hm di episod ini masi penuh air mata, kekerasan, dan ada unsur komedinya juga. tapi ada adegan berdarah yang disensor. nonton aja ntar kasian ndiri ama kaneki nya teraniaya mulu, hihi. klik gambar seperti biasa menuju videonya langsung :p
Huek! Apa yang ghoul ngaco itu
lakukan?! Dengan kasarnya, ia malah memasukkan daging mayat itu ke mulutku. Tiba-tiba
saja terasa sensasi yang luar biasa, tapi bergegas kumuntahkan karena nuraniku
masih manusia!
“Apa yang kaulakukan?! Aku ini
orang! Aku ini tak sepertimu, dasar monster! Huek!”
Tak sependapat dengan keluhanku
itu, ia kemudian menggemblengku membabi-buta dengan senang hati. Buset!
Tampangnya aja yang imut, tapi tenaganya seperti monster! Psiko!
Gusrak. Setelah itu, ia
membantingku. Semakin aku memakinya monster, ia semakin menindasku tanpa segan.
Ghoul psiko ini menghajarku habis-habisan! Tak peduli aku sudah berlumuran
darah sekali pun, ia tetap tak berhenti. Dan aku juga tak akan mau membuka
mulutku untuk memakan mayat—meskipun diperlakukan sejauh ini!
Ya, gadis imut itu kan ghoul!
Wajar saja tak berprikemanusiaan. Aku tengah terguncang dan terpuruk akan
identitas baruku ini, ia malah menambah penderitaanku dan tak mau mengerti
rasanya seperti apa. Ia seolah menyeretku ke lembah hitam dengan memaksaku
memakan mayat. Sepertinya hanya dia yang mau dimengerti bagaimana rasanya jadi
ghoul. Tapi bagaimana dengan deritaku?
“Sejak lahir aku belum pernah
menikmati makanan manusia sebagaimana mestinya. Tapi kau yang baru tak
menikmatinya lagi, sudah memilih untuk kelaparan setengah mati seperti ini. Rasa
lapar bagi ghoul itu seperti di neraka. Bagaimana rasanya makanan manusia kayak
kue itu? Rasanya seperti kotoran kuda saja. Bagaimana kalau kau juga ikut
merasakan menjadi kami dengan memakan bangkai?”
Kutertegun begitu mendengar
kalimat menusuk yang keluar dari bibir ghoul sadis itu. Kalimat yang diucapkannya itu seolah dia
sendiri tak menerima kondisinya yang sudah menjadi ghoul sejak lahir. Belum
lagi ia harus berburu untuk makan karena ia tak bisa makan makanan orang
banyak. Sungguh membebani! Tak mudah bagi mereka mempertahankan hidup akan
persediaan makanan sebagai predator. Iya juga, ya?
Seharusnya aku bisa lebih bersukur
lagi masih sempat menikmati makanan yang wajar, tak seperti dirinya yang sejak
lahir. Bukankah aku lebih beruntung? Tapi tetap saja aku bukan ghoul!
“Ya, kau memang bukan ghoul. Tapi
juga bukan manusia. Tak ada tempat buat orang yang setengah-setengah kayak
kamu!”
Kalimat tajamnya itu malah
membuatku semakin drop. Ia kemudian melancarkan serangan penutup. Aku tak mampu
melakukan perlawanan apa-apa daritadi digodamnya. Gadis bengis! Buset dah!
Gadis labil seperti ini mana ada yang mau?! Psiko abis…
“Toka, stop!” tiba-tiba saja
seorang pria tua kalem datang dan menghentikan pengospekan ghoul baru ini.
“Kita harus menolong sesama ghoul sesuai aturan, bawa dia ke tempat kita.”
Toka terpaksa menyetujuinya. Cih!
Ini untuk yang kedua kalinya aku dihajar oleh cewe ghoul sampai babak belur. Pada
cewek saja aku tak berani balas apalagi untuk tipe cewe yang beginian. Aku
hanya bisa terima saja sakitnya yang minta ampun… T0T
Di kafe, aku disuguhi segelas
kopi. Tapi bisakah aku meminumnya? Aku masih ragu. Bukankah susu dan air putih
saja aku sudah mual? Tapi mereka kan ghoul dan tahu betul apa yang pantas
disuguhkan untuk sesamanya. Akhirnya kumencoba mencicipi kopi itu. Hm? Enak!
Tapi kok…
Senangnya bisa ada sesuatu yang
turun ke perut ini setelah sekian lamanya kelaparan. Senang tapi juga sedih
karena tak bisa makan apa-apa lagi seperti dulu. Tapi aku terharu karena
akhirnya perutku bisa merasakan kehangatan lagi. Tapi kenapa kopi?
“Hanya kopi yang bisa diminum
oleh ghoul dan manusia. Tapi kita tak bisa bertahan hidup hanya dengan minum
saja,” pria tua itu menjelaskan meski aku masih keras kepala dengan lebih
memilih kelaparan daripada makan menu khusus ghoul. Ia kemudian memberikanku
sesuatu. Kuterima bungkusan itu. Apa ini? Perasaanku jadi tak enak karena
aromanya yang memikat!
Krucuk… ini tuk kesekian harinya
kumenahan lapar di kosanku malam itu. Meskipun setengah mati menahan lapar,
tetap saja kumenahan diri menyentuh bungkusan itu. Sebaiknya aku tidur saja
agar rasa lapar ini tak begitu menyiksa. Tapi perut ini terus saja merintih. Kuhentak-hentakkan
kakiku agar perut ini mau lebih bersahabat lagi dengan otakku, tapi aku sudah
mulai menjambak-jambak rambutku saking nelangsanya rasa lapar ini. Pusing!
Rintihannya berbarengan dengan
gaungan pekikan Toka tadi: tak ada tempat buat orang setengah-setengah kayak
kamu!
Aduuuuuuuh! Aku sudah tak tahan
lagi! Belum lagi, arwah Rize yang membayangi terus saja mencemoohku dengan
santainya, “Siapa yang peduli kalau kamu hanya setengah-setengah?” Bayangannya
ada di mana-mana! Aku bahkan masih bisa merasakan pelukan genitnya dari
belakang. Hi! Tapi aku tak bisa mengusirnya dalam hidupku berhubung aku sedang
memakai organnya untuk bertahan hidup.
Ia menggodaku untuk membuka
bungkusan itu dan memakannya. Meski dah mati, tapi separuh jiwanya yang ada
pada diriku ini pasti masih bisa merasakan lezatnya daging mayat itu.
Mengerikan! Tapi Rize ada
benarnya juga. Sepertinya… sepertinya isi bungkusan itu enak! Baunya saja sudah
sedemikian lezatnya. Aku sudah tak bisa menahan lagi. Aku harus menghentikan
kegilaan ini dengan membukanya. Seperti orang gila, kujatuh berlutut depan meja
dan segera kucabik-cabik pembungkusnya. Lapar! Lapar banget!
Tit! Sebuah nada sms menyadarkan
kebuasanku. Segera kubuka sms itu, dari Hide rupanya: Mati lo!. Ya, siapa lagi?
Hanya dialah satu-satunya orang yang sangat care padaku. Ya, meskipun isi
smsnya sepele banget tentang kuliah. Iya juga ya, aku sudah lama ga masuk
kuliah karena masalah ini. Hide pasti mencemaskanku.
Rasa kasih sayang itu membuatku
merasa tak pantas untuk memakan sesamaku. Kulemparkan bungkusan itu jauh-jauh
dan lebih memilih untuk tetap begini!
Paginya aku ke kampus meski
dengan perut kosong yang masih bisa kutahan. Wah, rasanya sudah lama juga ya
tak melihat pemandangan ini karena pemandangan sebelumnya yang selalu
kusaksikan adalah ghoul dan mayat. Sungguh menenangkan. Hide mana, sih?
Tiba-tiba saja terdengar obrolan
mahasiswa di kantin yang tengah membicarakan makanan. Permen, coklat… dan glek!
Setengah mual dan sedih, dengan perasaan bercampur aduk melihat mereka masih
bisa menikmati burger yang menjadi makanan favoritku itu.
Tak lama, orang yang kucari-cari
itu pun menyambarku dengan riang dari belakang. “Kenapa kau lama ga masuk?” Hm,
sebenarnya aku sudah tak peduli dengan kuliahku lagi karna ada masalah yang
lebih besar daripada itu. “Kamu masih sakit? Kok kamu pake penutup mata segala?”
Ia mengomentari penutup mata medis yang kugunakan untuk menutup kakuganku (mata
ghoul sebelah). “Gaya amat! Kamu masih lesu. Wajahmu juga pucat. Kamu sudah
makan?”
Makan! Sepatah kalimat yang
membuatku depresi abis. Sayangnya Hide tak tahu apa-apa…
Dengan wajah lesu kemudian
kumerenung. Sepertinya aku pernah mengalami hal yang sama, saat Hide
menyambutku seperti ini karena aku lama ga masuk sekolah. Persis seperti ini!
Hide sahabat yang sangat berharga
bagiku! Sejak kecil, ia sudah sangat peduli padaku. Aku sangat menyayanginya. Waktu
kecil, aku sangat kesepian dan hanya bisa menangis sedih. Aku tak sadar jika ia
memperhatikan kehidupanku itu dan mau menjadi temanku saat itu.
“Hei! Kamu kok lama gak masuk
sekolah? Sampai kapan mau mengurung diri di rumah mulu?” tegurnya waktu
itu—sama seperti ini.
Tapi untuk membagi masalah ini
dengannya, aku tak tega membebani pikirannya. Ia pasti panik dan cemas.
“Eh, aku mo pinjem buku ama
senior. Ikut, ya!” Hide kemudian mengajakku cabut. Aku selalu menghabiskan
saat-saat seperti ini bersamanya. Sungguh nyaman dan menyenangkan bisa punya
teman seperti dirinya, meski sifatnya kebalikan denganku. Ia sangat santai,
keren, gaul, ceplas-ceplos, periang tapi aku sangat pendiam, culun, dan kuper.
Tapi kontras itu malah menyatukan kami. Entah di mana cocoknya!
Ia juga sangat peka terhadap
orang lain. Tapi aku takut juga keakraban ini tak berlangsung lama—tak bisa
jalan bareng dia lagi—mengingat sekarang identitas baruku sebagai—
Kuteringat waktu kecil dulu, aku
tak gaul dengan yang lainnya dan lebih suka membaca buku di tempat sepi. Ia mau
berbaik hati menyapaku dan mengajak berkenalan. “Hei, lo! Tiap istirahat
sekolah selalu baca buku di sini, ya? Gak berbaur ama yang laen?”
“Memangnya itu salah?” responku
begitu melihat anak yang tak kukenali itu.
“Bukannya gitu, sih. Aku hanya
ingin ajak kamu kenalan soalnya aku gak punya temen di sini. Kamu mau gak jadi
temenku?” Ia lalu duduk di sebelahku.
“Tentu!” Kami kemudian berkenalan
dan berjabat tangan.
Sejak saat itu, kami pun jadi
sahabat baik. Ia benar-benar tipe orang yang sangat menyenangkan. Aku beruntung
bisa dipilihnya jadi sahabatnya dan ia tak malu menjadi teman cowo culun
sepertiku. Tapi apakah ia juga beruntung bisa punya sahabat seperti aku?
Tanpa basa-basi, ia langsung
memasuki ruangan seniornya itu. “Hide, kenapa kau tak ketuk dulu?” tegurku. Ya,
biasalah anaknya memang begitu—spontanitas.
“Huh! Aku gak suka kalau
teritoriku terusik,” keluh seniornya di dalam—padahal ia tengah bercinta ama
pacarnya yang langsung kabur karena malu kedapatan mesum.
Hide kemudian memperkenalkanku
dengan senior yang diakrabinya itu, tapi— Hah?! Orang berkacamata itu kan…
Orang itu juga terkejut
melihatku. “Kau?!”
Buset! Ghoul berkacamata yang
mencekikku kemarin itu. Ini bahaya! Tapi Hide mana tahu?
Kami lalu memasuki ruangannya.
Aku bisa merasakan sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Kenapa Hide bisa
temenen ama ghoul jahat ini?! Ghoul yang tak hanya menyerang orang, tapi juga
sesamanya. Menggenaskan!
Ia ringan-ringan saja karena tak
tahu masalah. Betapa enjoynya dia itu. Huft! Entah bagaimana cara menegurnya
agar menjauhi orang eh maksudku ghoul ini. Ghoul itu malah menatapku licik dari
balik kacamatanya. Mengerikan!
“Halo salam kenal ya, Ka-ne-ki!”
sapanya tajam. “Duh, Hide, aku lupa bukunya di rumah. Bagaimana kalau kita ke
rumahku saja untuk mengambilnya?” ajak ghoul itu.
“Sip, Kak!” Hide setuju-setuju
saja. “Kaneki, kamu pulang duluan aja, ya!”
Tapi kemudian kuberpikir, ini
pasti ada apa-apanya. Kuteringat waktu itu—mayat itu. Jangan-jangan ghoul ini
bisa jadi temen deket Hide karena—
“Aku ikut!” Karena cemas,
kutawarkan diri untuk menemani Hide ke sana.
Ghoul itu tampak kurang berkenan
tentunya. “Ya, boleh-boleh saja,” katanya sambil memunggungi dan mengetik.
“Btw, Hide. Pacarku tadi malu habis. Kamu sudah lihat apa saja?”
“Haha! Cuma bahunya aja kok…”
Di jalan, kuterus mengawasi ghoul
itu. Aku tak mau Hide sampai kenapa-napa tentunya. Ghoul itu kemudian
membelikan kami burger. Tapi baunya memuakkan!
Hide menikmatinya. “Eh, kok kamu
nggak makan, Kaneki?”
“Oh, itu ntar aja. Masih
kenyang.” Makanya kusimpan saja burgernya di tasku (yang pastinya takkan
kumakan ini) meski Hide merasa tumben. Ia selalu saja menyuruhku untuk makan
melihatku yang sangat lesu ini.
Tapi… tapi ghoul itu malah enjoy
memakannya di hadapan kami. Di mata Hide memang tak ada yang salah. Tapi
bukankah…
“Sahabat sejak kecil, ya? Kaneki
ini beda banget ya sama Hide. Tapi hebatnya kalian bisa seakrab ini,”
komentarnya begitu Hide bercerita panjang lebar tentangku padanya. Aku sih
diam-diam saja.
Kami pun meneruskan perjalanan.
Tak kualihkan pandanganku dari punggung ghoul itu. Ia bisa berbaur dengan
masyarakat dengan leluasanya. Ia juga berprilaku seperti orang biasa. Kok bisa,
ya?
Aku masih terus bertanya-tanya
hingga ia pun menoleh—seolah mengetahui jalan pikiranku ini. Di gang yang sepi
ini. Namun—
Gusrak! Tiba-tiba saja ia
menyerang Hide sampai terlempar hingga pingsan. “Hide!” jeritku. Aku tak bisa
membaca gerakan cepat ghoul itu. Kasihan Hide!
“Bisa berbaur ya? Bisa, dong!”
gumamnya seolah tahu isi hatiku barusan. Ia lalu mendekatiku yang terpaku. “Hm.
Ngomong-ngomong, kau ini baunya kayak ghoul cewek saja.”
Tapi sepertinya aku harus
memikirkan diriku juga karena ia juga menyerangku. Tuk kesekian kalinya, ini
harus terjadi. Tanpa segan-segan, ia mencekikku lagi dan melukaiku tanpa ampun.
“Kau pasti mengincar daging Hide juga, kan? Enak saja! Dia itu milikku, tahu!”
“Kau salah! Mana mungkin aku mau
memakan sahabatku sendiri! Wtf!”
“Ah! Aku paling nggak suka
dibantah sama anak muda di bawahku!”
Bugh! Kemudian ia meninju perutku
hingga berlumuran darah. Kumuntah-muntah darah dibuatnya. Setelah puas, ia
melepaskanku yang terkapar kesakitan.
Di tengah-tengah kesakitanku ini,
ia kemudian menginjak-injak kepala Hide hingga berdarah. Hide masih tak
sadarkan diri. Ia juga mengeluarkan burger dari mulutnya—rupanya ia bermaksud
mengelabui kita tadi.
“Hide! Singkirkan kakimu dari
temanku!” sekuat tenaga kuberlari ke arah Hide untuk menolongnya.
“Kaki?” ia mencemooh sementara
kuberusaha menyerangnya dengan mengesampingkan rasa sakitku. Kuserang dia
dengan tasku. “Haha! Kau benar-benar kayak cewek! Masa menyerang pake tas?”
Ia berhasil mendepakku. Tapi
kembali kuberusaha menyerangnya dengan lemas karena sakit habis-habisan.
Kumengayunkan tinju sebisaku dan ia menghindar dengan santainya.
“Ah! Bener-bener lemah kayak
cewek saja kau ini!” Ia lalu melemparku sekuat tenaga hingga kukembali
tersungkur. Duh!
“Hide bukan makanan. Dia itu
temanku! Temanku! Tolong lepaskan dia. Kumohon!”
“Ia temanmu tapi makanan bagi
aku. Sudah dari dulu aku mengincar dagingnya. Hm! Apa kau mau juga?” Ia
memperhatikan Hide yang kepalanya sudah berdarah. “Hei, kamu belum sadar-sadar
juga, ya?”
Ghoul itu lalu mendekatiku dengan
entengnya. Ia menekan luka tembus dari perutku di punggung. Akh! Sadis sekali
dia. Tak puas sampai di sana, ia menjambak rambutku dan membuka penutup mata
kakuganku. Ia sudah sangat bernafsu menghabisiku dengan menyiksaku
habis-habisan. “Ah, apaan ini?! Pake penutup mata segala. Mengendalikan mata
ghoulmu saja gak bisa. Benar-benar ghoul yang masih hijau.”
Kumenjerit-jerit kesakitan.
Tidak! Jangan sampai ghoul mengambil alih tubuhku lagi. Bruk. Kukembali
tergeletak dalam keadaan berlumuran darah—sekarat.
“Kenapa tak kau keluarkan
kagune-mu?” Ia lalu mendekati Hide lagi dan mengeluarkan kagune ekor yang
melilit kakinya dengan indah. “Keluarkan kagune-mu! Nggak seru, ah! Atau
temanmu akan berakhir di mulutku,” ancamnya jahat. Ujung kagunenya kemudian
meruncing ke arah Hide!
Tidak! Tidak. Tidak! Aku tak
boleh membiarkan sahabatku masuk ke mulut biadab itu. Aku harus melakukan
sesuatu. Tapi tubuhku… tubuhku…
Memoriku bersama Hide kembali
melintas—saat-saat kebersamaanku dengannya, tertawa bareng dengannya. Aku harus
melindungi orang yang sangat berarti bagiku. Dia adalah kebahagiaanku!
Kenangan manis itu menguatkanku
untuk bangkit. Huaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrggggggggghhhhhhhhhhhh! Mungkin inilah
yang dinamakan kebuasan demi membela teman sendiri. Sesuatu yang merobek
kemudian muncul di tulang ekorku dan membentuk 4 ekor (kagune). Aku jadi tak
seperti diriku lagi. Jiwa ghoul merebut paksa kesadaranku kini. Aku marah!
Marah! Marah…
“Akhirnya!” Ia malah senang
melihat kagune-ku. Jadi ini kagune-ku?!
Matilah kau! Ia pun unjuk gigi
dengan mengeluarkan kagunenya juga yang membelit kakinya. Awalnya ia tampak
santai saja meladeni kemarahan ghoul baru sepertiku. Ia pasti merasa ini adalah
tantangan mudah baginya. Tapi aku sedang kalap, kita lihat saja nanti. Rasa
laparkah atau kemarahan yang menang?!
Tubuh ghoulku digerakkan api
amarah. Kumeluncur kencang tanpa beban mengayunkan serangan-serangan yang belum
pernah kulakukan dulu. Entah darimana asalnya kekuatan ini. Yang jelasnya,
serangan mematikanku ini berhasil melumpuhkannya. Aku sudah melubangi dan
mengoyak perutnya. Darah memercik di mana-mana (sensor add).
“Eh? Ini kekuatan Rize…,”
komentarnya begitu menyadari sesuatu. Rupanya kekuatan ghoul Rize yang kumiliki
ini bisa melumpuhkannya. Pantas saja!
Crot! Darah pun menggenang di
mana-mana! Ia tergeletak di atas kolam darahnya sendiri. (adegan berdarah
disensor ‘negatif’).
Hosh-hosh! Aku menang meski dalam
keadaan lemah. Tapi nafsu ghoul keparat itu masih melekat meski aku berusaha
menenggelamkan sisi itu. Aku kan menggunakannya karena kepepet. Bagaimana
dengan Hide? Ia masih tak sadarkan diri. Kasihan dia…
“Hm, sepertinya temanmu ini
enak!”
Lagi-lagi ruh Rize hadir
menggodaku. Krucuk—belum lagi, rasa laparku ini—
“Ayo makan, makan, makan. Kau
pasti sudah sangat kelaparan. Ayolah, aku juga ingin merasakan lezatnya temanmu
ini! Seandainya saja aku masih idup…”
Tapi untung lu dah mati! Kuberusaha
melawan ruh brutal itu. Akal pikiranku sudah mulai terkunci di tengah-tengah
tempat berdarah itu. Argh! Argh! Aku sudah tak kuasa menahannya lagi. Di
selanya, aku sempat tersadar meski dalam konflik batin. Tapi dia itu kan
temanku… tapi aku lapar… dia temanku, jangan… tapi sepertinya dia enak… jangan
jangan jangan…
Klop. Akhirnya akalku pun
terkunci dalam tubuhku sendiri. Rasa lapar ini menang daripada nuraniku. Nafsu
bajingan Rize menguasai—ingin mencicipi temanku itu. Iya juga sih, sepertinya
Hide enak juga. Aku sudah tak kuasa lagi—aku tenggelam—kalah oleh rasa lapar
maut ini.
Kudekati sahabatku yang tengah
tak sadarkan diri itu. Hm, baunya lezat! Dengan mulut banjir karena liur yang
tak terwadahkan, mulai kudekatkan gigi-gigi polosku—gigi yang masih belum
pernah menyentuh darah dan daging mayat—itu ke arah Hide.
“Ya, Hide adalah—“
“…temanku!” sambung suara Rize
bagai bisikan setan saja.
“Karena ia temanku, makanya aku
harus memakannya. Hahahahaha!” kutertawa hilang akal.
“Heh, setengah pantat!” tiba-tiba
saja seseorang menghentikanku. Meski pun lapar, tapi aku masih menyempatkan
diri untuk menoleh. Toka? “Kalau kau makan temanmu ini, kau memang akan
kenyang, tapi kau pasti akan menyesalinya selamanya.”
Tapi aku sudah tak bisa berpikir
jernih lagi—aku sudah tak bisa menahan diriku lagi untuk makan. Karena merasa
ia ingin menghalangiku, kemarahanku kembali bangkit. Kaguneku siap memeranginya,
kalau saja ia masih ingin melarangku menyantap Hide-ku—teman baikku sendiri. Ia
juga memasang kagune indah di punggungnya dan menyerang!
Aaaarrrrrgghhhhhh! Kuterbangun di
suatu tempat dalam keadaan syok. Kutermegap-megap. Begitu teringat apa yang
terjadi, langsung saja kucek mulutku dan merasakan ada bekas darah kental di
sana! Huaaaaaaaaaaaahhhh, Hideeeeeeeeeeeeeeeee….
“Hide aman! Dia sedang diobati,”
pria tua pemilik kafe itu berespon. Fiuh! Untunglah bukan dia yang kukunyah.
Eh, tapi…
Ah, sudahlah! Terharu juga rasanya
bisa melihat Hide dalam keadaan selamat. Ia tengah berbaring di ranjang sebuah
kamar. Maafkan aku, Hide! Aku hampir saja menyantapmu. Hiks-hiks. Kenapa juga
aku bisa berpikiran menyantap best frenku sendiri demi kelangsungan hidupku?
Hiks-hiks…
“Waktu itu aku benar-benar tidak
sadar!” isakku.
Tapi kok aku sudah tak lapar
lagi? Kulirik perutku yang berlumuran darah karena serangan brutal ghoul tadi.
“Aku sudah kelaparan sepanjang hari. A-apa yang kalian lakukan padaku waktu
tidur tadi? Kenapa mulutku terasa amis darah?”
Seharusnya aku tak perlu
mempertanyakannya lagi. Seharusnya aku berterima kasih karena mereka mau
menyelamatkan perutku, tapi… tapi… huaaaaaaaaaaahhhh…
Kumenangis-nangis. Perasaanku
bercampur-aduk. “Karena aku, Hide jadi begini. Hide tak tahu apa-apa dan ia
juga tak tahu masalahku mengapa aku menghilang sejenak dari kampus. Hampir saja
aku menelannya. Ia orang yang sangat berarti bagiku. Aku takut… aku takut tak
bisa akrab lagi dengannya. Aku sudah menjadi monster dan aku tak mau jiwanya
terancam karenaku. Bagaimana pun juga, ia tak terlibat apa-apa. Aku tak mau dia
mati di tangan ghoul. Aku tetap merasa sebagai manusia, aku bukan ghoul! Huuuuuuu…”
tangisku stres. Sepertinya aku tak bisa bersama-sama dengannya lagi. Kehidupanku
bersamanya takkan bisa seperti dulu lagi. Hiks!
“Kau memang manusia, tapi kau
juga ghoul. Kau satu-satunya orang yang menempati dua dunia itu.” Melihat air
mataku yang berlinang, pria tua itu kemudian menawarkan sesuatu, “Bergabunglah
ke Anteiku…”
Kutertegun mendengar penawarannya
itu, tapi rasanya lega juga sih ada yang mau menerimaku. Kemudian kami
meninggalkan kamar Hide.
(Tek. Hide kemudian membuka
matanya perlahan dengan tenang. Ia sudah mendengar semua isi pembicaraan itu…)
0 komentar:
Posting Komentar