Aku harus segera
mencari sekiranya di mana warung itu berada atau solatku akan terlalaikan. Aku
jadi seperti orang yang kelaparan saja. Bingo! Akhirnya kutemukan juga tempat
yang kumaksud itu di pinggir jalan. Aku segera duduk di salah satu kursi
plastik—di salah satu tenda biru—dan memesan menu mereka di gerobak sebelah.
“Kebab?” Si juru
masaknya langsung bertanya sebelum kumemesan variasi menu mereka.
Kumengernyitkan kening.
“Kok tahu, sih?”
Si juru masak itu
tersenyum saja sambil mempersiapkan menu yang kumaksud. “Iyalah tahu! Soalnya
akulah yang sudah mengirimkan daftar menunya di otakmu dan kau memesan kebab. Masa
kau tak ingat?” Ia mendelikiku. “Waktu kau solat tadi, kau kan membayangkan
kebab.”
“Masa, sih?! Kok bisa?”
Karena merasa ganjil, akhirnya kuputuskan untuk membatalkan pesananku itu.
“Nggak jadi, deh. Mi bakso aja!” pesanku sambil duduk di kursi semula.
“Huh, bosen makan mi
bakso mulu,” gerutuku. “Dasar penjual pinggiran! Lagaknya saja yang
profesional, tapi pasti rasanya biasa saja,” komentarku pedas, setengah
berbisik.
Kuawasi pedagang
sekitarnya yang tampak berbisik-bisik sambil melirikku. Ada apa, sih? Iya sih,
aku memang ingin coba makan kebab. Tapi karena penjualnya aneh, mending ku-cancel saja.
“Airnya juga pasti air
tak dimasak. Huh! Rasanya seperti air cuci piring.”
Aku terus menunggu
sambil meneguk segelas air yang dibawakan penjual itu. Seorang pemuda mabuk
kemudian duduk di sampingku. Ih, resek banget deh! Sudah suaranya berisik, bau
napasnya pun turut mengganggu. Lebih baik aku pindah bangku saja…
***
Sepertinya ada yang
kurang hari ini. Setelah solat, kuberusaha mengingat-ingat sesuatu. Apa, ya? Untung
saja aku melihat beberapa orang kenalanku di kampus yang tengah nongkrong di
sana, di warung tadi.
Kubergabung di
tengah-tengah mereka sambil bertanya, “Kalian daritadi berada di sini, kan? Apa
kalian lihat aku makan apa saja di sini?”
Mereka saling bertukar
pandangan. “Tadi kau makan mi bakso, kan?”
“Seharusnya sih begitu,
tapi…” Kumengelus perutku lagi. “Rasa-rasanya tak ada yang meluncur di perut
ini, deh. Rasanya masih belum makan apa-apa. Aku bahkan tak tahu bagaimana
rasanya mi bakso itu. Apa mi bakso itu enak? Seperti apa rasanya?” kubertanya antusias.
Kalau benar iya, semua
makanan tadi seolah tak masuk-masuk ke perutku. Sejak kapan aku makannya?!
***
Keanehan kembali
menyambarku begitu kumembeli minuman di sebuah ruko. Aku menunjuk sebuah botol
minuman berwarna bening karena penasaran seperti apa rasanya. Setelah
membayarnya, kuteguk minuman itu dan … hm, enak sekali rasanya! Segeeeerrr…
Tak cukup mencicipi
minuman itu, kupandangi lagi sekitarku. Terdapat banyak produk makanan baru
yang perlu dicoba, nih! Aromanya lezat-lezat, lagi. Menggiurkan! Kuberlari ke
gerobak penjual yang menjual makanan berbentuk bulat yang ditusuk lidi.
Oke, selanjutnya ke
warung yang menjual jajanan warna-warni di sana…
***
Astaga! Sebenarnya apa
yang terjadi padaku? Mengapa aku jadi seaneh ini? Aku pun mencoba mencari tahu
ketidakberesan itu dengan … mengunjungi kembali warung tenda di tepi jalan
sana. Sepertinya ketidakberesan yang terjadi padaku itu terjadi semenjak aku
memesan salah satu menu di sini. Apa yang terjadi sebenarnya?
“Percuma! Warungnya tak
bakalan buka-buka lagi,” tiba-tiba saja terdengar sebuah suara di belakangku.
Rupanya aku sampai tak menyadari kalau ada orang selain aku di sini daritadi.
Kumenoleh ke belakang
dengan wajah yang semakin menegang setelah mendengarnya dan melihat si pemabuk
yang kutemui tempo hari lalu. Ia masih saja setia meneguk botol minumannya di
tangan sampai sekarang. Entah itu minuman apa!
“Kau tampak begitu
tegang. Dengar, apa kau juga kena kutuk darinya?” bisiknya blak-blakan.
Mendengarnya, mataku
langsung saja terbelalak. Spontan saja kembali kutolehi dia. “Kena kutuk? Juga,
katamu?”
“Iya, sama. Aku juga
mengalami hal yang sama denganmu dulu,” katanya kemudian pandangannya pun
menerawang ke langit-langit tenda. “Dulu, aku tak seberantakan ini. Tapi sejak
aku bikin masalah dengannya, aku jadi seperti ini. Dulu aku pelanggan warung
ini. Namun karena waktu itu aku sedang dalam pengaruh minuman keras, aku
melakukan tindakan kriminil dan kekacauan di sini. Kuporak-porandakan warung
ini dan tentu saja tanpa mau membayarnya, apalagi ganti rugi. Tak hanya itu,
aku pun memukuli wajahnya sampai babak belur saking telernya waktu itu.”
“Terus kenapa kau bisa
jadi kayak gini?”
Ia memandangi botol
minuman kerasnya. “Dan akhirnya, ia pun mengutukku jadi begini. Ia
menghadiahkan botol ini padaku dengan bertamu langsung ke rumahku setelah ia
keluar dari rumah sakit karena kuhajar dulu. Itu karena ia tahu betul merek
botol ini adalah miras favoritku. Tentu saja kumenerimanya dengan senang hati
tanpa berpikir panjang lagi. Padahal seharusnya aku heran dan bertanya-tanya.
Kenapa orang yang kusakiti malah mau memberi hadiah padaku. Mungkin karena
waktu itu otakku buntu karena sudah diberi minuman favoritku segala dan hanya
berpikir mungkin orang itu segan padaku dan hanya mau minta maaf lewat minuman
ini, makanya aku langsung saja menerima pemberiannya dan tak bertanya-tanya
lagi. Hanya saja, mana aku tahu kalau miras ini sudah dimantra-mantrai
sebelumnya. Aku sama sekali tak menduga hal itu saking senangnya bisa
mabuk-mabukan lagi. Otakku tak bisa berpikir jernih lagi!”
Dimantra-mantrai?
Kuterbelalak dengan napas berat. Kuteringat minuman yang diberikan Pak Kentong
sebagai menu awal sambil menunggu menu pesananku tiba. Jangan-jangan…
“Dan jadilah aku
seperti ini sekarang. Sebagai seorang pemabuk berat. Aku hanya bisa meneguk
minuman keras dari botol ini secara terus menerus karena airnya tak akan pernah
ada habisnya.”
Bola mataku menggeliat
tak karuan saking tegangnya. Kasihan sekali pemuda ini!
“Sejak saat itulah,
tiap kali aku haus atau pun lapar, aku hanya bisa meneguk minuman keras ini
agar bisa mati secara perlahan. Tiap kali aku datang pun, ia malah mengusirku
dengan kasarnya. Padahal aku hanya ingin minta ampun padanya dan berjanji akan
membayar dan ganti rugi akan kerusakan yang kuperbuat dulunya. Aku hanya ingin
ia berbaik hati menarik kutukannya itu. Tapi ia tetap bersikukuh dan tak mau.
Entah sampai kapan aku harus begini…,” sahutnya pilu sambil tertunduk. “Tentu
saja kalau seringkali meminum minuman ini sebagai bahan pokok, akan merusak
tubuh sendiri.”
Kurasa kutukanku masih
jauh lebih ringan darinya karena masih bisa menikmati makanan apa pun meski aku
lupa jenis makanan dan minuman apa itu. Sedangkan ia? Ia tak bisa lagi
menikmati makanan dan minuman apa pun, selain miras!
Kutersenyum senang kemudian
melirik botol minumannya lagi. “Eh, ngomong-ngomong rasa minuman kesayanganmu
itu kayak apa, sih?” tanyaku spontan.
“Apa kau mau coba
juga?” Pemuda itu kemudian menawarkan miras di tangannya.