THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Kamis, 17 Oktober 2019

Bulan Doa




“Ngh!”
Entah mengapa malam itu tidurnya jadi gelisah sekali! Baru kali ini Chika merasa segelisah ini, padahal di kamarnya tidak gerah-gerah amat. Karena kegelisahan itulah, Chika memiringkan badan ke kiri dan ke kanan tanpa henti hingga pada akhirnya Chika pun tertidur dalam keadaan terlentang.
Mata Chika memang sedang terpejam, tapi tak menghapuskan rasa gelisahnya yang entah diakibatkan oleh apa. Padahal sebelum tidur, Chika tak memikirkan masalah berat atau beban apa pun. Chika tidur dengan relaks saja hingga entah mengapa tak lama kemudian jadi begitu gelisah.
Namun tiba-tiba saja, ia merasakan ada yang tidak beres dengannya. Entah mengapa telinganya tiba-tiba saja terasa berdengung dan sakit seperti ditusuk-tusuk. Seperti ada sesuatu yang hendak menerobos masuk ke dalam gendang telinganya. Ia merasakan seolah ada yang memaksa pulpen besar untuk masuk menembus telinganya. Sakitnya mengerikan!
Di tengah rasa sakit mencekam yang mendera kedua telinganya, tiba-tiba saja ia juga mendengar suara orang mengaji. Entah orang itu membaca ayat suci Al Qur’an yang mana, yang jelasnya lantunannya begitu merdu dan fasih. Tapi yang didengarnya hanya di bagian tengah-tengah ayat, lantunan itu mengalun begitu merdu seolah sudah lama dilantunkan, hanya saja awalannya ia tak dengar sama sekali. Secara tiba-tiba saja, lantunan ayat suci itu masuk ke telinganya.
“Hahahahaha!!!”
Namun di tengah-tengah suara orang mengaji itu, tiba-tiba saja terdengar suara tawa yang mengerikan! Suara itu bercampur dengan suara orang mengaji—yang entah siapa itu. Suara seorang pria terbahak-bahak yang dari suaranya terdengar begitu jahat dan brutal serta kasar. Ia merasa suara tawanya seperti yang di TV-TV, hanya saja bedanya suara tawa itu begitu beda dan terasa ganjil karena aura jahatnya terdengar banget. Itu bukan tawa sembarangan! Baru kali ini ia mendengar suara tawa semengerikan itu.
“Apakah ini hanya khayalanku saja? Tapi kenapa khayalanku sebegitu tajamnya?” batinnya kepanikan. Begitu jelas di indera pendengarannya perpaduan di antara keduanya. “Sepertinya ini bukan khayalan biasa!”
Yang terakhir, karena merasa aneh mendengar suara-suara ganjil yang tiba-tiba itu, Chika mencoba untuk bergerak. Eh! Anehnya, tubuhnya terasa diikat oleh sesuatu yang tidak kelihatan! Baru kali ini, ia merasakan tidurnya seaneh itu. “Ada apa ini? Aku kenapa?” Tentu saja Chika panik minta ampun. “Ngeri banget!”
Chika berusaha untuk memberontak! Chika berusaha keras untuk membebaskan diri dari kelumpuhan mendadak yang tak masuk akal itu. “Tapi kenapa?! Kenapa badanku tak bisa digerakkan seperti biasa meskipun aku sedang tertidur? Ini jelasnya ada yang aneh dengan diriku!” batinnya lagi.
Chika malah semakin tak berdaya begitu merasakan ada sesuatu yang sangat kasar menggesek-gesek kakinya. Tentu saja Chika yang sudah tak bisa bergerak itu tak bisa menghindarinya. “Apaan itu?! Kasarnya seperti bulu sikat kamar mandi. Kulit kakiku jadi sakit dan sepertinya kakiku bakal lecet-lecet, deh. Gesekannya keras-keras pula! Aduh, tak hanya telinga yang sakit tapi juga kakiku, hiks!” gemuruh batinnya.
Di tengah-tengah perjuangan pembebasan dirinya, samar-samar ia melihat sesuatu di balik gorden jendela kamar yang setengah terbuka itu. Di balik latar belakang kegelapan malam sana seolah muncul berbagai sosok berupa bayangan yang bertengger di jendela situ. “Apakah itu lagi?”
Mereka beterbangan bahkan ada yang hinggap di atas atap rumah tetangga Chika. Mereka hanya berupa bayangan belaka, tak jelas pasti sosoknya itu berupa apaan.
Sosok samar lain yang dilihatnya adalah sosok seekor kucing di balik jendela. Sosok itu duduk manis di depan jendela meski hanya berupa siluet seekor kucing. Tak tampak wajahnya. Kucing itu seolah patung pajangan di depan jendela sana.
Tak hanya sampai di situ saja! Chika tak hanya tak bisa bergerak, tapi ia juga merasakan seperti ada sesuatu yang menarik kakinya dan membawanya melayang-layang. Sangat mengerikan! Chika merasa tubuhnya terbang ke langit-langit kamar, kepalanya pun jadi terasa super ringan.
“Akh! Apa lagi ini?! Apa yang terjadi padaku?!” batinnya mulai menangis ketakutan saking ngerinya.
Chika tak berdaya dalam seketika. Samar-samar di kegelapan itu, ia seolah bisa melihat isi kamarnya dari atas sana. Ya, sepertinya ia memang sudah tak berada di ranjang, tapi sedang melayang-layang tak menentu. Tentu saja kejadian aneh ini mengerikan sekali baginya!
“Hentikan! Apa yang harus kulakukan?! Bagaimana ini?! Oh, iya!”
Akhirnya Chika memutuskan untuk berdoa. Ia sadar ini perbuatan jin jahil! Chika terus memberontak saking takutnya. Lalu dalam hati, ia pun berkomunikasi dengan suara semu mereka. Chika mengancam akan membakar mereka dengan ayat suci kalau masih saja bertingkah!
Mereka malah melawan! Dengan suara samar dan berat mereka membalas, “Kalau tidak berhasil, bagaimana?” ejek mereka.
Hati Chika sempat ciut mendengarnya. Namun kemudian ia teringat sesuatu, “Kata ceramah ustadz di TV, bukannya jin memang suka menjatuhkan mental orang?”
Meyakini hal tersebut, Chika berusaha untuk terus optimis dan tak memercayainya. “Aku akan terus mengulangi doanya sampai Allah mengabulkannya. Pokoknya, aku takkan menyerah!” batinnya bergemuruh lantang.
Akhirnya ia pun membaca-baca ayat suci Al Qur’an seperti ayat kursi, surah Al-Fatihah, dan tri kul. Ia terus membacanya secara berulang-ulang. Dan secara perlahan, gangguan mereka pun mulai memudar.
Nah, tuh kan berhasil! Bilang juga apa? Kalau percaya, pasti bakal ditolong sama Allah! Untung saja aku lebih mendengar suara hatiku sendiri daripada cemoohan pesimis dari jin kafir itu,” sorak batinnya.
Kepalanya tak terasa melayang-layang lagi. Telinganya juga tak terasa sakit lagi dan ia pun tinggal bersabar saja menanti untuk terbangun dan terbebaskan dari kejadian mengerikan itu. Tapi kapan?! Perjuangannya rupanya masih belum berakhir juga. Chika masih belum bangun benar seratus persen dan juga masih belum bisa menggerakkan tubuhnya. Ia masih harus berjuang melepaskan “tali” yang membelenggu tubuhnya…
***
Klep-klep…
Akhirnya Chika bisa membuka matanya juga dan mendapati dirinya tengah berada di meja makan untuk santap sahur bersama keluarganya. “Hah?! Kok tiba-tiba aku bisa berada di sini, sih?” batinnya sambil mengucek-kucek matanya. Ia lalu memandangi lagi sekitarnya: Pak Arief yang sedang duduk di kursi kepala keluarga tampak menguap lebar; Bu Tary yang sedang menyiapkan santap sahur di meja; sedangkan kedua kakak perempuannya sedang membantu mamanya di dapur. Dan Chika sendiri sedang terduduk di salah satu kursinya!
Aneh! Apakah yang tadi itu hanya mimpi, ya? Buktinya sekarang, aku tengah duduk bersama keluargaku untuk sahur. Ah, yang penting sekarang sudah amanlah! Lupakan saja kejadian mengerikan tadi, mungkin saja itu semua tidak nyata. Yang penting sekarang sahur dulu. Ternyata kejadian tadi itu tak pernah ada, itu saja yang perlu kuyakini sekarang. Mungkin aku hanya ketiduran menunggu makanan sahurnya yang sekarang sudah terhidang rapi di meja. Asyik! Sekarang waktunya makan!” pikir Chika.
Mereka sudah lengkap mengitari meja makan sekarang berlima. Dengan rakusnya, Chika mengambil semua makanan favoritnya, kemudian ia pun makan dengan lahapnya. Masakan mamanya memang tak ada duanya baginya.
Namun di sela-sela makan, tampak tangan Pak Arief yang memegang garpu sedang mengejar-ngejar sesuatu di meja.
“Ngh?” Chika segera menanyakannya karena kebingungan, “Papa kenapa?”
“Ini, nih! Daging ayamnya loncat-loncat melulu setiap mau ditusukin. Dia nggak mau mampir ke piring Papa” jawabnya aneh.
“Hah?!” Chika mengernyit dan memicingkan mata. Anehnya, ia tak melihat apa-apa. “Papa hanya masih ngantuk, kali,” komentarnya sambil terus makan.
Keanehan di meja makan itu tak terhenti sampai di situ saja begitu kakak kedua Chika yang duduk di sampingnya—Riri—menatap piring Chika sambil berliur-liur seolah ada sesuatu yang enak di sana, padahal isinya sama saja kan dengan yang lainnya. Chika melihat di piring kakaknya itu masih belum ada apa-apanya.
“Kak, kok kamu nggak ngambil apa-apa? Keburu imsak, nih!” tegurnya.
Riri menjilati bibirnya. “Aku hanya mau makanan yang ada di piringmu, Dik,” ujarnya.
“Loh, kan kamu bisa ambil sendiri. Semuanya kan sama saja,” protes Chika karena merasa ada yang aneh dengan kakaknya itu. “Mau kuambilkan?”
Riri tak menjawabnya. Sebagai gantinya, air liurnya menetes ke piringnya yang kosong. Namun tak terjadi apa-apa dengan mamanya dan Tri—kakak pertama Chika. Mereka berdua masih makan dengan lahap dan tenangnya.
Aneh! Ini ada apa, sih?! Hanya aku, Mama, dan Kak Tri yang masih normal-normal saja, tak seperti mereka yang seperti kerasukan!” pikirnya lagi.
Pak Arief masih saja sibuk menusuk-nusuk daging ayam yang katanya berloncatan namun tak terlihat itu sementara Riri yang hanya mau makan bagian Chika. Aneh sekali! Namun Chika masih saja terus makan, meski pun agak risih dengan keduanya.
Usai makan, ia pun menuju toilet dan terbelalak ngeri begitu melihat…
***
Bu Tary dan Tri sudah selesai makan dengan tenangnya. Lalu Chika pun bertanya karena penasaran, “Kenapa Mama dan Kakak bisa tenang-tenang saja makan sementara Papa dan Kak Riri kelabakan begitu sahurnya? Apa rahasianya?”
Mamanya dan Tri tersenyum.
“Ya, sederhana saja. Berdoa sebelum makan dengan niat berpuasa yang benar,” jawab Bu Tary sambil tersenyum misterius.
Pak Arief dan Riri kemudian menghilang dari mejanya. “Apakah Papa dan Kak Riri tak berniat puasa dengan niat tulus? Apa yang salah dengan mereka?
“Bukankah sahur itu ada berkahnya?” Tri menambahi. “Kudengar Riri tadi bilang mau puasa untuk menguruskan badan agar terlihat lebih ramping di depan pacarnya, jadi itulah niat puasanya. Makanya dia tak mau mengambil makanan apa pun untuk sahur dan malah ngiler-ngiler saja lihat orang makan,” ia menjelaskan.
“Kalau Papa?” Chika kembali bertanya.
“Kalau Papa mungkin saja ia tak berdoa sebelum makan. Makanya berkah itu melarikan diri darinya tiap kali akan disantap,” kali ini mamanya membeberkan dengan bijak.
Mendengar itu, Chika langsung mengutarakan keganjalan hatinya barusan. “Terus bagaimana denganku? Berdoa sudah. Niat puasa pun tulus karena Allah. Tapi apanya yang kurang? Kenapa aku mengalami gangguan juga? Kulihat di kamar mandi tadi, makanan sahurku masih utuh, padahal sudah habis kusikat. Bagaimana ini?” tuntut Chika penasaran.
Mamanya kemudian mendekatkan wajahnya. “Kau benar-benar mau tahu jawabannya?”
Chika mengangguk kencang. “Iya!”
“Kalau begitu, bukalah matamu sekarang!”
“Hah?! Buka mata?” Chika mulai merinding.
“Iya! Makanan sahurmu tadi masih utuh karena kau memang masih belum sahur.”
“Belum sahur?!” Chika terperanjat.
“Apakah sekarang kau merasa sudah sahur? Coba rasakan baik-baik! Sudah merasa kenyang, belum?” mamanya mencoba meyakinkannya.
Iya, sepertinya Mama benar! Tadinya saja rasanya aku makan banyak, tapi tetap saja perutku ini terasa kosong. Aku masih lapar! Jangan-jangan … jangan-jangan ini masih mimpi dan aku masih belum bangun beneran, lagi?!” batinnya kembali bergejolak.
Chika memejamkan mata rapat-rapat karena ketakutan. “Mereka ganjil! Semuanya ganjil! Pantas saja semuanya terasa aneh. Dan lagipula, bukankah kedua kakakku itu seharusnya tak sahur di sini karena mereka sedang berada di luar kota?!” batinnya begitu menyadari sesuatu.
“Tidakkkk!!! Tolong bangunkan aku! Aku mau sahur di alam nyataaaaa….”

Tok tok tok…

Tiba-tiba saja, terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. Ketukan itu terdengar berirama, tapi tegas teratur. Bunyinya tiga kali saja, juga suara yang pelan dan nyaris tak berisik itu cukup untuk membuka mata Chika. Ajaib!
Begitu Chika membuka mata, suara itu seolah lenyap tak tersisa. Padahal ia membuka mata di ketukan yang ketiga dan setelahnya, tak terdengar apa-apa lagi meski sisa-sisa suaranya pun tak ada. Yang ada hanya keheningan seolah tak pernah ada yang mengetuk pintu tadinya.
Karena penasaran siapa yang sudah membangunkannya itu, Chika pun membuka pintu. “Siapa ya kira-kira?”
Syung! Tak ada siapa-siapa di depan sana.
“Aneh!” Chika mengeceknya sekali lagi. Benar-benar hening di sekitarnya. Sunyi sekali, tak nampak tanda-tanda keberadaan mahluk hidup sama sekali!
“Apakah ia menghilang begitu cepatnya? Ah, masa iya, sih?! Kalau pun begitu, setidaknya aku masih bisa mendapatinya tengah melintas. Nah, ini sama sekali tak ada orang! Tak ada pula suara tapak kaki melangkah pergi atau apa. Benar-benar sunyi! Padahal kan jedah waktu antara ketukan terakhir dan aku membuka mata itu singkat banget. Apalagi setelah membuka mata itu, buru-buru aku langsung membuka pintu,” gumamnya.
Akhirnya ia mengecek kamar orangtuanya sendiri.
“Hah?! Mereka masih terlelap. Tak ada tanda-tanda sedikit pun mereka sempat bangun. Lagipula jarak kamar kami kan berjauhan. Apa mereka bisa berjalan sedemikian cepatnya hingga aku tak menemukannya lagi saat membuka pintu?” pikirnya lagi.
“Kalau bukan mereka, terus siapa?”
***
Sebelum makan sahur, Chika kemudian berdoa terlebih dahulu dengan niat tulus karena Allah. Ia jadi merinding setelah mengingat mimpinya barusan. Ia kemudian menanyakan hal yang mengganjal pikirannya tadi pada orangtuanya. Namun keduanya hanya mengernyit.
“Loh, bukankah kami dibangunkan sama kamu?”

Selasa, 08 Oktober 2019

monkey dream




Toooooot!
“Ibu akan kasih soal, ya!” suara Bu Salma pun bergema begitu masuk. Ia selalu saja langsung memulai pelajaran yang dibawakannya itu. “Yang ditunjuk, silakan naik ke papan tulis untuk mengerjakannya!”
“Soal pertama Rita, yang kedua Lena, dan yang terakhir Clur!” Dia menyebutkan nama-nama itu secara acak. “Sisanya kerjakan di tempat, ya!”
Aku tersentak begitu namaku juga disebutkan, meski untuk soal terakhir. Begitu soal Biologi itu selesai dituliskan di atas papan tulis, Rita pun dipersilakan naik. Sementara itu, aku berusaha menyelesaikan soal terakhir di tempat agar bisa lancar menuliskannya jika aku naik nanti. Maka aku pun mulai menguras otak.
“Rita!” Bu Salma lalu memanggil temanku yang kebagian soal pertama itu. “Kerjakan bagian ‘kulit’!”
Rita kemudian naik untuk mengerjakannya ke papan tulis, namun, “Bu, bab ‘kulit’ kan belum pernah diberikan. Itu kan pelajaran semester depan. Jadi aku be—“
“Dikuliti!”
Rita memekik tertahan begitu mendengar keputusan mengerikan itu keluar dari mulut sinis Bu Salma. Tak lama, kedua asisten Bu Salma memasuki ruangan dan mengikat tangan Rita ke langit-langit kelas di depan papan tulis itu. Rita pun tergantung dengan kaki menggantung yang meronta-ronta.
“Bu! Aku mohon! Tolong maafkan aku!” Rita memohon-mohon sambil menangis terisak.
“Inilah akibatnya kalau kau berani meralat soal yang kuberikan. Yang jadi gurunya di kelas ini saya atau kamu?” Bu Salma yang super tega itu tetap pada keputusannya. Mulanya ia menggores paha Rita yang tak tertutupi roknya dengan pisau kemudian tanpa ragu lagi ia menarik kulitnya ke bawah hingga ke tulang keringnya. Ia melakukannya dengan begitu mudahnya seperti mengupas pisang!
“Kyaaaaaaa!!!” jerit Rita kesakitan bukan main. Kulit paha mulusnya bergelantungan ke lantai seperti kain saja. Tak lama, darahnya pun berceceran di lantai disusul dengan kaki sebelahnya yang juga turut mengalami nasib yang sama.
Huek! Ingin sekali aku muntah begitu melihat adegan itu. Namun kutahan sebisanya. Kedua asistennya kemudian melepaskan Rita dari atas sana dan menyeretnya keluar karena ia sudah tak bisa berjalan lagi. Kulihat kakinya yang berdarah-darah diseret-seret, kulit kedua kakinya pun mengikutinya hingga bekas darah dari kaki yang diseret itu menjejak di sana.
“Itu hukuman bagi cewek yang suka melanggar peraturan sekolah dengan memakai rok mini di atas lutut!”
Aku jadi semakin kepanikan. Tapi ah, setelah kupikir-pikir lagi, seharusnya aku kan fokus saja pada soal terakhir ini: Gigi! Aku harus menjawab susunan dan waktu pertumbuhan gigi ini. Gigi geraham belakang ketiga muncul pada usia 17 tahun ke atas, terus gigi geraham belakang keempat bagaimana? Tak ada di buku!
“Lena, kau pasti bisa menjawab dengan baik bagian ‘otak’!”
Lena—si juara kelas berkacamata tebal itu—kemudian naik dengan percaya dirinya seolah tak terpengaruh kejadian naas barusan. Ia mengerjakan semuanya dengan lancar. Sementara itu, aku kepanikan mencari-cari siapa yang bisa membantuku. Aku tak punya teman sebangku soalnya. Setelah bertanya pada banyak teman di sekitar, mereka semua malah menggelengkan kepala.
“Hei, gigi geraham belakang keempat tumbuhnya di usia berapa?” tanyaku pada Susi yang duduk di belakangku.
Susi menggelengkan kepalanya, membuatku jadi putus asa saja. Sementara itu, Lena sudah hampir menyelesaikan bagiannya. “Kau tanyakan saja pada Nirmala! Dia itu cerdas sekali dan tahu segalanya!” Ia lalu menunjuk seorang gadis yang duduk di bangku paling belakang.