THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Jumat, 14 Agustus 2020

REFF - 4

 

Malam itu—di salah satu kamar sebuah apartemen—Kid tersenyum-senyum sendiri sambil memandangi bintang-bintang di langit. Ia teringat pertemuannya tadi dengan Bu Sonia. Wanita itu begitu lembut dan baik padanya. Makanya Kid sangat menyukainya.

“Andaikan saja aku bisa punya ibu seperti beliau. Seperti apa ya ibuku itu? Aku ingin sekali bertemu dengannya.” Mengkhayalkan itu semua, semakin membuat Kid ingin menemui wanita itu lagi. “Tapi kata Ayah, ibuku itu seorang pelacur. Tak mungkin kan ibuku itu sebaik Nyonya Sonia.”

“Kiiiiid!!! Kiddd!!” suara pekikan itu langsung membuat Kid tersentak dari lamunannya.

Terdengar suara gedoran di pintu kamar flatnya. Dug! Dug! Dug!

“Itu pasti Ayah! Ia pasti sedang mabuk lagi,” gerutunya sambil berlari membukakan pintu.

Seorang pria masuk dengan langkah terhuyung-huyung. Ia langsung duduk dan meminta Kid untuk memijati pundaknya. Kid langsung melakukannya tanpa harus pikir panjang lagi. Ia melayani ayahnya dengan penuh kasih sayang.

“Hik!” Sang ayah cegukan terus sementara Kid terus saja memijitinya. “Bisa sedikit lebih keras, nggak? Kamu ini benar-benar lembek seperti perempuan saja!” bentaknya.

Kid berusaha membuat ayahnya senyaman mungkin. Ia iba pada ayahnya yang baru saja di-PHK hingga ia frustasi dan tenggelam ke minuman haram. Oleh karena itulah, Kid harus menjadi tulang punggung keluarga dengan menjadi pengamen. Ia bahkan harus mengerjakan semua pekerjaan rumah dimulai dengan bersih-bersih rumah, mencuci, menyetrika, sampai memasak. Tentu saja selain itu, ia juga harus mengurusi ayahnya yang suka keluyuran itu. Semuanya membuatnya kelelahan. Tapi rasa lelah itu tak mengalahkan rasa kasih sayangnya pada ayahnya yang selama ini merawatnya sendirian.

Tapi setiap hari, ia selalu harus menjadi objek kemarahan ayahnya itu. Tak hanya itu, pria itu terkadang memukulinya. “Berapa pemasukan hari ini? Ayo, cepat serahkan pada Ayah!” pinta pria itu dengan nada mabuk.

Dengan ragu, Kid lalu menyerahkan seperempatnya. Melihat jumlah uang yang diberi, sang ayah kalap lalu memecahkan botol bir yang dibawanya. Kid terkejut setengah mati.

“Hanya segini yang bisa kau berikan pada Ayah?! Aku minta semuanya, goblok! Cepat serahkan semuanya!” pria itu lalu menarik-narik tas pinggang di tubuh Kid seperti seorang perampok.

Tapi Kid berusaha mempertahankannya. “Jangan, Ayah! Aku membutuhkannya untuk membayar uang sekolah dan keperluan kita sehari-hari!” cegatnya.

“Hah?! Sekolah katamu? Buat apa sekolah kalau nantinya kau juga akan menjadi seperti Ayah?! Sekarang berikan semuanya agar aku bisa minum-minum lagi! Cepat!!”

“Tidak! Kemarin juga sudah Ayah pakai semuanya! Sekarang aku tak punya lagi untuk Ayah! Silakan Ayah cari sendiri kalau mau mabuk! Minum-minum lebih Ayah pentingkan daripada sekolah anak sendiri!”

“Apa katamu?!” raung ayahnya.

Kid ketakutan melihat ayahnya yang murka. Ia segera melepaskan diri dari ayahnya itu dan melarikan diri.

“Hei, anak nakal! Kembali! Awas kau nanti, ya! Kucincang kalau kau pulang nanti!”

Malam itu, terpaksa Kid menginap sementara di rumah panti asuhan tempat Vio tinggal.

***

Hari berikutnya, mereka kembali bertemu. Bu Sonia selalu mengajak Kid jalan-jalan dan makan siang usai mengamen. Hingga suatu ketika, mereka sedang duduk-duduk di sebuah taman. Kid yang penasaran, akhirnya mengeluarkan rasa penasarannya itu.

“Selama ini, aku jadi berpikiran. Nyonya kok baik sekali padaku?”

Bu Sonia menghela napas dan tersenyum lembut padanya. Sejenak ia terdiam dan akhirnya menjawab juga, “Karena kau begitu mengingatkanku pada anak itu.”

“Siapa? Putra Nyonya di rumah?”

Bu Sonia membisu. Ia memang memiliki seorang putra di rumahnya yang sudah ditinggalkan selama 5 tahun. Tak bertemu selama itu, ia tak tahu persis seperti apa wajah anaknya sekarang, apalagi bayinya yang dulu pernah dicampakkan itu. Tapi entah kenapa, Bu Sonia malah lebih merasa Kid malah mengingatkannya pada bayinya dulu ketimbang putranya di rumah.

“Nyonya?” Melihat Bu Sonia tampak melamun, Kid mengernyit kemudian memanggil-manggil untuk menyadarkannya. “Nyonya?”

Bu Sonia pun tersadar dan jadi salah tingkah karena sudah melamun. “Ma-maaf, Ibu jadi melamun begini. Oh iya, boleh Ibu tahu di mana alamatmu?”

“Aku tinggal di apartemen sebelah pompa bensin di lantai 4, kamar nomor 25 atas nama…”

Bu Sonia buru-buru mencatatnya.

“…Pak Haya,” Kid melanjutkan.

Wajah Bu Sonia menegang dan pulpen pun terlepas dari tangannya. “Siapa?!”

“Pak Haya Helmut,” Kid mengulangi.

Mata Bu Sonia jadi bergerak-gerak gelisah. Ia jadi tampak syok.

“Nyonya? Nyonya Sonia? Anda tidak apa-apa, kan?” tegur Kid cemas.

Bu Sonia segera menormalkan sikap lagi. “Oh, maaf! Lagi-lagi aku terenyuk. Ngomong-ngomong, apakah Pak Haya itu ayahmu?” tanyanya pelan.

Kid mengangguk. “Iya! Kami hanya tinggal berdua di rumah.”

“Bagaimana dengan ibumu?” selidik Bu Sonia penasaran.

Sejenak Kid terdiam, kemudian menggeleng. “Aku tak mengetahui apa pun tentangnya.”

***

Siang itu—tak seperti biasanya—Bu Sonia tak mendapati Kid sedang mengamen di terminal bus. Ia tampak mencari-cari hingga pada akhirnya dia memutuskan untuk langsung ke apartemennya saja demi menjawab rasa penasarannya terhadap pemuda itu.

Tak lama kemudian, ia akhirnya bisa bertemu dengan pemuda yang dicari-carinya itu di sekitar area apartemennya. Kali ini, ia melihat Kid dengan penampilan yang lain daripada sebelumnya. Jauh dari image-nya selama ini sebagai pengamen yang berpenampilan acak-acakan, dengan topi yang dipasang terbalik, serta tato yang menghiasi tengkuknya.

Bu Sonia tersenyum begitu melihat penampilan barunya yang dibalut seragam sekolah. Ia jadi tampak lebih rapi dan terpelajar. Bu Sonia pun segera memanggilinya. “Kid!”

Kid yang tak menyangka Bu Sonia akan menemuinya di sana, segera menoleh. “Nyonya Sonia?!” Ia lalu melangkah mendekati wanita itu. “Apa kabar?” sapanya sambil tersenyum ramah, mengidentitaskan kalau ia benar-benar senang bertemu dengan wanita anggun itu.

“Alhamdulillah, kau sudah bisa masuk sekolah?”

Kid mengangguk sambil mengucap syukur. “Iya! Alhamdulillah banget, akhirnya bisa masuk lagi meskipun aku ketinggalan banyak pelajaran.”

“Kid, apakah ayahmu tidak mengusahakan biaya sekolahmu hingga kau tak perlu mengamen lagi dan bisa bersekolah dengan lebih fokus lagi?”

Kid menggaruk-garuk lehernya, tampak gugup. “Aku … aku hanya mencoba membantu Ayah—”

“Apa dia memperlakukanmu dengan baik?” Bu Sonia semakin menggali rasa penasarannya.

Kid menatapnya bingung.

Bu Sonia jadi tampak gelagapan. “Maksud Ibu … bukannya Ibu mau ikut campur. Tapi—“

Kid malah menunduk. “Lumayan…” Tapi ia jadi penasaran juga mengapa Bu Sonia mempertanyakan hal itu.

Bu Sonia menatapnya cemas. “Sekarang di mana ayahmu itu? Apakah … apakah aku bisa bertemu dengannya?”

Kid menatap Bu Sonia sambil mengernyit kebingungan. “Anda mau ketemu dengan ayahku? Tapi dia kan…” Kid kembali menggantungkan kalimatnya. “Dia … dia sangat sibuk dan tak bisa ditemui.”

Bu Sonia pun jadi semakin curiga dan yakin kalau sang ayah yang dimaksudkan itu, tak mengurus Kid dengan baik. Wanita itu jadi semakin kasihan pada Kid meskipun ia berusaha menutup-nutupi masalah keluarganya itu.

***

halo, readers! ga bosen bosennya nih promosiin novel-novel karya THIRTEEN. yah, yang ini genre roman: CAFFE LATTE FULL ROMANCE yang terdiri dari 3 season. selengkapnya bisa kalian baca di aplikasi NOVELME. unduh dulu aplikasinya, lalu search judul di atas. ceritanya sih seting kampus, jadi pasti gregetlah. buktikan saja sendiri :=(D

0 komentar: