Kedua hal ini, setahu saya, hanya berhubungan dengan PENDAFTARAN sebuah terbitan agar TERDAFTAR di database tertentu. Pendaftaran ISBN/ISSN tidak bersifat wajib.
Kalau buku kita punya ISBN, maka ia akan terdaftar di arsip nasional selama 50 tahun. Jika tanpa ISBN, maka buku tersebut tidak terdaftar di arsip nasional. Sekarang terserah anda, apakah masalah "terdaftar" ini bagi anda penting atau tidak? Apapun jawaban anda, yang jelas ISBN/ISSN ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan perijinan.
Info lain mengenai ISBN bisa dibaca di http://id.wikipedia.org/wiki/ISBN
Pertanyaan 4:
Kalau saya menerbitkan majalah kampus misalnya, apa tak perlu minta ijin pada rektor?
Jawaban:
Ijin seperti ini sama sekali berbeda dan tak ada hubungannya dengan tema perijinan yang kita bahas sejak awal tulisan ini. Ijin pada rektor atau pada kepala sekolah atau pada pak lurah dan sejenisnya, sebenarnya itu cuma ijin yang berhubungan dengan etika atau strategi politik tertentu. Jika majalah kampus anda hendak diakui oleh rektorat, ya silahkan minta ijin pada pak rektor. Kalau perlu, tempatkan nama dia sebagai dewan penasehat.
Kalau anda tidak suka pada hal-hal seperti ini, tak masalah. Langsung saja terbitkan media anda tanpa minta ijin ke manapun. Tapi jangan marah jika suatu saat nanti media anda tidak diakui oleh pihak universitas, bahkan mereka tak bersedia memberikan subsisi dana.
Jadi sekali lagi, ini hanya soal etika dan strategi politik.
* * *
Demikian sedikit info dari saya. Mohon maaf dan revisinya jika ada yang salah. Sebab saya sebenarnya bukan orang hukum apalagi petugas perpajakan. Bagi siapa saja yang punya info lebih lengkap dan detil mengenai hal ini, mohon pencerahannya :)
[INFO] Perizinan VS Perpajakan
Jul 18, '07 5:51 AM
untuk semuanya
Sejak saya menulis artikel tentang perizinan, banyak sekali orang yang bertanya, mengait-ngaitkan antara perizinan dengan perpajakan. Sebenarnya, pertanyaan seperti ini membuat saya heran. Sebab perizinan dan perpajakan sebenarnya tak ada hubungan apapun.
Bahkan dalam tulisan saya yang dulu itu, sudah saya sebutkan:
Pertanyaan 2:
Kalau tak perlu pakai ijin, bagaimana dengan urusan perpajakan?
Jawaban:
Perijinan adalah masalah hukum, sedangkan perpajakan adalah masalah bisnis atau perusahaan. Keduanya adalah hal yang berbeda.
Perpajakan itu terkait dengan ijin usaha, badan usaha, dan sejenisnya. Jika buku anda diterbitkan oleh sebuah perusahaan, maka ada pajak tertentu yang harus anda keluarkan.
Tapi jika buku atau buletin tersebut diterbitkan oleh perorangan, atau organisasi tertentu seperti remaja masjid atau pers kampus dan sebagainya, tak usah takut karena anda tak akan dikejar-kejar oleh petugas pajak.
Yang perlu diingat: Pajak yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan (atas usahanya dalam menerbitkan buku) sama sekali tidak ada hubungannya dengan IJIN TERBIT. Jadi, buku itu ada ijin terbitnya atau tidak, pajaknya tetap dikenakan.
Sepertinya, penjelasan yang cukup panjang di atas dianggap belum cukup, sehingga masih ada juga orang yang menanyakan hal yang sama.
Yang terkini adalah sebuah personal message dari seorang teman, bunyinya:
bagaimana seandanya kita menerbitkan buku secara ondependent (self publishing) dengan tidak mengurus izin dari manapun kepada siapapun, kemudian buku yang kita terbitkan tersebut kita jual ke publik dalam jumlah besar dan dengan strategi promosi yang seperti dilakkukan penerbit-penerbit legal kebanyakan (launching, rilis media massa, brosur, pamflet, dlsb). anggap saja buku ini dicetak dalam jumlah besar dan mendapat respon yang besar pula dari masyarakat. apakah kemudian tidak ada tuntutan dari pihak perpajakan (karena kita telah melakukan proses perdagangan buku), mengingat misalnya buku yang kita terbitkan tersebut laku keras bahkan mengalami cetak ulang.
Well, sebenarnya saya perlu tegaskan bahwa SAYA BUKAN AHLI PAJAK. Tapi:
• Saya dulu kuliah di akuntansi, sehingga sedikit-sedikit mengerti soal pajak.
• Kebetulan banget, tadi malam saya baru saja menghadiri acara diskusi perpajakan bersama mas Ikhwan Sopa, seorang mantan petugas pajak yang kini menjadi trainer motivasi. Kebetulan banget, salah satu hal yang dibahas dalam pertemuan tersebut adalah kasus-kasus seperti yang ditanyakan pada personal message di atas.
Sebelum saya jelaskan, saya merasa perlu sekali lagi menegaskan bahwa PERPAJAKAN dan PERIZINAN adalah HAL YANG SANGAT JAUH BERBEDA.
Seharusnya, ketika kita bicara soal perizinan, perpajakan sama sekali tak perlu disingung-singgung. Mungkin dalam praktek bisnis, ada hubungan di antara mereka. Tapi demi Tuhan saya tegaskan: Membicarakan perpajakan di sela-sela pembicaraan mengenai perizinan akan menyebabkan topik pembicaraan melebar pada hal-hal yang tidak seharusnya.
Sekarang mari kita bahas pertanyaan yang dilontarkan pada personal message di atas.
Si teman ini berandai-andai, seandainya dia menerbitkan buku secara self publishing dan tanpa mengurus izin ke manapun (maksudnya izin yang bersifat hukum), apakah itu boleh?
Ya, tentu saja boleh. Pada tulisan sebelumnya, saya juga kan menegaskan bahwa menerbitkan buku atau media cetak sama sekali tidak membutuhkan izin apapun yang bersifat hukum.
Jadi, pertanyaan pada awal kalimat tersebut sebenarnya SUDAH FINAL, dan jawabannya pun SUDAH JELAS.
Yang membuat saya "pusing" adalah karena si teman ini LAGI-LAGI menghubungkan antara perizinan dengan perpajakan:
Jika buku tersebut best seller dan saya mendapat penghasilan miliaran rupiah dari buku itu, apa saya nanti tidak dikejar-kejar petugas pajak?
Nah, menurut saya pertanyaan ini rancu, sebab ia sudah LARI dari topik mengenai perizinan. Si penulis dikejar-kejar petugas pajak atau dikejar-kejar satpam atau dikejar-kejar siapapun, itu sama sekali tak ada hubungannya dengan masalah PERIZINAN PENERBITAN BUKU/MEDIA MASSA.
Walau saya bukan ahli pajak, tapi saya bisa menjelaskan secara umum sebagai berikut:
Ketika petugas pajak mengejar-ngejar dirimu, itu sama sekali bukan disebabkan buku kamu diterbitkan tanpa ada izin. Petugas pajak tak akan peduli pada hal itu, percayalah! Sebab masalah perizinan penerbitan bukan urusan mereka. Buku kamu diterbitkan pakai izin atau tidak, si petugas pajak tetap akan mengejar-ngejar kamu bila mereka menganggap kamu perlu dikejar-kejar.
Lantas apa yang akan membuat petugas pajak mengejar-ngejar saya?
Hm... penjelasannya sebenarnya sangat panjang. Tapi saya tak akan menguraikannya secara detil, karena:
• Sekali lagi saya tegaskan bahwa saya bukan ahli pajak.
• Saya tak berkompeten untuk bicara soal perpajakan.
• Topik "perizinan penerbitan buku/media cetak" memang sama sekali tak ada hubungannya dengan perpajakan.
Saya akan memberikan penjelasan singkat saja sebagai berikut:
Jika kamu khawatir dikejar-kejar petugas pajak, cobalah belajar mengenai perpajakan, bukan mengenai perizinan penerbitan buku. Demi Tuhan, kamu sama sekali tak perlu menghubung-hubungkan mereka berdua!
Semoga bermanfaat, maaf bila tidak berkenan.
Jonru
Kata kunci: dunia_penulisan, penerbitan_buku, kiat_penulisan
Sebelumnya: Dani Ardiansyah is NOT the lucky boy
Selanjutnya : Menurut Sya2, Buku "Menerbitkan Buku Itu Gampang" seperti harta karun
=======================================================================
Proses editing naskah sangat perlu dilakukan sebelum naskah itu diterbitkan karena bisa saja terjadi kesalahan yang tidak disengaja mau pun salah tulis, juga ketidaktahuan penulis tentang EYD hingga selalu ditolak penerbit mayor karena tata penulisan yang masih kacau. Butuh bantuan jasa editing naskah kami?
[INFO] Perizinan VS Perpajakan
Jul 18, '07 5:51 AM
untuk semuanya
Sejak saya menulis artikel tentang perizinan, banyak sekali orang yang bertanya, mengait-ngaitkan antara perizinan dengan perpajakan. Sebenarnya, pertanyaan seperti ini membuat saya heran. Sebab perizinan dan perpajakan sebenarnya tak ada hubungan apapun.
Bahkan dalam tulisan saya yang dulu itu, sudah saya sebutkan:
Pertanyaan 2:
Kalau tak perlu pakai ijin, bagaimana dengan urusan perpajakan?
Jawaban:
Perijinan adalah masalah hukum, sedangkan perpajakan adalah masalah bisnis atau perusahaan. Keduanya adalah hal yang berbeda.
Perpajakan itu terkait dengan ijin usaha, badan usaha, dan sejenisnya. Jika buku anda diterbitkan oleh sebuah perusahaan, maka ada pajak tertentu yang harus anda keluarkan.
Tapi jika buku atau buletin tersebut diterbitkan oleh perorangan, atau organisasi tertentu seperti remaja masjid atau pers kampus dan sebagainya, tak usah takut karena anda tak akan dikejar-kejar oleh petugas pajak.
Yang perlu diingat: Pajak yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan (atas usahanya dalam menerbitkan buku) sama sekali tidak ada hubungannya dengan IJIN TERBIT. Jadi, buku itu ada ijin terbitnya atau tidak, pajaknya tetap dikenakan.
Sepertinya, penjelasan yang cukup panjang di atas dianggap belum cukup, sehingga masih ada juga orang yang menanyakan hal yang sama.
Yang terkini adalah sebuah personal message dari seorang teman, bunyinya:
bagaimana seandanya kita menerbitkan buku secara ondependent (self publishing) dengan tidak mengurus izin dari manapun kepada siapapun, kemudian buku yang kita terbitkan tersebut kita jual ke publik dalam jumlah besar dan dengan strategi promosi yang seperti dilakkukan penerbit-penerbit legal kebanyakan (launching, rilis media massa, brosur, pamflet, dlsb). anggap saja buku ini dicetak dalam jumlah besar dan mendapat respon yang besar pula dari masyarakat. apakah kemudian tidak ada tuntutan dari pihak perpajakan (karena kita telah melakukan proses perdagangan buku), mengingat misalnya buku yang kita terbitkan tersebut laku keras bahkan mengalami cetak ulang.
Well, sebenarnya saya perlu tegaskan bahwa SAYA BUKAN AHLI PAJAK. Tapi:
• Saya dulu kuliah di akuntansi, sehingga sedikit-sedikit mengerti soal pajak.
• Kebetulan banget, tadi malam saya baru saja menghadiri acara diskusi perpajakan bersama mas Ikhwan Sopa, seorang mantan petugas pajak yang kini menjadi trainer motivasi. Kebetulan banget, salah satu hal yang dibahas dalam pertemuan tersebut adalah kasus-kasus seperti yang ditanyakan pada personal message di atas.
Sebelum saya jelaskan, saya merasa perlu sekali lagi menegaskan bahwa PERPAJAKAN dan PERIZINAN adalah HAL YANG SANGAT JAUH BERBEDA.
Seharusnya, ketika kita bicara soal perizinan, perpajakan sama sekali tak perlu disingung-singgung. Mungkin dalam praktek bisnis, ada hubungan di antara mereka. Tapi demi Tuhan saya tegaskan: Membicarakan perpajakan di sela-sela pembicaraan mengenai perizinan akan menyebabkan topik pembicaraan melebar pada hal-hal yang tidak seharusnya.
Sekarang mari kita bahas pertanyaan yang dilontarkan pada personal message di atas.
Si teman ini berandai-andai, seandainya dia menerbitkan buku secara self publishing dan tanpa mengurus izin ke manapun (maksudnya izin yang bersifat hukum), apakah itu boleh?
Ya, tentu saja boleh. Pada tulisan sebelumnya, saya juga kan menegaskan bahwa menerbitkan buku atau media cetak sama sekali tidak membutuhkan izin apapun yang bersifat hukum.
Jadi, pertanyaan pada awal kalimat tersebut sebenarnya SUDAH FINAL, dan jawabannya pun SUDAH JELAS.
Yang membuat saya "pusing" adalah karena si teman ini LAGI-LAGI menghubungkan antara perizinan dengan perpajakan:
Jika buku tersebut best seller dan saya mendapat penghasilan miliaran rupiah dari buku itu, apa saya nanti tidak dikejar-kejar petugas pajak?
Nah, menurut saya pertanyaan ini rancu, sebab ia sudah LARI dari topik mengenai perizinan. Si penulis dikejar-kejar petugas pajak atau dikejar-kejar satpam atau dikejar-kejar siapapun, itu sama sekali tak ada hubungannya dengan masalah PERIZINAN PENERBITAN BUKU/MEDIA MASSA.
Walau saya bukan ahli pajak, tapi saya bisa menjelaskan secara umum sebagai berikut:
Ketika petugas pajak mengejar-ngejar dirimu, itu sama sekali bukan disebabkan buku kamu diterbitkan tanpa ada izin. Petugas pajak tak akan peduli pada hal itu, percayalah! Sebab masalah perizinan penerbitan bukan urusan mereka. Buku kamu diterbitkan pakai izin atau tidak, si petugas pajak tetap akan mengejar-ngejar kamu bila mereka menganggap kamu perlu dikejar-kejar.
Lantas apa yang akan membuat petugas pajak mengejar-ngejar saya?
Hm... penjelasannya sebenarnya sangat panjang. Tapi saya tak akan menguraikannya secara detil, karena:
• Sekali lagi saya tegaskan bahwa saya bukan ahli pajak.
• Saya tak berkompeten untuk bicara soal perpajakan.
• Topik "perizinan penerbitan buku/media cetak" memang sama sekali tak ada hubungannya dengan perpajakan.
Saya akan memberikan penjelasan singkat saja sebagai berikut:
Jika kamu khawatir dikejar-kejar petugas pajak, cobalah belajar mengenai perpajakan, bukan mengenai perizinan penerbitan buku. Demi Tuhan, kamu sama sekali tak perlu menghubung-hubungkan mereka berdua!
Semoga bermanfaat, maaf bila tidak berkenan.
Jonru
Kata kunci: dunia_penulisan, penerbitan_buku, kiat_penulisan
Sebelumnya: Dani Ardiansyah is NOT the lucky boy
Selanjutnya : Menurut Sya2, Buku "Menerbitkan Buku Itu Gampang" seperti harta karun
=======================================================================
JASA EDITING NASKAH BERHADIAH!
Menulis adalah kegiatan dan hobi yang sangat menyenangkan dan
digemari oleh banyak orang—belum lagi kalau tulisan itu dibukukan hingga dapat
dibaca oleh masyarakat luas. Kamu bercita-cita ingin menjadi penulis dengan menuangkan
idemu dalam bentuk sebuah buku yang berkualitas?
Namun, sekadar ditulis saja tak cukup untuk melengkapi kualitas tersebut. Diperlukan pula tata bahasa yang sesuai dengan EYD. Masih merasa lemah dalam kualitas EYD? Oleh karena itulah, blogger Menulis Bukti Hidupku (MIBUKU) siap membantu dengan menyediakan jasa editing naskah dalam bahasa Indonesia agar isi bukumu semakin berkualitas!
Setiap naskah memerlukan proses
editing sebelum dijual. Tapi tidak semua penulis bisa melakukan editing
naskahnya dengan baik. Ia memerlukan bantuan jasa editing naskah. Teman-teman
penulis yang membutuhkan jasa, akan mendapatkan editing meliputi koreksi EYD seperti
misalnya :
·
Kalimat
yang salah atau kurang,
·
Tajwid
bahasa (pelafalan huruf dan kata),
· Kata penghubung apa bagusnya digunakan,
· Kata depan,
·
Kesalahan
ketik (typo),
·
Kalimat
baku dan tak baku,
·
Penggunaan
huruf kapital, huruf miring dll,
·
Penggunaan
tanda baca yang tepat seperti elipsis, petik ganda, petik tunggal, tanda hubung
seperti en-dash dan em-dash dsb,
·
dan
masih banyak lagi…
Proses editing naskah sangat perlu dilakukan sebelum naskah itu diterbitkan karena bisa saja terjadi kesalahan yang tidak disengaja mau pun salah tulis, juga ketidaktahuan penulis tentang EYD hingga selalu ditolak penerbit mayor karena tata penulisan yang masih kacau. Butuh bantuan jasa editing naskah kami?
Editing yang kami lakukan tidak meliputi isi naskah seperti
misalnya pengecekan kebenaran isinya. Dalam editing,
kami juga tidak akan mengubah gaya tulisan, makna, dan alur cerita yang kamu
tulis.
Apa untungnya mencari jasa editing naskah
sendiri? Dengan mencari jasa editing naskah sendiri, tentu saja file hasil editing secara otomatis akan
menjadi milik penulis sepenuhnya. Beda kalau diedit secara langsung oleh
penerbit karena file hasil editingnya
tak akan diberikan.
Hanya dengan TARIF JASA EDITING sebesar Rp 200.000 (DUA
RATUS RIBU RUPIAH) maksimal 100 hal (format A4, font TNR 12, spasi 1.5, margin
normal) kamu bisa mendapatkan hasil editing naskahmu hingga bisa mempelajari
kesalahan kepenulisanmu sendiri. Jadi sekalian bisa belajar EYD secara mandiri,
kan?
Tak semua penulis menyadari EYD itu
penting dalam menulis. Padahal hal itu sangat mempengaruhi baik dan buruknya
tata penulisan mereka agar pembaca dapat memahami tulisan seorang penulis. Baik
dan buruknya tata kepenulisan itu merupakan bukti serius atau tidaknya penulis
itu berkarya. Jika tak teliti dalam EYD, penulis hanya menulis kata yang tidak
berarti.
Dengan menggunakan jasa kami, kami
tidak bertanggung jawab atas isi dan konten yang ada di dalam naskah tersebut karena
merupakan tanggung jawab penulis naskah seutuhnya. Selain itu, penulis juga harus mencantumkan dalam buku tersebut
bahwa editor bukunya adalah MENULIS
BUKTI HIDUPKU.
BONUS:
Jasa editing naskah kami ada
bonusnya, loh! Tiap naskah yang masuk akan mendapatkan 1 (satu) buah buku
koleksi Creepy Pasta’s Group Sister yang akan dikirim langsung ke alamat kamu
(persediaan terbatas). Judul buku bisa dipilih.
Punya naskah yang mau diterbitkan? Ingin melakukan self
editing, tapi merasa kurang memahami EYD? Silakan kontak kami di sini untuk
mendiskusikannya:
Facebook (inbox only) : ARIESKA ARIEF
& MENULIS BUKTI HIDUPKU
Pin BB (ping! only) : 764A7969
Ponsel (SMS only) : 085 399 566 422
0 komentar:
Posting Komentar