duh, episod yang ini sedih dan tragis banget! T0T manusianya sekarang yang jahat, ghoul lemah pun dibantai... T0T siapkan tisu...
“Mamaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!”
Suara itu menfokuskanku ke arah
yang lain. Kuterbelalak begitu melihat Hinami yang tengah berlarian
kehujanan—seorang diri. “Eh, itu kan Hinami?”
Bergegas kuhampiri dia. Saking
fokusnya padanya, hampir saja sebuah mobil menyerudukku yang tak menyebrang
hati-hati. “Sori!”
“Kakak!” Hinami langsung
mendekapku dan menangis tersedu-sedu.
“Hinami, kok kamu sendirian
begini? Hujan-hujanan lagi. Kamu kenapa, Dek?” tanyaku cemas.
“Mama! Mama!” histerisnya.
“Tolong Mama!”
Perasaanku jadi semakin tak enak
saja! “Mamamu mana?!”
Ia kemudian menunjuk sebuah arah.
Bergegas saja kutarik ia ke sana. Sepertinya Ryoko dalam bahaya! (saking
cemasnya, aku tak sempat berpikiran untuk memayungi Hinami yang kugandeng di
belakangku. Ntar pilek lagi anaknya orang. Haha!)
Akhirnya tibalah kami di tempat
yang ditunjukkan oleh Hinami di sebuah gang. Kumerapat di balik tembok sambil
tetap mengintipi kejadian itu. Ryoko tampak mengibar-ngibarkan kagunenya yang
sangat indah bagai gumpalan ekor rubah yang dipakai sebagai mantel kelas atas
itu. Tapi kagune itu hanya bisa melindungi dirinya sendiri dan di situ-situ
aja.
Tampak 2 orang pria di
hadapannya. Apakah… apakah mereka merpati yang dimaksud itu?! Kuterbelalak.
Salah seorang dari mereka lalu mengeluarkan sebuah kagune dari dalam kopernya.
Ryoko terbelalak dan kenal betul itu kagune milik siapa!
“Sepertinya kau bukan tipe ghoul
petarung meski memiliki kagune yang indah. Bagaimana kagune ini? Apakah kau
mengenalinya?” si tua bangka itu mencemooh sambil menggunakan kagune itu
(ternyata dia memang suka mengoleksi kagune ghoul yang dihabisinya dan
menamainya). “Sepertinya mudah saja membekuk ghoul sepertimu!”
Ryoko tertunduk. Sepertinya ia
akan menyerang dan memberontak. Tapi aku hanya bisa bersembunyi dari balik
tembok itu dan menahan Hinami—demi si kecil itu sendiri. Bisa gawat kalau wajah
kami ketahuan! Maka kuputuskan untuk tetap menjaganya di sini dan hanya bisa
menyaksikan.
Ryoko mengangkat wajahnya.
Bukannya memperlihatkan wajah geram, eh… ia malah tersenyum! Sebuah senyum yang
tulus pasrah dan tak berdaya—entah apa maksudnya. Sepertinya ia sudah pasrah
akan apa yang terjadi padanya nanti dan—
Zrek! Tanpa tanggung-tanggung
lagi, si tua bangka itu membantai Ryoko dengan kagune milik suami Ryoko. Darah
yang keluar dari tubuh Ryoko berbaur dengan derasnya hujan. Menyedihkan! T0T
Kuterbelalak ngeri melihatnya.
Tapi aku hanya bisa berada di sini untuk membekap dan menutup mata Hinami yang
meronta-ronta ingin menolong ibunya. Aku tak ingin gadis kecil itu menyaksikan
kengerian ini. Sedih sekali! Hinami sudah menjadi yatim piatu sekarang…
Kami berkumpul dalam keadaan duka
di kafe itu. Toka datang, tapi tak tahu apa-apa. “Ng? Ada apa ini? Kok kalian
pada murung getuh, sih?”
“Oh, Toka? Bagaimana? Sudah
baikan?” sapa Pak Yoshi.
“Katakan, apa yang terjadi!” Toka
ngotot pada intinya.
“Ryoko… Ryoko meninggal di tangan
investigator ghoul,” Pak Yoshi mengabarkan kabar duka itu.
Toka terbelalak syok
mendengarnya. “Ryoko mati?! Terus gimana dengan Hinami?”
“Hinami tidur di kamar yang
berbeda setelah berhasil ditenangkan. Ia aman sekarang dan sebentar lagi akan
dipindahkan ke wilayah seberang. Ia sudah tak bisa tinggal di sini lagi karena
wajahnya sudah dilihat para merpati itu,” Pak Yoshi menjelaskan.
“Hinami tinggal sendiri di sana?!
Nggak bisa! Kita harus melawan mereka dan melindungi Hinami. Pokoknya, aku
nggak setuju Hinami pindah. Aku akan melindunginya di sini. Lagian kita kan
punya Yomo. Kita harus balas dendam!”
Tapi Yomo yang cool tampaknya
lebih sepakat dengan Pak Yoshi dan menolak rencana tak bijaksana Toka yang
berapi-api. Sementara mereka berdebat, aku dan yang lainnya hanya bisa
tertunduk menahan duka.
“Sangat tak bijaksana kalau kita
menyerang balik mereka. Yang ada, bisa-bisa kita semua dalam bahaya. Kita sudah
kehilangan Ryoko.”
“Jadi kita harus diam saja
gituh?! Nggak berbuat apa-apa? Ryoko tak salah apa-apa, kenapa dia harus
dibantai? Kita harus bertindak biar mereka tahu rasa, Pak!” Toka semakin
berapi-api membujuk kami. “Kenapa kita tak bertindak apa-apa?! Aku tak terima!”
pekiknya sedih.
“Jangan sampai kita yang ada di
sini hidup tak tenang karena suka balas dendam pada manusia,” ucap Pak Yoshi
dingin.
Toka tertegun. “Maksud Bapak,
gue?” Tersinggung, Toka langsung cabut penuh amarah.
Aku yakin maksud Pak Yoshi
bukannya kita tak bakal berbuat apa-apa, tapi ini semua demi keamanan bersama.
Sementara aku… sampai sekarang, aku hanya bisa menyesali kenapa tidak bisa
berbuat apa-apa di saat genting seperti ini. Ini semua salahku karena aku tak bisa
menjadi kuat seperti Toka!
“Coba yang ada di sana itu Toka,
bukan aku. Semuanya pasti takkan seperti ini dan Ryoko bisa selamat,” isakku
sedih. “Hinami pasti masih berada di dekapan ibunya.”
“Jangan menyalahkan dirimu,”
tegur Pak Yoshi. “Kau sudah melakukan hal yang benar.”
Be-benar?! Tapi… tapi nyawa Ryoko
melayang!
(Di kafe, beberapa jam kemudian…)
Hm, Toka seharian ini ke mana,
ya? Daritadi tak kelihatan…
Gubrak! Ng? Suara apa itu?
Bergegas kumenuju suara itu dan melihat Toka menjatuhkan barang-barang di dapur
dan… dan ia dalam keadaan terluka!
“Toka! Apa yang terjadi padamu?
Kenapa kamu terluka?” tanyaku kepanikan begitu melihat ia memegangi luka di
lengannya.
“Gue gak apa-apa,” responnya
dingin. Nada tandus seperti biasa.
“Aku akan ambilkan obat!” Buru-buru
kuhendak keluar mencarikannya obat. Kasihan dia terluka seperti itu. Pasti
rasanya sakit!
“Tidak perlu!” Tiba-tiba saja Pak
Yoshi yang sudah berada di dekatku itu mencegah.
“Ng? Kenapa, Pak? Lukanya
sepertinya parah. Ia harus segera diobatin.”
“Tak usah capek-capek kasih obat
sama orang yang gak mau mendengar. Ia pasti habis menyerang para merpati itu.
Sudah dibilangin supaya jangan balas dendam, masih saja keras kepala! Kalau ia
sampai mati pun, itu bukan tanggung jawab kita,” ketus Pak Yoshi tega-tegaan.
Mendengar itu, hati Toka tersayat
habis. Ia langsung berlari keluar sementara kumemanggil-manggilnya. “Toka!
Tokaaaaa!” Duh, kasihan banget sih dia. Aku jadi khawatir!
“Tak usah kamu ladeni dia. Dia
memang suka ambil keputusan sendiri tanpa berdiskusi.”
“Pak, bukannya bermaksud kurang
ajar. Tapi… tapi kuharap Bapak bisa merenungkan keputusan Bapak tadi.” Tanpa
mau mendengarkannya juga, aku lebih memilih untuk menyusul Toka. Heran, kok Pak
Yoshi bisa bicara hal setega itu pada Toka. Ia kan sedang sedih berat karena
kawannya dibantai. Pasti rasanya berat!
(Di gang…)
“Toka,” sapaku lembut. Sengaja
kususul dia ke gang itu demi menghiburnya. Ia tampak sedih seorang diri.
“Pergi lu!” Ia kemudian
melempariku kaleng. “Lo itu orang, sama kayak para pembantai itu. Mana bisa
ngerti perasaan kami yang kehilangan kawan!”
“Aku datang buat ngobatin luka
kamu. Luka kamu harus segera diobatin.”
“Nggak usah!” hardiknya ketus.
Aku paham karena ia masih emosi berat. Selain merasa kehilangan, ia juga merasa
diasingkan karena sifatnya yang pemberontak gila. Namanya juga remaja yang
sulit mengontrol amarahnya. Ia merasa tak ada yang sepakat dengannya untuk
balas dendam. Tak ada yang mengerti besarnya rasa marahnya itu, meski semuanya
merasakan kehilangan yang sama—apalagi Hinami. Tapi ia marah demi orang-orang
yang dicintainya dan ia tak mau diam untuk itu.
“Tapi aku tak menyalahkan
keberadaan investigator ghoul itu dan sebelum mati pun Ryoko tersenyum dan itu
artinya…” kuberusaha memberinya pengertian bahwa Ryoko pasti berpikiran yang
sama denganku.
Aku bisa mengerti rasa
terpuruknya dan bagaimana rasa terpukulnya itu. Padahal ia sudah terpuruk, tapi
seolah tak mendapat dukungan dari yang lainnya. Aku bisa mengerti mengapa ia
jadi dingin pada manusia dan sangat berhati-hati untuk itu. Semuanya karena hal
yang bernama kehilangan.
Tapi dari nada bicaranya, aku
bisa tahu kalau ia mengakui diam-diam telah melakukan hal yang salah (yang aku
sendiri belum tahu itu apa).
“Ma… maafkan aku, Toka. Padahal
aku ada di sana, tapi tak bisa berbuat apa-apa,” responku begitu bisa meresapi
beratnya kesedihannya. “Katakan! Katakan apa yang bisa kulakukan untuk
membantumu dan yang lainnya?” tanyaku sungguh-sungguh untuk menebus kesalahanku
kemarin itu.
(Di saluran pembuangan air…)
“Ng? Ini kan tempat saluran
pembuangan air. Ngapain kita ke sini?” tanyaku begitu menjejakkan kaki di
airnya.
“Ikuti saja aku. Katanya mau
nolongin?” Ia terus melangkah dan aku pun terus mengikutinya.
Kami mampir ke tempat Uta.
Rupanya topeng pesananku itu sudah jadi…
Sebuah topeng mask hitam dengan
gigi pun melekat di wajahku. Hanya bagian mata ghoul-ku yang terlihat. Zret.
Kuresleting penutup gigi di topeng itu. Aku sudah tahu apa yang harus kulakukan
demi Toka nanti!
(aku suka banget topengnya. Keren
banget! \(^0^)/)
0 komentar:
Posting Komentar