THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Senin, 22 Februari 2016

Texhnolyze-2 (Forfeiture)


When a maddened Ichise charges at the promoter's lover, his leg is severed as a consequence. Keigo Onishi, the head of the Organo, arrives at the scene but allows Ichise to live instead of shooting him to death. Ichise is able to crawl away into the streets, struggling to stay alive and sane. Meanwhile, the sage explains to Yoshii that Ran is a seer, able to look into an individual's near future. Yoshii discusses his motives with the sage for leaving the surface world, whether they could be good or bad. Later, Yoshii and Ran take a train to Lux, and he learns that she is a florist. Later, Onishi survives an assassination attempt by the Salvation Union.  (April 23, 2003)

(hm jujur aja ya di rouge ini bikin nangis bombay. nonton aja kalo ga percaya >.< sedi banget n terpuruk plus stresnya pun kena. hm kalo soal lagu si lumayan ya metalnya. silakan nonton dengan ngeklik gambar ini kalo berani, siapkan tisu ya >.<)

https://www.youtube.com/watch?v=UNCHWJWC0wo


“Arrrrrrrrrrggggggggggggghhhhhhhhhhhhhhh!!!!!!!!!”
Rasa sakit yang lebih mengerikan daripada kata kematian itu sendiri mencincang otakku. Dengan sadis dan tanpa ragu, mereka memisahkan anggota tubuhku yang seringkali kupakai untuk bertarung itu. Tidak! Tidak! Ini pasti hanya mimpi! Tangan itu adalah sumber penghasilan utamaku selama ini sebagai petarung hiburan: tangan kananku!
Bruk! Kuterjerembab dengan lengan putus berlumuran darah segar. Darah yang mengalir menggenangi tanah di sekitarku. Kuterbelalak syok tak percaya. Hosh-hosh…!
Mereka yang mengelilingi tubuhku yang sudah tak berdaya ini mencibirku habis-habisan, menghinaku, memakiku karena tangan itu sudah memukul wanita haus seks kemarin. Ya, beginilah akibatnya menurut mereka. Tapi kurasa wanita itu memang pantas menerimanya. Aku tak pernah bakal mau menerima cintanya—apalagi kontak fisik dengannya di ranjang.
Setelah puas, mereka kemudian meninggalkanku dengan entengnya. Meninggalkanku yang tengah menderita di jalanan—di kolam darahku sendiri. Sepertinya mereka merasa tak apa-apa saja memperlakukanku sebengis ini karena aku hanyalah seorang petarung jalanan rendahan—yang dipandang sebelah mata oleh yang lainnya. Orang yang hanya bisa memukul mati lawannya di ring demi uang dan memuaskan mereka yang di atas sana. Menyedihkan!
Kuraih potongan tanganku di tanah dengan tangan gemetaran. Tentu saja mustahil untuk menyambungnya kembali. Tangan ini adalah harga diriku! Dan harga diri itu sudah mati di tangan mereka. Syok sekali rasanya menerima kehilangan yang berat seperti ini.
Aku tak menyangka semuanya akan jadi seperti ini. Mereka akan datang mengusikku dan memberiku pelajaran seganas ini. Tidak! Tidak! Aku ingin mereka tahu mereka sedang berhadapan dengan siapa. Mereka tak bisa memperlakukanku sebiadab ini!
“Huaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrggggggggggggggghhhhhhhhhhhhhhhh!!!!!!!!!!!!!!!”
Kumeraung kencang karena amarah yang membuncah. Mereka membuatku meledak-ledak seperti ini. Meskipun dengan kondisi fisik yang terbatas, kuberdiri dan berlari ke arah mereka yang tengah memasuki mobilnya. Mati kalian!
Begitu melihatku hendak menyerang meski dalam kondisi cacat, mereka tertegun di depan mobil. Akan kutunjukkan kalau aku tak mudah dikalahkan begitu saja. Aku Ichise takkan menyerah dalam keadaan ini! Tak akan ada orang di dunia ini yang terima kalau harga diri mereka dicabut semena-mena dari kehidupan mereka. Sekarang saatnya memberontak dan membalas dendam dengan mengenyahkan rasa sakit ini!
Ini adalah pertarungan harga diriku! Aku masih bisa menggunakan tangan kiriku, bukan? Kuayunkan tinjuku yang tersisa ini ke wanita keparat itu, namun—srek! Pria tadi kembali mengeluarkan katananya.
Hah?! Kuterbelalak syok lagi. Belum sempat tinju yang masih bisa kugunakan itu mendarat ke sasaran, kuterjerembab kembali. Bruk. Kali ini apa yang terjadi?
Hosh-hosh! Sial! Sial! Sial! Rasa sakit yang sama kali ini mendera kaki kiriku! Kusemakin tak berdaya karena kembali kehilangan dan rasa sakit dua kali lipatnya dari yang tadi. Kolam darahku semakin meluas. Sialan pria katana itu!
Nyawaku benar-benar disepelekan di sini. Ini penghinaan! Mereka sudah menginjak-injak harga diriku. Sangat mudah bagi mereka untuk mencelakai dan menebas. Padahal aku hanya menawarkan tinju, tapi pembalasan mereka ribuan kali lebih menyakitkan.
Ini tak adil! Aku bukan binatang yang harus mati di jalanan. Mereka mengerjaiku tanpa ampun hanya demi wanita sialan itu.
Sekarang aku sudah tak bisa apa-apa lagi. Tak bisa meninju atau berlari lagi untuk menyerang mereka. Aku hanya bisa terjerembab di kolam darahku sendiri. Aku sungguh tak berdaya kini! Tinggal menunggu mati sajalah harapanku.
Hosh-hosh… sekarang pria di depanku menodongkan pistolnya padaku. Aku hanya bisa tinggal terima. Aku sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk mempertahankan diri. Mereka mengeroyokiku. Mungkin itulah penutup dari mereka untukku yang tak mau menyerah setelah diperlakukan sebengis ini.
Dor dor dor… kutertelungkup rapat dengan tanah. Rapat dengan kehinaan. Mereka seperti sedang membunuh tikus got. Mereka pun meninggalkanku sekarat di sini. Darahku mengalir jauh. Tapi aku masih bisa bernapas. Mereka tak tahu kalau aku masih tahan banting dibantai seperti ini.
Kusingkirkan kepiluan terbesarku dan memulai asa yang baru di tengah-tengah masa kritisku ini. Aku masih bisa bertahan hidup meski setengah mati!
Sret-sret. Kumerayap sambil menyeret-nyeret potongan kaki dan tanganku dengan tali yang diikatkan. Aku masih bisa menyiasatinya. Untuk sementara ini, aku memang hanya bisa merayap seperti binatang. Susah dan membebani memang, belum lagi rasa sakitnya tak mau pergi. Merayap dengan satu tangan dan satu kaki—aku harus belajar untuk terbiasa akan kondisi ini. Kalau pun tanganku satu-satunya pegal untuk berpindah, tapi perjalanan yang orang biasa bisa lalui sebentar harus tetap kujalani. Butuh waktu lebih lama daripada sebelumnya dengan perjuangan hidup yang tak main-main.
Darahku berceceran di sepanjang jalan yang kulalui. Setidaknya aku masih hidup. Tinggal berusaha bagaimana caranya untuk mempertahankan nyawa yang tinggal separuh ini. Nyawa itu berharga meski pun tinggal setengah. Aku akan berusaha mempertahankannya sampai aku tak kuasa lagi.
Akhirnya tibalah aku di sebuah sumber air. Kujatuhkan potongan kaki dan tanganku ke dalamnya kemudian merenung sedih. Memang untungnya aku masih hidup, tapi bagaimana caranya bertahan hidup dalam kondisi mematikan seperti ini? Berpindah saja sudah setengah mati. Aku juga tak bisa melawan lagi. Aku punya banyak musuh dan aku pasti akan mudah untuk digulingkannya dalam kondisi tragis seperti ini.
Balas dendam? Aku tak bisa memikirkan hal mengerikan itu dulu meskipun kemarahanku tertanam di anggota tubuhku yang hilang. Apa aku bisa melalui kehidupan sejatuh ini? Kemudian kuminum air di sana untuk menguatkan staminaku. Aku harus kuat bagaimanapun!
Apa yang baru saja kualami? Rasanya kembali menjadi seperti bayi yang tak berkuasa apa-apa. Meski sempat putus asa dan sedih, kutatap redup sebuah tiang pipa air. Sepertinya Tuhan masih mau mengasihaniku!
Dengan pipa sebagai tongkat kruk itu, membantu perpindahanku. Ujung kaki dan lengan yang terpotong kuikat dengan tali agar darahnya tak terlalu banyak yang berceceran lagi. Syukurlah aku tak perlu setengah mati seperti tadi dan bisa bergerak lebih cepat daripada merayap. Kumenaiki tangga, namun tiba-tiba saja kukehilangan keseimbangan. Bruk. Kembali kuterjatuh, kali ini dengan bibir dan hidung yang berdarah. Lengkaplah sudah deritaku hari ini. Tak bisa kubayangkan akan melalui hari sesuram ini dalam hidupku.
Hosh-hosh… lagi-lagi aku hanya bisa tergeletak di tangga itu sambil menatap langit. Lelah! Aku ingin beristirahat dulu. Tapi aku masih harus melanjutkan perjalanan ini. Masih terlalu awal untuk terjatuh. Kemudian kumemaksakan diri untuk kembali tertatih dengan bantuan tongkat kruk buatanku ini.
Sekarang mereka melihatku sebagai gelandangan bukan sebagai petarung lagi. Kondisi yang menyedihkan jika untuk pertama kalinya kau harus menerima sumbangan uang dari mereka yang mengenalmu sebagai petarung bayaran. Sekarang uang yang bisa kuterima hanya sedekah, bukan hasil dari bertarung lagi. Bagaimana caranya bertarung kalau fisikmu sendiri tak lengkap? Tak utuh lagi? Sekarang aku tinggal di dunia yang bernama keterbatasan!
Tak ada lagi kesan ganas dalam raut wajahku. Yang tersisa kini mata yang sudah tak bercahaya lagi, percikan darah di hidung dan mulut yang belum sempat kubersihkan, dan… uang sedekah di mulutku. Sepertinya terlalu berat untuk mengurus diriku sendiri yang sudah sangat tak terawat. Mungkin terlalu cengeng rasanya kalau kuakui aku pun turut mengasihani diriku sendiri saking tak berdayanya!
Mungkin karena kasihan melihatku terduduk lemas di gang sempit, seorang wanita tua memberikanku semangkuk sup jualannya. Ia meletakkan sup hangat lezat itu di bangkuku. Kutatap sendu sup lezat itu. Aku sangat berterima kasih… tapi cukup. Sudah cukup aku menerima pemberian orang! Aku sudah muak dikasihani! Rasa iba mereka bagai racun pada harga diriku ini!
Menerima sedekah untuk kesekian kalinya justru merupakan suatu ketidakberuntungan bagiku. Terima kasih sekali lagi! Bukannya aku menolak, meskipun perutku dalam keadaan kosong melompong sekali pun. Bukannya bermaksud menghina pula, kutinggalkan tempat itu. Mengemis dan menerima sedekah orang bukan cara hidupku. Aku tak serendah itu merepotkan tangan orang untuk selalu berada di atas tanganku meskipun aku tak meminta apa-apa. Tapi fisikku yang sekarang ini seolah mengemis sedekah mereka!
Aku sudah kehilangan separuh harga diriku, aku tak mau kehilangan separuhnya lagi…
Kutertatih dan tak memedulikan pandangan iba orang terhadapku. Tiba-tiba saja seorang pemuda memanggilku dengan julukan kasar. Kuabaikan dan terus tertatih. Belum cukupkah penderitaanku kini? Mengapa mereka masih saja mengganggu dan menghinaku sementara aku tak bisa melawan mereka?
Aku sudah lemah jauh berada di bawah kekuatan musuh-musuh bertarungku. Mereka pasti senang melihatku tersiksa seperti ini dan tak bisa mencari uang dengan bertarung lagi. Mereka pasti menertawakan kemalanganku yang hanya bisa bertumpu pada satu kaki dan satu tangan saja sedangkan mereka masih punya keduanya masing-masing. Silakan sepelekan aku, aku sudah tak peduli lagi. Memang sudah kenyataan kalau aku cacat parah.
Karena kuabaikan, salah seorang pemuda yang memanggilku tadi kemudian membuliku. Bruk. Ia menendang punggungku hingga keseimbanganku pun runtuh seketika dengan mudahnya—tak seperti dulu lagi.
Kuusahakan bertopang dengan tanganku yang tersisa, namun susah karena tak ada keseimbangan. Aku pun terjerembab dengan mudah. Mereka kembali menghinaku. Terserah mereka mau menindasku seperti apa. Aku sepertinya sudah tak memiliki cahaya lagi untuk melangkah ke masa depan. Masa depan seperti apa yang akan digapai oleh orang cacat?
Aku hanya bisa terjerembab di tanah itu sampai mereka puas menertawakan ketidakberdayaanku ini dan pergi meninggalkanku. Marah? Ya, aku marah! Tapi kemarahanku pada ketidakberdayaanku ini jauh lebih besar daripada keinginan untuk memberontak pada pembuli itu.
Aku kalah dengan mudah sekarang—tak seperti di arena pertarungan yang selalu bisa kumenangkan dengan mudah pula. Memalukan! Dan semua dunia sudah tahu itu… bahwa untuk mengalahkanku sekarang seperti merebut permen dari bayi yang masih belajar berjalan.
Kulanjutkan perjalanan panjang ini. Masih tetap berharap akan berakhir di ujung yang mana. Namun begitu melihat masih banyak anak tangga yang harus kulalui, gairahku padam seketika. Rasanya tinggi sekali kumelalui jalan yang dulunya biasa kulalui ini. Padahal jumlahnya tak seberapa!
Kuterduduk di sisi tembok—terpekur. Aku sudah tak sanggup lagi meneruskan perjalanan berat ini. Biarkan saja aku membusuk di sini sekarang. Tep-tep—tiba-tiba saja, seorang pemuda melangkah enteng di tangga itu. Pemuda itu tak mengiraukan kesusahanku di sini. Kutatap punggung pemuda yang mulai menjauh itu. Enak sekali rasanya menjadi dirinya dengan anggota tubuh yang masih lengkap! Irinya…
Pemuda itu terhenti seketika dan menatapku dengan pandangan mencemooh. Pandangan sebelah mata yang sekarang harus kubiasakan memandanginya. Kemudian pemuda itu kembali melangkah pergi dan menghilang begitu saja.
Bugh! Kutinju tembok yang kusandari sampai darahku memercik di tembok itu. Sialan!
Tak hanya mereka yang memandangku dengan tatapan rendah seperti itu, tapi juga… diriku sendiri! Ya, pemuda yang melintas tadi adalah bayangan diriku sendiri. Ini adalah tangga yang tentunya mudah sekali kulalui di kala masih utuh dulu. Tapi sekarang…
Mungkin aku akan berakhir di tempat ini. Sampai malam menusuk pun, aku tak berpindah sedikit pun dari tangga ini. Besoknya mungkin akan ada orang yang menemukan bangkai cacat ini. Lihat, aku bahkan sudah tak sanggup lagi menepis seekor serangga yang berlalu lalang di wajah kucelku ini. Padahal dulu aku bisa dengan mudahnya membunuh mereka. Tapi sekarang, aku biarkan saja karena mungkin besok mereka bisa membantu mengebumikanku dengan memakan bangkaiku sampai habis.
Sudah tak ada harapan lagi! Apa ada jawaban yang berbeda dengan ini?
Tep-tep. Apakah masih ada orang yang peduli padaku? Di tangga yang sepi dilalui orang ini, baru dia yang lewat malam ini. Ia terhenti tepat di depanku yang tengah sekarat. Seorang wanita cantik kemudian tersenyum penuh arti padaku. Entah apa inti dari senyumannya itu. Rasa iba? Jelaslah bukan!
Senyumnya yang merekah misterius itu memancing rasa ingin tahuku. Apa maunya?


0 komentar: