THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Jumat, 24 September 2010

AKU BUKAN YU (in ajangkita)

“Nah! Ketahuan! Mau ke mana kamu, hah?!” suara pekikan galak itu membuat pagi kami menjadi tegang.
Tak lama kami lalu melihat Pak Anto, pimpinan panti asuhan tempat kami bernaung ini sedang menyeret Yu masuk. Kami yang sedang sarapan hanya bisa saling melemparkan pandangan kecemasan. Entah kemalangan apa lagi yang akan menimpa Yu.
Yu meronta-ronta. “Lepaskan saya! Izinkan saya bertemu dengan ibu saya!” pelasnya. “Kumohon!”
Tapi Pak Anto tak mengasihaninya. “Kamu tak boleh kembali padanya sebelum ia melunasi hutang-hutang persalinannya padaku 15 tahun yang lalu, saat ia melahirkan kamu! Kamu ini sudah jadi barang jaminannya, tahu!” Pak Anto lalu menyeret Yu masuk kamar mandi kemudian mengguyur kepalanya berkali-kali. “Rasakan! Rasakan ini, dasar bocah sialan nggak tahu diri!”
Nafsu makan kami hilang seketika. Tapi kami hanya bisa memandangi kesadisan itu dengan iba. Lagi-lagi Yu harus berhadapan dengan kekejaman Pak Anto. Yu tak berdaya dan hanya bisa pasrah.
Kali ini tak hanya diguyur. Pak Anto juga mengurungnya di gudang. “Mampus kamu! Ini akibatnya kalo berani menentang saya! Sudah dirawat bertahun-tahun, malah ngelawan! Awas kalo kamu berani kabur lagi!” Pria jahat itu lalu pergi dengan gusarnya meninggalkan Yu yang mengiba-iba sambil menggedor-gedor pintu.
“Ampun, pak! Ampun! Tapi tolong kali ini saja, aku ingin melihat wajah ibu saya!” tapi pekikan itu tak digubrisnya. Akhirnya Yu menyerah dan menangis sesenggukan. Kami juga tak berani melawan Pak Anto. Kami takut diperlakukan seperti Yu. Akhirnya kami hanya bisa melihat penderitaan Yu, tanpa bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya.
***
Yu adalah bagian dari kami, wajahnya oriental dan mirip aktor Andi Lau. Aku dan dia sekolah di SMA yang sama. Tapi aku tak akrab dengannya karena ia anak yang penyendiri dan tertutup. Itulah makanya aku tak terlalu mengenalnya dan jarang berbicara dengannya.
Tapi malam itu aku kepikiran. Yu punya ibu? Beruntung sekali dia. Karena penasaran, aku pun diam-diam menemui Yu di depan pintu gudang yang tertutup rapat itu. Entah mengapa Pak Anto begitu membenci Yu.
“Yu?” bisikku memastikannya sambil mengetuk pintu pelan. Aku lalu mendengar suara gemerisik. “Yu, ini aku. Sandy. Kamu sudah makan?” tanyaku berbasa-basi.
“Pergilah. Jangan pedulikan aku. Ntar kamu kenapa-napa lagi kalo ketahuan Pak Anto berada di sini,” terdengar suara lemah dari dalam.
Dari jawabannya aku tahu ia belum makan apa-apa sejak tadi pagi. “Ngomong-ngomong darimana kamu tahu ibu kamu masih hidup? Apa kamu yakin?” tanyaku to the point karena penasaran tanpa mempedulikan hal itu.
Yu terdiam sejenak. “Diam-diam aku mendengar percakapan Pak Anto dengan rekannya di ruangannya. Ia menyebut-nyebut nama Bu Vivi. Katanya wanita itu tengah dirawat di rumah sakit karena penganiayaan majikannya di Singapura. Ya. Itu ibuku. Tak salah lagi. Ibuku seorang TKW,” ceritanya lemas.
Aku jadi iba. Kasihan Yu. “San,” panggilnya. “Kamu mau nggak nolongin aku?” pintanya dengan suara serak tanpa pikir panjang…
***
Sepulang sekolah aku menuju rumah sakit. Aku teringat kemarin malam Yu memintaku untuk ke rumah sakit tempat di mana ibunya dirawat. Ia memintaku untuk memberitahukan kabarnya di panti asuhan sehingga tak bisa menemuinya. Sebagai bukti bahwa aku mengenal Yu, Yu memberiku kalung berkepala lambang khas Negara Singapura untuk diperlihatkan pada Bu Vivi.
Kupegang kalung di leherku itu. Aku harus segera masuk ke kamar Bu Vivi dirawat untuk menunaikan amanah Yu. Kuintip Bu Vivi di jendela kamarnya. Tiba-tiba saja aku merasa iri pada Yu. Beruntungnya Yu masih punya ibu…
Aku lalu masuk. Bu Vivi tersentak. “Si.. siapa kamu? Suster?”
Aku tersentak. Suster? Apa ia tak bisa melihat aku seorang pemuda? Aku mendekati beliau dan menyadari apa yang terjadi pada penglihatannya. Ternyata Bu Vivi mengalami kebutaan!
Ia bertanya lagi dengan panik. Apa yang harus kulakukan? Kupandangi wajah Bu Vivi yang begitu lembut. Hatiku miris. Andaikan saja aku punya ibu. Wajah keibuannya itu semakin membuatku iri pada Yu. Aku juga ingin mendapatkan belaian sayang seorang ibu. Tapi sayangnya Bu Vivi ibu Yu.
Tiba-tiba saja aku mendapat ide licik yang entah darimana datangnya karena tak dapat menahan hawa nafsu yang munculnya tiba-tiba. Hei! Kenapa tak kumanfaatkan saja keadaan ini? Bu Vivi kan tak bisa melihat! Ia takkan bisa memperhatikan wajah melayuku.
“A.. aku.. aku Yu,” ngakuku. “Aku Yu, ibu,” tegasku tanpa ragu.
Mata Bu Vivi berkaca-kaca. Ia menahan haru bahagianya. “Benarkah?! Benarkah kamu Yu?! Yu anakku?!”
“Iya, bu. Ini buktinya,” kataku meyakinkan sambil menyerahkan kalung Yu. 




Bu Vivi lalu meraba-rabanya. “Iya. Benar. Ini kalung yang ibu berikan saat kamu lahir. Akhirnya.. akhirnya kita bisa bertemu lagi, nak!” katanya bahagia. Ia kemudian memelukku hangat.
Akh! Baru kali ini kurasakan kebahagiaan seperti ini. Aku yang tak pernah merasakan kasih sayang ibu, akhirnya mendapatkannya dalam sekejap mata. Aku tak ingin melepaskan kebahagiaan ini. Aku senang bisa punya ibu, meskipun beliau hanya seorang TKW. Tapi… bagaimana dengan Yu? Apa yang harus kukatakan padanya?
***
 “Terus dia bilang apa?” tanyanya penasaran ketika malam itu aku menengoknya lagi di balik gudang. Meskipun lemas, tapi ia terdengar begitu bersemangat.
Aku hanya menceritakan bahwa ibunya merindukannya dan mengembangkan cerita fiktif itu. Aku puas sudah berhasil meyakinkannya. Pokoknya Yu tak boleh tahu aku menyamar menjadi dirinya demi memperoleh kasih sayang seorang ibu yang kudambakan sejak lama.
Tapi tetap saja nuraniku menjerit. Aku telah menipu keduanya. Tapi aku tak ingin melepaskan kesempatan indah ini untuk memiliki seorang ibu yang kuidam-idamkan. Lagian yang penting Yu sudah bahagia mendengar cerita bohongku, bukankah itu sudah cukup?
“San,” tegurnya lemas. Kumemasang telinga. “Makasih, ya,” ucapnya tulus. Seketika aku jadi merasa tak enak pada Yu yang percaya saja cerita bualanku. Aku tak pantas mendapatkan ucapan dari bibirnya itu. Aku jadi semakin merasa bersalah padanya. Tapi keegoisanku melebihi itu semua.
***
Siang itu aku kembali menemui Bu Vivi. Aku tengah dibelainya dengan manja. Aku serasa melayang dibuainya. Ia pun bercerita mengapa Yu sampai berada di panti asuhan. Ternyata Pak Anto telah membantu biaya persalinan Bu Vivi, tapi Bu Vivi tak bisa membayar hutangnya sehingga Yu terpaksa disita. Bu Vivi mencari uang di Singapura sebagai pembantu untuk melunasinya, tapi ia malah memperoleh kemalangan.
Pantas saja Pak Anto benci pada Yu karena ibunya tak sanggup bayar hutang. Selain itu aku juga dapat info mengenai latar belakang kelahiran Yu. Ternyata Bu Vivi pernah diperkosa oleh majikannya saat bekerja sebagai TKW di Singapura. Ia pulang membawa aib dan melahirkan Yu di Indonesia. Tapi meskipun demikian, aku yakin Bu Vivi sangat menyayangi Yu. Ia sudah membuktikannya dengan melampiaskan kasih sayang yang seharusnya menjadi milik Yu ini padaku. Pantas saja wajah Yu mirip aktor Hongkong.
Selanjutnya aku menikmati waktu-waktu bersama beliau. Bersama ibu ‘ku’. Perasaan Yu urusan belakangan. Aku harus tetap pandai menyembunyikan hal ini dari Yu.
***
Malam itu aku kembali mendongeng di tempat Yu dikurung. Malam ini ia jadi jarang bersuara. Maklumlah ia disekap berhari-hari dan jarang diberi makan. Tapi aku yakin ia masih senang mendengarnya. Ia benar-benar sudah menganggapku pahlawannya.
“San,” tegurnya, hampir tak bersuara. “Ini permohonan terakhirku. Aku mohon, bantulah aku keluar dari sini untuk bertemu ibu…”
Glek! Gawat jika Yu sampai bertemu dengan beliau. Tipuanku bisa ketahuan. Bagaimana ini? Aku tak mau membongkar semuanya! Yu dan ibunya tak perlu tahu. Aku kan juga ingin bahagia! Tapi di atas penderitaan orang lain…
Akh! Masa bodoh! Aku tak ingin ada orang, bahkan Yu menghalang-halangi kebahagiaanku! Titik. Meskipun begitu, aku pura-pura menyanggupi permintaan Yu agar ia tak curiga.
***
Aku tengah merawat Bu Vivi. Aku bahagia sekali karena masih dapat merasakan kehangatannya. Aku tak peduli beliau miskin. Aku rela hidup susah, yang penting bisa punya ibu baik hati. Oh! Aku sayang ibu! Aku ingin selalu bersama beliau. Aku tak ingin pisah.
Malamnya aku menghindar untuk berkomunikasi dengan Yu. Lupakan saja dia. Takutnya dia meminta hal yang akan membongkar penyamaranku. Aku sama sekali tak bisa melakukannya! Gawat jika ketahuan. Pokoknya sekarang aku harus membuat alasan untuk tidak menolongnya. Tapi masa Yu harus disekap terus?! Akh! Aku jadi kebingungan! Bagaimana caranya menutupi kebohongan-kebohonganku ini?!
***
Akhirnya pagi itu aku menemui Yu di gudang. Aku mengendap-endap lalu mengetuk pintunya. “Yu,” tegurku. Tak ada jawaban. Aku tak peduli. “Yu, maafkan aku tak bisa menolongmu. Tapi Pak Anto pernah memergokiku berbicara denganmu. Aku diancam. Maafkan aku ya!” Setelah itu aku langsung pergi tanpa menunggu jawaban apa-apa. Aku tak peduli bagaimana keadaannya di dalam, apalagi perasaannya.
***
“Apa?! Bu Vivi… maksudku ibuku meninggal?!” pekikku tak percaya setelah dokter memberitahukan kabar terbaru Bu Vivi. Keadaan Bu Vivi nge-drop. Ia mengalami komplikasi mematikan yang tak bisa disembuhkan lagi. Ini benar-benar menyedihkan! Terlebih lagi, beliau tak tahu kalau aku Yu yang palsu.
Siangnya aku pulang. Aku merasa ada yang aneh begitu melihat banyak orang di sekitar panti. Banyak polisi juga. Tak lama aku melihat Pak Anto digiring kepolisian, disusul oleh kantung jenazah.
Aku terkejut. Jenazah siapa?! Aku langsung menghentikan orang-orang yang membawa kantong jenazah itu. “Maaf, pak! Siapa?! Siapa yang meninggal?!” tanyaku bergetar.
“Kasihan sekali dia,” komentarnya. “Dia disekap berhari-hari di gudang dan jarang diberi makan. Pemuda malang ini meninggal karena sakit keras akibat penganiayaan yang dilakukan oleh Pak Anto,” kata pria yang membawa jenazah itu sambil membuka resleting kantong jenazahnya sehingga aku dapat melihat wajah pucat si jenazah.



Yu?! Aku syok! Air mataku bercucuran. Aku langsung menangis sejadi-jadinya. Orang-orang di sekitarku berusaha menenangkanku. Jenazah Yu pun dibawa.
Aku histeris. Teman-teman panti yang tahu tak ada yang akrab dengannya pasti heran karena ada yang menangisinya seperti aku. Aku memang tak akrab dengannya, tapi aku teman bicaranya di hari-hari terakhirnya.
Aku tak menyangka ini akan terjadi. Hatiku pilu dan kematian kedua orang terdekatku belakangan ini begitu menusuk. Aku tak sempat mempertemukan mereka berdua. Aku khilaf. Seandainya saja aku tak dibuai hawa nafsu, mereka pasti bisa bersatu.
Oh, aku menyesal sekali! Aku tak bisa memaafkan diri sendiri. Nuraniku menghakimiku sedemikian rupa. Aku menjambak rambut begitu terpukul akan kematian keduanya. Dosa-dosaku ini tak bisa terampuni!
Sekarang mereka sudah meninggal tanpa mengetahui hal yang sebenarnya. Aku tak percaya telah setega ini menari-nari di atas penderitaan Yu. Padahal aku tahu betapa menderitanya Yu disekap berhari-hari digudang, padahal ia ingin sekali bertemu dengan ibunya. Aku bukannya meringankan deritanya, aku malah menzoliminya. Aku telah merebut kebahagiaan dan hak Yu untuk bertemu dan mendapatkan belaian ibu kandungnya! Aku sudah membunuh Yu!
Yu, maafkan aku telah mengkhianati amanahmu. Seandainya saja aku lebih memikirkan deritamu pasti takkan begini jadinya. Entah dengan cara apa aku bisa menebus dosa terbesarku padamu ini. Aku bukan Yu. Aku bukan dirimu, Yu. Karena aku takkan mampu menjadi pemuda setegar dan sesabar dirimu. Aku takkan bisa menjadi seperti kamu, Yu.
(sekitar Juli 2010)
(***)
cerpen ini terdapat dalam ebook kumcer bersama anak-anak panti asuhan dalam rangka baksos ajangkita, yang bisa didownload di: 

0 komentar: