THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Rabu, 12 Agustus 2020

Identitas

 

Gawat! Razia mendadak dilakukan di kelas ini. Mana belum ada persiapan, lagi. Bagaimana ini? Kumenggigit jari di bangku 3 itu. Guru pembimbing malah sudah menyetrap Soni dan Wilda—teman sebangkuku. Dengan cepatnya ia mengetahui geng kami dari ikat pinggang yang digunakan.

Ikat pinggang itu adalah identitas geng kami. Akhirnya tibalah giliranku untuk berdiri di tempat. Ia memeriksaku dengan seksama dan aku siap dipermalukan. Aku tahu guru itu begitu ingin menjatuhkanku karena aku tipe cewek badung yang sangat mencurigakan. Ia benar, tapi aku tak boleh ketahuan!

 Aku hanya berdiri tegap santai di tempat, tanpa gelagap apa-apa. Entah mengapa aku juga bisa merasakan kegugupan Tedi yang duduk di belakangku. Kalau ketahuan, pasti aku paling malu padanya. Guru ini memang sudah seringkali mempermalukanku, namun kalau ketahuan pasti lebih malu lagi.

Setelah sekian lamanya keringat dingin, guru itu akhirnya berlalu. Ia tentu saja tak menemukan bukti apa-apa dariku. Tak lama, anak-anak yang disetrap tadi kemudian disuruh duduk kembali. Aku hanya bisa melihat ikat pinggang di rok Wilda yang pendeknya sepaha di atas lutut. Ia memang seksi tapi ia orang yang sangat baik dan lembut. Meski wajahnya sih biasa saja.

Wilda kemudian kembali ke sisiku dengan tenangnya. Ia tetap bisa bersikap tenang dan kalem. Dengan begini tinggal aku sendirilah yang bisa beraksi di lingkungan sekolah ini demi menjalankan suatu misi organisasi. Entah bagaimana nasib kawananku lainnya yang ketahuan. Mungkin aku akan bertahan di sekolah ini tanpa mereka dan sendirian…

***

“Beti, seragammu agak beda, ya. Lebih keren!” komentar Suban begitu kumelepaskan seragam sekolahku untuk berolahraga. Dalamannya sih memang pakaian olahraga begini agar praktis saja saat ganti baju.

Mulanya sih, aku sempat deg-degan karena takut akan apa yang diperhatikannya dariku. Aku takut simbol identitasku yang biasanya dari pakaian ini ditemukan. Untung saja hanya komentar biasa yang keluar dari bibirnya. Memang sih geng kami mengenakan banyak atribut yang lupa dilepaskan pada pakaian. Dan itu kecerobohan fatal yang kami pikir tak bakal diketahui banyak orang.

Aku hanya menanggapinya kalem dan tak banyak bicara selain tersenyum. Jangan sampai kalau ceplas-ceplos, aku bisa membocorkan misi kami ini dan siapa aku sebenarnya. Tanpa mau melanjutkan pembicaraan, kumelangkah ke mejaku untuk meletakkan seragamku ke laci.

Diam-diam kuperhatikan isi laciku. Berbagai sensor canggih ada di sana. Jangan sampai ketahuan saja. Kalau dilihat sih, bentuknya seperti boneka imut biasa agar tak membuat orang curiga pada bentuknya. Tapi jangan salah, ini bukan sembarang boneka! Kutata mereka dengan rapi. Mereka bagai robot di tanganku.

Sekali lagi, tak boleh sampai ketahuan! Boneka ini tak bakal membuat mereka curiga. Dan aku kan bisa malu kalau sampai mereka tahu aku bawa boneka, hehe.

Aku menunggu begitu lama di kelas ini. Entah kapan pelajarannya dimulai. Belum ada pengumuman untuk berkumpul di lapangan sehingga kami asyik sendiri di sini. Eh, tak lama kami memikirkannya, kami malah dapat kabar kalau olahraganya sudah dimulai. Tapi karena gurunya baru, maka tak dapat info agar kami bisa turun.

Sebagian dari kami sudah ada di lapangan dan pemanasan. Kami yang tersisa di kelas pun segera turun. Listi kepanikan karena takut dihukum. Ya biasalah kalau telat, pasti dapat hukuman. Tapi tak masalah denganku. Listi kan begitu anggun dan ia selalu mengeluh kalau pelajaran olahraga tiba.

Listi memimpin perjalanan kami ke lapangan. Kami sih ikut saja. Meski tak suka olahraga, tapi Listi seolah bertanggung jawab di kelas. Aku kalem-kalem saja di barisan paling belakang dengan santainya. Kami menuruni tangga berbarengan dan sempat salah belokan ke lapangan seberang.

“Duh, bukan di sini rupanya. Kenapa kalian diam saja? Huh! Kita ke seberang,” gerutunya. Gadis berambut keriting itu pun menuju ke lapangan sebelah dengan lincahnya. Panik sekali ia, apalagi begitu mendengar guru barunya galak.

Kami terus mengikutinya dan kulihat Tedi sudah ada di lapangan tengah pemanasan bersama … pacarnya. Hm, mungkin lebih tepat tunangannya karena di usia semuda ini, ia sudah dijodohkan dengan gadis itu. Kumemalingkan wajah agar tak perlu mengetahuinya.

Cemburu? Jelas saja! Aku mencintainya dan aku yakin ia pun begitu. Hanya saja berusaha semaksimal mungkin tak kutunjukkan dan berusaha melupakannya. Kuberusaha semaksimalnya agar tak melihatnya sedikit pun. Aku tetap saja santai seperti biasa.

Selamat ya, Ted! Ternyata kau bukan untukku.

Begitu tiba, kutertegun begitu melihat siapa guru olahraganya. Seorang pemuda yang penampilannya tampak sederhana, namun aku tahu persis siapa ia. Kuharap ia tak mempermalukanku dengan hukuman-hukuman konyolnya. Tuh kan kenapa juga sih aku masih malu pada Tedi jika harus mengalaminya? Padahal aku sudah berusaha mengusirnya dari pikiranku, tapi ia selalu saja nongol di benakku. Huh!

Namun untung saja kami dibariskan ke barisan yang terlambat untuk melakukan pemanasan sendiri. Kuatur barisan sesuai dugaanku. Aku tahu persis bagaimana posisi yang bisa membuatnya puas. Tapi tumben juga sih ia tak menjatuhkan hukuman, mungkin karena yang di hadapannya adalah anak sekolahan makanya ia tak semiliter yang dilakukannya pada kami. Padahal aku sudah siap hukuman apa saja.

Hm ya, sebenarnya sih ia adalah salah satu atasan organisasi rahasia kami dan ia diselundupkan kemari sebagai guru, haha! Kami pura-pura tak saling mengenal saja. Kami pemanasan sendiri. Padahal aku selalu ketakutan kalau ia menjatuhkan hukuman dulunya. Tapi kalau sekarang sih asyik-asyik saja.

Aku enjoy saja pemanasan ini. Tapi kok ia tampak tak serius, ya? Aku tak punya barisan yang rapi pun ia tak komentari sedikit pun. Asyik nih kalau ia seperti ini juga di organisasi kami. Entah kenapa tak ada yang mau sebaris denganku.

Tiba-tiba saja pikiranku lalu tertuju kembali pada Tedi. Ya, lagi-lagi ia! Kuteringat kalau ia biasanya absen pada pelajaran ini. Ia selalu membiarkanku kesepian karenanya. Tapi sekarang apakah ia selalu ada? Apa karena tunangannya itu? Hatiku patah! Kenapa pikiranku tak membiarkanku melupakannya? Apa salahku?! Kenapa aku harus dihukum seperti ini terus?

Agh! Kumemikirkannya sambil pemanasan. Lagi asyik-asyiknya melakukan peregangan, tiba-tiba saja Luis—guru baru kami itu—mendatangiku. “Tumben nih nggak pake hukuman. Biasanya kau doyan menghukum orang tak disiplin kayak aku,” bisikku sinis.

“Sebenarnya aku mendekat untuk memberitahukan hukuman yang akan kuberikan padamu. Jadi bersiaplah,” bisiknya dingin.

Kuterpaku dan menghentikan pemanasanku sejenak. “Tapi apa salahku?”

“Kau tak bisa menjaga kawan-kawanmu yang lain. Mereka tertangkap dan dikeluarkan dari sekolah. Kaupikir tanggung jawab misi ini mudah? Kaupikir kau bisa lolos sementara mereka mendapatkan hukuman? Jadi hati-hati ya jangan sampai ketahuan.”

Ia lalu meninggalkanku dengan entengnya. Hukuman, kenapa sih hidupku selalu penuh dengan hukuman? Aku selalu dihukum atas tuduhan yang tidak-tidak padaku dan aku juga dihukum mencintai Tedi!

***

 hy, readers, penasaran gak ama cerita cerita horor dalam sebuah ritual yang lain daripada yang lain ini dengan versi yang tak biasa? ada kisah gore tentang makanan di sini, pastinya bikin kepo kan tegang dan ngerinya tuh kayak apa? so langsung aja mampir ke karya novel karya THIRTEEN berikut ini: RITUAL 100 KISAH HOROR di web STORIAL. klik aja langsung gambar kover di atas menuju linknya. makasih dukungannya, selamat berngeri ria :=(D

0 komentar: