When
a maddened Ichise charges at the promoter's lover, his leg is severed as a
consequence. Keigo Onishi, the head of the Organo, arrives at the scene
but allows Ichise to live instead of shooting him to death. Ichise is able to
crawl away into the streets, struggling to stay alive and sane. Meanwhile, the
sage explains to Yoshii that Ran is a seer, able to look into an individual's
near future. Yoshii discusses his motives with the sage for leaving the surface
world, whether they could be good or bad. Later, Yoshii and Ran take a train to
Lux, and he learns that she is a florist.
Later, Onishi survives an assassination attempt by the Salvation Union. (April
23, 2003)
(hm jujur aja ya di rouge ini bikin nangis bombay. nonton aja kalo ga percaya >.< sedi banget n terpuruk plus stresnya pun kena. hm kalo soal lagu si lumayan ya metalnya. silakan nonton dengan ngeklik gambar ini kalo berani, siapkan tisu ya >.<)
“Arrrrrrrrrrggggggggggggghhhhhhhhhhhhhhh!!!!!!!!!”
Rasa sakit yang lebih mengerikan
daripada kata kematian itu sendiri mencincang otakku. Dengan sadis dan tanpa
ragu, mereka memisahkan anggota tubuhku yang seringkali kupakai untuk bertarung
itu. Tidak! Tidak! Ini pasti hanya mimpi! Tangan itu adalah sumber penghasilan
utamaku selama ini sebagai petarung hiburan: tangan kananku!
Bruk! Kuterjerembab dengan lengan
putus berlumuran darah segar. Darah yang mengalir menggenangi tanah di
sekitarku. Kuterbelalak syok tak percaya. Hosh-hosh…!
Mereka yang mengelilingi tubuhku
yang sudah tak berdaya ini mencibirku habis-habisan, menghinaku, memakiku
karena tangan itu sudah memukul wanita haus seks kemarin. Ya, beginilah
akibatnya menurut mereka. Tapi kurasa wanita itu memang pantas menerimanya. Aku
tak pernah bakal mau menerima cintanya—apalagi kontak fisik dengannya di
ranjang.
Setelah puas, mereka kemudian
meninggalkanku dengan entengnya. Meninggalkanku yang tengah menderita di
jalanan—di kolam darahku sendiri. Sepertinya mereka merasa tak apa-apa saja
memperlakukanku sebengis ini karena aku hanyalah seorang petarung jalanan
rendahan—yang dipandang sebelah mata oleh yang lainnya. Orang yang hanya bisa
memukul mati lawannya di ring demi uang dan memuaskan mereka yang di atas sana.
Menyedihkan!
Kuraih potongan tanganku di tanah
dengan tangan gemetaran. Tentu saja mustahil untuk menyambungnya kembali.
Tangan ini adalah harga diriku! Dan harga diri itu sudah mati di tangan mereka.
Syok sekali rasanya menerima kehilangan yang berat seperti ini.
Aku tak menyangka semuanya akan
jadi seperti ini. Mereka akan datang mengusikku dan memberiku pelajaran seganas
ini. Tidak! Tidak! Aku ingin mereka tahu mereka sedang berhadapan dengan siapa.
Mereka tak bisa memperlakukanku sebiadab ini!
“Huaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrggggggggggggggghhhhhhhhhhhhhhhh!!!!!!!!!!!!!!!”
Kumeraung kencang karena amarah
yang membuncah. Mereka membuatku meledak-ledak seperti ini. Meskipun dengan
kondisi fisik yang terbatas, kuberdiri dan berlari ke arah mereka yang tengah
memasuki mobilnya. Mati kalian!
Begitu melihatku hendak menyerang
meski dalam kondisi cacat, mereka tertegun di depan mobil. Akan kutunjukkan
kalau aku tak mudah dikalahkan begitu saja. Aku Ichise takkan menyerah dalam
keadaan ini! Tak akan ada orang di dunia ini yang terima kalau harga diri
mereka dicabut semena-mena dari kehidupan mereka. Sekarang saatnya memberontak
dan membalas dendam dengan mengenyahkan rasa sakit ini!
Ini adalah pertarungan harga
diriku! Aku masih bisa menggunakan tangan kiriku, bukan? Kuayunkan tinjuku yang
tersisa ini ke wanita keparat itu, namun—srek! Pria tadi kembali mengeluarkan
katananya.
Hah?! Kuterbelalak syok lagi.
Belum sempat tinju yang masih bisa kugunakan itu mendarat ke sasaran, kuterjerembab
kembali. Bruk. Kali ini apa yang terjadi?
Hosh-hosh! Sial! Sial! Sial! Rasa
sakit yang sama kali ini mendera kaki kiriku! Kusemakin tak berdaya karena
kembali kehilangan dan rasa sakit dua kali lipatnya dari yang tadi. Kolam
darahku semakin meluas. Sialan pria katana itu!
Nyawaku benar-benar disepelekan
di sini. Ini penghinaan! Mereka sudah menginjak-injak harga diriku. Sangat
mudah bagi mereka untuk mencelakai dan menebas. Padahal aku hanya menawarkan
tinju, tapi pembalasan mereka ribuan kali lebih menyakitkan.
Ini tak adil! Aku bukan binatang
yang harus mati di jalanan. Mereka mengerjaiku tanpa ampun hanya demi wanita
sialan itu.
Sekarang aku sudah tak bisa
apa-apa lagi. Tak bisa meninju atau berlari lagi untuk menyerang mereka. Aku
hanya bisa terjerembab di kolam darahku sendiri. Aku sungguh tak berdaya kini!
Tinggal menunggu mati sajalah harapanku.
Hosh-hosh… sekarang pria di
depanku menodongkan pistolnya padaku. Aku hanya bisa tinggal terima. Aku sudah
tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk mempertahankan diri. Mereka mengeroyokiku.
Mungkin itulah penutup dari mereka untukku yang tak mau menyerah setelah
diperlakukan sebengis ini.
Dor dor dor… kutertelungkup rapat
dengan tanah. Rapat dengan kehinaan. Mereka seperti sedang membunuh tikus got.
Mereka pun meninggalkanku sekarat di sini. Darahku mengalir jauh. Tapi aku
masih bisa bernapas. Mereka tak tahu kalau aku masih tahan banting dibantai
seperti ini.
Kusingkirkan kepiluan terbesarku
dan memulai asa yang baru di tengah-tengah masa kritisku ini. Aku masih bisa
bertahan hidup meski setengah mati!
Sret-sret. Kumerayap sambil
menyeret-nyeret potongan kaki dan tanganku dengan tali yang diikatkan. Aku masih
bisa menyiasatinya. Untuk sementara ini, aku memang hanya bisa merayap seperti
binatang. Susah dan membebani memang, belum lagi rasa sakitnya tak mau pergi.
Merayap dengan satu tangan dan satu kaki—aku harus belajar untuk terbiasa akan
kondisi ini. Kalau pun tanganku satu-satunya pegal untuk berpindah, tapi
perjalanan yang orang biasa bisa lalui sebentar harus tetap kujalani. Butuh
waktu lebih lama daripada sebelumnya dengan perjuangan hidup yang tak
main-main.
Darahku berceceran di sepanjang
jalan yang kulalui. Setidaknya aku masih hidup. Tinggal berusaha bagaimana
caranya untuk mempertahankan nyawa yang tinggal separuh ini. Nyawa itu berharga
meski pun tinggal setengah. Aku akan berusaha mempertahankannya sampai aku tak
kuasa lagi.
Akhirnya tibalah aku di sebuah
sumber air. Kujatuhkan potongan kaki dan tanganku ke dalamnya kemudian merenung
sedih. Memang untungnya aku masih hidup, tapi bagaimana caranya bertahan hidup
dalam kondisi mematikan seperti ini? Berpindah saja sudah setengah mati. Aku
juga tak bisa melawan lagi. Aku punya banyak musuh dan aku pasti akan mudah
untuk digulingkannya dalam kondisi tragis seperti ini.
Balas dendam? Aku tak bisa
memikirkan hal mengerikan itu dulu meskipun kemarahanku tertanam di anggota
tubuhku yang hilang. Apa aku bisa melalui kehidupan sejatuh ini? Kemudian
kuminum air di sana untuk menguatkan staminaku. Aku harus kuat bagaimanapun!
Apa yang baru saja kualami?
Rasanya kembali menjadi seperti bayi yang tak berkuasa apa-apa. Meski sempat
putus asa dan sedih, kutatap redup sebuah tiang pipa air. Sepertinya Tuhan
masih mau mengasihaniku!
Dengan pipa sebagai tongkat kruk
itu, membantu perpindahanku. Ujung kaki dan lengan yang terpotong kuikat dengan
tali agar darahnya tak terlalu banyak yang berceceran lagi. Syukurlah aku tak
perlu setengah mati seperti tadi dan bisa bergerak lebih cepat daripada
merayap. Kumenaiki tangga, namun tiba-tiba saja kukehilangan keseimbangan. Bruk.
Kembali kuterjatuh, kali ini dengan bibir dan hidung yang berdarah. Lengkaplah
sudah deritaku hari ini. Tak bisa kubayangkan akan melalui hari sesuram ini
dalam hidupku.
Hosh-hosh… lagi-lagi aku hanya
bisa tergeletak di tangga itu sambil menatap langit. Lelah! Aku ingin
beristirahat dulu. Tapi aku masih harus melanjutkan perjalanan ini. Masih
terlalu awal untuk terjatuh. Kemudian kumemaksakan diri untuk kembali tertatih
dengan bantuan tongkat kruk buatanku ini.
Sekarang mereka melihatku sebagai
gelandangan bukan sebagai petarung lagi. Kondisi yang menyedihkan jika untuk
pertama kalinya kau harus menerima sumbangan uang dari mereka yang mengenalmu
sebagai petarung bayaran. Sekarang uang yang bisa kuterima hanya sedekah, bukan
hasil dari bertarung lagi. Bagaimana caranya bertarung kalau fisikmu sendiri
tak lengkap? Tak utuh lagi? Sekarang aku tinggal di dunia yang bernama
keterbatasan!
Tak ada lagi kesan ganas dalam
raut wajahku. Yang tersisa kini mata yang sudah tak bercahaya lagi, percikan
darah di hidung dan mulut yang belum sempat kubersihkan, dan… uang sedekah di
mulutku. Sepertinya terlalu berat untuk mengurus diriku sendiri yang sudah
sangat tak terawat. Mungkin terlalu cengeng rasanya kalau kuakui aku pun turut
mengasihani diriku sendiri saking tak berdayanya!
Mungkin karena kasihan melihatku
terduduk lemas di gang sempit, seorang wanita tua memberikanku semangkuk sup
jualannya. Ia meletakkan sup hangat lezat itu di bangkuku. Kutatap sendu sup
lezat itu. Aku sangat berterima kasih… tapi cukup. Sudah cukup aku menerima
pemberian orang! Aku sudah muak dikasihani! Rasa iba mereka bagai racun pada
harga diriku ini!
Menerima sedekah untuk kesekian
kalinya justru merupakan suatu ketidakberuntungan bagiku. Terima kasih sekali
lagi! Bukannya aku menolak, meskipun perutku dalam keadaan kosong melompong
sekali pun. Bukannya bermaksud menghina pula, kutinggalkan tempat itu. Mengemis
dan menerima sedekah orang bukan cara hidupku. Aku tak serendah itu merepotkan
tangan orang untuk selalu berada di atas tanganku meskipun aku tak meminta
apa-apa. Tapi fisikku yang sekarang ini seolah mengemis sedekah mereka!
Aku sudah kehilangan separuh
harga diriku, aku tak mau kehilangan separuhnya lagi…
Kutertatih dan tak memedulikan
pandangan iba orang terhadapku. Tiba-tiba saja seorang pemuda memanggilku
dengan julukan kasar. Kuabaikan dan terus tertatih. Belum cukupkah penderitaanku
kini? Mengapa mereka masih saja mengganggu dan menghinaku sementara aku tak
bisa melawan mereka?
Aku sudah lemah jauh berada di
bawah kekuatan musuh-musuh bertarungku. Mereka pasti senang melihatku tersiksa
seperti ini dan tak bisa mencari uang dengan bertarung lagi. Mereka pasti
menertawakan kemalanganku yang hanya bisa bertumpu pada satu kaki dan satu
tangan saja sedangkan mereka masih punya keduanya masing-masing. Silakan
sepelekan aku, aku sudah tak peduli lagi. Memang sudah kenyataan kalau aku cacat
parah.
Karena kuabaikan, salah seorang
pemuda yang memanggilku tadi kemudian membuliku. Bruk. Ia menendang punggungku
hingga keseimbanganku pun runtuh seketika dengan mudahnya—tak seperti dulu
lagi.
Kuusahakan bertopang dengan
tanganku yang tersisa, namun susah karena tak ada keseimbangan. Aku pun
terjerembab dengan mudah. Mereka kembali menghinaku. Terserah mereka mau
menindasku seperti apa. Aku sepertinya sudah tak memiliki cahaya lagi untuk
melangkah ke masa depan. Masa depan seperti apa yang akan digapai oleh orang
cacat?
Aku hanya bisa terjerembab di
tanah itu sampai mereka puas menertawakan ketidakberdayaanku ini dan pergi
meninggalkanku. Marah? Ya, aku marah! Tapi kemarahanku pada ketidakberdayaanku
ini jauh lebih besar daripada keinginan untuk memberontak pada pembuli itu.
Aku kalah dengan mudah
sekarang—tak seperti di arena pertarungan yang selalu bisa kumenangkan dengan
mudah pula. Memalukan! Dan semua dunia sudah tahu itu… bahwa untuk
mengalahkanku sekarang seperti merebut permen dari bayi yang masih belajar
berjalan.
Kulanjutkan perjalanan panjang
ini. Masih tetap berharap akan berakhir di ujung yang mana. Namun begitu
melihat masih banyak anak tangga yang harus kulalui, gairahku padam seketika.
Rasanya tinggi sekali kumelalui jalan yang dulunya biasa kulalui ini. Padahal
jumlahnya tak seberapa!
Kuterduduk di sisi
tembok—terpekur. Aku sudah tak sanggup lagi meneruskan perjalanan berat ini.
Biarkan saja aku membusuk di sini sekarang. Tep-tep—tiba-tiba saja, seorang
pemuda melangkah enteng di tangga itu. Pemuda itu tak mengiraukan kesusahanku
di sini. Kutatap punggung pemuda yang mulai menjauh itu. Enak sekali rasanya
menjadi dirinya dengan anggota tubuh yang masih lengkap! Irinya…
Pemuda itu terhenti seketika dan
menatapku dengan pandangan mencemooh. Pandangan sebelah mata yang sekarang
harus kubiasakan memandanginya. Kemudian pemuda itu kembali melangkah pergi dan
menghilang begitu saja.
Bugh! Kutinju tembok yang
kusandari sampai darahku memercik di tembok itu. Sialan!
Tak hanya mereka yang memandangku
dengan tatapan rendah seperti itu, tapi juga… diriku sendiri! Ya, pemuda yang
melintas tadi adalah bayangan diriku sendiri. Ini adalah tangga yang tentunya
mudah sekali kulalui di kala masih utuh dulu. Tapi sekarang…
Mungkin aku akan berakhir di
tempat ini. Sampai malam menusuk pun, aku tak berpindah sedikit pun dari tangga
ini. Besoknya mungkin akan ada orang yang menemukan bangkai cacat ini. Lihat,
aku bahkan sudah tak sanggup lagi menepis seekor serangga yang berlalu lalang
di wajah kucelku ini. Padahal dulu aku bisa dengan mudahnya membunuh mereka.
Tapi sekarang, aku biarkan saja karena mungkin besok mereka bisa membantu
mengebumikanku dengan memakan bangkaiku sampai habis.
Sudah tak ada harapan lagi! Apa
ada jawaban yang berbeda dengan ini?
Tep-tep. Apakah masih ada orang
yang peduli padaku? Di tangga yang sepi dilalui orang ini, baru dia yang lewat
malam ini. Ia terhenti tepat di depanku yang tengah sekarat. Seorang wanita
cantik kemudian tersenyum penuh arti padaku. Entah apa inti dari senyumannya
itu. Rasa iba? Jelaslah bukan!
Senyumnya yang merekah misterius
itu memancing rasa ingin tahuku. Apa maunya?
0 komentar:
Posting Komentar