THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Selasa, 23 Februari 2016

TOKYO GHOUL - 2

hm di episod ini masi penuh air mata, kekerasan, dan ada unsur komedinya juga. tapi ada adegan berdarah yang disensor. nonton aja ntar kasian ndiri ama kaneki nya teraniaya mulu, hihi. klik gambar seperti biasa menuju videonya langsung :p


https://www.youtube.com/watch?v=qwsHyiH_p2Q&list=PLH7HPkIcGtYqPkA-aZzg9kXt6irbFKY7f&index=2




Huek! Apa yang ghoul ngaco itu lakukan?! Dengan kasarnya, ia malah memasukkan daging mayat itu ke mulutku. Tiba-tiba saja terasa sensasi yang luar biasa, tapi bergegas kumuntahkan karena nuraniku masih manusia!

“Apa yang kaulakukan?! Aku ini orang! Aku ini tak sepertimu, dasar monster! Huek!”

Tak sependapat dengan keluhanku itu, ia kemudian menggemblengku membabi-buta dengan senang hati. Buset! Tampangnya aja yang imut, tapi tenaganya seperti monster! Psiko!

Gusrak. Setelah itu, ia membantingku. Semakin aku memakinya monster, ia semakin menindasku tanpa segan. Ghoul psiko ini menghajarku habis-habisan! Tak peduli aku sudah berlumuran darah sekali pun, ia tetap tak berhenti. Dan aku juga tak akan mau membuka mulutku untuk memakan mayat—meskipun diperlakukan sejauh ini!

Ya, gadis imut itu kan ghoul! Wajar saja tak berprikemanusiaan. Aku tengah terguncang dan terpuruk akan identitas baruku ini, ia malah menambah penderitaanku dan tak mau mengerti rasanya seperti apa. Ia seolah menyeretku ke lembah hitam dengan memaksaku memakan mayat. Sepertinya hanya dia yang mau dimengerti bagaimana rasanya jadi ghoul. Tapi bagaimana dengan deritaku?

“Sejak lahir aku belum pernah menikmati makanan manusia sebagaimana mestinya. Tapi kau yang baru tak menikmatinya lagi, sudah memilih untuk kelaparan setengah mati seperti ini. Rasa lapar bagi ghoul itu seperti di neraka. Bagaimana rasanya makanan manusia kayak kue itu? Rasanya seperti kotoran kuda saja. Bagaimana kalau kau juga ikut merasakan menjadi kami dengan memakan bangkai?”

Kutertegun begitu mendengar kalimat menusuk yang keluar dari bibir ghoul sadis  itu. Kalimat yang diucapkannya itu seolah dia sendiri tak menerima kondisinya yang sudah menjadi ghoul sejak lahir. Belum lagi ia harus berburu untuk makan karena ia tak bisa makan makanan orang banyak. Sungguh membebani! Tak mudah bagi mereka mempertahankan hidup akan persediaan makanan sebagai predator. Iya juga, ya?

Seharusnya aku bisa lebih bersukur lagi masih sempat menikmati makanan yang wajar, tak seperti dirinya yang sejak lahir. Bukankah aku lebih beruntung? Tapi tetap saja aku bukan ghoul!

“Ya, kau memang bukan ghoul. Tapi juga bukan manusia. Tak ada tempat buat orang yang setengah-setengah kayak kamu!”

Kalimat tajamnya itu malah membuatku semakin drop. Ia kemudian melancarkan serangan penutup. Aku tak mampu melakukan perlawanan apa-apa daritadi digodamnya. Gadis bengis! Buset dah! Gadis labil seperti ini mana ada yang mau?! Psiko abis…

“Toka, stop!” tiba-tiba saja seorang pria tua kalem datang dan menghentikan pengospekan ghoul baru ini. “Kita harus menolong sesama ghoul sesuai aturan, bawa dia ke tempat kita.”

Toka terpaksa menyetujuinya. Cih! Ini untuk yang kedua kalinya aku dihajar oleh cewe ghoul sampai babak belur. Pada cewek saja aku tak berani balas apalagi untuk tipe cewe yang beginian. Aku hanya bisa terima saja sakitnya yang minta ampun… T0T

Di kafe, aku disuguhi segelas kopi. Tapi bisakah aku meminumnya? Aku masih ragu. Bukankah susu dan air putih saja aku sudah mual? Tapi mereka kan ghoul dan tahu betul apa yang pantas disuguhkan untuk sesamanya. Akhirnya kumencoba mencicipi kopi itu. Hm? Enak! Tapi kok…

Senangnya bisa ada sesuatu yang turun ke perut ini setelah sekian lamanya kelaparan. Senang tapi juga sedih karena tak bisa makan apa-apa lagi seperti dulu. Tapi aku terharu karena akhirnya perutku bisa merasakan kehangatan lagi. Tapi kenapa kopi?

“Hanya kopi yang bisa diminum oleh ghoul dan manusia. Tapi kita tak bisa bertahan hidup hanya dengan minum saja,” pria tua itu menjelaskan meski aku masih keras kepala dengan lebih memilih kelaparan daripada makan menu khusus ghoul. Ia kemudian memberikanku sesuatu. Kuterima bungkusan itu. Apa ini? Perasaanku jadi tak enak karena aromanya yang memikat!

Krucuk… ini tuk kesekian harinya kumenahan lapar di kosanku malam itu. Meskipun setengah mati menahan lapar, tetap saja kumenahan diri menyentuh bungkusan itu. Sebaiknya aku tidur saja agar rasa lapar ini tak begitu menyiksa. Tapi perut ini terus saja merintih. Kuhentak-hentakkan kakiku agar perut ini mau lebih bersahabat lagi dengan otakku, tapi aku sudah mulai menjambak-jambak rambutku saking nelangsanya rasa lapar ini. Pusing!

Rintihannya berbarengan dengan gaungan pekikan Toka tadi: tak ada tempat buat orang setengah-setengah kayak kamu!

Aduuuuuuuh! Aku sudah tak tahan lagi! Belum lagi, arwah Rize yang membayangi terus saja mencemoohku dengan santainya, “Siapa yang peduli kalau kamu hanya setengah-setengah?” Bayangannya ada di mana-mana! Aku bahkan masih bisa merasakan pelukan genitnya dari belakang. Hi! Tapi aku tak bisa mengusirnya dalam hidupku berhubung aku sedang memakai organnya untuk bertahan hidup.

Ia menggodaku untuk membuka bungkusan itu dan memakannya. Meski dah mati, tapi separuh jiwanya yang ada pada diriku ini pasti masih bisa merasakan lezatnya daging mayat itu.

Mengerikan! Tapi Rize ada benarnya juga. Sepertinya… sepertinya isi bungkusan itu enak! Baunya saja sudah sedemikian lezatnya. Aku sudah tak bisa menahan lagi. Aku harus menghentikan kegilaan ini dengan membukanya. Seperti orang gila, kujatuh berlutut depan meja dan segera kucabik-cabik pembungkusnya. Lapar! Lapar banget!

Tit! Sebuah nada sms menyadarkan kebuasanku. Segera kubuka sms itu, dari Hide rupanya: Mati lo!. Ya, siapa lagi? Hanya dialah satu-satunya orang yang sangat care padaku. Ya, meskipun isi smsnya sepele banget tentang kuliah. Iya juga ya, aku sudah lama ga masuk kuliah karena masalah ini. Hide pasti mencemaskanku.

Rasa kasih sayang itu membuatku merasa tak pantas untuk memakan sesamaku. Kulemparkan bungkusan itu jauh-jauh dan lebih memilih untuk tetap begini!

Paginya aku ke kampus meski dengan perut kosong yang masih bisa kutahan. Wah, rasanya sudah lama juga ya tak melihat pemandangan ini karena pemandangan sebelumnya yang selalu kusaksikan adalah ghoul dan mayat. Sungguh menenangkan. Hide mana, sih?

Tiba-tiba saja terdengar obrolan mahasiswa di kantin yang tengah membicarakan makanan. Permen, coklat… dan glek! Setengah mual dan sedih, dengan perasaan bercampur aduk melihat mereka masih bisa menikmati burger yang menjadi makanan favoritku itu.

Tak lama, orang yang kucari-cari itu pun menyambarku dengan riang dari belakang. “Kenapa kau lama ga masuk?” Hm, sebenarnya aku sudah tak peduli dengan kuliahku lagi karna ada masalah yang lebih besar daripada itu. “Kamu masih sakit? Kok kamu pake penutup mata segala?” Ia mengomentari penutup mata medis yang kugunakan untuk menutup kakuganku (mata ghoul sebelah). “Gaya amat! Kamu masih lesu. Wajahmu juga pucat. Kamu sudah makan?”

Makan! Sepatah kalimat yang membuatku depresi abis. Sayangnya Hide tak tahu apa-apa…

Dengan wajah lesu kemudian kumerenung. Sepertinya aku pernah mengalami hal yang sama, saat Hide menyambutku seperti ini karena aku lama ga masuk sekolah. Persis seperti ini!

Hide sahabat yang sangat berharga bagiku! Sejak kecil, ia sudah sangat peduli padaku. Aku sangat menyayanginya. Waktu kecil, aku sangat kesepian dan hanya bisa menangis sedih. Aku tak sadar jika ia memperhatikan kehidupanku itu dan mau menjadi temanku saat itu.

“Hei! Kamu kok lama gak masuk sekolah? Sampai kapan mau mengurung diri di rumah mulu?” tegurnya waktu itu—sama seperti ini.

Tapi untuk membagi masalah ini dengannya, aku tak tega membebani pikirannya. Ia pasti panik dan cemas.

“Eh, aku mo pinjem buku ama senior. Ikut, ya!” Hide kemudian mengajakku cabut. Aku selalu menghabiskan saat-saat seperti ini bersamanya. Sungguh nyaman dan menyenangkan bisa punya teman seperti dirinya, meski sifatnya kebalikan denganku. Ia sangat santai, keren, gaul, ceplas-ceplos, periang tapi aku sangat pendiam, culun, dan kuper. Tapi kontras itu malah menyatukan kami. Entah di mana cocoknya!

Ia juga sangat peka terhadap orang lain. Tapi aku takut juga keakraban ini tak berlangsung lama—tak bisa jalan bareng dia lagi—mengingat sekarang identitas baruku sebagai—

Kuteringat waktu kecil dulu, aku tak gaul dengan yang lainnya dan lebih suka membaca buku di tempat sepi. Ia mau berbaik hati menyapaku dan mengajak berkenalan. “Hei, lo! Tiap istirahat sekolah selalu baca buku di sini, ya? Gak berbaur ama yang laen?”

“Memangnya itu salah?” responku begitu melihat anak yang tak kukenali itu.

“Bukannya gitu, sih. Aku hanya ingin ajak kamu kenalan soalnya aku gak punya temen di sini. Kamu mau gak jadi temenku?” Ia lalu duduk di sebelahku.

“Tentu!” Kami kemudian berkenalan dan berjabat tangan.

Sejak saat itu, kami pun jadi sahabat baik. Ia benar-benar tipe orang yang sangat menyenangkan. Aku beruntung bisa dipilihnya jadi sahabatnya dan ia tak malu menjadi teman cowo culun sepertiku. Tapi apakah ia juga beruntung bisa punya sahabat seperti aku?

Tanpa basa-basi, ia langsung memasuki ruangan seniornya itu. “Hide, kenapa kau tak ketuk dulu?” tegurku. Ya, biasalah anaknya memang begitu—spontanitas.

“Huh! Aku gak suka kalau teritoriku terusik,” keluh seniornya di dalam—padahal ia tengah bercinta ama pacarnya yang langsung kabur karena malu kedapatan mesum.

Hide kemudian memperkenalkanku dengan senior yang diakrabinya itu, tapi— Hah?! Orang berkacamata itu kan…

Orang itu juga terkejut melihatku. “Kau?!”

Buset! Ghoul berkacamata yang mencekikku kemarin itu. Ini bahaya! Tapi Hide mana tahu?

Kami lalu memasuki ruangannya. Aku bisa merasakan sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Kenapa Hide bisa temenen ama ghoul jahat ini?! Ghoul yang tak hanya menyerang orang, tapi juga sesamanya. Menggenaskan!

Ia ringan-ringan saja karena tak tahu masalah. Betapa enjoynya dia itu. Huft! Entah bagaimana cara menegurnya agar menjauhi orang eh maksudku ghoul ini. Ghoul itu malah menatapku licik dari balik kacamatanya. Mengerikan!

“Halo salam kenal ya, Ka-ne-ki!” sapanya tajam. “Duh, Hide, aku lupa bukunya di rumah. Bagaimana kalau kita ke rumahku saja untuk mengambilnya?” ajak ghoul itu.

“Sip, Kak!” Hide setuju-setuju saja. “Kaneki, kamu pulang duluan aja, ya!”

Tapi kemudian kuberpikir, ini pasti ada apa-apanya. Kuteringat waktu itu—mayat itu. Jangan-jangan ghoul ini bisa jadi temen deket Hide karena—

“Aku ikut!” Karena cemas, kutawarkan diri untuk menemani Hide ke sana.

Ghoul itu tampak kurang berkenan tentunya. “Ya, boleh-boleh saja,” katanya sambil memunggungi dan mengetik. “Btw, Hide. Pacarku tadi malu habis. Kamu sudah lihat apa saja?”

“Haha! Cuma bahunya aja kok…”

Di jalan, kuterus mengawasi ghoul itu. Aku tak mau Hide sampai kenapa-napa tentunya. Ghoul itu kemudian membelikan kami burger. Tapi baunya memuakkan!

Hide menikmatinya. “Eh, kok kamu nggak makan, Kaneki?”

“Oh, itu ntar aja. Masih kenyang.” Makanya kusimpan saja burgernya di tasku (yang pastinya takkan kumakan ini) meski Hide merasa tumben. Ia selalu saja menyuruhku untuk makan melihatku yang sangat lesu ini.

Tapi… tapi ghoul itu malah enjoy memakannya di hadapan kami. Di mata Hide memang tak ada yang salah. Tapi bukankah…

“Sahabat sejak kecil, ya? Kaneki ini beda banget ya sama Hide. Tapi hebatnya kalian bisa seakrab ini,” komentarnya begitu Hide bercerita panjang lebar tentangku padanya. Aku sih diam-diam saja.

Kami pun meneruskan perjalanan. Tak kualihkan pandanganku dari punggung ghoul itu. Ia bisa berbaur dengan masyarakat dengan leluasanya. Ia juga berprilaku seperti orang biasa. Kok bisa, ya?

Aku masih terus bertanya-tanya hingga ia pun menoleh—seolah mengetahui jalan pikiranku ini. Di gang yang sepi ini. Namun—

Gusrak! Tiba-tiba saja ia menyerang Hide sampai terlempar hingga pingsan. “Hide!” jeritku. Aku tak bisa membaca gerakan cepat ghoul itu. Kasihan Hide!

“Bisa berbaur ya? Bisa, dong!” gumamnya seolah tahu isi hatiku barusan. Ia lalu mendekatiku yang terpaku. “Hm. Ngomong-ngomong, kau ini baunya kayak ghoul cewek saja.”

Tapi sepertinya aku harus memikirkan diriku juga karena ia juga menyerangku. Tuk kesekian kalinya, ini harus terjadi. Tanpa segan-segan, ia mencekikku lagi dan melukaiku tanpa ampun. “Kau pasti mengincar daging Hide juga, kan? Enak saja! Dia itu milikku, tahu!”

“Kau salah! Mana mungkin aku mau memakan sahabatku sendiri! Wtf!”

“Ah! Aku paling nggak suka dibantah sama anak muda di bawahku!”

Bugh! Kemudian ia meninju perutku hingga berlumuran darah. Kumuntah-muntah darah dibuatnya. Setelah puas, ia melepaskanku yang terkapar kesakitan.

Di tengah-tengah kesakitanku ini, ia kemudian menginjak-injak kepala Hide hingga berdarah. Hide masih tak sadarkan diri. Ia juga mengeluarkan burger dari mulutnya—rupanya ia bermaksud mengelabui kita tadi.

“Hide! Singkirkan kakimu dari temanku!” sekuat tenaga kuberlari ke arah Hide untuk menolongnya.

“Kaki?” ia mencemooh sementara kuberusaha menyerangnya dengan mengesampingkan rasa sakitku. Kuserang dia dengan tasku. “Haha! Kau benar-benar kayak cewek! Masa menyerang pake tas?”

Ia berhasil mendepakku. Tapi kembali kuberusaha menyerangnya dengan lemas karena sakit habis-habisan. Kumengayunkan tinju sebisaku dan ia menghindar dengan santainya.

“Ah! Bener-bener lemah kayak cewek saja kau ini!” Ia lalu melemparku sekuat tenaga hingga kukembali tersungkur. Duh!

“Hide bukan makanan. Dia itu temanku! Temanku! Tolong lepaskan dia. Kumohon!”

“Ia temanmu tapi makanan bagi aku. Sudah dari dulu aku mengincar dagingnya. Hm! Apa kau mau juga?” Ia memperhatikan Hide yang kepalanya sudah berdarah. “Hei, kamu belum sadar-sadar juga, ya?”

Ghoul itu lalu mendekatiku dengan entengnya. Ia menekan luka tembus dari perutku di punggung. Akh! Sadis sekali dia. Tak puas sampai di sana, ia menjambak rambutku dan membuka penutup mata kakuganku. Ia sudah sangat bernafsu menghabisiku dengan menyiksaku habis-habisan. “Ah, apaan ini?! Pake penutup mata segala. Mengendalikan mata ghoulmu saja gak bisa. Benar-benar ghoul yang masih hijau.”

Kumenjerit-jerit kesakitan. Tidak! Jangan sampai ghoul mengambil alih tubuhku lagi. Bruk. Kukembali tergeletak dalam keadaan berlumuran darah—sekarat.

“Kenapa tak kau keluarkan kagune-mu?” Ia lalu mendekati Hide lagi dan mengeluarkan kagune ekor yang melilit kakinya dengan indah. “Keluarkan kagune-mu! Nggak seru, ah! Atau temanmu akan berakhir di mulutku,” ancamnya jahat. Ujung kagunenya kemudian meruncing ke arah Hide!

Tidak! Tidak. Tidak! Aku tak boleh membiarkan sahabatku masuk ke mulut biadab itu. Aku harus melakukan sesuatu. Tapi tubuhku… tubuhku…

Memoriku bersama Hide kembali melintas—saat-saat kebersamaanku dengannya, tertawa bareng dengannya. Aku harus melindungi orang yang sangat berarti bagiku. Dia adalah kebahagiaanku!

Kenangan manis itu menguatkanku untuk bangkit. Huaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrggggggggghhhhhhhhhhhh! Mungkin inilah yang dinamakan kebuasan demi membela teman sendiri. Sesuatu yang merobek kemudian muncul di tulang ekorku dan membentuk 4 ekor (kagune). Aku jadi tak seperti diriku lagi. Jiwa ghoul merebut paksa kesadaranku kini. Aku marah! Marah! Marah…

“Akhirnya!” Ia malah senang melihat kagune-ku. Jadi ini kagune-ku?!

Matilah kau! Ia pun unjuk gigi dengan mengeluarkan kagunenya juga yang membelit kakinya. Awalnya ia tampak santai saja meladeni kemarahan ghoul baru sepertiku. Ia pasti merasa ini adalah tantangan mudah baginya. Tapi aku sedang kalap, kita lihat saja nanti. Rasa laparkah atau kemarahan yang menang?!

Tubuh ghoulku digerakkan api amarah. Kumeluncur kencang tanpa beban mengayunkan serangan-serangan yang belum pernah kulakukan dulu. Entah darimana asalnya kekuatan ini. Yang jelasnya, serangan mematikanku ini berhasil melumpuhkannya. Aku sudah melubangi dan mengoyak perutnya. Darah memercik di mana-mana (sensor add).

“Eh? Ini kekuatan Rize…,” komentarnya begitu menyadari sesuatu. Rupanya kekuatan ghoul Rize yang kumiliki ini bisa melumpuhkannya. Pantas saja!

Crot! Darah pun menggenang di mana-mana! Ia tergeletak di atas kolam darahnya sendiri. (adegan berdarah disensor ‘negatif’).

Hosh-hosh! Aku menang meski dalam keadaan lemah. Tapi nafsu ghoul keparat itu masih melekat meski aku berusaha menenggelamkan sisi itu. Aku kan menggunakannya karena kepepet. Bagaimana dengan Hide? Ia masih tak sadarkan diri. Kasihan dia…

“Hm, sepertinya temanmu ini enak!”

Lagi-lagi ruh Rize hadir menggodaku. Krucuk—belum lagi, rasa laparku ini—

“Ayo makan, makan, makan. Kau pasti sudah sangat kelaparan. Ayolah, aku juga ingin merasakan lezatnya temanmu ini! Seandainya saja aku masih idup…”

Tapi untung lu dah mati! Kuberusaha melawan ruh brutal itu. Akal pikiranku sudah mulai terkunci di tengah-tengah tempat berdarah itu. Argh! Argh! Aku sudah tak kuasa menahannya lagi. Di selanya, aku sempat tersadar meski dalam konflik batin. Tapi dia itu kan temanku… tapi aku lapar… dia temanku, jangan… tapi sepertinya dia enak… jangan jangan jangan…

Klop. Akhirnya akalku pun terkunci dalam tubuhku sendiri. Rasa lapar ini menang daripada nuraniku. Nafsu bajingan Rize menguasai—ingin mencicipi temanku itu. Iya juga sih, sepertinya Hide enak juga. Aku sudah tak kuasa lagi—aku tenggelam—kalah oleh rasa lapar maut ini.

Kudekati sahabatku yang tengah tak sadarkan diri itu. Hm, baunya lezat! Dengan mulut banjir karena liur yang tak terwadahkan, mulai kudekatkan gigi-gigi polosku—gigi yang masih belum pernah menyentuh darah dan daging mayat—itu ke arah Hide.

“Ya, Hide adalah—“

“…temanku!” sambung suara Rize bagai bisikan setan saja.

“Karena ia temanku, makanya aku harus memakannya. Hahahahaha!” kutertawa hilang akal.

“Heh, setengah pantat!” tiba-tiba saja seseorang menghentikanku. Meski pun lapar, tapi aku masih menyempatkan diri untuk menoleh. Toka? “Kalau kau makan temanmu ini, kau memang akan kenyang, tapi kau pasti akan menyesalinya selamanya.”

Tapi aku sudah tak bisa berpikir jernih lagi—aku sudah tak bisa menahan diriku lagi untuk makan. Karena merasa ia ingin menghalangiku, kemarahanku kembali bangkit. Kaguneku siap memeranginya, kalau saja ia masih ingin melarangku menyantap Hide-ku—teman baikku sendiri. Ia juga memasang kagune indah di punggungnya dan menyerang!

Aaaarrrrrgghhhhhh! Kuterbangun di suatu tempat dalam keadaan syok. Kutermegap-megap. Begitu teringat apa yang terjadi, langsung saja kucek mulutku dan merasakan ada bekas darah kental di sana! Huaaaaaaaaaaaahhhh, Hideeeeeeeeeeeeeeeee….

“Hide aman! Dia sedang diobati,” pria tua pemilik kafe itu berespon. Fiuh! Untunglah bukan dia yang kukunyah. Eh, tapi…

Ah, sudahlah! Terharu juga rasanya bisa melihat Hide dalam keadaan selamat. Ia tengah berbaring di ranjang sebuah kamar. Maafkan aku, Hide! Aku hampir saja menyantapmu. Hiks-hiks. Kenapa juga aku bisa berpikiran menyantap best frenku sendiri demi kelangsungan hidupku? Hiks-hiks…

“Waktu itu aku benar-benar tidak sadar!” isakku.

Tapi kok aku sudah tak lapar lagi? Kulirik perutku yang berlumuran darah karena serangan brutal ghoul tadi. “Aku sudah kelaparan sepanjang hari. A-apa yang kalian lakukan padaku waktu tidur tadi? Kenapa mulutku terasa amis darah?”

Seharusnya aku tak perlu mempertanyakannya lagi. Seharusnya aku berterima kasih karena mereka mau menyelamatkan perutku, tapi… tapi… huaaaaaaaaaaahhhh…

Kumenangis-nangis. Perasaanku bercampur-aduk. “Karena aku, Hide jadi begini. Hide tak tahu apa-apa dan ia juga tak tahu masalahku mengapa aku menghilang sejenak dari kampus. Hampir saja aku menelannya. Ia orang yang sangat berarti bagiku. Aku takut… aku takut tak bisa akrab lagi dengannya. Aku sudah menjadi monster dan aku tak mau jiwanya terancam karenaku. Bagaimana pun juga, ia tak terlibat apa-apa. Aku tak mau dia mati di tangan ghoul. Aku tetap merasa sebagai manusia, aku bukan ghoul! Huuuuuuu…” tangisku stres. Sepertinya aku tak bisa bersama-sama dengannya lagi. Kehidupanku bersamanya takkan bisa seperti dulu lagi. Hiks!

“Kau memang manusia, tapi kau juga ghoul. Kau satu-satunya orang yang menempati dua dunia itu.” Melihat air mataku yang berlinang, pria tua itu kemudian menawarkan sesuatu, “Bergabunglah ke Anteiku…”

Kutertegun mendengar penawarannya itu, tapi rasanya lega juga sih ada yang mau menerimaku. Kemudian kami meninggalkan kamar Hide.

(Tek. Hide kemudian membuka matanya perlahan dengan tenang. Ia sudah mendengar semua isi pembicaraan itu…)


0 komentar: