THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Kamis, 23 Januari 2020

Sarung Hantu




“Arrrgghhh!!!”
Kulihat tubuh Mamat dicabik-cabik oleh kuku-kuku tajam kedua sosok di balik kegelapan tersebut. Ups! Sebenarnya aku ingin menolongnya, tapi tak bisa. Padahal aku ada di sini mengintip kemesraannya dengan kedua sosok yang semakin ganas merajam tubuh dan wajahnya. Duh, kasihan! Aku harus bagaimana?!
Wah, kalau begini ia bisa mati! Ia bahkan sudah berdarah-darah. Sakitnya tuh, di sini!
Aku masih terdiam di tempat. Kasihan memang melihatnya dicakar sana-sini, tapi aku sama sekali tak bisa keluar dari tempat persembunyianku di balik sesemakan ini. Kalau aku keluar, bisa-bisa mereka…
“Mamat! Tolongin, dong! Ada hantu yang mengikuti kita!” pekik Inet, sosok pertama yang dikenal sebagai gadis manis tapi usil di posko KKN kami.
“Iya! Mat! Plis, cek sesemakan itu! Aku takut!” raung Uty, tak kalah nyaringnya. Ia adalah bendahara di posko juga yang gifo (gila foto).
Sedangkan Mamat sendiri adalah…
“Arrrgghhh!!!” Si Koordinator Desa kami itu terus saja meraung.
Sebenarnya sih, malam ini Mamat menemani kedua teman ceweknya untuk buang air kecil ke permandian umum, karena di posko kami tak ada toiletnya. Jaraknya cukup dengan berjalan kaki. Namun, saat mereka tadi meninggalkan posko, tiba-tiba saja sebuah ide usil terbersit di pikiranku hingga tibalah aku di tempat ini, di balik sesemakan.
“Sepertinya yang harus kuhindari adalah cakaran kalian. Aku lebih memilih untuk jalan sama hantu itu. Siapa pun dia, aku akan memaafkannya karena sudah menakut-nakuti kita!”
Pernyataan emosi Mamat malah membuat perasaanku jadi lega.
Namun kedua cewek cantik itu semakin kalap. Mereka terus mencakari Mamat, hingga sarung yang dikenakan Mamat melorot jatuh seketika. Celana kolor hijau Mamat pun setor muka.
Kedua rekanku menghentikan kegilaan mereka dan memberi kesempatan pada Mamat untuk kembali mengenakan sarungnya.
“Duh, sobek sudah sarung baruku!” pekik Mamat kesal. “Aku tuh bawa sarung ke sini hanya satu, tahu!”
“Maaf ya, Ketua!” sahut Inet dan Uty dengan mata sebesar Candy-Candy saking memelasnya. “Tapi jadi temani kami ke toilet umum, kan?”
“Iya! Jadi. Asalkan kalian merahasiakan warna celana pendek yang kukenakan pada teman-teman lainnya.”
***
Bulan Juli-Agustus merupakan momen yang bersejarah untuk kami berdua belas, di mana kami memilih untuk mengikuti program KKN Profesi Kesehatan di Bantaeng ini. Beginilah, kami ditempatkan di sebuah Desa nan sejuk karena lokasinya yang di pegunungan, di sebuah Desa Labbo.
“Loh, kenape kamu luke-luke begitu? Memangnya di toilet umum harus rebutan gitu ya sampai kau koyak seperti itu?” tegur Kak She,  sekretaris posko kami dengan logat Malaysianya yang lucu.
“Atau habis intip toilet cewek, kali!” komentar Wah, pacar Kak She. Ia keturunan Singapura yang lahir di Bali.
Mamat masih saja terus meringis-ringis sambil meratapi sarungnya yang sepertinya butuh tambalan sana-sini. Dalam semalam sarung baru Mamat berubah menjadi sarung keluaran lama. “Sakitnya tuh di sini!” ratapnya sambil mengacungkan dompetnya yang kuyakini isinya tak cukup untuk membeli sarung yang baru.
“Mamat seperti itu karena…” Perhatian mereka lalu teralihkan padaku. “Menolong Inet dan Uty dari kejaran anjing. Iya, kan?” Kumeminta kerja sama Uty dan Inet untuk mengiyakannya. “Nih, sarung Bali buat kamu!” Kulemparkan benda itu pada Mamat.
Mamat mengernyit. “Tapi kenapa kau…”
Kutersenyum menyeringai. “Mat, kamu sudah maafin aku, kan?”
“Maafin untuk apa?”
“Memaafkanku karena akulah ‘hantu’ yang menakut-nakuti kalian tadi di jalan…”