THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Sabtu, 27 Juni 2020

R.E.D - 5





Syuuuu…. Angin malam berhembus kencang begitu Eve melangkahkan kakinya keluar dari lift itu. Ia melangkah sepelan mungkin saking hati-hatinya dan memandangi sekelilingnya. Udara dingin yang menusuk tak membuatnya berbalik ke lift di belakangnya itu.

“Kenapa aku bisa berada di sini? Terus, siapa yang mau turun?”

Suara pintu lift yang menutup, sontak membuatnya membalikkan badan. Ia memekik tertahan begitu melihat seorang gadis manis bergaun merah dan berambut panjang bergelombang sedang berdiri dengan santainya sambil bersandar di depan pintu lift.

Eve menghela napas. “Kau mengagetkanku saja…”

Dara manis itu tersenyum. “Aku sudah lama menunggumu, Cantik!”

“Terima kasih pujiannya. Tapi aku tak punya banyak waktu di sini. Besok aku ada ulangan di sekolah dan aku harus pulang agar bisa bangun pagi.”

Eve kemudian melangkah ke lift itu. Namun dara manis itu tak meminggirkan tubuhnya sedikit pun.

“Kau ini siapa, sih?!” Eve mulai kesal. “Sekarang kamu minggir karena aku tak ada urusan denganmu!”

“Ada!” Tiba-tiba saja gadis itu melayangkan tongkat besi ke pipi Eve hingga ia terjerembab. “Kenalkan. Aku Deva! Kau R.E.D, bukan?!”

Eve yang terjerembab menepis darah yang mengalir di pipinya. “Baru kenal sudah main kasar!” Ia bergegas bangkit dan mendeliki Deva. “Terus mau kamu apa kalau aku anggota R.E.D?”

Deva mengeraskan genggamannya di tongkat besi yang dipegangnya. “R.E.D … matilah kau!!” Ia kemudian mengayunkan tongkat besinya ke arah kepala Eve.

Spontan saja Eve menggerakkan lengannya ke atas sebagai pertahanannya dan menghadapi serangan-serangan Deva dengan tangan kosong. Eve berusaha menghindar selincah mungkin meskipun ia masih belum membalas apa-apa. Bug! Sebuah serangan Deva berhasil mengenai perut Eve. Deva menghentikan serangannya begitu melihat Eve tidak kenapa-napa sedikit pun.

Eve terkekeh-kekeh. “Hehehe. Ayo, pukul! Pukul lagi!” pekiknya sambil tersenyum melecehkan.

Deva membuang senjatanya karena kesal. “Mungkin aku memang payah menggunakan senjata. Bagaimana supaya adil, kita bertarung dengan tangan kosong?” tantangnya percaya diri.

“Hah? Kamu mau duel sama aku? Apa kamu bisa? Aku bukan orang sembarangan, loh!”

“Tanpa senjata pun aku pasti bisa mengalahkanmu, R.E.D!”

Eve menatap penampilan Deva sinis. “Kalau kau memutuskan untuk melawanku, sepertinya kau lagi salah kostum, deh!” Ia tersenyum menyebalkan.

“Kamu tenang saja!” Deva menunjukkan belahan roknya yang cukup tinggi. Ia kemudian melepaskan sepatu hak tingginya dan langsung mengayunkan tendangan untuk membuktikan kemampuannya. “Gaun ini bukanlah penghalang bagiku untuk menghabisimu malam ini juga!”

Tendangan itu berhasil mendarat ke perut Eve hingga ia jatuh terjengkang.

“Lumayan. Semangat sekali!” komentar Eve masih tetap santai.

“Kenapa kau tak membalas seranganku, R.E.D? Apakah kau masih meragukan kemampuanku?! Masih kurang cukup aku membuktikan kesanggupanku ini?” raung Deva kesal karena tak memperoleh respon Eve akan melayani tantangannya.

Eve kembali terkekeh-kekeh. “Oh, itu? Itu karena aku ingin membuktikan padamu kalau tanpa melawanmu pun, aku bisa menang mudah darimu!”

“Hah?! Sombong sekali!” Deva kemudian melanjutkan serangannya. “Aku akan menghajarmu sampai kau jatuh dan hancur makanya aku memancingmu kemari!”

“Terima kasih!” Dengan santainya Eve lalu bangkit dan menghindar.

Deva membuktikan ucapannya ketika serangan bertubi-tubinya membuat Eve terpojok ke ujung. Ia menyadari posisinya dan Deva pun merasa di atas awan karena Eve masih saja tak meluangkan tenaganya untuk membalas serangannya.

Duk! Akhirnya sebuah tendangan dengan mudahnya lolos ke dada Deva. Deva mundur terhuyung-huyung hingga jatuh terjengkang.

“Oke, kalau begitu maumu. Terima kasih sudah memaksaku. Sepertinya kau tak main-main, Nona Manis. Bersiap-siaplah untuk babak belur!”

Deva tak menyangka serangan Eve yang mendadak tadi, gerakannya tak mudah terbaca saking cepatnya. Tendangannya yang cukup keras pun nyaris membuat Deva kehilangan kesadarannya.

“Bagaimana? Serangan itu baru kekuatan minimalku! Aku sengaja tak membalas serangan-seranganmu tadi bukannya karena aku pengecut. Tapi karena aku tak mau melukaimu karena kau bukan tandinganku!”

Deva bangkit secara perlahan sambil menatap Eve geram. Ia melanjutkan serangannya, tak memedulikan balasan yang diterimanya akan lebih menyakitkan lagi. Karena Eve sudah mulai memperlihatkan keseriusannya, Deva tak mampu menembus pertahanan Eve sedikit pun untuk melukainya. Dan hasilnya, secara berkali-kali Deva harus jatuh-bangun.

“Jadi begini kekuatan R.E.D itu? Ternyata aku memang sedang berhadapan dengan orang yang benar-benar tangguh,” Deva membatin, sempat menyesali karena tadinya ia jadi besar kepala karena Eve tak membalas serangannya tadi.

Deva terjerembab untuk yang kesekian kalinya. Napasnya terengah-engah, kelelahan. Ia mencoba untuk bangkit, namun kembali terjerembab. Akhirnya untuk sementara ia mempertahankan posisi itu. Ia pasrah saja jika Eve melancarkan serangan penutupnya padanya.

Namun ternyata kondisi Eve tak sebugar yang Deva pikirkan. Eve jatuh bersimpuh karena luka di lengannya kembali menjerit dan berdarah. Rupanya ia begitu mengeluarkan tenaganya semaksimal mungkin hingga kembali mencederai dirinya sendiri.

Eve kemudian terduduk sambil menambah balutan di lengannya menggunakan sapu tangannya. Ia tampak santai membalut lukanya itu. “Hey! Ayo, bangun! Waktuku tidak banyak!” seru Eve memanfaatkan kelengahan lawannya itu untuk merawat lukanya.

Pokoknya aku harus menang! Sepertinya aku tahu caranya…”

Deva kemudian bangkit secara perlahan dan berdiri tegak. Ia mendeliki Eve yang pura-pura tak menyadarinya, meskipun Deva tahu betul gadis itu sok tak mau memperhatikannya saking meremehkan kemampuannya. Namun ia tak ragu lagi untuk melanjutkan serangannya karena ia tahu betul ke mana serangan itu akan bersarang.

“Hiaaaaaaaaatttt!!” Dilancarkannya tendangan menyamping ke target di lengan kanan Eve.

Namun bagi Eve, gerakan Deva dapat dengan mudah dibacanya. Dengan lincahnya ia langsung bangkit hingga Deva gagal mendaratkan sasarannya. Deva tak mundur begitu saja. Kali ini diayunkannya tinjunya ke titik kelemahannya itu. Namun lagi-lagi gerakan itu terbaca oleh Eve yang langsung menangkap kepala tinju Deva dengan tangan kirinya, kemudian diremasnya tangan Deva hingga dara anggun itu meraung kesakitan. Untuk membebaskan kepalan tinjunya yang ditahan oleh Eve, Deva melancarkan tendangan menyamping ke lengan kanan Eve. Eve merundukkan kepalanya, kemudian membanting Deva sekuat tenaga hingga gadis itu terkapar habis.

Eve bernapas terengah-engah. “Stop! Aku tak mau menyakitimu lagi! Sudah cukup! Kamu ini bukan tandinganku! Kau tidak ada apa-apanya! Seharusnya kamu bisa mengerti itu!” pekiknya sementara Deva terkapar sambil mengaduh-aduh kesakitan.

Deva yang terengah-engah mendelikinya, penuh dendam meskipun masih tergolek lemah.

“Ck! Ayolah! Memangnya besok kamu tak ada sekolah, apa? Lagian apa untungnya juga kau menantangku seperti ini. Buang-buang waktu saja!”

Eve kemudian melangkah menuju lift. Dikeluarkannya ponselnya kemudian menghubungi seseorang. “Judit … Judit, apa yang terjadi padamu? Semoga saja ia baik-baik saja!”

Eve terus menanti dan menanti ponsel tersebut akan dijawab, namun…

Prak!

***

https://storial.co/book/kamu-akan-mati-di-usia-13-tahun

HY, readers! ramaikan yuk dengan mampir ke novel genre thriller horor ini yang dijamin seru abis dan bikin nahan napas. ga percaya? klik saja gambar kover KAMU AKAN MATI DI USIA 13 TAHUN karya THIRTEEN di atas menuju link novelnya di STORIAL, mumpung gratis loh. bab awalnya aja dah greget, dijamin yang berikutnya lebih greget lagi. :=(d

Rabu, 24 Juni 2020

Tugas Seratus



Aku tahu Imah biasanya mengisikan jawaban ke buku tugas teman-teman yang jawabannya kurang karena ia yang biasanya bertugas mengumpulkan buku-buku tugas tersebut. Ia memang begitu baik hati. Tapi hari ini ia tergolek sakit di ranjangnya dan tak bisa mengerjakan tugas dengan baik. Ia menghubungi salah seorang temannya kemudian berkata dengan lemas agar tugasnya dikerjakan olehnya.

Kurasa tak ada yang salah dengan itu. Bukankah ia sudah rajin membantu kami semua? Jadi apa salahnya membantunya balik juga? Kasihan Imah! Semoga saja ia bisa segera sembuh dan belajar kembali bersama kami semua di kelas.

Begitu usai menjenguknya hari itu, aku pun pulang…

***

https://storial.co/book/kamu-akan-mati-di-usia-13-tahun

hy, pecinta horor wajib mampir ke novel horor karya THIRTEEN yang satu ini, KAMU AKAN MATI DI USIA 13 TAHUN, dijamin ceritanya sangat unik dan menegangkan, lain daripada yang lain. hanya di STORIAL, silakan buka linknya dengan klik gambar kover di atas ini :=(D

SOULMATE DANCE - 1



Sret..

Pemuda itu mengukir satu garis miring di tembok di atas enam garis tegak lurus yang sudah diukirnya pada hari-hari sebelumnya. Ia lalu menatap beberapa garis-garis yang telah diukirnya dengan sedih.

“Masih lama…,” keluhnya.

Ya, ia sedang menghitung hari ... menuju kebebasannya. Ia lalu teringat masa lalunya…

...

... coki bela diri sambil akrobat

Malam itu di sekitar jalanan lorong, cukup ramai dengan adanya aksi pengejaran yang dilakukan oleh beberapa orang polisi. Mereka tengah meringkus para bandar dan penyalahgunaan obat Dextro yang sedang berpesta pora di sebuah kamar kos. Tentu saja para pengguna Dextro yang sedang mabuk itu segera melarikan diri menghindari kejaran polisi.

Glegar! Terdengar suara guntur yang menggelegar. Cahaya kilatnya seolah memecah langit. Suasana malam jadi mencekam begitu hujan mengguyur.

Brak! Pemuda yang tengah berlari di jalanan yang sepi itu terjerembab. Ia berusaha untuk segera bangkit dan melanjutkan pelariannya. Napasnya terdengar tersengal-sengal. Ia berbalik ke belakang. Aman. Tak ada yang mengejarnya. Akhirnya pemuda tersebut berhenti untuk mengatur napas sambil meletakkan kedua tangannya di atas lutut.

”Hosh-hosh...”

”Coki,” sapa sebuah suara.

Pemuda yang dipanggil Coki itu langsung menengadahkan wajahnya karena terkejut. Ia langsung melihat seorang gadis yang baru saja keluar dari balik tembok di hadapannya. ”Kile?” ia menyebutkan nama gadis itu.

Gadis yang bernama Kile itu perlahan mendekatinya.

Coki melangkah mundur karena masih tercengang-cengang. ”Ngapain kamu di sini?!” tanyanya panik.

Kile terdiam dan menunduk sedih. Coki langsung dapat membaca ekspresi itu.

”Ow! Begitu rupanya,” komentarnya sinis. ”Bagus! Aku tak nyangka kamu tega melakukan ini padaku.”

Kile menggigit bibir karena cemas.

”Kenapa kau diam saja?! Ayo jawab! Mengapa kau melakukan ini padaku, b****t?!” pekik Coki geram. Raungannya menggema.

”Cok, aku melakukan ini demi kebaikanmu! Aku tak bermaksud jahat padamu!” Kile menjelaskan isi hatinya. ”Aku melakukan ini karena aku peduli sama kamu! Aku tak ingin membiarkanmu semakin tersesat!”

”Dengan menjualku pada polisi, kau bilang demi kebaikanku?!” suara Coki terdengar miris. Ia berusaha menahan emosinya. ”Dengan mengirimku ke penjara, kau bilang peduli?! Aku pikir kita teman baik! Ternyata aku salah! Kau jahat! Kau jahat, Kil!” semprotnya berang.

”Cok, dengarkan aku dulu!” Kile berusaha menjelaskan lebih dalam lagi.

Namun Coki telanjur melarikan diri lagi. Ia berlari sekencang-kencangnya menghindari Kile dan para polisi sebisa mungkin.

”Cok! Cokiii!! Tungguuu!! Jangan pergi! Aku hanya berusaha untuk menolongmu!” pekik Kile sambil berlari mengejar Coki yang berang sekuat tenaga.

Namun tentu saja Coki tak mau ambil pusing dengan berhenti dan mendengarkan kata-kata Kile. Ia terus saja berlari dan berlari memendam kepedihan. ”Benci! Aku benci padamu, Kil! Aku benci!!”

Akhirnya tibalah ia di persimpangan. Ia celingukan kanan kiri karena bingung mau lewat mana. Ia menyapu wajahnya yang basah karena air hujan. Akhirnya ia belok kiri.

Ternyata di ujung jalan lorong yang dipilihnya itu terlihat mobil polisi. Coki bergegas berbalik arah. Ternyata para polisi di dalam mobil itu melihatnya dan segera keluar untuk mengejarnya.

”Hey! Tunggu! Berhenti! Kalo tidak..,” terdengar suara ancaman polisi itu.

Coki tak peduli dan terus berlari. Lalu terdengar suara tembakan yang sengaja dimelesetkan sebagai gertakan. Coki semakin berlari sekuat tenaga. Langkahnya terhenti lagi begitu melihat beberapa orang polisi sedang berjaga di depan lorong yang sedang dilaluinya itu. Coki melangkah mundur. Dirinya sedang terkepung.

Coki berbalik dan melihat polisi yang mengejarnya tadi perlahan mendekatinya sambil menodongkan pistol ke arahnya. Ia sudah tak punya harapan lagi untuk kabur. Para polisi di depannya pun melakukan hal yang sama untuk mengepungnya.

”Menyerahlah! Kau sudah dikepung!” pekik salah seorang polisi.

Coki belum putus asa. Ia kemudian mengambil sebalok kayu dengan sikap mengancam. ”Ayo! Kemari! Aku sudah tak takut lagi!” pekiknya putus asa.

”Letakkan benda itu! Kalau tidak, kami...”

”’Kami apa’, heh?! Tembak maksudnya?!” Coki melanjutkan. Ia lalu tertawa-tawa. ”Kalian para polisi, tahunya cuma menembak orang saja! Kalo berani, ayo maju! Lawan saya satu per satu kalo kalian memang bukan pengecut!”

Para polisi yang sedang mengepungnya itu tak peduli. Mereka tetap berjalan perlahan menghampirinya dengan sikap waspada.

”Munduur! Aku bilang mundur!” pekik Coki sambil mengayunkan balok kayu itu. ”Jangan mendekat!!” Coki mulai kehilangan akal karena stres.

”Kamu jangan melawan kalau mau selamat! Angkat tangan! Cepat!” pinta polisi itu. ”Kalau tidak, kami tak punya pilihan!”

Coki tak tahu harus berbuat apa lagi untuk melindungi dirinya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan putus asa. ”Tidaak! Tidaak! Kalian dengar kataku?!”

Ketika para polisi itu berusaha menyergapnya, Coki mengayunkan kayu itu hingga menghantam bahu salah seorang dari mereka. Bugh!

Coki merapatkan punggungnya ke tembok sambil mengacungkan kayu tersebut ke arah polisi yang semakin hati-hati mendekatinya. ”Tenanglah jika kau tak mau terluka!” pekik si polisi.

Napas Coki tersengal-sengal. ”Kalian takkan mudah menggiringku begitu saja ke penjara!” Ia lalu tertawa-tawa.

Kile muncul dan langsung berteriak, ”Cokii! Menyerahlah! Kamu jangan bodoh! Salah salah, mereka bisa melukaimu! Dengarkan aku! Aku tak ingin terjadi sesuatu denganmu!”

Coki tersentak begitu mendengar suara itu. ”Diam kamu, dasar pengkhianat! Sesuatu telah terjadi padaku! Kamu tahu apa?! Kamu kan yang melaporkan aku?! Jadi untuk apa kamu mencemaskanku lagi? Jawab!” pekiknya emosi.

Perlahan Kile mengangguk sedih dengan berat hati. Gadis itu kemudian tertunduk lunglai.

Bruk. Spontan kayu yang digenggam Coki kendur dan terjatuh. Ia menggeleng sedih. ”Kau memang jahat padaku, Kil! Kau memang ingin melihatku meringkuk di penjara kan, Kil?!”

Kile tak menjawab. Air matanya mengalir bersama dengan jatuhnya hujan. ”Aku melakukan ini karena aku sayang padamu, Cok,” gumamnya seorang diri. Tentu saja Coki tak mendengarnya. ”Aku ingin kamu jadi orang baik. Aku tak mau melihatmu hancur dengan penyalahgunaan obat-obatan Dextro itu.”

Para polisi itu memiliki kesempatan untuk segera membekuk Coki yang terpaku melihat Kile menangis. Coki pasrah saja saat kedua tangannya dibelenggu ke belakang. Ia lalu diseret masuk ke dalam mobil polisi dengan kasarnya. Namun pandangan Coki yang sedih tetap tertuju pada Kile.

”Aku ... sudah membuat Kile menangis karenaku.”

***

https://storial.co/book/kamu-akan-mati-di-usia-13-tahun

apa jadinya kalau kau mengalami ancaman kematian tiap bulannya selama setahun penuh di usia 13 tahun? saksikan keseruan novel genre horor thirller ini di STORIAL. KAMU AKAN MATI DI USIA 13 TAHUN karya THIRTEEN yang dijamin beda daripada horor kebanyakan untuk baca silakan klik gambar kover di atas :=(D