THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Minggu, 28 Februari 2016

TOKYO GHOUL - 7

duh, episod yang ini sedih dan tragis banget! T0T manusianya sekarang yang jahat, ghoul lemah pun dibantai... T0T siapkan tisu...


https://www.youtube.com/watch?v=2Cc04016PBo&index=7&list=PLH7HPkIcGtYqPkA-aZzg9kXt6irbFKY7f



“Mamaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!”
Suara itu menfokuskanku ke arah yang lain. Kuterbelalak begitu melihat Hinami yang tengah berlarian kehujanan—seorang diri. “Eh, itu kan Hinami?”
Bergegas kuhampiri dia. Saking fokusnya padanya, hampir saja sebuah mobil menyerudukku yang tak menyebrang hati-hati. “Sori!”
“Kakak!” Hinami langsung mendekapku dan menangis tersedu-sedu.
“Hinami, kok kamu sendirian begini? Hujan-hujanan lagi. Kamu kenapa, Dek?” tanyaku cemas.
“Mama! Mama!” histerisnya. “Tolong Mama!”
Perasaanku jadi semakin tak enak saja! “Mamamu mana?!”
Ia kemudian menunjuk sebuah arah. Bergegas saja kutarik ia ke sana. Sepertinya Ryoko dalam bahaya! (saking cemasnya, aku tak sempat berpikiran untuk memayungi Hinami yang kugandeng di belakangku. Ntar pilek lagi anaknya orang. Haha!)
Akhirnya tibalah kami di tempat yang ditunjukkan oleh Hinami di sebuah gang. Kumerapat di balik tembok sambil tetap mengintipi kejadian itu. Ryoko tampak mengibar-ngibarkan kagunenya yang sangat indah bagai gumpalan ekor rubah yang dipakai sebagai mantel kelas atas itu. Tapi kagune itu hanya bisa melindungi dirinya sendiri dan di situ-situ aja.
Tampak 2 orang pria di hadapannya. Apakah… apakah mereka merpati yang dimaksud itu?! Kuterbelalak. Salah seorang dari mereka lalu mengeluarkan sebuah kagune dari dalam kopernya. Ryoko terbelalak dan kenal betul itu kagune milik siapa!
“Sepertinya kau bukan tipe ghoul petarung meski memiliki kagune yang indah. Bagaimana kagune ini? Apakah kau mengenalinya?” si tua bangka itu mencemooh sambil menggunakan kagune itu (ternyata dia memang suka mengoleksi kagune ghoul yang dihabisinya dan menamainya). “Sepertinya mudah saja membekuk ghoul sepertimu!”
Ryoko tertunduk. Sepertinya ia akan menyerang dan memberontak. Tapi aku hanya bisa bersembunyi dari balik tembok itu dan menahan Hinami—demi si kecil itu sendiri. Bisa gawat kalau wajah kami ketahuan! Maka kuputuskan untuk tetap menjaganya di sini dan hanya bisa menyaksikan.
Ryoko mengangkat wajahnya. Bukannya memperlihatkan wajah geram, eh… ia malah tersenyum! Sebuah senyum yang tulus pasrah dan tak berdaya—entah apa maksudnya. Sepertinya ia sudah pasrah akan apa yang terjadi padanya nanti dan—
Zrek! Tanpa tanggung-tanggung lagi, si tua bangka itu membantai Ryoko dengan kagune milik suami Ryoko. Darah yang keluar dari tubuh Ryoko berbaur dengan derasnya hujan. Menyedihkan! T0T
Kuterbelalak ngeri melihatnya. Tapi aku hanya bisa berada di sini untuk membekap dan menutup mata Hinami yang meronta-ronta ingin menolong ibunya. Aku tak ingin gadis kecil itu menyaksikan kengerian ini. Sedih sekali! Hinami sudah menjadi yatim piatu sekarang…
Kami berkumpul dalam keadaan duka di kafe itu. Toka datang, tapi tak tahu apa-apa. “Ng? Ada apa ini? Kok kalian pada murung getuh, sih?”
“Oh, Toka? Bagaimana? Sudah baikan?” sapa Pak Yoshi.
“Katakan, apa yang terjadi!” Toka ngotot pada intinya.
“Ryoko… Ryoko meninggal di tangan investigator ghoul,” Pak Yoshi mengabarkan kabar duka itu.
Toka terbelalak syok mendengarnya. “Ryoko mati?! Terus gimana dengan Hinami?”
“Hinami tidur di kamar yang berbeda setelah berhasil ditenangkan. Ia aman sekarang dan sebentar lagi akan dipindahkan ke wilayah seberang. Ia sudah tak bisa tinggal di sini lagi karena wajahnya sudah dilihat para merpati itu,” Pak Yoshi menjelaskan.
“Hinami tinggal sendiri di sana?! Nggak bisa! Kita harus melawan mereka dan melindungi Hinami. Pokoknya, aku nggak setuju Hinami pindah. Aku akan melindunginya di sini. Lagian kita kan punya Yomo. Kita harus balas dendam!”
Tapi Yomo yang cool tampaknya lebih sepakat dengan Pak Yoshi dan menolak rencana tak bijaksana Toka yang berapi-api. Sementara mereka berdebat, aku dan yang lainnya hanya bisa tertunduk menahan duka.
“Sangat tak bijaksana kalau kita menyerang balik mereka. Yang ada, bisa-bisa kita semua dalam bahaya. Kita sudah kehilangan Ryoko.”
“Jadi kita harus diam saja gituh?! Nggak berbuat apa-apa? Ryoko tak salah apa-apa, kenapa dia harus dibantai? Kita harus bertindak biar mereka tahu rasa, Pak!” Toka semakin berapi-api membujuk kami. “Kenapa kita tak bertindak apa-apa?! Aku tak terima!” pekiknya sedih.
“Jangan sampai kita yang ada di sini hidup tak tenang karena suka balas dendam pada manusia,” ucap Pak Yoshi dingin.
Toka tertegun. “Maksud Bapak, gue?” Tersinggung, Toka langsung cabut penuh amarah.
Aku yakin maksud Pak Yoshi bukannya kita tak bakal berbuat apa-apa, tapi ini semua demi keamanan bersama. Sementara aku… sampai sekarang, aku hanya bisa menyesali kenapa tidak bisa berbuat apa-apa di saat genting seperti ini. Ini semua salahku karena aku tak bisa menjadi kuat seperti Toka!
“Coba yang ada di sana itu Toka, bukan aku. Semuanya pasti takkan seperti ini dan Ryoko bisa selamat,” isakku sedih. “Hinami pasti masih berada di dekapan ibunya.”
“Jangan menyalahkan dirimu,” tegur Pak Yoshi. “Kau sudah melakukan hal yang benar.”
Be-benar?! Tapi… tapi nyawa Ryoko melayang!
(Di kafe, beberapa jam kemudian…)
Hm, Toka seharian ini ke mana, ya? Daritadi tak kelihatan…
Gubrak! Ng? Suara apa itu? Bergegas kumenuju suara itu dan melihat Toka menjatuhkan barang-barang di dapur dan… dan ia dalam keadaan terluka!
“Toka! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu terluka?” tanyaku kepanikan begitu melihat ia memegangi luka di lengannya.
“Gue gak apa-apa,” responnya dingin. Nada tandus seperti biasa.
“Aku akan ambilkan obat!” Buru-buru kuhendak keluar mencarikannya obat. Kasihan dia terluka seperti itu. Pasti rasanya sakit!
“Tidak perlu!” Tiba-tiba saja Pak Yoshi yang sudah berada di dekatku itu mencegah.
“Ng? Kenapa, Pak? Lukanya sepertinya parah. Ia harus segera diobatin.”
“Tak usah capek-capek kasih obat sama orang yang gak mau mendengar. Ia pasti habis menyerang para merpati itu. Sudah dibilangin supaya jangan balas dendam, masih saja keras kepala! Kalau ia sampai mati pun, itu bukan tanggung jawab kita,” ketus Pak Yoshi tega-tegaan.
Mendengar itu, hati Toka tersayat habis. Ia langsung berlari keluar sementara kumemanggil-manggilnya. “Toka! Tokaaaaa!” Duh, kasihan banget sih dia. Aku jadi khawatir!
“Tak usah kamu ladeni dia. Dia memang suka ambil keputusan sendiri tanpa berdiskusi.”
“Pak, bukannya bermaksud kurang ajar. Tapi… tapi kuharap Bapak bisa merenungkan keputusan Bapak tadi.” Tanpa mau mendengarkannya juga, aku lebih memilih untuk menyusul Toka. Heran, kok Pak Yoshi bisa bicara hal setega itu pada Toka. Ia kan sedang sedih berat karena kawannya dibantai. Pasti rasanya berat!
(Di gang…)
“Toka,” sapaku lembut. Sengaja kususul dia ke gang itu demi menghiburnya. Ia tampak sedih seorang diri.
“Pergi lu!” Ia kemudian melempariku kaleng. “Lo itu orang, sama kayak para pembantai itu. Mana bisa ngerti perasaan kami yang kehilangan kawan!”
“Aku datang buat ngobatin luka kamu. Luka kamu harus segera diobatin.”
“Nggak usah!” hardiknya ketus. Aku paham karena ia masih emosi berat. Selain merasa kehilangan, ia juga merasa diasingkan karena sifatnya yang pemberontak gila. Namanya juga remaja yang sulit mengontrol amarahnya. Ia merasa tak ada yang sepakat dengannya untuk balas dendam. Tak ada yang mengerti besarnya rasa marahnya itu, meski semuanya merasakan kehilangan yang sama—apalagi Hinami. Tapi ia marah demi orang-orang yang dicintainya dan ia tak mau diam untuk itu.
“Tapi aku tak menyalahkan keberadaan investigator ghoul itu dan sebelum mati pun Ryoko tersenyum dan itu artinya…” kuberusaha memberinya pengertian bahwa Ryoko pasti berpikiran yang sama denganku.
Aku bisa mengerti rasa terpuruknya dan bagaimana rasa terpukulnya itu. Padahal ia sudah terpuruk, tapi seolah tak mendapat dukungan dari yang lainnya. Aku bisa mengerti mengapa ia jadi dingin pada manusia dan sangat berhati-hati untuk itu. Semuanya karena hal yang bernama kehilangan.
Tapi dari nada bicaranya, aku bisa tahu kalau ia mengakui diam-diam telah melakukan hal yang salah (yang aku sendiri belum tahu itu apa).
“Ma… maafkan aku, Toka. Padahal aku ada di sana, tapi tak bisa berbuat apa-apa,” responku begitu bisa meresapi beratnya kesedihannya. “Katakan! Katakan apa yang bisa kulakukan untuk membantumu dan yang lainnya?” tanyaku sungguh-sungguh untuk menebus kesalahanku kemarin itu.
(Di saluran pembuangan air…)
“Ng? Ini kan tempat saluran pembuangan air. Ngapain kita ke sini?” tanyaku begitu menjejakkan kaki di airnya.
“Ikuti saja aku. Katanya mau nolongin?” Ia terus melangkah dan aku pun terus mengikutinya.
Kami mampir ke tempat Uta. Rupanya topeng pesananku itu sudah jadi…
Sebuah topeng mask hitam dengan gigi pun melekat di wajahku. Hanya bagian mata ghoul-ku yang terlihat. Zret. Kuresleting penutup gigi di topeng itu. Aku sudah tahu apa yang harus kulakukan demi Toka nanti!
(aku suka banget topengnya. Keren banget! \(^0^)/)



0 komentar: