THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Selasa, 25 Agustus 2020

Move On

 

Hei, kenapa kau malah kembali lagi melirikku setelah sekian lamanya kau meninggalkan aku, mencampakkan aku, demi calon tunanganmu itu? Kau kembali mengambil hatiku. Ada apa ini sebenarnya? Kau tak jadi nikah ya sama dia?

Padahal seingatku—selama ini—setelah kau move on dariku, aku malah melupakanmu meski kita sekelas. Aku jadi benar-benar tak peduli padamu dan malah menganggapmu tidak ada. Tapi kenapa kini kau memutuskan untuk melirikku lagi?

Padahal aku sudah tak ada rasa padamu, tapi kau malah membangkitkan rasa CLBK ini. Haruskah aku tergoda kembali? Padahal aku sudah nyaman tanpa rasa ini padamu. Tapi kau kembali mengusikku.

Dan sekarang di bangku taman itu, kita kembali berpandangan di bangku taman—berduaan. Kita saling tersenyum satu sama lainnya. Padahal aku benar-benar sudah lupa akan keberadaanmu di kelas itu. Padahal kita sekelas, tapi aku sama sekali lupa kalau kita sekelas.

Sudah hampir setahun kau malah balik lagi sama aku. Kenapa, sih? Akankah hatiku ini bisa balik lagi ke kamu setelah kau mencampakkanku begitu saja?

***

Memang sih, aku cewek yang popular di kelas karena kecantikannya. Banyak cowok yang mendekat memang. Saat itu, aku tengah membuka-buka komik sambil mencatat pelajaran. Tentu saja aku diam-diam membacanya. Soalnya suntuk banget, sih!

Tiba-tiba saja aksiku itu ketahuan oleh Firman yang duduk di depanku. Di depan memang lebih ramai dan ia duduk paling depan sana. Ia menoleh cengar-cengir. Waduh, kan gawat kalau ia sampai melaporkanku pada guru yang berbaur dengan duduk di seberang bangkuku sana. Tapi tak kelihatan karena ada temanku.

Ceritanya bikin penasaran, sih. Namun tiba-tiba saja Firman malah melaporkanku. “Pak! Sindy melanggar, Pak.”

Guru kami yang gaul itu kemudian mendekat. Gawat!

Firman mendekatkan buku tulisku pada pak guru. “Dia mencatat puisi soal Bapak, loh. Haha!”

Astaga! Dusta. Apa ia mau mengisengi guru kami? Jangan sampai ia ge-er, loh. Pak guru memang tergoda, tapi ia tak percaya bualan itu. Mungkin ia merasa tak mungkin kan cewek secantik aku mengidolakannya.

Saat istirahat, Firman malah terus saja menggodaiku dengan cerita-cerita konyolnya, tapi aku pura-pura tertawa saja. Aku tertawa datar, aku sebenarnya menertawakan ceritanya yang tak lucu, tapi ia hanya ketawa sendiri akan ceritanya itu. Menggelikan! Cowok malang.

***

 halo, mau kisah roman lagi dari THIRTEEN? ada nih di aplikasi NOVELME, kalo belum punya silakan donlod dulu dan search judul: CAFFE LATTE FULL ROMANCE, berkisah tentang seorang cowok broken home yang tak diterima kedua orangtuanya masing-masing hingga memanfaatkan para pacarnya demi mendapatkan uang, apakah dy akan menemukan cinta sejatinya? menarik, bukan? :=(D

Senin, 24 Agustus 2020

Finish

 

 

Belum ada yang pernah mengalahkanku dalam perlombaan lari ini: lari jarak jauh! Kali ini ada yang menantangku, sih. Aku sih terima-terima saja karena bagiku lari itu menyenangkan. Pasti seru, deh! Tapi penantangnya adalah si gendut Koko.

Hah?! Apa tak salah, nih? Tapi okelah kalau begitu mau kalian. Aku juga tak akan menganggap remeh dan tak akan mengalah sedikit pun. Namun rupanya aku salah. Si gendut ini rupanya bisa berlari sangat kencang! Aku tak menyangka rupanya ia lawan yang tak boleh disepelekan juga, ya.

Tapi kok bisa ya ia bisa berlari secepat itu? Ini sudah mencapai finish sih setelah tadi mati-matian. Teman-teman lainnya yang sudah gugur menyemangati kami. Riuh sekali, sih! Aku tak mau kalah. Kucoba mengencangkan lariku, aku ini tak boleh diremehkan loh kalau dalam kondisi terdesak seperti ini. Kemampuanku bisa lebih!

Aku terus berlari kencang. Tapi di luar dugaan, ia tak bisa dilampaui begitu saja sementara napasku sudah mulai habis. Tapi aku bisa mengisi kekuatan napas itu di jalan. Ya, ini memang kelebihanku yang bisa mengisi tenaga lebih saat terdesak, makanya aku jadi tak merasa capek sedikit pun apalagi ngos-ngosan. Semuanya bisa kuatur dengan baik.

Aku berlari lebih kencang lagi dan berhasil melampauinya. Sepertinya aku bisa menang lagi! Finish-nya sudah dekat, tuh. Sayangnya di tengah jalan, ia malah berhasil menyusul dan melampauiku lagi. Hebat! Napasku bahkan sudah habis. Kenapa ia bisa sehebat itu? Ia kan gendut!

Pokoknya aku tak boleh kalah dan memperjuangkan kemenanganku ini. Namun sayangnya, aku sudah tak sanggup lagi! Padahal sedikit lagi finish. Huh, mengesalkan! Kenapa sih ia bisa berstamina begitu mengalahkanku pas dekat finish begini?

Riuh sekali saat ia berhasil ke finish. Aku kalah! Tapi tak apa sih, hanya saja bikin gregetan karena sedikit lagi aku bisa mencapai finish-nya. Aku tetap tenang-tenang saja. Meski aku bertanya-tanya kenapa si gendut itu bisa mengalahkanku? Aku tak habis pikir, kenapa larinya bisa secepat itu. Tadi aku memang sulit mengalahkannya. Makanya aku gregetan.

Seru sih meski aku kalah. Rupanya lawanku seru juga, ya? Baru kali ini bisa mendapatkan yang begitu. Aku lalu berlari dengan entengnya ke kantin. Ya, apa-apa selalu berlari, deh! Sudah kebiasaan.

Di kantin, aku ngaso sejenak sendirian dan jajan. Riuhan anak-anak malah sampai ke sini segala. Mereka masih saja membicarakan pertandingan tadi. Duh, sebegitu serunya ya pertandingan itu meski aku kalah, sih. Tak apalah, namanya juga kompetisi!

Aku masih tenang-tenang saja di sini. Tapi ini baru pertama kalinya aku kalah. Pernah sih dikalah juga, tapi dengan orang kurus. Hump, kuberpikir kan seharusnya bisa dengan mudah mengalahkan si Koko itu. Tapi bukankah kuda nil juga bertubuh besar, tapi larinya cepat? Mungkin seperti itulah teorinya: jadi kalau gendut bukan berarti tak bisa berlari cepat, bukan?

Aku sampai dibicarakan di kantin segala. Orang-orang kantin malah memperhatikanku. Ya, di sini sih sudah seperti keluarga bagiku karena aku penyendiri. Tapi sayangnya, kok rasanya berubah ya semenjak aku kalah itu.

Aku lalu berlari keluar dari kantin dan masih mendengar kata-kata mereka tentangku. Duh! Aku bergegas menjauh. Apakah dikalahkan oleh orang gendut itu aib? Kenapa mereka membicarakannya seriuh itu? Aku tak apa-apa, kok! Aku hepi-hepi saja bertandingnya. Ya, kalau memang takdirnya Koko menang, memang kenapa?

Aku berlari untuk menyepi. Ya, aku sih memang orangnya penyendiri. Aku terus berlari menjauh dari riuhan itu dan tibalah aku di sebuah kelas kosong itu. Ya, kelas yang sudah lama tak dipakai itu. Aku selalu diam-diam masuk ke dalamnya lewat jendela untuk menyepi dan jauh dari keramaian.

Kelas itu memang sudah tak dipakai lagi. Isi kelasnya sangat berantakan dan kumuh. Tapi aku yang merapikan bangku-bangkunya yang masih layak digunakan. Aku biasa tidur-tiduran di sana. Ya, memang sih aku ini rada aneh!

Aku biasanya sih masuk lewat jendela yang tak berdaun itu. Tapi begitu kumelongok di dalamnya, sudah ada beberapa orang menduduki tempat itu. Hei! Iya sih, kadang aku melihat ada anak-anak di sana, entah dari kelas berapa saja. Tapi kok jumlah orang yang suka nongkrong di dalamnya semakin banyak, ya?

Dulu sih hanya ada beberapa saja. Ini ada yang aneh dan sepertinya kok mereka tak pernah berpindah dari kelas itu, sih? Aku ingin gabung. Tapi tunggu dulu sebentar! Kok firasatku jadi tak enak begini? Mereka mempersilakanku gabung, sih. Kan dulunya aku sendirian saja. Tapi kalau di kelas itu ada orang, ya aku tak masuk.

Apa aku bisa gabung, ya? Tapi bagaimana kalau aku gabung, aku tak bisa keluar-keluar lagi? Lagian mereka itu kan ganjil! Sepertinya mereka tak keluar-keluar dari sana semenjak lama. Apakah mereka sampai menginap di sini? Tapi untuk apa? Aku merasakan adanya bahaya. Ganjilnya, aku malah melihat Gani yang tak seharusnya sekolah di sini. Gani adalah salah satu pelari tangguh dari sekolah lain yang pernah bersaing denganku. Ia juga yang pernah mengalahkanku dulu dalam kompetisi lari. Ada apa ini sebenarnya?

Aku baru saja hendak memanjat jendelanya. Aku sudah separuh badan masuk. Tapi karena ragu, aku pun keluar lagi. Aku benar-benar takut kalau benar-benar disekap selamanya di kelas ini, seperti mereka yang aneh-aneh itu! Aku takut prasangkaku ini benar, maka aku pun menjauhi kelas itu. Ada yang tak beres dengan mereka di sana!

***

 apa sih yang beda dengan novel kumcer UMURKU 13 TAHUN DAN KAMU? tentu saja beda karna dikemas dengan unik, dengan cerita yang berbeda-beda pula, jadinya lebih seru dan ga ngebosenin. ga percaya? simak aja di aplikasi NOVELME. tinggal donlod kalo belum punya dan search judul di atas. dijamin memuaskan! :=(D

THE EYEPATCH - 4

 

Malam itu Anya dan Lili terpaksa lembur. Ada dua pasien yang luka parah dan harus masuk UGD. Sungguh hari yang sibuk dan melelahkan!

Ya. Anya dan Lili bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit. Anya memandangi kedua pasien yang baru masuk itu. Lantas pandangannya terpaku pada salah seorang di antara mereka.

“Shue?” lirihnya tak percaya. Ia mendekat untuk menangani sosok yang dikenalinya itu. Matanya terlihat berkaca-kaca melihat keadaan pasien itu. Luka panah menghiasi bahu dan lengannya. “A-apa yang terjadi padamu?”

Shue bergeming. Matanya terpejam rapat. Kondisinya benar-benar mengkhawatirkan. Ia tampak menyedihkan tak sekuat karang lagi seperti saat ia memanah. Panah yang membekas di tubuhnya tampaknya mengkhianatinya.

Sambil menahan haru, Anya pun memulai aksinya sambil terus mendoakan keselamatan jiwa Shue.

“Dasar badut pengkhianat … aku benci badut itu,” lirih Shue setengah sadar sambil mengerang-ngerang kesakitan. “Benci…”

Tampak hiruk-pikuk mewarnai tenda sirkus itu. Jerit-panik di mana-mana! Orang-orang pada berlarian menyelamatkan diri. Ya! Grup sirkus itu tengah diserang segerombolan perampok bercadar di tengah-tengah pertunjukan memanah. Mereka juga menghancurkan pernak-pernik sirkus bahkan berani melukai orang.

Dengan gagah berani Shue maju dan berusaha membidik para penjahat itu dengan panahnya. Namun…

Zeb! Belum sempat ia memanah, sebatang panah kemudian menancap di bahu kanannya dari belakang.

“Arrrrrgggggggghhhhhhhhh!” Shue tersungkur. Ia melayangkan pandangannya ke belakang untuk mencari-cari pelakunya. Dengan tangan yang bergetar karena sakit, Shue berusaha meraih-raih panahnya. “Sial!”

Zeb! Kali ini panah jatuh menancap di lengan kirinya. Shue menjerit kesakitan sejadi-jadinya. Kini ia sudah tak berdaya lagi melawan.

Melihat itu, ketua sirkus mereka, Pak Lukman menjerit. “Shue!” Baru saja ia hendak melangkah menyelamatkan Shue, Ron dan Gani mencegahnya.

“Jangan, Ketua! Bahaya!” seru Ron. “Ini pasti jebakan musuh! Mereka mendesak kita untuk menghampiri Shue agar mereka bisa menghabisi kita!”

“Iya!” Gani meyakinkan. “Percayalah! Shue hanya dijadikan umpan! Lebih baik kita segera pergi dari sini, demi keselamatan Ketua!”

“Jadi kalian menyuruhku diam saja melihat Shue dipanahi?!” raung Pak Lukman geram.

“Mau bagaimana lagi?! Ketua, Shue pasti bisa menghadapinya!” Ron meyakinkan Pak Lukman sekali lagi.

Pak Lukman merenung. Ia melihat Shue terbaring lemah. Darah menggenangi tempatnya terkapar. Napasnya memburu. Keadaannya benar-benar parah. Panah itu benar-benar menguncinya. Tanpa memedulikan rasa sakit, Shue berusaha mencabut panah dari tubuhnya.

Trak! Ia hanya berhasil mematahkan tangkai panah yang bersarang di bahunya. Dengan susah payah ia lalu mencabut panah di lengannya. Darah yang menyerupai kelopak bunga mawar pun bertebaran.

Sempoyongan ia berjalan lalu menikam bahu salah seorang dari mereka—yang sedang merusak barang—dengan panah dari tubuhnya. Namun ia tak menyadari seorang pemanah sedang membidiknya dari belakang. Kewaspadaannya menurun!

Pak Lukman yang menyadarinya langsung memperingatkannya. “Shue!” panggilnya. Tapi Shue tak mendengarnya. “Kita harus menolongnya!”

“Jangan, Ketua! Jangan!” cegat Ron. “Lebih baik kita segera pergi dari sini dan mencari tempat yang aman!” Gani mengiyakan sohibnya itu.

“Teman macam apa kalian ini?! Daritadi kalian menyuruh saya untuk diam saja melihat Shue dipanahi!” bentak Pak Lukman berontak. “Apa kalian akan diam saja melihat saudara kalian dibunuh?!”

Ron dan Gani membisu, tak tahu harus menjawab apa. Mereka tak mampu berkata apa-apa untuk mencegahnya dan hanya mampu melihat Pak Lukman berlari ke arah Shue.

Shue masih sempat menoleh ke belakang. Ia terbelalak begitu melihat orang itu, namun tak sempat menghindar begitu panah kembali menghujam ke arah punggungnya.

Zeb! Tanpa tanggung-tanggung lagi, anak panah yang meluncur itu menancap ke punggung Pak Lukman yang melindungi Shue. Shue menjerit histeris melihat keadaan Pak Lukman. Pak Lukman pun roboh.

“Ketuaaaa!!” Shue langsung mendekap tubuh Pak Lukman yang tak sadarkan diri.

Ron dan Gani cengengesan. “Cih! Beruntung banget sih dia!” keluh Ron.

Insiden itu berakhir seketika. Para penjahat itu kabur begitu polisi menyerbu. Sayangnya, mereka lolos dengan gesitnya. Shue dan Pak Lukman pun dibawa ke rumah sakit.

Gani menepuk pundak Ron. “Kali ini ia memang lolos. Tapi kita masih bisa mencobanya di rumah sakit, kan? Ia pasti lagi tak berdaya.”

Ron tersenyum menyeringai. “Iya juga, ya. Kali ini kamu pasti mampus, Shue—the Eyepatch,” sahutnya bengis.

Anya terkantuk-kantuk. Kepalanya oleng-oleng. Sudah dua hari ini ia menjaga Shue di rumah sakit. Shue masih saja belum sadarkan diri. Selama ini ia selalu setia berada di sisi Shue siang malam untuk memantau perkembangannya. Tapi hingga saat ini, belum ada peningkatan yang berarti.

Tiba-tiba saja Shue merintih. Suara itu membuat Anya terjaga. Ia mendekati Shue. Matanya masih terpejam. Rupanya ia mengigau.

“Ketua … Ketua…”

Anya menyentuh kening Shue. Ia lalu menyeka keringat dinginnya dengan handuk. Shue kembali tenang. Anya menatapnya iba. Kini mata tajam itu redup. Pemanah tangguh itu tergeletak tak berdaya di rumah sakit. Anya dengan setia menjaganya sambil terus mendoakan pemuda yang disukainya itu.

“Ya Allah, kumohon tolong sadarkanlah Shue. Semoga saja ia segera siuman,” harapnya.

***

 hay, mau tahu cerita horor yang ga bikin ngebosenin? nih ada di aplikasi NOVELME, tinggal didonlod dulu aplikasinya dan search novel UMURKU 13 TAHUN DAN KAMU? tentu saja ga ngebosenin karna berupa kumcer, yuk mampir, dijamin seru dan menegangkan. makasih :=(D