episod yang ini seru, loh! klik aja gambar ini menuju link videonya. tapi yang ga suka darah, hm siap aja karna ada banyak darah di sini, mandi darah dsb. tapi ga serem sih menurutku. ga tahu kalo kalian :p penuh darah, seru tapi ada lucu-lucunya juga. klik hepi nonton...
“Shu?!” desis Toka tak senang.
“Ngapain kamu ke sini?” hardiknya galak.
“Kau tak berubah ya, Toka. Masih
aja galak!” respon Shu santai. Matanya kemudian tertuju padaku—menjadi pusat
perhatiannya. “Eh, ini siapa? Kamu anak baru ya?” Ia lalu menghampiriku
kemudian mengendus-endusku sedekat-dekatnya. Aku jadi risih!
“Kenalin, aku Kaneki.” Kemudian
kuperkenalkan diri. Orang itu sepertinya tertarik padaku dan ingin bertemu lagi
denganku. Tak lama, setelah puas bikin orang di sana gak suka ama dia, dia pun
cabut.
“Eh, tu siapa sih, Toka?” tanyaku
penasaran. Soalnya orangnya kayak gitu, sih! Nyentrik banget dan tingkahnya pun
ganjil. “Kok kalian gak seneng dia mampir?”
“Itu Shu! Orangnya berbahaya,
makanya aku gak suka ama dia. Kamu jangan dekat-dekat ya ama dia,” tegurnya. Hm
kenapa, ya?
(Di kampus pagi-pagi…)
Kuasik membaca buku sendirian di
tempat favoritku yang damai di bawah pohon itu. Enjoy saja sambil merasakan
kesejukannya. Lagi asik-asiknya membaca, tiba-tiba saja Shu menemaniku. “Eh
kamu juga ngampus di sini?” tegurku.
“Aku sengaja datangin kamu
soalnya aku liat kamu lagi sendirian di sini. Kayaknya kamu kutu buku banget
ya,” komentarnya.
“Iya, aku suka banget baca buku.
Ini buku favoritku, gaya nulisnya pas banget, makanya aku suka. Kamu suka baca
buku juga?” timpalku.
“Ya, aku suka sih. Tapi sejak
Rize mati, aku jadi gak punya temen buat seru-seruan,” katanya sok sendu.
“Padahal kesukaan kami pada buku sama. Penulis idola kami juga sama. Ia tahu
banyak soal buku.”
Ya, aku juga menyukai penulis
itu. Sama, dong! Ia kemudian berpuitis ria. Rupanya ia jago juga merangkai
kata-kata. Kurasa aku cocok temenen ama orang ini. Kurasa dia tak seburuk yang
Toka katakan.
“Eh, kapan-kapan kamu ada waktu
gak? Kita ketemuan yuk dan bahas soal buku,” ajaknya. Aku sih iyakan saja.
Soalnya aku seneng banget bisa ada temen nyambung soal buku bacaan. Pasti seru!
(Di dapur malam-malam…)
“Kau sudah boleh pulang,” kata
Pak Yoshi. “Btw, Yomo sudah nungguin kamu di tangga. Pergilah!”
Eh? Ada urusan apa dia denganku?
Kuikuti saja perintah Pak Yoshi dan mengikuti pria itu malam-malam begini. Ada
apa, ya?
“Anu… mau ke mana kita ini?”
Akhirnya tibalah kami di tempat yang sepi. “Huh, seperti biasa orangnya susah
banget sih diajak bicara,” keluhku dalam hati karena ia tetap diam saja hingga
tiba di tempat itu.
Kami terhenti di sebuah tempat
nan sepi. Mencurigakan, aku jadi mulai merasa tak enak. Mau ngapain, nih? Glek!
Yomo lalu membuka jaketnya. Duh!
“Merpati sudah beraksi. Jadi kamu harus bisa bertanggung jawab atas dirimu
sendiri. Kamu harus bisa jaga diri!” Dialog yang singkat, jelas, dan padat dari
orang yang irit bicara seperti dia. Ia hanya mau buka mulut untuk hal yang
penting-penting saja. Huft! Tapi masih belum jelas apa maksudnya sampai ia
melancarkan serangan padaku.
Eh? Kenapa ia langsung-langsung
saja menyerangku setelah mengatakannya?! Kumenghindari serangannya selincah
mungkin meski masih belum mengerti apa maksudnya. Kenapa tiba-tiba—
Duak. Serangan telaknya membuatku
tersungkur. Duh, sakit…
“Caramu menghindari serangan
sudah cukup bagus,” komentarnya sambil mengambil jaketnya. Eh? “Habis pulang
kerja, datanglah kemari lagi. Aku akan melatihmu.”
Kuberusaha bangkit dan
menatapnya. Oh, bilang kek! Nih orang bener-bener saking pendiamnya, jalan
pikirannya jadi susah ketebak apa maunya. Kirain dia mau menyakitiku. Tapi
kalau itu memang niatnya, serangannya pasti tak sampai di situ saja. Buktinya,
‘latihan’ hari ini sudah cukup dengan satu kali gebuk. Mungkin dia cuma mau
test drive aja dulu sebagai permulaan. Tak apa… tak apa-apa!
“Bangun. Ada orang yang mau ketemu
sama kamu,” katanya cool (seperti biasa). Ng? Siapa?
(Di sebuah bar…)
Sekarang aku duduk di depan meja
bar. Di sana ada Uta dan Itori si pemilik bar itu, dan tentunya juga ada Yomo.
Itori tampak bergairah banget ketemu denganku. Rupanya Yomo ngajak aku gaul ama
ghoul lainnya. Wanita yang bernama Itori itu agresif banget karena penasaran
padaku.
Itori begitu ceplas-ceplos dan
banyak cerita soal Yomo dan Uta yang suka berantem, meski katanya sih sekarang
dah baikan. Ia lalu menawariku segelas wine, tapi aku menolaknya karena masih
di bawah umur. Byur. Eh tiba-tiba saja ia menyiramiku dan melepas penutup mata
medisku. Duh!
“Ini bukan wine. Sori! Aku hanya
penasaran mau liat mata ghoul kamu yang hanya sebelah. Wow!” Ia terkagum-kagum
melihat mata ghoulku yang mulai menyala-nyala lagi. Ih!
Ia memberiku handuk untuk
membersihkan diri. Dasar! Rupanya itu pengalihan perhatian untuk membuka
penutup mata ini. “Eh perna dengar legenda gak soal ghoul dan manusia yang
menikah?”
Eh?! Mang ada? Sepertinya kisah
yang menarik!
“Kalau ada ghoul dan orang yang
menikah, anaknya akan jadi setengah ghoul dan bermata ghoul sebelah sepertimu,
tapi kekuatannya lebi istimewa daripada ghoul biasa,” jelasnya dengan wajah
muram. Mata ghoulnya berbinar.
Hening sesaat…
Kemudian kumembuka pembicaraan
mengenai Rize karena aku masih penasaran tentangnya.
“Rize itu biang kerok. Untung
saja dia mati waktu itu karena ada yang bunuh. Kamu beruntung karena ada yang
mau selamatin,” katanya tenang.
“Loh, bukannya itu karena
kecelakaan?”
“Hahaha! Kamu tuh polos banget
ya? Dia tuh dibunuh.”
“Itori, sudah!” Yomo menegurnya
dengan dingin.
“Dibunuh sama siapa? Siapa yang
sudah nolongin aku?”
Semuanya masih misteri. Hm siapa
ya kira-kira? Aku ini tak polos-polos amat untuk cari tahu. Dan mengapa Yomo
menegur Itori seolah dia itu menyembunyikan sesuatu?
(Di kafe bersama Shu…)
Pagi ini aku janjian ketemuan
sama Shu begitu ada waktu luang. Kami membahas soal buku lagi. Aku menikmati
pembicaraan ini sampai ia mengenang soal Rize yang sudah menghina makan malamnya
saat mo ditraktirnya dulu.
“Gadis itu serakah banget!
Berani-beraninya ia menghina makan malamku. Ia juga sudah sok elit dan memilih
makanan berkelas. Huh!” geramnya sambil meremukkan gelasnya. Krek!
Eh? Spontan saja kuselamatkan
tangannya itu agar jangan sampai terluka oleh beling. Tapi—awh! Tanganku
berdarah karena beling itu.
“Jangan khawatir! Cuma luka
kecil.” Ia lalu menutupi tanganku yang terluka dengan serbet. Darahnya pun
menembus serbet itu. Aku hanya memandang bingung gelagapannya itu. Tapi bukankah
ia memang seperti itu?
“Eh, kamu mau nggak aku ajakin ke
tempat Rize biasanya nongkrong?” Lalu ia mengambil serbet itu dan membawanya
pulang. Aku sih oke-oke aja…
(Di tempat nongkrong Rize semasa
hidupnya…)
Byur. Kenapa malam-malam begini
aku disuruh mandi segala? Huft! Aku lakuin aja sesuai peraturan. Tapi
sebenarnya ini tempat apa? Bahkan baju yang terbilang ekslusif pun sudah
disediakan untukku. Wow!
Usai mandi, kucari-cari Shu. Mana
dia? Seorang pelayan memberiku kopi di meja. Kumenyesapinya. Hm, ini tempat apa
sih? Dan mengapa mereka semua memakai topeng tapi tak mau menjawab pertanyaanku
ini? Shu, kau di mana sih?
Grek. Tiba-tiba saja lantai yang
kupijak malah bergerak naik. Eh? Eh? Kenapa ini? Mau dibawa ke mana aku?!
Kemudian lantai itu membawaku ke tengah lapangan seperti Colloseum. Aku yang
kebingungan ini berada di tengah-tengah orang yang berada di atas sana. Riuh
sekali!
Ng? Ada apa sih ini? Siapa mereka
semua yang memakai topeng itu? Kupandangi lapangan itu kok banyak bekas darah
yang tergenang ya? Seperti tempat penyembelihan hewan saja! Tapi aku masih
belum bisa menyadari sesuatu hingga Shu yang pake setengah topeng pun datang
dikawali cewek-cewek cantik.
“Hadirin sekalian, inilah menu
kita hari ini! Dijamin rasanya lezat dan cita rasanya beda karena yang
kupersembahkan ini adalah ghoul!”
Terdengar pro dan kontra dari
para ghoul itu. Riuh rendah bersahutan berdiskusi. “Aku tak suka kanibalisme!”
“Shu!” pekikku. “Kau
menjebakku?!” geramku. “Aku tak menyangka kau merencanakan hal sekotor ini
padaku! Padahal aku tulus mau temenen sama kamu! Tapi ternyata kau mau
memakanku!”
“Terserahlah! Makanya jadi orang
jangan mudah percaya dan jangan polos-polos amat, Mas Bro.” Shu tersenyum
kotor. “Para hadirin sekalian! Dia memang ghoul, tapi beraroma manusia. Kalau
tak percaya, ini buktinya!” Ia kemudian menjatuhkan serbet yang terdapat noda
darahku kemarin. Para ghoul rakus kemudian berebutan untuk mengendusnya dan
kembali lebih bergairah (hm mungkin daripada menyantap manusia biasa).
Ck! Shu sialan! Terus bagaimana
ini? Para ghoul itu kemudian meriuhkan untuk segera menyajikanku. Buseeeeeeeet!
Pintu berterali kemudian terbuka
dan masuklah seorang scrapper yang akan memotong-motongku dengan gergajinya.
Hiiiiii!
Jadi mereka menjadikan ini
sebagai pertunjukan?! Jadi sudah ada berapa nyawa melayang di tempat gore ini?
Kuberlari ke pintu dan berusaha membuka pintunya. Nggggggg! Duh, berat! Aku
kepanikan. Bagaimana ini?! Aku tak bisa keluar!! Mati aku! Mati aku! Mati akuuu!
Sia-sia saja dan scrapper itu
mendekat. Hosh-hosh. So?! Kumencoba menerjangnya untuk mempertahankan diri.
Kuayunkan tendangan ke wajahnya dengan lincah, tapi tak berpengaruh. Duh,
sia-sia saja! Maka, lebih baik kuberlari ke sana kemari saja dikejarnya. Sial
sial siaaaaaaallll…
“Keluarkan kagune-mu! Mana? Mana?!”
Sementara itu, riuh-riuh di atas
sana membuatku semakin nelangsa. Gusrak. Tiba-tiba saja kuterjatuh karena
genangan darah. Hiiii! Tubuhku pun berlumuran darah yang sepertinya masih baru.
Bau amis di badanku jadi lebih terasa. Dan scrapper itu semakin mendekat!
Matilah aku! Dia melempar tubuhku
ke dinding hingga kutak berdaya sejenak. Kumengumpulkan kesadaran dan sempat
kudengar kalimat Shu, “Obatnya sudah bekerja. Ia sudah tak berdaya lagi!”
Kemudian kuteringat kopi yang kucicipi tadi. Duh, rupanya—
Scarpper itu lalu mengangkat dan
mencekikku kuat-kuat. Argh! Mampus! Kutak bisa bernapas apalagi melawan.
Nggrrrhhhhh!!!
“Putar kepalanya! Putar!” seru
para ghoul di sana. Wtf!
Aku bukan makanan kalian… aku
bukan menu kalian… aku bukan ghoul… aku manusiaaaaaaaa!!!
Di tengah-tengah erangan rasa
sakit yang menyesakkan, kekuatan ghoulku bangkit di saat kritis. Mata ghoulku
yang sebelah berbinar, akalku mulai terengut oleh darah ghoul yang bengis.
Grrrrrrrrrrrrhhh!
Duak! Scrapper itu kutinju mundur
hingga tersungkur. Hosh-hosh… selamat!
“Hei, itu ghoul bermata satu!”
para ghoul itu tersentak tak percaya. “Langka banget!”
Mereka terpesona dan aku berhasil
menarik perhatian mereka di ambang putusnya nyawaku tadi. Fiuh!
Shu pun terasa syok. Ia nyaris
pingsan saking bapernya. Kedua cewe yang mendampinginya yang berusaha
menahannya saking perhatiannya, ia pukul mundur. Hell!
“Bunuh dia! Lanjutkan!” pinta
seorang wanita—si pemilik scrapper itu.
“Oke, Mama!” scrapper bertubuh
besar itu kembali menyerangku. Duh, gawat! Namun—
Crot! Shu datang membelah tubuh
scrapper malang itu dengan santainya. Hujan darah pun menambah genangan merah
di tanah. Kuterbelalak. Tapi kenapa?
Dengan tubuh yang berlumuran
darah scrapper, ia menghampiriku. Hampir tak ada yang bersih dari noda darah di
tubuhnya, bajunya yang putih jadi merah segar, wajahya pun bercipratan darah.
Mengerikan sekali orang ini! Tanpa ragu ia menghabisi scrapper temannya
sendiri. Tapi kenapa? Kenapa? Kenapa?!
“Dasar scrapper gak berguna!” si
pemilknya malah mencaci maki algojo piaraannya itu. Kasihan!
Scrapper yang sudah tak berdaya
itu menitikkan air mata mendengar cacian tuannya. “Mama, hiks…” (the end)
“Aku takkan menyerahkan ghoul
bermata satu ke ghoul lain. Kau sangat istimewa!” Sekarang perhatianku tertuju
pada Shu yang mengendusku dengan nikmatnya. “Kau hanya milikku. Takkan
kubiarkan siapa pun memakanmu!”
Deg! Ini tuk kesekian kalinya aku mau dihidangkan
dan jadi menu ghoul! Jadi manusia, diincar habis eh jadi setengah ghoul juga
menggoda lidah mereka. Inilah akibatnya kalau kau tak mendengarkan nasehat
orang.
Toka, sori aku mengabaikan
peringatanmu kemarin dan temenen ama bajingan ini… T0T
0 komentar:
Posting Komentar