“Ngh!”
Entah mengapa malam itu
tidurnya jadi gelisah sekali! Baru kali ini Chika merasa segelisah ini, padahal
di kamarnya tidak gerah-gerah amat. Karena kegelisahan itulah, Chika
memiringkan badan ke kiri dan ke kanan tanpa henti hingga pada akhirnya Chika
pun tertidur dalam keadaan terlentang.
Mata Chika memang
sedang terpejam, tapi tak menghapuskan rasa gelisahnya yang entah diakibatkan
oleh apa. Padahal sebelum tidur, Chika tak memikirkan masalah berat atau beban
apa pun. Chika tidur dengan relaks saja hingga entah mengapa tak lama kemudian
jadi begitu gelisah.
Namun tiba-tiba saja,
ia merasakan ada yang tidak beres dengannya. Entah mengapa telinganya tiba-tiba
saja terasa berdengung dan sakit seperti ditusuk-tusuk. Seperti ada sesuatu
yang hendak menerobos masuk ke dalam gendang telinganya. Ia merasakan seolah
ada yang memaksa pulpen besar untuk masuk menembus telinganya. Sakitnya
mengerikan!
Di tengah rasa sakit
mencekam yang mendera kedua telinganya, tiba-tiba saja ia juga mendengar suara
orang mengaji. Entah orang itu membaca ayat suci Al Qur’an yang mana, yang
jelasnya lantunannya begitu merdu dan fasih. Tapi yang didengarnya hanya di bagian
tengah-tengah ayat, lantunan itu mengalun begitu merdu seolah sudah lama
dilantunkan, hanya saja awalannya ia tak dengar sama sekali. Secara tiba-tiba
saja, lantunan ayat suci itu masuk ke telinganya.
“Hahahahaha!!!”
Namun di tengah-tengah
suara orang mengaji itu, tiba-tiba saja terdengar suara tawa yang mengerikan!
Suara itu bercampur dengan suara orang mengaji—yang entah siapa itu. Suara
seorang pria terbahak-bahak yang dari suaranya terdengar begitu jahat dan
brutal serta kasar. Ia merasa suara tawanya seperti yang di TV-TV, hanya saja
bedanya suara tawa itu begitu beda dan terasa ganjil karena aura jahatnya
terdengar banget. Itu bukan tawa sembarangan! Baru kali ini ia mendengar suara
tawa semengerikan itu.
“Apakah
ini hanya khayalanku saja? Tapi kenapa khayalanku sebegitu tajamnya?”
batinnya kepanikan. Begitu jelas di indera pendengarannya perpaduan di antara
keduanya. “Sepertinya ini bukan khayalan
biasa!”
Yang terakhir, karena
merasa aneh mendengar suara-suara ganjil yang tiba-tiba itu, Chika mencoba untuk
bergerak. Eh! Anehnya, tubuhnya terasa diikat oleh sesuatu yang tidak
kelihatan! Baru kali ini, ia merasakan tidurnya seaneh itu. “Ada apa ini? Aku kenapa?” Tentu saja Chika
panik minta ampun. “Ngeri banget!”
Chika berusaha untuk
memberontak! Chika berusaha keras untuk membebaskan diri dari kelumpuhan
mendadak yang tak masuk akal itu. “Tapi
kenapa?! Kenapa badanku tak bisa digerakkan seperti biasa meskipun aku sedang
tertidur? Ini jelasnya ada yang aneh dengan diriku!” batinnya lagi.
Chika malah semakin tak
berdaya begitu merasakan ada sesuatu yang sangat kasar menggesek-gesek kakinya.
Tentu saja Chika yang sudah tak bisa bergerak itu tak bisa menghindarinya. “Apaan itu?! Kasarnya seperti bulu sikat
kamar mandi. Kulit kakiku jadi sakit dan sepertinya kakiku bakal lecet-lecet,
deh. Gesekannya keras-keras pula! Aduh, tak hanya telinga yang sakit tapi juga
kakiku, hiks!” gemuruh batinnya.
Di tengah-tengah perjuangan
pembebasan dirinya, samar-samar ia melihat sesuatu di balik gorden jendela
kamar yang setengah terbuka itu. Di balik latar belakang kegelapan malam sana seolah
muncul berbagai sosok berupa bayangan yang bertengger di jendela situ. “Apakah itu lagi?”
Mereka beterbangan
bahkan ada yang hinggap di atas atap rumah tetangga Chika. Mereka hanya berupa
bayangan belaka, tak jelas pasti sosoknya itu berupa apaan.
Sosok samar lain yang
dilihatnya adalah sosok seekor kucing di balik jendela. Sosok itu duduk manis
di depan jendela meski hanya berupa siluet seekor kucing. Tak tampak wajahnya.
Kucing itu seolah patung pajangan di depan jendela sana.
Tak hanya sampai di
situ saja! Chika tak hanya tak bisa bergerak, tapi ia juga merasakan seperti
ada sesuatu yang menarik kakinya dan membawanya melayang-layang. Sangat
mengerikan! Chika merasa tubuhnya terbang ke langit-langit kamar, kepalanya pun
jadi terasa super ringan.
“Akh!
Apa lagi ini?! Apa yang terjadi padaku?!” batinnya mulai
menangis ketakutan saking ngerinya.
Chika tak berdaya dalam
seketika. Samar-samar di kegelapan itu, ia seolah bisa melihat isi kamarnya
dari atas sana. Ya, sepertinya ia memang sudah tak berada di ranjang, tapi
sedang melayang-layang tak menentu. Tentu saja kejadian aneh ini mengerikan
sekali baginya!
“Hentikan!
Apa yang harus kulakukan?! Bagaimana ini?! Oh, iya!”
Akhirnya Chika memutuskan
untuk berdoa. Ia sadar ini perbuatan jin jahil! Chika terus memberontak saking
takutnya. Lalu dalam hati, ia pun berkomunikasi dengan suara semu mereka. Chika
mengancam akan membakar mereka dengan ayat suci kalau masih saja bertingkah!
Mereka malah melawan!
Dengan suara samar dan berat mereka membalas, “Kalau tidak berhasil, bagaimana?” ejek mereka.
Hati Chika sempat ciut
mendengarnya. Namun kemudian ia teringat sesuatu, “Kata ceramah ustadz di TV, bukannya jin memang suka menjatuhkan mental
orang?”
Meyakini hal tersebut,
Chika berusaha untuk terus optimis dan tak memercayainya. “Aku akan terus mengulangi doanya sampai Allah mengabulkannya.
Pokoknya, aku takkan menyerah!” batinnya bergemuruh lantang.
Akhirnya ia pun membaca-baca
ayat suci Al Qur’an seperti ayat kursi, surah Al-Fatihah, dan tri kul. Ia terus
membacanya secara berulang-ulang. Dan secara perlahan, gangguan mereka pun mulai
memudar.
“Nah, tuh kan berhasil! Bilang juga apa? Kalau percaya, pasti bakal
ditolong sama Allah! Untung saja aku lebih mendengar suara hatiku sendiri daripada
cemoohan pesimis dari jin kafir itu,” sorak batinnya.
Kepalanya tak terasa
melayang-layang lagi. Telinganya juga tak terasa sakit lagi dan ia pun tinggal
bersabar saja menanti untuk terbangun dan terbebaskan dari kejadian mengerikan
itu. Tapi kapan?! Perjuangannya rupanya masih belum berakhir juga. Chika masih
belum bangun benar seratus persen dan juga masih belum bisa menggerakkan
tubuhnya. Ia masih harus berjuang melepaskan “tali” yang membelenggu tubuhnya…
***
Klep-klep…
Akhirnya Chika bisa
membuka matanya juga dan mendapati dirinya tengah berada di meja makan untuk
santap sahur bersama keluarganya. “Hah?!
Kok tiba-tiba aku bisa berada di sini, sih?” batinnya sambil mengucek-kucek
matanya. Ia lalu memandangi lagi sekitarnya: Pak Arief yang sedang duduk di
kursi kepala keluarga tampak menguap lebar; Bu Tary yang sedang menyiapkan
santap sahur di meja; sedangkan kedua kakak perempuannya sedang membantu mamanya
di dapur. Dan Chika sendiri sedang terduduk di salah satu kursinya!
“Aneh! Apakah yang tadi itu hanya mimpi, ya? Buktinya sekarang, aku tengah
duduk bersama keluargaku untuk sahur. Ah, yang penting sekarang sudah amanlah!
Lupakan saja kejadian mengerikan tadi, mungkin saja itu semua tidak nyata. Yang
penting sekarang sahur dulu. Ternyata kejadian tadi itu tak pernah ada, itu
saja yang perlu kuyakini sekarang. Mungkin aku hanya ketiduran menunggu makanan
sahurnya yang sekarang sudah terhidang rapi di meja. Asyik! Sekarang waktunya
makan!” pikir Chika.
Mereka sudah lengkap
mengitari meja makan sekarang berlima. Dengan rakusnya, Chika mengambil semua
makanan favoritnya, kemudian ia pun makan dengan lahapnya. Masakan mamanya
memang tak ada duanya baginya.
Namun di sela-sela
makan, tampak tangan Pak Arief yang memegang garpu sedang mengejar-ngejar
sesuatu di meja.
“Ngh?” Chika segera
menanyakannya karena kebingungan, “Papa kenapa?”
“Ini, nih! Daging
ayamnya loncat-loncat melulu setiap mau ditusukin. Dia nggak mau mampir ke
piring Papa” jawabnya aneh.
“Hah?!” Chika mengernyit
dan memicingkan mata. Anehnya, ia tak melihat apa-apa. “Papa hanya masih
ngantuk, kali,” komentarnya sambil terus makan.
Keanehan di meja makan
itu tak terhenti sampai di situ saja begitu kakak kedua Chika yang duduk di
sampingnya—Riri—menatap piring Chika sambil berliur-liur seolah ada sesuatu
yang enak di sana, padahal isinya sama saja kan dengan yang lainnya. Chika
melihat di piring kakaknya itu masih belum ada apa-apanya.
“Kak, kok kamu nggak
ngambil apa-apa? Keburu imsak, nih!” tegurnya.
Riri menjilati
bibirnya. “Aku hanya mau makanan yang ada di piringmu, Dik,” ujarnya.
“Loh, kan kamu bisa
ambil sendiri. Semuanya kan sama saja,” protes Chika karena merasa ada yang aneh
dengan kakaknya itu. “Mau kuambilkan?”
Riri tak menjawabnya. Sebagai
gantinya, air liurnya menetes ke piringnya yang kosong. Namun tak terjadi
apa-apa dengan mamanya dan Tri—kakak pertama Chika. Mereka berdua masih makan
dengan lahap dan tenangnya.
“Aneh! Ini ada apa, sih?! Hanya aku, Mama, dan Kak Tri yang masih normal-normal
saja, tak seperti mereka yang seperti kerasukan!” pikirnya lagi.
Pak Arief masih saja
sibuk menusuk-nusuk daging ayam yang katanya berloncatan namun tak terlihat itu
sementara Riri yang hanya mau makan bagian Chika. Aneh sekali! Namun Chika masih
saja terus makan, meski pun agak risih dengan keduanya.
Usai makan, ia pun
menuju toilet dan terbelalak ngeri begitu melihat…
***
Bu Tary dan Tri sudah
selesai makan dengan tenangnya. Lalu Chika pun bertanya karena penasaran,
“Kenapa Mama dan Kakak bisa tenang-tenang saja makan sementara Papa dan Kak
Riri kelabakan begitu sahurnya? Apa rahasianya?”
Mamanya dan Tri
tersenyum.
“Ya, sederhana saja.
Berdoa sebelum makan dengan niat berpuasa yang benar,” jawab Bu Tary sambil
tersenyum misterius.
Pak Arief dan Riri kemudian
menghilang dari mejanya. “Apakah Papa dan
Kak Riri tak berniat puasa dengan niat tulus? Apa yang salah dengan mereka?”
“Bukankah sahur itu ada
berkahnya?” Tri menambahi. “Kudengar Riri tadi bilang mau puasa untuk
menguruskan badan agar terlihat lebih ramping di depan pacarnya, jadi itulah
niat puasanya. Makanya dia tak mau mengambil makanan apa pun untuk sahur dan
malah ngiler-ngiler saja lihat orang makan,” ia menjelaskan.
“Kalau Papa?” Chika
kembali bertanya.
“Kalau Papa mungkin
saja ia tak berdoa sebelum makan. Makanya berkah itu melarikan diri darinya
tiap kali akan disantap,” kali ini mamanya membeberkan dengan bijak.
Mendengar itu, Chika
langsung mengutarakan keganjalan hatinya barusan. “Terus bagaimana denganku?
Berdoa sudah. Niat puasa pun tulus karena Allah. Tapi apanya yang kurang?
Kenapa aku mengalami gangguan juga? Kulihat di kamar mandi tadi, makanan
sahurku masih utuh, padahal sudah habis kusikat. Bagaimana ini?” tuntut Chika
penasaran.
Mamanya kemudian
mendekatkan wajahnya. “Kau benar-benar mau tahu jawabannya?”
Chika mengangguk
kencang. “Iya!”
“Kalau begitu, bukalah
matamu sekarang!”
“Hah?! Buka mata?” Chika
mulai merinding.
“Iya! Makanan sahurmu
tadi masih utuh karena kau memang masih belum sahur.”
“Belum sahur?!” Chika
terperanjat.
“Apakah sekarang kau
merasa sudah sahur? Coba rasakan baik-baik! Sudah merasa kenyang, belum?”
mamanya mencoba meyakinkannya.
“Iya, sepertinya Mama benar! Tadinya saja rasanya aku makan banyak, tapi
tetap saja perutku ini terasa kosong. Aku masih lapar! Jangan-jangan …
jangan-jangan ini masih mimpi dan aku masih belum bangun beneran, lagi?!”
batinnya kembali bergejolak.
Chika memejamkan mata rapat-rapat
karena ketakutan. “Mereka ganjil!
Semuanya ganjil! Pantas saja semuanya terasa aneh. Dan lagipula, bukankah kedua
kakakku itu seharusnya tak sahur di sini karena mereka sedang berada di luar
kota?!” batinnya begitu menyadari sesuatu.
“Tidakkkk!!!
Tolong bangunkan aku! Aku mau sahur di alam nyataaaaa….”
Tok
tok tok…
Tiba-tiba saja,
terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. Ketukan itu terdengar berirama, tapi
tegas teratur. Bunyinya tiga kali saja, juga suara yang pelan dan nyaris tak
berisik itu cukup untuk membuka mata Chika. Ajaib!
Begitu Chika membuka
mata, suara itu seolah lenyap tak tersisa. Padahal ia membuka mata di ketukan
yang ketiga dan setelahnya, tak terdengar apa-apa lagi meski sisa-sisa suaranya
pun tak ada. Yang ada hanya keheningan seolah tak pernah ada yang mengetuk
pintu tadinya.
Karena penasaran siapa
yang sudah membangunkannya itu, Chika pun membuka pintu. “Siapa ya kira-kira?”
Syung! Tak ada
siapa-siapa di depan sana.
“Aneh!” Chika mengeceknya
sekali lagi. Benar-benar hening di sekitarnya. Sunyi sekali, tak nampak
tanda-tanda keberadaan mahluk hidup sama sekali!
“Apakah ia menghilang
begitu cepatnya? Ah, masa iya, sih?! Kalau pun begitu, setidaknya aku masih
bisa mendapatinya tengah melintas. Nah, ini sama sekali tak ada orang! Tak ada
pula suara tapak kaki melangkah pergi atau apa. Benar-benar sunyi! Padahal kan
jedah waktu antara ketukan terakhir dan aku membuka mata itu singkat banget.
Apalagi setelah membuka mata itu, buru-buru aku langsung membuka pintu,”
gumamnya.
Akhirnya ia mengecek
kamar orangtuanya sendiri.
“Hah?! Mereka masih
terlelap. Tak ada tanda-tanda sedikit pun mereka sempat bangun. Lagipula jarak
kamar kami kan berjauhan. Apa mereka bisa berjalan sedemikian cepatnya hingga aku
tak menemukannya lagi saat membuka pintu?” pikirnya lagi.
“Kalau bukan mereka,
terus siapa?”
***
Sebelum makan sahur, Chika
kemudian berdoa terlebih dahulu dengan niat tulus karena Allah. Ia jadi merinding
setelah mengingat mimpinya barusan. Ia kemudian menanyakan hal yang mengganjal
pikirannya tadi pada orangtuanya. Namun keduanya hanya mengernyit.
“Loh, bukankah kami
dibangunkan sama kamu?”
0 komentar:
Posting Komentar