THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Sabtu, 27 Februari 2016

TOKYO GHOUL - 6

di episod ini sama kayak episod 3 de karna ga begitu bertarung, ga kayak episod 2 n 4 seru banget bertarungnya, apalagi yang episod 4 itu hehe. di sini kok kayaknya manusia yang jahat ya kan kasian ghoulnya tu dibantai, hiks. ya gak sih? klik gambar ini menuju sumber link yutubnya ya, met watching...


https://www.youtube.com/watch?v=_5pPnI7GTkI&list=PLH7HPkIcGtYqPkA-aZzg9kXt6irbFKY7f&index=6



“Kaneki-kuuuuuuuuuuuuu!!!”
Merasa “bagian”-nya direbut, Shu jadi kebakaran jenggot alaynya. Ia sudah bersiap memberontak, tapi Toka juga sudah mempersiapkan kagune-nya. Pertarungan yang seimbang itu pun berlangsung. Fiuh, akhirnya! Meskipun harus kesakitan seperti ini dengan mengorbankan diri, yang penting Toka bisa melawan bedebah itu.
Biarkan saja Toka yang melawan. Apalah dayaku sebagai ghoul baru yang terluka? Apa pula daya Nishi yang kelaparan plus masih sakit—plus-plus lagi? Hanya Toka yang paling tangguh saat ini karena sepertinya ia memiliki kagune yang istimewa. Waktu itu, Nishi saja kalah dari Toka. Dan Shu mengatakan kekuatan mereka seimbang. Untung saja ya Toka datang!
Karena diamuk terus-terusan oleh kagune Toka, Shu jadi tak percaya diri dan malah berlari ke tubuh Kimi yang tergeletak tak sadarkan diri. “Agar bisa menang darimu, sebaiknya kuisap saja darah gadis itu!” pekiknya gila-gilaan. Namun—
“Eh?!” Shu merasa dasinya tersangkut. Begitu diliriknya ke bawah, ia tercengang-cengang begitu melihat Nishi yang berada di antara kedua kakinya—dengan setengah matinya menarik dasinya—menahannya menuju Kimi karena dia pasang badan terus di depan altar meski tergeletak tak berdaya. “Eh! Kau ini monster, ya!”
Bug bug bugh! Dengan geramnya, Shu lalu menginjak-injak tubuh sekarat Nishi. Tapi Nishi yang struggle abis tak mau melepaskannya sampai ia menjauh dari Kimi. Kondisi Nishi semakin menggenaskan dan berlumuran darah, tapi ia terus pasang badan demi Kimi. Ia bisa mati kalau begini terus!
Merasa buang-buang waktu mengincar Kimi, Shu malah mengalihkan perhatiannya padaku. “Kaneki-ku! Aku minta darahmu, ya! Sedikiiiit saja. Tolonglah!” bujuk rayunya seperti orang gila.
Kumenegang ngeri. Astaga! Gagal mendapatkan darah Kimi, ia malah mengincarku dan perlahan melangkah ke arahku seperti setan. Bagaimana ini? Luka-lukaku sudah cukup parah meski tak separah Nishi tentunya. Tapi aku hanya bisa terpaku melihatnya mendekatiku. Wtf!
Srak! Sebelum itu terjadi, Toka berhasil melumpuhkannya. Apakah ia mati? Itu urusan belakangan. Yang penting sekarang Kimi selamat. Fiuh!
Nishi yang merasa lega tampak senang. Tubuhnya yang babak belur dan berdarah-darah mulai melepaskan ikatan Kimi. Tapi—
“Tunggu dulu, Nishi!” Toka yang berada di belakangnya mencegatnya. “Gadis ini sudah tahu rahasiamu dan Kaneki, bukan? Kalau begitu, ia harus mati!”
Eh?! Kuterperangah mendengarnya. Loh, kok? Bukankah aku menyerahkan darahku ini tak secara Cuma-Cuma? Aku ingin ia bertarung demi memenangkan Kimi. Tapi kok sekarang… jadi… jadi ia kemari hanya demi aku dan… menghabisi gadis itu?!
Nishi yang tentu saja tak rela langsung pasang badan lagi meski badannya sudah hancur sekali pun. Ia tak rela kalau sampai Kimi kenapa-napa lagi. Ia mendeliki Toka geram dengan wajah berdarahnya. Toka pun langsung melancarkan serangannya, namun serangan kagunenya itu hanya bisa mengenai tubuh Nishi yang pasang badan hingga tubuh Kimi tak lecet sedikit pun saking cintanya ia pada gadis itu. Nishi menguatkan dirinya melindungi sang pacar hingga ia tak sanggup lagi—tanpa ragu menjadikan tubuhnya sendiri sebagai tamengnya. Ini terlalu menyedihkan! Kasihan Nishi…
Tapi kenapa ia harus sekejam itu? Aku jadi kecewa mendengarnya. Aku harus protes!
“Toka! Kau tak boleh melakukan itu. Kimi bagi Nishi sama artinya seperti Hide bagiku dan Yoriko bagimu. Kalau di sana itu Yoriko, apa kamu juga mau membunuhnya?!” pekikku kesal.
“Diem lo!!!” raung Toka stres. “Pokoknya tak boleh lagi ada kesalahan seperti dulu. Gadis ini harus mati pokoknya!” tegasnya berapi-api.
Sementara itu, Nishi sudah melepaskan Kimi dan mulai membuka penutup matanya. Kimi sudah mulai sadar dan melihat Toka di belakang Nishi yang tidak menyadarinya. Matanya terbelalak melihat Toka dalam bentuk ghoul dan kagune-nya yang berkibar-kibar.
“Wah, kawaiiiii…”
Toka tertegun dan mematung mendengar kalimat yang diluncurkan Kimi padanya. Tak lama, ia langsung menghilang dari kami semua. Fiuh, entah mengapa ia bisa berubah pikiran dan cabut begitu saja. Syukurlah!
Kumemandang di atas sana, Toka tampak terpekur dan merenung. “Gadis itu bilang aku apa? Dia bilang aku cantik? Dalam wujud monster seperti ini?” gumamnya tak percaya diri.
Syukurlah dikomentari “cantik”. Tapi aku tak bisa membayangkan apa jadinya kalau Kimi mengatakan hal yang sebaliknya. Komentar itu malah membuatnya selamat!
(Di kafe…)
Akhirnya semuanya berjalan seperti semula. Kukembali bekerja di kafe nan tenang itu dan—
“Wuah! Panas!” pekik Hide saat meminum kopinya. Huh, Hide. Aku senang dia selalu mampir seperti biasa kemari.
“Hati-hati, Hide,” tegurku lembut. Haha. Dia selalu saja bertingkah bocah dan ceplas-ceplos.
Tak lama, Nishi yang berpakaian pelayan Anteiku nongol dan menyapanya dengan santai.
“Loh, Nishi?” tegur Hide. “Kok lu kerja di sini? Sejak kapan?”
Nishi jadi salah tingkah. “Ng… yah ada alasan tertentulah mengapa aku kerja di sini.”
Kuteringat waktu Nishi direkrut Pak Yoshi untuk bergabung di Anteiku—sama sepertiku dulu. Kemarin itu ia sudah diberi makan dan diobati agar kembali fit. Kami semua ada di sana mendengar sumpahnya.
“Bergabung saja dengan kami di sini. Di sini persediaan makanan banyak tapi kau harus berjanji takkan membunuh orang lagi,” pesan Pak Yoshi waktu itu.
Sepertinya Nishi sudah banyak insyaf, deh! Ia tak seperti dulu lagi yang ganas habis. Sekarang kepribadiannya sudah berubah dan tentunya tak boleh membunuh orang lagi.
“Duh, aku ada kelas nih! Aku pamit ya, Kaneki!” Hide kemudian cabut dan melajukan sepedanya.
“Aku benci Mama!” pekikan itu menambah riuh pagi ini. Rupanya Hinami. Ada apa lagi ini? “Kenapa Mama larang aku ketemu Papa? Aku kan kangen!”
“Hinami!” Sementara itu, Ryoko berusaha menenangkannya. “Dengarkan Mama dulu.”
“Eh, ada apa ini?” tanyaku prihatin. Namun Ryoko hanya menanggapinya dengan senyuman.
(Di depan kamar Toka…)
Tok tok tok. Aku khawatir karena Toka dari tadi tak turun-turun juga. Ada apa dengannya? Huft, daritadi kumengetuk pintunya, tak dibukakan juga. Apakah ia marah padaku?
Akhirnya kuputuskan untuk pergi, namun sebuah suara dari balik pintu itu mencegat langkahku. “Ngapain lu kemari?” ketus Toka tanpa membuka pintu.
Bergegas kukembali ke depan pintu. “Anu… apa kau baik-baik saja? Kenapa tak turun-turun?”
“Cuma itu saja tujuanmu?” ketusnya lagi. “Aku tak apa-apa. Kalau begitu, kau sudah boleh pergi sekarang.”
Kumasih tak bergeser dari depan pintu itu, masih ingin berbincang dengannya. “Hm, tadi Ryoko dan Hinami berantem, entah ada masalah apa,” kuceritakan masalah yang terjadi di bawah sana. “Aku jadi berpikir punya keluarga itu enak banget, ya?”
Toka yang berada dari balik pintu itu tertegun mendengar kata “keluarga”.
Setelah basa-basi kemudian kulanjut ke inti kedatanganku ini. “Toka, ng… yang kemarin itu aku minta maaf, ya! Tak seharusnya aku ngomong kasar sama kamu.” Kuteringat ketika kumencegahnya untuk membunuh Kimi dengan membandingkannya jika yang ada di sana adalah sahabat kesayangannya. “Kata-kataku itu… sepertinya sudah keterlaluan. Sori, ya…”
(Di ruangan Hinami...)
Apa mereka sudah berbaikan, ya? Seperti biasa, Hinami sedang belajar huruf dan memintaku mengajarinya. “Kak, ini huruf apa bacanya?”
“Oh, itu hujan deras,” jawabku riang dan ia pun menuliskannya seperti biasa. Kuterus mengajarinya sebisaku hingga ibunya pun datang. “Apa Hinami sudah tak marah lagi?”
Ryoko tersenyum hangat. “Aku ini kan ibunya, jadi aku bisa menenangkannya dengan hadiah. Makasih ya  udah mau ngajarin Hinami.”
“Sama-sama.” Senyumku.
Syukurlah kalau begitu, aku juga turut senang. Kemudian kutinggalkan ibu dan anak itu dalam keharmonisan. Samar-samar, kumendengar Hinami mau hadiah buku lagi dan ibunya akan membawanya ke gramed untuk membelinya. Senang bisa mendengar mereka ceria lagi. Keluarga itu indah!
(Di jalan...)
Hujan deras! Hm, untung saja aku tidak lupa bawa payung. Kemudian kumelangkah tenang tanpa beban. Huft, enaknya kalau bisa hidup setenang ini terus, tak ada yang mengganggu :D
Hm, hujan ini malah mengingatkanku pada Hinami. Kira-kira buku seperti apa ya yang dibelinya nanti untuk belajar? Apa dia masih ada di gramed?
Namun—



0 komentar: