Toooooot!
“Ibu akan kasih soal,
ya!” suara Bu Salma pun bergema begitu masuk. Ia selalu saja langsung memulai
pelajaran yang dibawakannya itu. “Yang ditunjuk, silakan naik ke papan tulis
untuk mengerjakannya!”
“Soal pertama Rita,
yang kedua Lena, dan yang terakhir Clur!” Dia menyebutkan nama-nama itu secara
acak. “Sisanya kerjakan di tempat, ya!”
Aku tersentak begitu
namaku juga disebutkan, meski untuk soal terakhir. Begitu soal Biologi itu
selesai dituliskan di atas papan tulis, Rita pun dipersilakan naik. Sementara
itu, aku berusaha menyelesaikan soal terakhir di tempat agar bisa lancar
menuliskannya jika aku naik nanti. Maka aku pun mulai menguras otak.
“Rita!” Bu Salma lalu
memanggil temanku yang kebagian soal pertama itu. “Kerjakan bagian ‘kulit’!”
Rita kemudian naik
untuk mengerjakannya ke papan tulis, namun, “Bu, bab ‘kulit’ kan belum pernah
diberikan. Itu kan pelajaran semester depan. Jadi aku be—“
“Dikuliti!”
Rita memekik tertahan
begitu mendengar keputusan mengerikan itu keluar dari mulut sinis Bu Salma. Tak
lama, kedua asisten Bu Salma memasuki ruangan dan mengikat tangan Rita ke
langit-langit kelas di depan papan tulis itu. Rita pun tergantung dengan kaki
menggantung yang meronta-ronta.
“Bu! Aku mohon! Tolong
maafkan aku!” Rita memohon-mohon sambil menangis terisak.
“Inilah akibatnya kalau
kau berani meralat soal yang kuberikan. Yang jadi gurunya di kelas ini saya
atau kamu?” Bu Salma yang super tega itu tetap pada keputusannya. Mulanya ia
menggores paha Rita yang tak tertutupi roknya dengan pisau kemudian tanpa ragu
lagi ia menarik kulitnya ke bawah hingga ke tulang keringnya. Ia melakukannya
dengan begitu mudahnya seperti mengupas pisang!
“Kyaaaaaaa!!!” jerit
Rita kesakitan bukan main. Kulit paha mulusnya bergelantungan ke lantai seperti
kain saja. Tak lama, darahnya pun berceceran di lantai disusul dengan kaki
sebelahnya yang juga turut mengalami nasib yang sama.
Huek! Ingin sekali aku
muntah begitu melihat adegan itu. Namun kutahan sebisanya. Kedua asistennya
kemudian melepaskan Rita dari atas sana dan menyeretnya keluar karena ia sudah
tak bisa berjalan lagi. Kulihat kakinya yang berdarah-darah diseret-seret,
kulit kedua kakinya pun mengikutinya hingga bekas darah dari kaki yang diseret
itu menjejak di sana.
“Itu hukuman bagi cewek
yang suka melanggar peraturan sekolah dengan memakai rok mini di atas lutut!”
Aku jadi semakin
kepanikan. Tapi ah, setelah kupikir-pikir lagi, seharusnya aku kan fokus saja
pada soal terakhir ini: Gigi! Aku
harus menjawab susunan dan waktu pertumbuhan gigi ini. Gigi geraham belakang
ketiga muncul pada usia 17 tahun ke atas, terus gigi geraham belakang keempat
bagaimana? Tak ada di buku!
“Lena, kau pasti bisa
menjawab dengan baik bagian ‘otak’!”
Lena—si juara kelas
berkacamata tebal itu—kemudian naik dengan percaya dirinya seolah tak
terpengaruh kejadian naas barusan. Ia mengerjakan semuanya dengan lancar.
Sementara itu, aku kepanikan mencari-cari siapa yang bisa membantuku. Aku tak
punya teman sebangku soalnya. Setelah bertanya pada banyak teman di sekitar,
mereka semua malah menggelengkan kepala.
“Hei, gigi geraham
belakang keempat tumbuhnya di usia berapa?” tanyaku pada Susi yang duduk di
belakangku.
Susi menggelengkan
kepalanya, membuatku jadi putus asa saja. Sementara itu, Lena sudah hampir
menyelesaikan bagiannya. “Kau tanyakan saja pada Nirmala! Dia itu cerdas sekali
dan tahu segalanya!” Ia lalu menunjuk seorang gadis yang duduk di bangku paling
belakang.
0 komentar:
Posting Komentar