THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Kamis, 25 Februari 2016

TOKYO GHOUL - 4

episod yang ini seru, loh! klik aja gambar ini menuju link videonya. tapi yang ga suka darah, hm siap aja karna ada banyak darah di sini, mandi darah dsb. tapi ga serem sih menurutku. ga tahu kalo kalian :p penuh darah, seru tapi ada lucu-lucunya juga. klik hepi nonton...


https://www.youtube.com/watch?v=JqRaaYCQ9Q8



“Shu?!” desis Toka tak senang. “Ngapain kamu ke sini?” hardiknya galak.
“Kau tak berubah ya, Toka. Masih aja galak!” respon Shu santai. Matanya kemudian tertuju padaku—menjadi pusat perhatiannya. “Eh, ini siapa? Kamu anak baru ya?” Ia lalu menghampiriku kemudian mengendus-endusku sedekat-dekatnya. Aku jadi risih!
“Kenalin, aku Kaneki.” Kemudian kuperkenalkan diri. Orang itu sepertinya tertarik padaku dan ingin bertemu lagi denganku. Tak lama, setelah puas bikin orang di sana gak suka ama dia, dia pun cabut.
“Eh, tu siapa sih, Toka?” tanyaku penasaran. Soalnya orangnya kayak gitu, sih! Nyentrik banget dan tingkahnya pun ganjil. “Kok kalian gak seneng dia mampir?”
“Itu Shu! Orangnya berbahaya, makanya aku gak suka ama dia. Kamu jangan dekat-dekat ya ama dia,” tegurnya. Hm kenapa, ya?
(Di kampus pagi-pagi…)
Kuasik membaca buku sendirian di tempat favoritku yang damai di bawah pohon itu. Enjoy saja sambil merasakan kesejukannya. Lagi asik-asiknya membaca, tiba-tiba saja Shu menemaniku. “Eh kamu juga ngampus di sini?” tegurku.
“Aku sengaja datangin kamu soalnya aku liat kamu lagi sendirian di sini. Kayaknya kamu kutu buku banget ya,” komentarnya.
“Iya, aku suka banget baca buku. Ini buku favoritku, gaya nulisnya pas banget, makanya aku suka. Kamu suka baca buku juga?” timpalku.
“Ya, aku suka sih. Tapi sejak Rize mati, aku jadi gak punya temen buat seru-seruan,” katanya sok sendu. “Padahal kesukaan kami pada buku sama. Penulis idola kami juga sama. Ia tahu banyak soal buku.”
Ya, aku juga menyukai penulis itu. Sama, dong! Ia kemudian berpuitis ria. Rupanya ia jago juga merangkai kata-kata. Kurasa aku cocok temenen ama orang ini. Kurasa dia tak seburuk yang Toka katakan.
“Eh, kapan-kapan kamu ada waktu gak? Kita ketemuan yuk dan bahas soal buku,” ajaknya. Aku sih iyakan saja. Soalnya aku seneng banget bisa ada temen nyambung soal buku bacaan. Pasti seru!
(Di dapur malam-malam…)
“Kau sudah boleh pulang,” kata Pak Yoshi. “Btw, Yomo sudah nungguin kamu di tangga. Pergilah!”
Eh? Ada urusan apa dia denganku? Kuikuti saja perintah Pak Yoshi dan mengikuti pria itu malam-malam begini. Ada apa, ya?
“Anu… mau ke mana kita ini?” Akhirnya tibalah kami di tempat yang sepi. “Huh, seperti biasa orangnya susah banget sih diajak bicara,” keluhku dalam hati karena ia tetap diam saja hingga tiba di tempat itu.
Kami terhenti di sebuah tempat nan sepi. Mencurigakan, aku jadi mulai merasa tak enak. Mau ngapain, nih? Glek!
Yomo lalu membuka jaketnya. Duh! “Merpati sudah beraksi. Jadi kamu harus bisa bertanggung jawab atas dirimu sendiri. Kamu harus bisa jaga diri!” Dialog yang singkat, jelas, dan padat dari orang yang irit bicara seperti dia. Ia hanya mau buka mulut untuk hal yang penting-penting saja. Huft! Tapi masih belum jelas apa maksudnya sampai ia melancarkan serangan padaku.
Eh? Kenapa ia langsung-langsung saja menyerangku setelah mengatakannya?! Kumenghindari serangannya selincah mungkin meski masih belum mengerti apa maksudnya. Kenapa tiba-tiba—
Duak. Serangan telaknya membuatku tersungkur. Duh, sakit…
“Caramu menghindari serangan sudah cukup bagus,” komentarnya sambil mengambil jaketnya. Eh? “Habis pulang kerja, datanglah kemari lagi. Aku akan melatihmu.”
Kuberusaha bangkit dan menatapnya. Oh, bilang kek! Nih orang bener-bener saking pendiamnya, jalan pikirannya jadi susah ketebak apa maunya. Kirain dia mau menyakitiku. Tapi kalau itu memang niatnya, serangannya pasti tak sampai di situ saja. Buktinya, ‘latihan’ hari ini sudah cukup dengan satu kali gebuk. Mungkin dia cuma mau test drive aja dulu sebagai permulaan. Tak apa… tak apa-apa!
“Bangun. Ada orang yang mau ketemu sama kamu,” katanya cool (seperti biasa). Ng? Siapa?
(Di sebuah bar…)
Sekarang aku duduk di depan meja bar. Di sana ada Uta dan Itori si pemilik bar itu, dan tentunya juga ada Yomo. Itori tampak bergairah banget ketemu denganku. Rupanya Yomo ngajak aku gaul ama ghoul lainnya. Wanita yang bernama Itori itu agresif banget karena penasaran padaku.
Itori begitu ceplas-ceplos dan banyak cerita soal Yomo dan Uta yang suka berantem, meski katanya sih sekarang dah baikan. Ia lalu menawariku segelas wine, tapi aku menolaknya karena masih di bawah umur. Byur. Eh tiba-tiba saja ia menyiramiku dan melepas penutup mata medisku. Duh!
“Ini bukan wine. Sori! Aku hanya penasaran mau liat mata ghoul kamu yang hanya sebelah. Wow!” Ia terkagum-kagum melihat mata ghoulku yang mulai menyala-nyala lagi. Ih!
Ia memberiku handuk untuk membersihkan diri. Dasar! Rupanya itu pengalihan perhatian untuk membuka penutup mata ini. “Eh perna dengar legenda gak soal ghoul dan manusia yang menikah?”
Eh?! Mang ada? Sepertinya kisah yang menarik!
“Kalau ada ghoul dan orang yang menikah, anaknya akan jadi setengah ghoul dan bermata ghoul sebelah sepertimu, tapi kekuatannya lebi istimewa daripada ghoul biasa,” jelasnya dengan wajah muram. Mata ghoulnya berbinar.
Hening sesaat…
Kemudian kumembuka pembicaraan mengenai Rize karena aku masih penasaran tentangnya.
“Rize itu biang kerok. Untung saja dia mati waktu itu karena ada yang bunuh. Kamu beruntung karena ada yang mau selamatin,” katanya tenang.
“Loh, bukannya itu karena kecelakaan?”
“Hahaha! Kamu tuh polos banget ya? Dia tuh dibunuh.”
“Itori, sudah!” Yomo menegurnya dengan dingin.
“Dibunuh sama siapa? Siapa yang sudah nolongin aku?”
Semuanya masih misteri. Hm siapa ya kira-kira? Aku ini tak polos-polos amat untuk cari tahu. Dan mengapa Yomo menegur Itori seolah dia itu menyembunyikan sesuatu?
(Di kafe bersama Shu…)
Pagi ini aku janjian ketemuan sama Shu begitu ada waktu luang. Kami membahas soal buku lagi. Aku menikmati pembicaraan ini sampai ia mengenang soal Rize yang sudah menghina makan malamnya saat mo ditraktirnya dulu.
“Gadis itu serakah banget! Berani-beraninya ia menghina makan malamku. Ia juga sudah sok elit dan memilih makanan berkelas. Huh!” geramnya sambil meremukkan gelasnya. Krek!
Eh? Spontan saja kuselamatkan tangannya itu agar jangan sampai terluka oleh beling. Tapi—awh! Tanganku berdarah karena beling itu.
“Jangan khawatir! Cuma luka kecil.” Ia lalu menutupi tanganku yang terluka dengan serbet. Darahnya pun menembus serbet itu. Aku hanya memandang bingung gelagapannya itu. Tapi bukankah ia memang seperti itu?
“Eh, kamu mau nggak aku ajakin ke tempat Rize biasanya nongkrong?” Lalu ia mengambil serbet itu dan membawanya pulang. Aku sih oke-oke aja…
(Di tempat nongkrong Rize semasa hidupnya…)
Byur. Kenapa malam-malam begini aku disuruh mandi segala? Huft! Aku lakuin aja sesuai peraturan. Tapi sebenarnya ini tempat apa? Bahkan baju yang terbilang ekslusif pun sudah disediakan untukku. Wow!
Usai mandi, kucari-cari Shu. Mana dia? Seorang pelayan memberiku kopi di meja. Kumenyesapinya. Hm, ini tempat apa sih? Dan mengapa mereka semua memakai topeng tapi tak mau menjawab pertanyaanku ini? Shu, kau di mana sih?
Grek. Tiba-tiba saja lantai yang kupijak malah bergerak naik. Eh? Eh? Kenapa ini? Mau dibawa ke mana aku?! Kemudian lantai itu membawaku ke tengah lapangan seperti Colloseum. Aku yang kebingungan ini berada di tengah-tengah orang yang berada di atas sana. Riuh sekali!
Ng? Ada apa sih ini? Siapa mereka semua yang memakai topeng itu? Kupandangi lapangan itu kok banyak bekas darah yang tergenang ya? Seperti tempat penyembelihan hewan saja! Tapi aku masih belum bisa menyadari sesuatu hingga Shu yang pake setengah topeng pun datang dikawali cewek-cewek cantik.
“Hadirin sekalian, inilah menu kita hari ini! Dijamin rasanya lezat dan cita rasanya beda karena yang kupersembahkan ini adalah ghoul!”
Terdengar pro dan kontra dari para ghoul itu. Riuh rendah bersahutan berdiskusi. “Aku tak suka kanibalisme!”
“Shu!” pekikku. “Kau menjebakku?!” geramku. “Aku tak menyangka kau merencanakan hal sekotor ini padaku! Padahal aku tulus mau temenen sama kamu! Tapi ternyata kau mau memakanku!”
“Terserahlah! Makanya jadi orang jangan mudah percaya dan jangan polos-polos amat, Mas Bro.” Shu tersenyum kotor. “Para hadirin sekalian! Dia memang ghoul, tapi beraroma manusia. Kalau tak percaya, ini buktinya!” Ia kemudian menjatuhkan serbet yang terdapat noda darahku kemarin. Para ghoul rakus kemudian berebutan untuk mengendusnya dan kembali lebih bergairah (hm mungkin daripada menyantap manusia biasa).
Ck! Shu sialan! Terus bagaimana ini? Para ghoul itu kemudian meriuhkan untuk segera menyajikanku. Buseeeeeeeet!
Pintu berterali kemudian terbuka dan masuklah seorang scrapper yang akan memotong-motongku dengan gergajinya. Hiiiiii!
Jadi mereka menjadikan ini sebagai pertunjukan?! Jadi sudah ada berapa nyawa melayang di tempat gore ini? Kuberlari ke pintu dan berusaha membuka pintunya. Nggggggg! Duh, berat! Aku kepanikan. Bagaimana ini?! Aku tak bisa keluar!! Mati aku! Mati aku! Mati akuuu!
Sia-sia saja dan scrapper itu mendekat. Hosh-hosh. So?! Kumencoba menerjangnya untuk mempertahankan diri. Kuayunkan tendangan ke wajahnya dengan lincah, tapi tak berpengaruh. Duh, sia-sia saja! Maka, lebih baik kuberlari ke sana kemari saja dikejarnya. Sial sial siaaaaaaallll…
“Keluarkan kagune-mu! Mana? Mana?!”
Sementara itu, riuh-riuh di atas sana membuatku semakin nelangsa. Gusrak. Tiba-tiba saja kuterjatuh karena genangan darah. Hiiii! Tubuhku pun berlumuran darah yang sepertinya masih baru. Bau amis di badanku jadi lebih terasa. Dan scrapper itu semakin mendekat!
Matilah aku! Dia melempar tubuhku ke dinding hingga kutak berdaya sejenak. Kumengumpulkan kesadaran dan sempat kudengar kalimat Shu, “Obatnya sudah bekerja. Ia sudah tak berdaya lagi!” Kemudian kuteringat kopi yang kucicipi tadi. Duh, rupanya—
Scarpper itu lalu mengangkat dan mencekikku kuat-kuat. Argh! Mampus! Kutak bisa bernapas apalagi melawan. Nggrrrhhhhh!!!
“Putar kepalanya! Putar!” seru para ghoul di sana. Wtf!
Aku bukan makanan kalian… aku bukan menu kalian… aku bukan ghoul… aku manusiaaaaaaaa!!!
Di tengah-tengah erangan rasa sakit yang menyesakkan, kekuatan ghoulku bangkit di saat kritis. Mata ghoulku yang sebelah berbinar, akalku mulai terengut oleh darah ghoul yang bengis. Grrrrrrrrrrrrhhh!
Duak! Scrapper itu kutinju mundur hingga tersungkur. Hosh-hosh… selamat!
“Hei, itu ghoul bermata satu!” para ghoul itu tersentak tak percaya. “Langka banget!”
Mereka terpesona dan aku berhasil menarik perhatian mereka di ambang putusnya nyawaku tadi. Fiuh!
Shu pun terasa syok. Ia nyaris pingsan saking bapernya. Kedua cewe yang mendampinginya yang berusaha menahannya saking perhatiannya, ia pukul mundur. Hell!
“Bunuh dia! Lanjutkan!” pinta seorang wanita—si pemilik scrapper itu.
“Oke, Mama!” scrapper bertubuh besar itu kembali menyerangku. Duh, gawat! Namun—
Crot! Shu datang membelah tubuh scrapper malang itu dengan santainya. Hujan darah pun menambah genangan merah di tanah. Kuterbelalak. Tapi kenapa?
Dengan tubuh yang berlumuran darah scrapper, ia menghampiriku. Hampir tak ada yang bersih dari noda darah di tubuhnya, bajunya yang putih jadi merah segar, wajahya pun bercipratan darah. Mengerikan sekali orang ini! Tanpa ragu ia menghabisi scrapper temannya sendiri. Tapi kenapa? Kenapa? Kenapa?!
“Dasar scrapper gak berguna!” si pemilknya malah mencaci maki algojo piaraannya itu. Kasihan!
Scrapper yang sudah tak berdaya itu menitikkan air mata mendengar cacian tuannya. “Mama, hiks…” (the end)
“Aku takkan menyerahkan ghoul bermata satu ke ghoul lain. Kau sangat istimewa!” Sekarang perhatianku tertuju pada Shu yang mengendusku dengan nikmatnya. “Kau hanya milikku. Takkan kubiarkan siapa pun memakanmu!”
Deg!  Ini tuk kesekian kalinya aku mau dihidangkan dan jadi menu ghoul! Jadi manusia, diincar habis eh jadi setengah ghoul juga menggoda lidah mereka. Inilah akibatnya kalau kau tak mendengarkan nasehat orang.
Toka, sori aku mengabaikan peringatanmu kemarin dan temenen ama bajingan ini… T0T



0 komentar: