THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Minggu, 28 Februari 2016

Anthem Of The Lonely (9 Lashes): tokyo ghoul episod 1 sison 2

hay, aku suka de ama lagu nih. klik gambar ini menuju video tokyo ghoul-nya. coba de ada yang beda dengan lagu ini, yaitu reffnya terasa bertingkat dua deh itu lah kesanku.kupikir sih lagunya pas bangetlah ama episod 1 sison 2 ini karena Kaneki mau meninggalkan Anteiku dan bergabung dengan Aogiri, artinya Toka akan kesepian dong. prolog lagu ini sih udah pas waktu awal adegan sison 2 itu. setelah itu sih adegan ama lagunya acak2an aja (lagi2 ga seperti proporsi audio visual di lagu we are buatan 7shinden hehe). tapi pas nada transisi tuk reff itu, saat Kaneki pamit ama Toka tuh dah pas banget musiknya, aku suka. dibuatnya dah pas lah menurutku. dan pas ending lagu yah pas ending episod 1 ini juga. jadi mua dah paslah, hanya itu tadi selain yang kusuka itu, semuanya acak2an aja ga sesuai ama lagu.
btw ada video aslinya loh... hm ceritanya sih bagus! sesuai ama lirik lagunya ini. aku suka cerita video klipnya itu. awalnya vokalisnya tu lagi disekap n musuhnya bilang ga bakal ada yang nolongin dy. setelah itu musik dimainkan deh. rupanya di sana tu para personil nine lashes disekap habis n dianiaya habis2an, hm ga keras sih menurutku hanya gitu2 doang aktingnya. yang aku suka tu perpindahan setingnya saat di band eh vokalisnya nyanyi pake lampu gantung sebagai mikenya n lampunya tu menyala haha. ya seperti itu de hanya 2 seting aja video klipnya. dianiaya mua. tapi meski kurang kreasi sih videonya, aku lebih suka liat video aslinya daripada versi tokyo ghoulnya. setingnya di situ2 doang sih. tapi ini kan nada lagu cinta ya meski versi hard tapi kok video klipnya penganiayaan si meski pun masi adegan lembut ga brutal2 amat menurutku tu. terus yang gak aku ngerti tu ending ceritanya, napa dy tersenyum tuh vokalisnya. apa semuanya itu hanya khayalannya aja? hm, bagiku si video klipnya masih lumayan aja, belum begitu istimewa. dah deh nonton aja langsung video klip aslinya ya!




A heart made of stone
Callous and bone
Fracture and tear it out
To let it go


And to think
I called it my own
And I would have never thought
The pain could grow


So I'll break it
Knowing what you said
The pain is what you make it
Sadly you are so mistaken


I will take you with a grain
And step into the changes
Throw away the empty heart


Right now
Never want to leave this place
And right now
See it in a different way
So right now
Even if you take me on
I'll stand the lonely
Stand the lonely


It's harder to know
Just where to go
If only the stars aligned
The sunsets glowed


I don't need
A calm in a storm
Or something to scream about
With empty lungs


So I'll break it
Knowing what you said
The pain is what you make it
Sadly you are so mistaken


I will take you with a grain
And step into the changes
Throw away the empty heart


Right now
Never want to leave this place
And right now
See it in a different way
So right now
Even if you take me on
I'll stand the lonely
Stand the lonely

 

 Right now
Never want to leave this place
And right now
See it in a different way
So right now
Even if you take me on
I'll stand the lonely
Stand the lonely

 

Right now
Never want to leave this place
And right now
See it in a different way
So right now
Even if you take me on
I'll stand the lonely
Stand the lonely

(Stand the lonely)



TOKYO GHOUL - 7

duh, episod yang ini sedih dan tragis banget! T0T manusianya sekarang yang jahat, ghoul lemah pun dibantai... T0T siapkan tisu...


https://www.youtube.com/watch?v=2Cc04016PBo&index=7&list=PLH7HPkIcGtYqPkA-aZzg9kXt6irbFKY7f



“Mamaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!”
Suara itu menfokuskanku ke arah yang lain. Kuterbelalak begitu melihat Hinami yang tengah berlarian kehujanan—seorang diri. “Eh, itu kan Hinami?”
Bergegas kuhampiri dia. Saking fokusnya padanya, hampir saja sebuah mobil menyerudukku yang tak menyebrang hati-hati. “Sori!”
“Kakak!” Hinami langsung mendekapku dan menangis tersedu-sedu.
“Hinami, kok kamu sendirian begini? Hujan-hujanan lagi. Kamu kenapa, Dek?” tanyaku cemas.
“Mama! Mama!” histerisnya. “Tolong Mama!”
Perasaanku jadi semakin tak enak saja! “Mamamu mana?!”
Ia kemudian menunjuk sebuah arah. Bergegas saja kutarik ia ke sana. Sepertinya Ryoko dalam bahaya! (saking cemasnya, aku tak sempat berpikiran untuk memayungi Hinami yang kugandeng di belakangku. Ntar pilek lagi anaknya orang. Haha!)
Akhirnya tibalah kami di tempat yang ditunjukkan oleh Hinami di sebuah gang. Kumerapat di balik tembok sambil tetap mengintipi kejadian itu. Ryoko tampak mengibar-ngibarkan kagunenya yang sangat indah bagai gumpalan ekor rubah yang dipakai sebagai mantel kelas atas itu. Tapi kagune itu hanya bisa melindungi dirinya sendiri dan di situ-situ aja.
Tampak 2 orang pria di hadapannya. Apakah… apakah mereka merpati yang dimaksud itu?! Kuterbelalak. Salah seorang dari mereka lalu mengeluarkan sebuah kagune dari dalam kopernya. Ryoko terbelalak dan kenal betul itu kagune milik siapa!
“Sepertinya kau bukan tipe ghoul petarung meski memiliki kagune yang indah. Bagaimana kagune ini? Apakah kau mengenalinya?” si tua bangka itu mencemooh sambil menggunakan kagune itu (ternyata dia memang suka mengoleksi kagune ghoul yang dihabisinya dan menamainya). “Sepertinya mudah saja membekuk ghoul sepertimu!”
Ryoko tertunduk. Sepertinya ia akan menyerang dan memberontak. Tapi aku hanya bisa bersembunyi dari balik tembok itu dan menahan Hinami—demi si kecil itu sendiri. Bisa gawat kalau wajah kami ketahuan! Maka kuputuskan untuk tetap menjaganya di sini dan hanya bisa menyaksikan.
Ryoko mengangkat wajahnya. Bukannya memperlihatkan wajah geram, eh… ia malah tersenyum! Sebuah senyum yang tulus pasrah dan tak berdaya—entah apa maksudnya. Sepertinya ia sudah pasrah akan apa yang terjadi padanya nanti dan—
Zrek! Tanpa tanggung-tanggung lagi, si tua bangka itu membantai Ryoko dengan kagune milik suami Ryoko. Darah yang keluar dari tubuh Ryoko berbaur dengan derasnya hujan. Menyedihkan! T0T
Kuterbelalak ngeri melihatnya. Tapi aku hanya bisa berada di sini untuk membekap dan menutup mata Hinami yang meronta-ronta ingin menolong ibunya. Aku tak ingin gadis kecil itu menyaksikan kengerian ini. Sedih sekali! Hinami sudah menjadi yatim piatu sekarang…
Kami berkumpul dalam keadaan duka di kafe itu. Toka datang, tapi tak tahu apa-apa. “Ng? Ada apa ini? Kok kalian pada murung getuh, sih?”
“Oh, Toka? Bagaimana? Sudah baikan?” sapa Pak Yoshi.
“Katakan, apa yang terjadi!” Toka ngotot pada intinya.
“Ryoko… Ryoko meninggal di tangan investigator ghoul,” Pak Yoshi mengabarkan kabar duka itu.
Toka terbelalak syok mendengarnya. “Ryoko mati?! Terus gimana dengan Hinami?”
“Hinami tidur di kamar yang berbeda setelah berhasil ditenangkan. Ia aman sekarang dan sebentar lagi akan dipindahkan ke wilayah seberang. Ia sudah tak bisa tinggal di sini lagi karena wajahnya sudah dilihat para merpati itu,” Pak Yoshi menjelaskan.
“Hinami tinggal sendiri di sana?! Nggak bisa! Kita harus melawan mereka dan melindungi Hinami. Pokoknya, aku nggak setuju Hinami pindah. Aku akan melindunginya di sini. Lagian kita kan punya Yomo. Kita harus balas dendam!”
Tapi Yomo yang cool tampaknya lebih sepakat dengan Pak Yoshi dan menolak rencana tak bijaksana Toka yang berapi-api. Sementara mereka berdebat, aku dan yang lainnya hanya bisa tertunduk menahan duka.
“Sangat tak bijaksana kalau kita menyerang balik mereka. Yang ada, bisa-bisa kita semua dalam bahaya. Kita sudah kehilangan Ryoko.”
“Jadi kita harus diam saja gituh?! Nggak berbuat apa-apa? Ryoko tak salah apa-apa, kenapa dia harus dibantai? Kita harus bertindak biar mereka tahu rasa, Pak!” Toka semakin berapi-api membujuk kami. “Kenapa kita tak bertindak apa-apa?! Aku tak terima!” pekiknya sedih.
“Jangan sampai kita yang ada di sini hidup tak tenang karena suka balas dendam pada manusia,” ucap Pak Yoshi dingin.
Toka tertegun. “Maksud Bapak, gue?” Tersinggung, Toka langsung cabut penuh amarah.
Aku yakin maksud Pak Yoshi bukannya kita tak bakal berbuat apa-apa, tapi ini semua demi keamanan bersama. Sementara aku… sampai sekarang, aku hanya bisa menyesali kenapa tidak bisa berbuat apa-apa di saat genting seperti ini. Ini semua salahku karena aku tak bisa menjadi kuat seperti Toka!
“Coba yang ada di sana itu Toka, bukan aku. Semuanya pasti takkan seperti ini dan Ryoko bisa selamat,” isakku sedih. “Hinami pasti masih berada di dekapan ibunya.”
“Jangan menyalahkan dirimu,” tegur Pak Yoshi. “Kau sudah melakukan hal yang benar.”
Be-benar?! Tapi… tapi nyawa Ryoko melayang!
(Di kafe, beberapa jam kemudian…)
Hm, Toka seharian ini ke mana, ya? Daritadi tak kelihatan…
Gubrak! Ng? Suara apa itu? Bergegas kumenuju suara itu dan melihat Toka menjatuhkan barang-barang di dapur dan… dan ia dalam keadaan terluka!
“Toka! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu terluka?” tanyaku kepanikan begitu melihat ia memegangi luka di lengannya.
“Gue gak apa-apa,” responnya dingin. Nada tandus seperti biasa.
“Aku akan ambilkan obat!” Buru-buru kuhendak keluar mencarikannya obat. Kasihan dia terluka seperti itu. Pasti rasanya sakit!
“Tidak perlu!” Tiba-tiba saja Pak Yoshi yang sudah berada di dekatku itu mencegah.
“Ng? Kenapa, Pak? Lukanya sepertinya parah. Ia harus segera diobatin.”
“Tak usah capek-capek kasih obat sama orang yang gak mau mendengar. Ia pasti habis menyerang para merpati itu. Sudah dibilangin supaya jangan balas dendam, masih saja keras kepala! Kalau ia sampai mati pun, itu bukan tanggung jawab kita,” ketus Pak Yoshi tega-tegaan.
Mendengar itu, hati Toka tersayat habis. Ia langsung berlari keluar sementara kumemanggil-manggilnya. “Toka! Tokaaaaa!” Duh, kasihan banget sih dia. Aku jadi khawatir!
“Tak usah kamu ladeni dia. Dia memang suka ambil keputusan sendiri tanpa berdiskusi.”
“Pak, bukannya bermaksud kurang ajar. Tapi… tapi kuharap Bapak bisa merenungkan keputusan Bapak tadi.” Tanpa mau mendengarkannya juga, aku lebih memilih untuk menyusul Toka. Heran, kok Pak Yoshi bisa bicara hal setega itu pada Toka. Ia kan sedang sedih berat karena kawannya dibantai. Pasti rasanya berat!
(Di gang…)
“Toka,” sapaku lembut. Sengaja kususul dia ke gang itu demi menghiburnya. Ia tampak sedih seorang diri.
“Pergi lu!” Ia kemudian melempariku kaleng. “Lo itu orang, sama kayak para pembantai itu. Mana bisa ngerti perasaan kami yang kehilangan kawan!”
“Aku datang buat ngobatin luka kamu. Luka kamu harus segera diobatin.”
“Nggak usah!” hardiknya ketus. Aku paham karena ia masih emosi berat. Selain merasa kehilangan, ia juga merasa diasingkan karena sifatnya yang pemberontak gila. Namanya juga remaja yang sulit mengontrol amarahnya. Ia merasa tak ada yang sepakat dengannya untuk balas dendam. Tak ada yang mengerti besarnya rasa marahnya itu, meski semuanya merasakan kehilangan yang sama—apalagi Hinami. Tapi ia marah demi orang-orang yang dicintainya dan ia tak mau diam untuk itu.
“Tapi aku tak menyalahkan keberadaan investigator ghoul itu dan sebelum mati pun Ryoko tersenyum dan itu artinya…” kuberusaha memberinya pengertian bahwa Ryoko pasti berpikiran yang sama denganku.
Aku bisa mengerti rasa terpuruknya dan bagaimana rasa terpukulnya itu. Padahal ia sudah terpuruk, tapi seolah tak mendapat dukungan dari yang lainnya. Aku bisa mengerti mengapa ia jadi dingin pada manusia dan sangat berhati-hati untuk itu. Semuanya karena hal yang bernama kehilangan.
Tapi dari nada bicaranya, aku bisa tahu kalau ia mengakui diam-diam telah melakukan hal yang salah (yang aku sendiri belum tahu itu apa).
“Ma… maafkan aku, Toka. Padahal aku ada di sana, tapi tak bisa berbuat apa-apa,” responku begitu bisa meresapi beratnya kesedihannya. “Katakan! Katakan apa yang bisa kulakukan untuk membantumu dan yang lainnya?” tanyaku sungguh-sungguh untuk menebus kesalahanku kemarin itu.
(Di saluran pembuangan air…)
“Ng? Ini kan tempat saluran pembuangan air. Ngapain kita ke sini?” tanyaku begitu menjejakkan kaki di airnya.
“Ikuti saja aku. Katanya mau nolongin?” Ia terus melangkah dan aku pun terus mengikutinya.
Kami mampir ke tempat Uta. Rupanya topeng pesananku itu sudah jadi…
Sebuah topeng mask hitam dengan gigi pun melekat di wajahku. Hanya bagian mata ghoul-ku yang terlihat. Zret. Kuresleting penutup gigi di topeng itu. Aku sudah tahu apa yang harus kulakukan demi Toka nanti!
(aku suka banget topengnya. Keren banget! \(^0^)/)



Sabtu, 27 Februari 2016

TOKYO GHOUL - 6

di episod ini sama kayak episod 3 de karna ga begitu bertarung, ga kayak episod 2 n 4 seru banget bertarungnya, apalagi yang episod 4 itu hehe. di sini kok kayaknya manusia yang jahat ya kan kasian ghoulnya tu dibantai, hiks. ya gak sih? klik gambar ini menuju sumber link yutubnya ya, met watching...


https://www.youtube.com/watch?v=_5pPnI7GTkI&list=PLH7HPkIcGtYqPkA-aZzg9kXt6irbFKY7f&index=6



“Kaneki-kuuuuuuuuuuuuu!!!”
Merasa “bagian”-nya direbut, Shu jadi kebakaran jenggot alaynya. Ia sudah bersiap memberontak, tapi Toka juga sudah mempersiapkan kagune-nya. Pertarungan yang seimbang itu pun berlangsung. Fiuh, akhirnya! Meskipun harus kesakitan seperti ini dengan mengorbankan diri, yang penting Toka bisa melawan bedebah itu.
Biarkan saja Toka yang melawan. Apalah dayaku sebagai ghoul baru yang terluka? Apa pula daya Nishi yang kelaparan plus masih sakit—plus-plus lagi? Hanya Toka yang paling tangguh saat ini karena sepertinya ia memiliki kagune yang istimewa. Waktu itu, Nishi saja kalah dari Toka. Dan Shu mengatakan kekuatan mereka seimbang. Untung saja ya Toka datang!
Karena diamuk terus-terusan oleh kagune Toka, Shu jadi tak percaya diri dan malah berlari ke tubuh Kimi yang tergeletak tak sadarkan diri. “Agar bisa menang darimu, sebaiknya kuisap saja darah gadis itu!” pekiknya gila-gilaan. Namun—
“Eh?!” Shu merasa dasinya tersangkut. Begitu diliriknya ke bawah, ia tercengang-cengang begitu melihat Nishi yang berada di antara kedua kakinya—dengan setengah matinya menarik dasinya—menahannya menuju Kimi karena dia pasang badan terus di depan altar meski tergeletak tak berdaya. “Eh! Kau ini monster, ya!”
Bug bug bugh! Dengan geramnya, Shu lalu menginjak-injak tubuh sekarat Nishi. Tapi Nishi yang struggle abis tak mau melepaskannya sampai ia menjauh dari Kimi. Kondisi Nishi semakin menggenaskan dan berlumuran darah, tapi ia terus pasang badan demi Kimi. Ia bisa mati kalau begini terus!
Merasa buang-buang waktu mengincar Kimi, Shu malah mengalihkan perhatiannya padaku. “Kaneki-ku! Aku minta darahmu, ya! Sedikiiiit saja. Tolonglah!” bujuk rayunya seperti orang gila.
Kumenegang ngeri. Astaga! Gagal mendapatkan darah Kimi, ia malah mengincarku dan perlahan melangkah ke arahku seperti setan. Bagaimana ini? Luka-lukaku sudah cukup parah meski tak separah Nishi tentunya. Tapi aku hanya bisa terpaku melihatnya mendekatiku. Wtf!
Srak! Sebelum itu terjadi, Toka berhasil melumpuhkannya. Apakah ia mati? Itu urusan belakangan. Yang penting sekarang Kimi selamat. Fiuh!
Nishi yang merasa lega tampak senang. Tubuhnya yang babak belur dan berdarah-darah mulai melepaskan ikatan Kimi. Tapi—
“Tunggu dulu, Nishi!” Toka yang berada di belakangnya mencegatnya. “Gadis ini sudah tahu rahasiamu dan Kaneki, bukan? Kalau begitu, ia harus mati!”
Eh?! Kuterperangah mendengarnya. Loh, kok? Bukankah aku menyerahkan darahku ini tak secara Cuma-Cuma? Aku ingin ia bertarung demi memenangkan Kimi. Tapi kok sekarang… jadi… jadi ia kemari hanya demi aku dan… menghabisi gadis itu?!
Nishi yang tentu saja tak rela langsung pasang badan lagi meski badannya sudah hancur sekali pun. Ia tak rela kalau sampai Kimi kenapa-napa lagi. Ia mendeliki Toka geram dengan wajah berdarahnya. Toka pun langsung melancarkan serangannya, namun serangan kagunenya itu hanya bisa mengenai tubuh Nishi yang pasang badan hingga tubuh Kimi tak lecet sedikit pun saking cintanya ia pada gadis itu. Nishi menguatkan dirinya melindungi sang pacar hingga ia tak sanggup lagi—tanpa ragu menjadikan tubuhnya sendiri sebagai tamengnya. Ini terlalu menyedihkan! Kasihan Nishi…
Tapi kenapa ia harus sekejam itu? Aku jadi kecewa mendengarnya. Aku harus protes!
“Toka! Kau tak boleh melakukan itu. Kimi bagi Nishi sama artinya seperti Hide bagiku dan Yoriko bagimu. Kalau di sana itu Yoriko, apa kamu juga mau membunuhnya?!” pekikku kesal.
“Diem lo!!!” raung Toka stres. “Pokoknya tak boleh lagi ada kesalahan seperti dulu. Gadis ini harus mati pokoknya!” tegasnya berapi-api.
Sementara itu, Nishi sudah melepaskan Kimi dan mulai membuka penutup matanya. Kimi sudah mulai sadar dan melihat Toka di belakang Nishi yang tidak menyadarinya. Matanya terbelalak melihat Toka dalam bentuk ghoul dan kagune-nya yang berkibar-kibar.
“Wah, kawaiiiii…”
Toka tertegun dan mematung mendengar kalimat yang diluncurkan Kimi padanya. Tak lama, ia langsung menghilang dari kami semua. Fiuh, entah mengapa ia bisa berubah pikiran dan cabut begitu saja. Syukurlah!
Kumemandang di atas sana, Toka tampak terpekur dan merenung. “Gadis itu bilang aku apa? Dia bilang aku cantik? Dalam wujud monster seperti ini?” gumamnya tak percaya diri.
Syukurlah dikomentari “cantik”. Tapi aku tak bisa membayangkan apa jadinya kalau Kimi mengatakan hal yang sebaliknya. Komentar itu malah membuatnya selamat!
(Di kafe…)
Akhirnya semuanya berjalan seperti semula. Kukembali bekerja di kafe nan tenang itu dan—
“Wuah! Panas!” pekik Hide saat meminum kopinya. Huh, Hide. Aku senang dia selalu mampir seperti biasa kemari.
“Hati-hati, Hide,” tegurku lembut. Haha. Dia selalu saja bertingkah bocah dan ceplas-ceplos.
Tak lama, Nishi yang berpakaian pelayan Anteiku nongol dan menyapanya dengan santai.
“Loh, Nishi?” tegur Hide. “Kok lu kerja di sini? Sejak kapan?”
Nishi jadi salah tingkah. “Ng… yah ada alasan tertentulah mengapa aku kerja di sini.”
Kuteringat waktu Nishi direkrut Pak Yoshi untuk bergabung di Anteiku—sama sepertiku dulu. Kemarin itu ia sudah diberi makan dan diobati agar kembali fit. Kami semua ada di sana mendengar sumpahnya.
“Bergabung saja dengan kami di sini. Di sini persediaan makanan banyak tapi kau harus berjanji takkan membunuh orang lagi,” pesan Pak Yoshi waktu itu.
Sepertinya Nishi sudah banyak insyaf, deh! Ia tak seperti dulu lagi yang ganas habis. Sekarang kepribadiannya sudah berubah dan tentunya tak boleh membunuh orang lagi.
“Duh, aku ada kelas nih! Aku pamit ya, Kaneki!” Hide kemudian cabut dan melajukan sepedanya.
“Aku benci Mama!” pekikan itu menambah riuh pagi ini. Rupanya Hinami. Ada apa lagi ini? “Kenapa Mama larang aku ketemu Papa? Aku kan kangen!”
“Hinami!” Sementara itu, Ryoko berusaha menenangkannya. “Dengarkan Mama dulu.”
“Eh, ada apa ini?” tanyaku prihatin. Namun Ryoko hanya menanggapinya dengan senyuman.
(Di depan kamar Toka…)
Tok tok tok. Aku khawatir karena Toka dari tadi tak turun-turun juga. Ada apa dengannya? Huft, daritadi kumengetuk pintunya, tak dibukakan juga. Apakah ia marah padaku?
Akhirnya kuputuskan untuk pergi, namun sebuah suara dari balik pintu itu mencegat langkahku. “Ngapain lu kemari?” ketus Toka tanpa membuka pintu.
Bergegas kukembali ke depan pintu. “Anu… apa kau baik-baik saja? Kenapa tak turun-turun?”
“Cuma itu saja tujuanmu?” ketusnya lagi. “Aku tak apa-apa. Kalau begitu, kau sudah boleh pergi sekarang.”
Kumasih tak bergeser dari depan pintu itu, masih ingin berbincang dengannya. “Hm, tadi Ryoko dan Hinami berantem, entah ada masalah apa,” kuceritakan masalah yang terjadi di bawah sana. “Aku jadi berpikir punya keluarga itu enak banget, ya?”
Toka yang berada dari balik pintu itu tertegun mendengar kata “keluarga”.
Setelah basa-basi kemudian kulanjut ke inti kedatanganku ini. “Toka, ng… yang kemarin itu aku minta maaf, ya! Tak seharusnya aku ngomong kasar sama kamu.” Kuteringat ketika kumencegahnya untuk membunuh Kimi dengan membandingkannya jika yang ada di sana adalah sahabat kesayangannya. “Kata-kataku itu… sepertinya sudah keterlaluan. Sori, ya…”
(Di ruangan Hinami...)
Apa mereka sudah berbaikan, ya? Seperti biasa, Hinami sedang belajar huruf dan memintaku mengajarinya. “Kak, ini huruf apa bacanya?”
“Oh, itu hujan deras,” jawabku riang dan ia pun menuliskannya seperti biasa. Kuterus mengajarinya sebisaku hingga ibunya pun datang. “Apa Hinami sudah tak marah lagi?”
Ryoko tersenyum hangat. “Aku ini kan ibunya, jadi aku bisa menenangkannya dengan hadiah. Makasih ya  udah mau ngajarin Hinami.”
“Sama-sama.” Senyumku.
Syukurlah kalau begitu, aku juga turut senang. Kemudian kutinggalkan ibu dan anak itu dalam keharmonisan. Samar-samar, kumendengar Hinami mau hadiah buku lagi dan ibunya akan membawanya ke gramed untuk membelinya. Senang bisa mendengar mereka ceria lagi. Keluarga itu indah!
(Di jalan...)
Hujan deras! Hm, untung saja aku tidak lupa bawa payung. Kemudian kumelangkah tenang tanpa beban. Huft, enaknya kalau bisa hidup setenang ini terus, tak ada yang mengganggu :D
Hm, hujan ini malah mengingatkanku pada Hinami. Kira-kira buku seperti apa ya yang dibelinya nanti untuk belajar? Apa dia masih ada di gramed?
Namun—



Jumat, 26 Februari 2016

TOKYO GHOUL - 5

di episod ini, ghoulnya lagi banyak yang sakit, hiks! klik gambar ini menuju sumber link videonya. hm gorenya ada sih meski ga sadis-sadis amat menurutku...


https://www.youtube.com/watch?v=6jG-moUHb-o&index=5&list=PLH7HPkIcGtYqPkA-aZzg9kXt6irbFKY7f




“Tolooooooooooooong!” Aku diseret untuk dicicipi para ghoul bertopeng yang menyambutnya suka cita itu. Mereka sangat penasaran akan cita rasa dagingku yang aku sendiri tentu saja tak tahu bagaimana rasanya!
Tiba-tiba saja Shu datang menghentikan kebrutalan itu. Entah mengapa aku malah lega. “Shu, tolong aku. Untunglah kau datang,” senyumku kepanikan setengah gila. Tapi kenapa juga ya aku masih belum sadar kalau ghoul nyentrik itu sangat mengincar dagingku lebih daripada yang lainnya?!
“Arrrrrrrrrrggggggghhhhhhhh!” Kutersentak dan terbangun dengan napas amburadul. Kupandangi sekitarku. Mimpikah ini atau—
(Di kafe pagi-pagi…)
Entah mengapa aku bisa berada di rumah ya waktu itu? Yang penting kan aku selamat dari kejadian naas itu. Huft! Apa sih istimewanya daging cowo culun sepertiku ini? Perasaan dari kemarin diincar ghoul terus! Tak lihat apa kalau aku tuh kurus banget?!
“Eh, Toka mana, Pak?” kutanyakan keberadaan gadis galak itu karena seharian tak nongol.
“Dia lagi sakit. Kalau kamu mau nengok, dia tinggal di atas kok,” jawab Pak Yoshi sambil nunjuk ke langit-langit.
Tanpa mau membuang waktu, bergegas kutengok dia ke kosnya. Ada namanya tertera di sana. Tok tok tok. Bertepatan dengan itu, Ibu Hinami tampak hendak bepergian dan aku pun masuk. Di dalam sana, ada Hinami yang sedang asik menggambar.
Toka menyambutku ketus (biasa!). “Ngapain lu ke sini?” Ia tampak santai-santai saja tak seperti lagi sakit. Begini memang kalau ghoul “sakit”.
“Aku dengar kamu lagi sakit. Makanya aku sengaja datang ke sini untuk menengokmu. Kamu sakit apa?” tanyaku care.
“Hm, datang-datang jenguk orang sakit tapi gak bawa apa-apa?”
Gubrak! Kugelagapan disindirnya sesadis itu. Uh! Aku tak sempat memikirkannya, soalnya dia itu kan ghoul. Masa aku bawa buah tangan daging manusia?!
Hinami kemudian membuyarkan kecanggungan itu dengan menanyakan tulisan padaku. Kuajari dia penuh arti dengan senang hati. Kasihan kan dia hanya bisa belajar di rumah saja, hiks!
Toka menghela napas melihatnya. “Aku mau minum kopi dulu, ah!”
“Eh, biar kubuatin,” kumenawarkan diri. “Kamu kan masih sakit,” tegurku lemah lembut.
“Kamu sedang ngajar Hinami. Gak usahlah,” tolaknya. Tiba-tiba saja sahabatnya datang. “Yoriko?!”
“Kamu nggak datang tadi ke sekolah. Kamu lagi sakit, ya?” tanyanya prihatin. “Nih aku bawain kamu masakan buatanku.”
Toka menerimanya canggung—merasa berterima kasih meskipun mendapat makanan manusia. Tapi mana bisa ia menyantapnya? Melihatku ada di dalam, ia kepanikan dan segera pulang. Jadi canggung juga. Di dalam kan juga ada Hinami. Kenapa ia bisa berpikiran macam-macam seperti itu?
Tapi sahabatnya itu begitu perhatian pada Toka—mengingatkanku pada Hide saja yang selalu perhatian padaku. Teman macam itu memang mahal dan patut dilindungi habis-habisan!
“Eh, kau akan memakannya?” tanyaku begitu Toka membawa makanan itu ke dapur dengan wajah tegang.
“Tentu saja aku akan memakannya!” pekiknya stres. “Ini kan buatan sahabatku yang sudah berbaik hati mau membuatkannya untukku. Ia memang selalu membagi masakannya denganku di sekolah. Tapi…”
Kemudian kutersadar mengapa Toka bisa sampai sakit seperti ini…
(Di jalan…)
“Huh! Lama-lama si Yomo bisa mematahkan lenganku kalau begini terus,” keluhku sambil mengelus lenganku. Biasalah, aku disuruhnya berlatih dengannya. Tinjuku kan jadi sakit diayunkan terus. Pegal lagi. Ia melatihku tidak main-main dan serius. Melatih pukulan pun entah harus berapa banyak lagi.
Bug bug bugh… tiba-tiba saja terdengar suara gebukan di gang sepi itu. Kusempatkan diri untuk mengintip dan melihat… eh itu kan Nishi! Ia tengah digebukin 2 orang tanpa ampun. Kasihan dia terkapar seperti itu, tapi masih saja terus dihantam. Eh…
Ah, untuk apa aku peduli padanya?! Setelah apa yang dia lakukan padaku dan Hide, mana sudi aku menolong ghoul jahat itu? Ia sudah membahayakanku dan Hide. Itu terlalu menyakitkan untuk dikenang. Lebih baik aku cabut saja, tapi…
Bug bug bug… “Rasain kamu! Sakit?! Mampus lu!”
Tak tega juga ya mendengarnya disiksa seperti itu. Ya, meskipun dia itu jahat!
“Anu… permisi,” sapaku sopan sambil menghampiri mereka. Mereka pun menghentikan penganiayaannya pada Nishi—mengira ada orang mau nanya alamat di tengah penyerangan mereka (haha!).
“Kaneki… Ken,” sahut Nishi lemah. Ia tampak sangat berbeda kali ini, tak berdaya, tak seperti kemarin itu songongnya minta ampun!
“Ng… kalian nggak merasa keterlaluan ya? Kan kasihan dia,” tegurku lembut. Jadi canggung juga sih rasanya menegur berandalan. Tapi aku merasa harus menghentikannya karena kasihan. Ia kan baru saja luka-luka parah setelah pertarungan itu. Itu sudah terlalu keras!
“Siapa lo? Kami ini mau makan dia! Kenapa? Kamu juga mau?” 
Kutersadar, rupanya mereka adalah ghoul juga! Ghoul kanibal! Mata mereka lalu berubah menjadi mata ghoul. Tanpa ragu-ragu, mereka menyerangku. Kuberusaha menghindar selincah mungkin. Bugh! Duh serangan mereka sampai membuat pintu besi ruko remuk segala lagi. Untung saja ya aku bisa menghindar dengan baik. Lumayanlah!
Kupasang kuda-kuda pertahananku dengan kedua lengan. Eh, tapi apa aku bisa ya? Aku tak terbiasa berkelahi soalnya—itu kan bukan karakterku. Tapi ini mendesak. Eh, aku tak nyangka jika aku bisa memukul mundur mereka juga. Duak!
Ng? Kupandangi tinjuku. Aku tak nyangka kekuatannya bisa sebesar itu. Padahal aku hanya mengerahkan tenaga seadanya. Tapi ghoulnya tepar begitu. Rupanya latihan yang kujalani berguna juga ya dengan melatih kekuatan pukulan, ya meski hampir membuat lenganku patah-patah saking seringnya.
Terima kasih, Yomo! Ternyata latihannya bisa kugunakan untuk membantu… musuh?!
(Di rumah Nishi…)
“Di sini ya rumahmu?” Sambil memapahnya yang terpincang-pincang, kubantu ia masuk ke kosnya.
“Nishi!” pekik Kimi—pacarnya yang langsung kepanikan membuka pintu. “Kamu nggak apa-apa?”
Kimi membantu Nishi duduk. Nishi tampak lemah dan lunglai. Kasihan juga sih melihatnya luka-luka seberat itu.
“Eh, cowok ini kan—“ Kimi menatapku waspada.
“Nggak apa. Ia lah yang menolongku waktu dikeroyok preman ghoul,” Nishi bereaksi dengan suara lemas.
(Di taman…)
“Nishi sakit dan aku tak tahu harus berbuat apa untuk menolongnya!” galau Kimi. “Aku tak mungkin…”
Kasihan juga, sih! Apa yang bisa kubantu untuk mereka, ya? Tapi tentu saja aku tak bisa membantu Nishi dalam “hal” itu. Mana tega aku melakukannya?!
Tapi setelah kupikir-pikir, Kimi yang tahu Nishi itu ghoul masih setia menjadi pacarnya. Beraninya ia! Bagaimana kalau ia sampai dimakan? Apakah itu akan terjadi?
“Ng, aku akan membantu Nishi. Kamu tenang saja, ya. Semuanya akan baik-baik saja! Percayalah padaku.” Kuberusaha menenangkan Kimi. Tapi bagaimana caranya ya aku membantu Nishi?
(Di jalan malam-malam…)
Apa yang bisa kulakukan untuk Nishi agar Kimi bisa tenang dan tak galau lagi? Di sepanjang jalan kumemikirkannya. Huft! Aku tak nyangka sudah membuat Nishi sangat menderita setelah pertarungan brutal itu. Sori, habis mana bisa aku membiarkanmu memakan sahabatku?!
Meskipun ia musuhku, tapi tetap saja ku kasihan padanya! Aku sudah mencabik-cabik perutnya waktu itu. Ya, kedengarannya itu menyakitkan dan aku tak tahu seperti apa penderitaannya mengalami luka fatal seperti itu. Ngenes juga, ya? Brutal juga ya aku waktu itu? Tak nyangka!
Aku jadi merasa bersalah juga. Mungkin aku sudah terlalu keras padanya. Setelah kumerenung, ia sudah 2 kali kehilangan mangsanya saat bertemu denganku. Apa ia sudah makan? Karena kulihat ia sangat lemas. Aku masih lebih beruntung setelah kelaparan setengah mati, Pak Yoshi memberiku makan diam-diam saatku pingsan kemarin dulu itu. Tapi dia?
Duh, jadi serba salah juga nih! Akulah yang sudah membuatnya kelaparan seperti itu dan aku tahu persis betapa nelangsanya rasa lapar itu. Aku sudah pernah mengalaminya kemarin dulu. Tapi aku sudah melakukan hal yang semestinya! Ah, yang lalu biarlah berlalu. Sebaiknya aku berpikir bagaimana agar aku bisa menebus “kesalahan”-ku ini…
(Di rumah…)
Sepi banget, ya? Kumelangkah di kafe gelap yang sudah tutup itu dan menemukan sepucuk surat beserta mawar di depen pintu kaca. Ng? Perasaanku jadi tak enak nih. Aku kenal betul siapa yang suka kirim beginian dengan cara khas seperti ini.
Kubuka surat itu. “Kaneki, aku undang kamu buat makan bareng denganku di ***. Menunya gadis cantik yang ngobrol denganmu di taman tadi, loh!”
Kujatuhkan surat itu gemetaran. Apa?! Kimi diculik?! Nishi…
“Kaneki!” pekik Nishi dari pintu depan. Bergegas kubukakan pintu untuknya dan melihat mantan ghoul sadis itu merayap lemah ke pintu rumahku. Ia tampak lemas memang, tapi berusaha sekuat tenaga datang kemari hanya untuk meminta bantuanku. Rupanya ia sudah tahu Kimi diculik!
“Kamu tenang saja, ya! Ghoul itu mengincar diriku. Tak akan terjadi apa-apa dengan pacarmu itu,” kumenenangkannya dengan halus. “Dari kemarin, dia memang sudah mau memakanku. Pacarmu hanya dijadikannya umpan saja. Akan segera kubawa pulang pacarmu itu.”
“Aku ikut!” pekik Nishi cemas.
“Jangan! Kamu kan masih sakit (gara-gara seranganku) dan harus banyak istirahat. Oke?” cegahku.
“Nggak! Kalau menyangkut nyawa Kimi, aku harus bertarung demi dirinya. Bawalah aku bersamamu!”
Setelah itu, aku tak bisa menahannya lagi. Kutertegun. Sebagai ghoul, ia sangat mencintai anak cucu Adam itu. Apa cinta ghoul dan manusia bisa bersatu?
(Di Misa Hitam…)
“Shu!” Maka kami berdua datang menerobos tempat itu meskipun Nishi tampak susah-payah.
“Kaneki, lihat ini!” Shu menyambutku norak. “Aku sudah menyiapkan hidangan spesial untukmu.” Kami lalu melihat Kimi di sebuah altar berbaring memunggungi kami. “Aku ingin kau memakannya, soalnya aku ingin memakanmu yang lagi makan. Pasti rasanya lebih menggairahkan!”
Entah darimana ia bisa berpikir seajaib itu. Mana mungkin aku memakan manusia hidup-hidup? Lagipula ia itu kan pacar mus… maksudku pacarnya Nishi.
Sebaiknya aku segera menyelesaikan masalah ini. Kumaju duluan menyerangnya penuh percaya diri dan membiarkan Nishi di tempat karena ia kan masih butuh bed rest.
“Ah? Yang ini namanya pukulan? Seperti bayi saja!” cemoohnya dengan kemampuan menghindarnya yang lincah. “Ini tendangan? Kau sebaiknya jadi bayi saja…”
Aku tak memedulikan cemoohannya dan terus menyerang secara beruntutan. Ini kan hasil latihanku selama ini yang boleh juga, kan? Ia tak boleh menumbangkan percaya diriku begitu saja!
Tapi di lain kesempatan, ia malah menjatuhkanku dengan mudah. “Ini baru yang namanya pukulan dan tendangan!”
Bruk. Kutersungkur ke sisi ruangan. Duuuh! Nishi malah maju susah payah. Kekuatan cintanya mampu mengalahkan rasa sakitnya selama ini, namun dengan mudah ghoul sakit itu dikalahkan Shu. Belum ada yang bisa mengalahkannya. Kuterjun lagi menyerangnya, namun saat serangannya membahayakanku, Toka datang melindungiku dan dengan kemampuan bela dirinya ia pun bertarung melawan Shu.
“Oh, kau tak berubah ya sejak kau berusia 14 tahun itu dan aku 18. Matamu itu sangatlah tajam dan dingin. Waktu itu aku memang kalah, tapi sekarang kemampuan kita sebanding!” sambil bertarung, Shu masih saja terus mengoceh meskipun Toka tak memedulikannya.
Kumembantu pertarungan mereka, tapi dengan mudahnya Shu meninju lenganku hingga patah. Argh! Sepertinya aku masih kelas awam di pertarungan ghoul ini.
Namun—jreb. Toka terkena serangan fatalnya dan terkapar. Duh, masih belum ada yang bisa mengalahkan ghoul berselera tinggi itu. Semuanya berhasil ditumbangkannya. Tapi yang jadi masalahnya, setelah ia berhasil menumbangkan musuh-musuhnya, perhatiannya tertuju penuh gairah padaku!
Belum sempat kumenghindar atau melawan, ia langsung menghajarku membabi-buta hingga berlumuran darah (sensor kabut hitam). Belum puas menghajarku, ia melumuri tangan lentiknya dengan muntahan darahku kemudian mengendusnya. Ia tampak menikmati itu.
“Astaga! Bau darahmu membangkitkan gairah lidahku yang penuh harmoni ini. Lezat. Harum. Nikmat sekali. Padahal ini baru darahnya saja, bagaimana dengan dagingmu?!” Ia berpuitis lagi dengan alaynya. Nyentrik sekali ekspresi selera tingginya itu. “Ya ampun, mantap! Bersiaplah Kaneki-ku. Ntar lagi kau bakalan masuk ke sebuah tempat yang penuh cita rasa tinggi.”
Kemudian ia menghampiri Kimi yang tak sadarkan diri dan berniat menjadikannya pembuka mulut. Disibaknya bahu Kimi, tapi terdapat bekas luka mengerikan di sana. “Luka jelek apa ini?”
Nishi bangkit secara susah payah. Jangan-jangan luka itu—
Mungkin Nishi tak sejahat dugaanku sebelumnya. Mungkin yang dulu itu hanya kesan pertama yang buruk di saat ia tengah kelaparan berat, makanya ia jadi buas seperti kemarin. Aku tak tahu latar belakangnya bagaimana, masa kecilnya bagaimana, bagaimana rasa cintanya pada manusia bernama Kimi itu. Tapi apa benar karena ulahku yang membuatnya kelaparan panjang, ia hampir saja menyantap Kimi? Kalau benar begitu, pasti cintalah yang menyelamatkan Kimi dan Nishi lebih memilih kelaparan saja terus, makanya sampai di situ saja luka Kimi. Keputusan yang berat…
Nishi menyerang Shu demi Kimi. Kebuasannya terpancar, namun karena masih sakit, ia digodam habis sama Shu (sensor negatif berdarah). Shu melakukannya dengan ringan dan gila-gilaan. Nishi dibantainya tak berdaya.  Ghoul malang!
“Bodoh! Kau tak mengeluarkan kagune sama sekali. Bagaimana pun juga, kagune itu alat dan bahan bakarnya ya daging orang!”
Kumerenungkan kalimat itu. “Apa benar itu, Toka?”
“Tsk! Aku tak bisa mengeluarkan kaguneku karena masakan Yoriko. Aku tak nyangka dampaknya akan jadi seperti ini di saat genting. Bagaimana kita bisa melawannya tanpa kagune?”
“Kalau begitu, aku punya rencana!” Kemudian kubisikkan ia apa rencanaku itu…
“Shu!” panggil Toka yang sudah berada di belakangku. Shu berbalik dan melihat kesiapan kami. “Kau sudah siap?”
Kumengangguk tanpa ragu dan membiarkannya… menyibak bahuku kemudian mengisap darahku.
“Jangan dilihat, Shu!” cemooh Toka sambil mengisap darahku.
Aku bisa merasakan aliran darah di bahuku berpindah ke mulutnya—seperti saat berkencan tragis dengan Rize dulu.
Sesuai dugaan, Shu uring-uringan. “Tidak! Jangan! Jangan makan Kaneki-ku! Ia itu milikku dan tak boleh ada yang menikmati cita rasanya selain aku!” histerisnya norak—sangat berkarakter khas.
Setelah merasa cukup, Toka melepaskan gigitannya. Kujatuh bersimpuh sambil memegangi pundakku yang berlumuran darah segar. Aduh duh… meski pun kesakitan, aku berani mengorbankan diri mengambil ide itu dan sudah siap mental menerimanya.
Yang penting sekarang, Toka sudah bisa mengeluarkan… kagunenya!