THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Jumat, 02 Juli 2010

RACUN (cerpen perdana)




Diam-diam aku telah melihat Fifin memasukkan racun ke dalam makananku. Aku lalu pura-pura tenang, seperti tak terjadi apa-apa saat Fifin keluar dari dapur dan menjamukan makanannya.
“Nah, silahkan makan,” sahutnya riang. Aku hanya mengangguk sok ramah.
Aku tahu selama ini ia punya rencana busuk untuk menyingkirkanku dari muka bumi ini. Selama ini ia hanya berpura-pura menjadi temanku. Ia licik, tapi aku pura-pura terkecoh.
"Kenapa, Riz? Kok nggak dimakan?" tegurnya saat kutermangu-mangu di depan jamuan itu.
Kutatap dia misterius. “Nggak. Merasa ada yang kurang aja, si Daus nggak turut makan ama kita,” aku berdalih.
Tanpa air muka yang mencurigakan, ia mengangguk sedih. “Iya juga ya.”
Akhirnya kusentuh makananku itu agar ia tak curiga. Kuberusaha bersikap sewajar mungkin. Ia mengawasiku menyantap makanan itu. Matanya mengikuti gerakan tanganku menyendok.
Kulakukan suapanku dengan gerakan perlahan. Hatiku tersenyum. Aku benar-benar sudah berhasil mengecohnya! Ia pasti tak tahu kalau aku melihatnya menuangkan racun ke dalam makanan ini.
Lalu aku menyantap makanan itu sesendok. "Mmh, enak juga..," komentarku. Aku mengunyahnya seperti biasa.
Ia meresponnya dengan pandangan dingin.
Tenang.. tenang.. aku harus tetap bersikap biasa untuk mengecohnya. Tapi aku harus segera bertindak sebelum racunnya mulai bereaksi dalam tubuhku ini!
"Eh, aku ke toilet dulu ya..," kataku.
Tanpa curiga yang macam-macam, ia menganggukkan kepalanya.
Aku pun buru-buru ke toilet. Perasaanku mulai tak enak karena ketakutan. Keringat dinginku mengalir. Aku harus segera mengeluarkan racun ini dari dalam tubuhku!
Ku ke kloset. Aneh, sejak kapan Fifin mengganti klosetnya dengan kloset cemplung? Ah, aku tak punya banyak waktu untuk memikirkannya. Aku harus cepat sebelum nyawaku melayang! Kukorek-korek kerongkonganku hingga pada akhirnya apa yang kumakan tadi keluar. Aku pun memuntahkan makanan tadi. Aku harus muntah tanpa kedengaran dari luar dengan mengeraskan keran air agar ia tak curiga.
Setelah muntah, kurasa racunnya benar-benar sudah keluar sekarang. Nafasku tersenggal-senggal. Huft, hampir saja nyawaku melayang.
Oh ya, kalian pasti tak habis pikir mengapa seorang Rizal berani menempuh bahaya seperti ini di kandang buaya. Begini, aku, Fifin, dan Daus bersahabat cukup lama. Dulu kami selalu bersama hingga pada akhirnya pemilihan ketua osis itu diumumkan!
Saat itu yang diumumkan menjadi ketua osis adalah Fifin. Tentu saja Daus yang menjadi saingannya merasa keberatan. Dengan begitu ia malu karena sudah kehilangan muka di depan pacarnya, karena dikalahkan oleh cewek.
“Selamat ya, Fin. Mungkin dengan begitu kau baru bisa menggaet hati cowok-cowok di sekolah,” ucap Daus dingin saat itu. Fifin tersinggung.
Sejak saat itu mereka tak pernah saling bicara lagi. Dan yang lebih parahnya lagi, ketika foto-foto tak pantas itu beredar di mading. Foto-foto mesra Fifin bersama dengan beberapa pria kantoran.
Foto-foto itu mendapatkan banyak komentar negatif dari teman-teman lainnya. Rupanya Fifin perempuan nakal! Aku dan Daus sudah tahu itu sejak lama. Tapi kami merahasiakannya atas nama persahabatan.
Tak hanya jabatan Fifin yang dicabut sebagai ketua osis. Tapi ia juga dikeluarkan dari sekolah! Fifin syok. Tak lama diketahui orang yang mengedarkan foto-foto tak senonoh itu adalah sahabatnya sendiri, Daus.
Kini setelah kejadian naas itu, selama beberapa hari ini aku sudah tak pernah melihat mereka lagi. Daus menghilang begitu saja dan Fifin tentu saja balik ke kampung halamannya yang sengaja kudatangi ini.
Aku sengaja jauh-jauh datang berkunjung ke rumah Fifin ini. Aku ingin memastikan kecurigaanku. Kecurigaan bahwa dialah yang telah membunuh Daus, bisa saja kan dia nekat? Soalnya selama ini ia menutup diri dari semua pertanyaanku tentang keberadaan Daus. Wajar saja kalau aku curiga.
Tapi ia sudah mencium maksud kedatanganku yang ingin menyelidikinya ini. Buktinya ia nyaris saja meracuniku kalau saja racun ini tidak kurangsang keluar.
“Huft!” Kuhela peluh di keningku. Daus, kalau kau benar-benar sudah mati, tolong kabari aku di mana mayatmu disembunyikan!
Blup.. blup. Tak lama aku lalu melihat sesuatu yang aneh dari kloset cemplung tadi. ‘Sesuatu’ itu kemudian menyembul naik dari balik kotoran muntahku ke permukaan. Aku tak memalingkan pandangan jijik karena penasaran. Apa itu?!
Aku menunggu dan terus menunggu ‘sesuatu’ itu hingga jelas. Bulu? Mulanya aku kira bangkai ayam hitam yang terjatuh, hingga kumenyadari sesuatu. Itu ubun-ubun kepala manusia!
Aku membekap mulut karena ngeri dan juga menahan agar tak memekik kaget. Aku mundur karena tak sanggup melihat kengerian yang selanjutnya. Aku yakin! Aku yakin dari potongan rambutnya dari atas, kalau itu adalah Daus!
Aku lalu menghubungi teman yang menemaniku untuk mencari tahu ini. "Anlu.., aku sudah menemukan mayatnya Daus. Aku menemukannya menyembul dari kloset cemplung," laporku. "Tolong jemput aku sekarang, ok?! Jangan ampe aku dimatiin beneran ama dia... aku takut tau, dia itu berbahaya! Aku baru aja ngeliat dia ngeracunin makananku... iya sih, emang gila aku makan sesuap, tapi jangan khawatir, dah aku muntahin kok. Aku kan cerdik.”
"Ok.. ok.. bertahanlah dan tetap bersikap biasa agar kau selamat dari orang gila itu... aku akan segera ke sana...," kudengar jawaban Anlu.
Lalu kuperbaiki sikapku kembali seperti biasa dan keluar toilet. Aku ke meja makan di depan jamuanku tadi.
"Lama banget. Jadi dingin tuh makanannya," tegur si licik itu lagi.
"Iya.. iya sori..." Lalu dengan sikap biasa aku mulai menyuap sementara hatiku gelisah menunggu kedatangan Anlu untuk menyelamatkanku.
Deg.. deg.. deg... deg..
Pip! Pip! Alhamdulillah! Akhirnya Anlu mengklaksonku dari luar! Aku pura-pura tersentak hingga suapan tadi terjatuh. "Duh, Fin, maaf. Temanku dah ngejemput aku. Aku harus pulang ya. Dah!" Aku lalu bergegas meninggalkan tempat itu.
"Eh.. tapi.. tapi.. habisin dulu dong makanannya. Aku kan dah cape-cape ngebuatnya!" protesnya sambil berdiri emosi.
"Sori, Fin. Tapi temanku dah ngejemput. Aku takut kalo dia marah..." kumencari-mencari alasan yang masuk akal untuk tidak menyantap makanan beracun itu.
"Jadi kalo aku yang marah ngga masalah?!" ia mulai marah.
Kuterpaku di depan pintu yang masih tertutup. Glek! Aku harus bagaimana lagi agar bisa pergi tanpa membuatnya curiga?!
"Kamu boleh ngga habisin masakan saya. Tapi kamu tetap ngga bakalan bisa keluar dari sini hidup-hidup!" raungnya bengis.
Raungannya itu membuatku terkesiap. Perlahan aku menoleh dan terbelalak. Aku melihat Fifin telah mengangkat sebuah pistol ke arahku. Akhirnya dia menunjukkan watak aslinya!
"Fin, kamu udah ngeracunin makanan itu kan?"
Fifin tersentak. "Jadi kamu udah tau? Pantasan... jadi selama ini kamu cuma berpura-pura tak tahu. Kau pasti berniat menyelidiki ku kan?!"
Aku mengangguk. “Sebelumnya kau juga yang telah membunuh Daus, kan? Aku tahu kau mencurigai aku mengetahui kejahatanmu itu. Tapi aku pura-pura bersikap wajar denganmu karena kita teman lama.”
Fifin mendelik. Ia lalu memblokir pintu sehingga aku berjalan menjauh dari pintu. "Tapi kenapa kau masih saja mau berteman akrab denganku, padahal kau tahu risikonya kau akan kubunuh? Apa maumu yang sebenarnya?!”
“Aku hanya ingin tahu di mana mayat Daus kausembunyikan? Di dalam rumahmu ini kan?”
Air matanya mengucur. “Daus telah mengkhianati aku! Ia pantas mati! Kupikir ia sahabat yang bisa kupercaya! Tau-taunya ia malah membeberkan aibku! Sejak saat itu aku sudah tak bisa mempercayai persahabatan lagi! Termasuk kamu! Kamu pasti akan segera mengkhianati aku dan melaporkan aku ke pihak berwajib kan?!” pekiknya.
Kuterdiam menahan nafas ngeri.
“Dia itu RACUN! Makanya saat kuundang ia ke rumahku untuk bicara baik-baik, tanpa pikir panjang ia menyantap hidangan yang telah kulumuri racun. Dia itu RACUN yang pantas menghiasi lubang klosetku! RACUN ITU TELAH MENGHANCURKAN HIDUPKU!!” 




Lalu ia tertawa-tawa kesetanan. “Kau akan menjadi racun (pengkhianat) bagiku, Riz. Kau akan menjadi racun karena kau sudah mengetahui kejahatanku ini!” Dia mulai menarik picunya.
Aku harus segera mengambil tindakan. Dengan gerakan cepat aku lalu menyergapnya! Kuberusaha merebut pistolnya, Sementara ia mempertahankannya.
DOR! DOR!
Suara letusan itu membuatku terkesiap. Alat-alat makan di meja belakangku berjatuhan ke ubin karena peluru itu, ceceran darah turut membasahi ubin. Darahku mengalir. Dua tembakan tadi ada yang mengenai peralatan makan di meja dan ada pula yang menerobos bahuku.
Kuterjatuh terlentang sambil memegang bahuku. Kucoba untuk menahan darahnya agar tak banyak keluar. Nafasku tersenggal-senggal. Darahku masih terus mengucur deras. Sakit yang tak tertahankan perlahan mendera bahuku.
Gawat ini. Gawat! Kepalaku mulai pening. Anlu, tolong aku! Nyawaku dalam bahaya!
Fifin yang terengah-engah pun mendekat. Rambutnya berantakan. Ia tersenyum bengis melihatku tak berdaya. Ia menodongkan pistolnya sekali lagi ke arahku.
Kuseret tubuhku mundur hingga akhirnya aku memegang sesuatu, peralatan makan dari meja yang jatuh tadi. Kugenggam benda itu.
Fifin menembakkan pistolnya sekali lagi. Secepat kilat kulemparkan benda yang kugenggam tadi ke arahnya pula.
Darah semakin banyak yang berceceran. Kurebahkan kepalaku. Ubin dekat telingaku retak karena hantaman peluru tadi. Nafasku semakin tak karuan, tapi Fifin malah sudah tak bernafas lagi.
Di dadanya tertancap sebilah pisau yang kulemparkan tadi. Matanya terbuka, tapi ia sudah tak melihat apa-apa lagi selain kegelapan.
Aku berusaha untuk bangkit sambil memegangi pundakku. Kuhampiri Fifin dan kututup matanya. Kini si licik itu telah tiada. Aku telah membunuhnya! Tapi mau bagaimana lagi?!
BRAK! Pintu didobrak oleh Anlu. Ia terkejut melihat apa yang terjadi. Tempat tadi seperti kapal pecah dengan ceceran darah, benda-benda pecah beling serta mayat baru yang tergeletak di lantai.
"Aku mendengar tembakan dan berusaha menerobos masuk. Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Anlu serius.
"Aku.. aku sudah membunuhnya, An... aku sudah membunuh orang yang selama ini jadi sahabat baikku..," sahutku gemetaran.
Anlu menghampiriku. Ia lalu membalutkan luka tembakku menggunakan scarfnya. "Sudahlah, nggak apa-apa. Kamu kan terpaksa ngelakuin ini semua untuk membela diri..."
“Kasihan Fifin. Ia jadi sulit percaya sama orang lagi karena telah dikhianati teman. Oleh karena itulah ia mau membunuhku.”
Anlu menepuk pundakku. "Kamu sudah bersahabat dengan orang yang salah. Aku takkan mengkhianati persahabatan kita karena aku akan menjaga semua rahasiamu... percayalah!"
Aku terharu mendengarnya. Selama ini Anlu memang sudah menjadi sahabat terbaikku. Ia selalu menjaga rahasiaku dengan baik. Tapi ia sudah melihat perbuatan jahatku! Apakah aku masih bisa mempercayainya? Aku tak ingin nasibku berakhir seperti Fifin…
Kupandangi makanan beracun tadi. Setan kembali merajuk. "Eh.. kamu mau makan nggak?" tawarku.
"Tapi kan ada orang mati di sini..,," tolaknya.
"Sudahlah. Kamu makan aja.. yah .. yah.."
Aku lalu mendorongnya duduk di depan meja. "Aku tau kamu pasti lapar. Mubasir kan kalo nggak dimakan..."
“Ya udah deh.” Anlu tak punya pilihan lain. Ia segera menyantap makanan tadi. "Mmh,, enak juga. Tapi ngga apa ya makan di dekat orang mati?"
Aku menggeleng sambil tersenyum misterius. "Ngga apa... kan sebentar lagi yang mati ada dua..." Sepertinya Anlu melupakan sesuatu…
Kini saatnya meracuni RACUN, melihat RACUN diracuni dan RACUN itu akan keracunan. Dunia benar-benar RACUN!
Benar juga ya kata-kata terakhir yang Fifin ucapkan… Kau akan menjadi racun (pengkhianat) bagiku. Kau akan menjadi racun karena kau sudah mengetahui kejahatanku ini…
(Pertengahan bulan April 2010)
(***)
*Terinspirasi dari mimpi saya tentang teman yang meracuni makanan saya…



“Sahabat. . . Kadang terasa bagai madu. . . Disaat kita meLaLui saaT baHagia berSama.. tapi ada kaLanya Sahabat teRasa bagai Racun. . . Disaat kita telah sanGat mempeRcayainya tapi Dia malah berbalik meniKam dari belakang dengan PenGkhiaNataNnya. . .” (Viora Aisvora)

0 komentar: