Sret..
Pemuda itu mengukir satu garis miring di tembok di atas enam garis tegak lurus
yang sudah diukirnya pada hari-hari sebelumnya. Ia lalu menatap beberapa garis-garis yang telah diukirnya dengan sedih.
“Masih lama…,” keluhnya.
Ya, ia sedang menghitung hari
... menuju kebebasannya. Ia lalu teringat masa lalunya…
...
... coki bela diri sambil akrobat
Malam itu di sekitar jalanan lorong, cukup ramai dengan adanya aksi
pengejaran yang dilakukan oleh beberapa orang polisi. Mereka tengah meringkus
para bandar dan penyalahgunaan obat Dextro yang sedang berpesta pora di sebuah
kamar kos. Tentu saja para pengguna Dextro yang sedang mabuk itu segera
melarikan diri menghindari kejaran polisi.
Glegar! Terdengar suara guntur yang menggelegar. Cahaya kilatnya seolah
memecah langit. Suasana malam jadi mencekam begitu hujan mengguyur.
Brak! Pemuda yang tengah berlari di jalanan yang sepi itu terjerembab. Ia
berusaha untuk segera bangkit dan melanjutkan pelariannya. Napasnya terdengar
tersengal-sengal. Ia berbalik ke belakang. Aman. Tak ada yang mengejarnya.
Akhirnya pemuda tersebut berhenti untuk mengatur napas sambil meletakkan kedua
tangannya di atas lutut.
”Hosh-hosh...”
”Coki,” sapa sebuah suara.
Pemuda yang dipanggil Coki itu langsung menengadahkan wajahnya karena
terkejut. Ia langsung melihat seorang gadis yang baru saja keluar dari balik
tembok di hadapannya. ”Kile?” ia menyebutkan nama gadis itu.
Gadis yang bernama Kile itu perlahan mendekatinya.
Coki melangkah mundur karena masih tercengang-cengang. ”Ngapain kamu di
sini?!” tanyanya panik.
Kile terdiam dan menunduk sedih. Coki langsung dapat membaca ekspresi itu.
”Ow! Begitu rupanya,” komentarnya sinis. ”Bagus! Aku tak nyangka kamu tega
melakukan ini padaku.”
Kile menggigit bibir karena cemas.
”Kenapa kau diam saja?! Ayo jawab! Mengapa kau melakukan ini padaku,
b****t?!” pekik Coki geram. Raungannya menggema.
”Cok, aku melakukan ini demi kebaikanmu! Aku tak bermaksud jahat padamu!”
Kile menjelaskan isi hatinya. ”Aku melakukan ini karena aku peduli sama kamu!
Aku tak ingin membiarkanmu semakin tersesat!”
”Dengan menjualku pada polisi, kau bilang demi kebaikanku?!” suara Coki
terdengar miris. Ia berusaha menahan emosinya. ”Dengan mengirimku ke penjara,
kau bilang peduli?! Aku pikir kita teman baik! Ternyata aku salah! Kau jahat!
Kau jahat, Kil!” semprotnya berang.
”Cok, dengarkan aku dulu!” Kile berusaha menjelaskan lebih dalam lagi.
Namun Coki telanjur melarikan diri lagi. Ia berlari sekencang-kencangnya
menghindari Kile dan para polisi sebisa mungkin.
”Cok! Cokiii!! Tungguuu!! Jangan pergi! Aku hanya berusaha untuk
menolongmu!” pekik Kile sambil berlari mengejar Coki yang berang sekuat tenaga.
Namun tentu saja Coki tak mau ambil pusing dengan berhenti dan mendengarkan
kata-kata Kile. Ia terus saja berlari dan berlari memendam kepedihan. ”Benci!
Aku benci padamu, Kil! Aku benci!!”
Akhirnya tibalah ia di persimpangan. Ia celingukan kanan kiri karena
bingung mau lewat mana. Ia menyapu wajahnya yang basah karena air hujan.
Akhirnya ia belok kiri.
Ternyata di ujung jalan lorong yang dipilihnya itu terlihat mobil polisi.
Coki bergegas berbalik arah. Ternyata para polisi di dalam mobil itu melihatnya
dan segera keluar untuk mengejarnya.
”Hey! Tunggu! Berhenti! Kalo tidak..,” terdengar suara ancaman polisi itu.
Coki tak peduli dan terus berlari. Lalu terdengar suara tembakan yang
sengaja dimelesetkan sebagai gertakan. Coki semakin berlari sekuat tenaga.
Langkahnya terhenti lagi begitu melihat beberapa orang polisi sedang berjaga di
depan lorong yang sedang dilaluinya itu. Coki melangkah mundur. Dirinya sedang
terkepung.
Coki berbalik dan melihat polisi yang mengejarnya tadi perlahan
mendekatinya sambil menodongkan pistol ke arahnya. Ia sudah tak punya harapan
lagi untuk kabur. Para polisi di depannya pun melakukan hal yang sama untuk
mengepungnya.
”Menyerahlah! Kau sudah dikepung!” pekik salah seorang polisi.
Coki belum putus asa. Ia kemudian mengambil sebalok kayu dengan sikap
mengancam. ”Ayo! Kemari! Aku sudah tak takut lagi!” pekiknya putus asa.
”Letakkan benda itu! Kalau tidak, kami...”
”’Kami apa’, heh?! Tembak maksudnya?!” Coki melanjutkan. Ia lalu
tertawa-tawa. ”Kalian para polisi, tahunya cuma menembak orang saja! Kalo
berani, ayo maju! Lawan saya satu per satu kalo kalian memang bukan pengecut!”
Para polisi yang sedang mengepungnya itu tak peduli. Mereka tetap berjalan
perlahan menghampirinya dengan sikap waspada.
”Munduur! Aku bilang mundur!” pekik Coki sambil mengayunkan balok kayu itu.
”Jangan mendekat!!” Coki mulai kehilangan akal karena stres.
”Kamu jangan melawan kalau mau selamat! Angkat tangan! Cepat!” pinta polisi
itu. ”Kalau tidak, kami tak punya pilihan!”
Coki tak tahu harus berbuat apa lagi untuk melindungi dirinya. Ia
menggeleng-gelengkan kepalanya dengan putus asa. ”Tidaak! Tidaak! Kalian dengar
kataku?!”
Ketika para polisi itu berusaha menyergapnya, Coki mengayunkan kayu itu
hingga menghantam bahu salah seorang dari mereka. Bugh!
Coki merapatkan punggungnya ke tembok sambil mengacungkan kayu tersebut ke
arah polisi yang semakin hati-hati mendekatinya. ”Tenanglah jika kau tak mau
terluka!” pekik si polisi.
Napas Coki tersengal-sengal. ”Kalian takkan mudah menggiringku begitu saja
ke penjara!” Ia lalu tertawa-tawa.
Kile muncul dan langsung berteriak, ”Cokii! Menyerahlah! Kamu jangan bodoh!
Salah salah, mereka bisa melukaimu! Dengarkan aku! Aku tak ingin terjadi
sesuatu denganmu!”
Coki tersentak begitu mendengar suara itu. ”Diam kamu, dasar pengkhianat! Sesuatu
telah terjadi padaku! Kamu tahu apa?! Kamu kan yang melaporkan aku?! Jadi untuk
apa kamu mencemaskanku lagi? Jawab!” pekiknya emosi.
Perlahan Kile mengangguk sedih dengan berat hati. Gadis itu kemudian
tertunduk lunglai.
Bruk. Spontan kayu yang digenggam Coki kendur dan terjatuh. Ia menggeleng
sedih. ”Kau memang jahat padaku, Kil! Kau memang ingin melihatku meringkuk di
penjara kan, Kil?!”
Kile tak menjawab. Air matanya mengalir bersama dengan jatuhnya hujan. ”Aku
melakukan ini karena aku sayang padamu, Cok,” gumamnya seorang diri. Tentu saja
Coki tak mendengarnya. ”Aku ingin kamu jadi orang baik. Aku tak mau melihatmu
hancur dengan penyalahgunaan obat-obatan Dextro itu.”
Para polisi itu memiliki kesempatan untuk segera membekuk Coki yang terpaku
melihat Kile menangis. Coki pasrah saja saat kedua tangannya dibelenggu ke
belakang. Ia lalu diseret masuk ke dalam mobil polisi dengan kasarnya. Namun
pandangan Coki yang sedih tetap tertuju pada Kile.
”Aku ... sudah membuat Kile menangis karenaku.”
***
apa jadinya kalau kau mengalami ancaman kematian tiap bulannya selama setahun penuh di usia 13 tahun? saksikan keseruan novel genre horor thirller ini di STORIAL. KAMU AKAN MATI DI USIA 13 TAHUN karya THIRTEEN yang dijamin beda daripada horor kebanyakan untuk baca silakan klik gambar kover di atas :=(D
0 komentar:
Posting Komentar