hay, ini salah satu status bunda di fb. sengaja aku share tuk membongkar kebusukan si plagiator muda nanda itu!
Saya tidak mengira postingan saya malah berbuntut tidak
menyenangkan. Akhirnya saya mengubah posisi tulisan ini menjadi hanya
sebuah catatan, tidak lagi berupa Surat Terbuka. Mulanya saya ingin
menulis surat terbuka yang saya tujukan untuk Nanda, media yang
kecolongan, penulis asli, dan pihak-pihak yang dirugikan. Tentang
peristiwa plagiasi beberapa hari lalu yang kemudian menimbulkan
kehebohan sejenak.
Seperti biasa, kasus plagiarisme memang selalu
menghebohkan, tetapi selalu hanya sejenak saja. Dalam beberapa hari
langsung adem dan terlupakan, tanpa penyelesaian apalagi hukuman. Paling
banter ya permintaan maaf dari si plagiat dan pernyataan penarikan
naskah dari media yang kecolongan. Selalu begitu, dan nampaknya akan
begitu.
Banyak pihak yang mensupport saya sesaat setelah saya
memosting dua kasus plagiasi dengan pelaku yang sama. Namun, ada pula
yang menganggap postingan saya itu hanyalah bacaan selintas yang tidak
perlu diambil pusing karena ujung-ujungnya pelaku akan minta maaf, dan
mengaku khilaf. Reaksi yang beragam itu tidak menyurutkan langkah saya
untuk tetap mengumpulkan bukti-bukti seberapa banyak yang sudah dicuri
pelaku, mengingat dulu kala pelaku pernah melakukan hal serupa yaitu
menyomot bagian-bagian dari kalimat Tere Liye dalam karyanya untuk
sebuah event kecil yang saya selenggarakan. Tak disangka, banyak yang
membantu mengirimkan bukti-bukti via inbox messenger.
Ada juga pihak-pihak yang membuat saya tidak nyaman. Saya tidak bilang ada yang mengintimidasi, tetapi saya merasakan ada pihak yang tidak suka areanya diacak-acak. Belum lagi kata-kata kasar yang seolah saya ini makhluk goblok yang berani-beraninya ngomong plagiarisme.
Ada juga pihak-pihak yang membuat saya tidak nyaman. Saya tidak bilang ada yang mengintimidasi, tetapi saya merasakan ada pihak yang tidak suka areanya diacak-acak. Belum lagi kata-kata kasar yang seolah saya ini makhluk goblok yang berani-beraninya ngomong plagiarisme.
Menulis bukan
pekerjaan mudah. Percayalah, yang bilang seperti itu pasti cuma untuk
menghibur saja. Menulis itu waduh, bukan main pusingnya. Ribet mencari
ide, memulai kata-kata pembuka, mengolah konflik, sampai menentukan
ending yang kena. Penulis kawakan saja butuh waktu yang panjang untuk
menyelesaikan naskahnya. Apalagi penulis baru, backspace-backspace
melulu. Ini yang mengilhami saya menerbitkan novel berjudul Maurin
(2012). Novel yang menceritakan perjuangan seorang penulis muda yang
akhirnya harus memplagiat naskah saking pingin namanya tercantum di
media. Sialnya, naskah yang diplagiat ternyata adalah naskah guru
menulisnya sendiri!
Gea, tokoh plagiator dalam novel itu,
melakukan hal yang sama persis dengan yang dilakukan Nanda. Kopas total.
Hanya mengganti judul, nama tokoh, dan lokasi. Kalaupun ada sedikit
tambahan, itu hanya menambahkan kata ‘kemudian’, ‘sementara itu’ dan
setting siang menjadi malam, malam menjadi sore. Sementara itu, ada juga
cara yang ditempuh plagiat lain, seperti ‘hanya’ mencomot bagian
pembuka dan bagian tengah. Ada juga yang melakukan pencomotan data dari
wikipedia atau sumber tulisan lain, tumplek blek untuk kalimatnya
(tidak diolah lagi) dan tidak mencantumkan sumbernya. Mengenai
batasan-batasan plagiasi saya pikir akhirnya menjadi rancu karena ada
yang menyetujui pengambilan data asal disebutkan sumbernya. Sementara
menurut saya, itu hanya berlaku untuk naskah karya ilmiah atau artikel
pop, bukan untuk fiksi. Kekuatan fiksi selain ide ceritanya, juga
terletak di-bagaimana penulis memainkan kalimat indahnya. Jika kalimat
indahnya itu dijiplak walau cuma 1 baris, rasanya.... ya kau akan tahu
rasanya. Merangkai kata itu adalah pekerjaan yang bikin kepala mumet
gemas, tetapi menjadi ajaib jika berhasil.
Nanda dan penulis
plagiat lainnya mungkin harus diberi tahu lagi dan lagi, bahwa untuk
menciptakan satu karya, penulis harus berjuang. Kalau mau lebay saya
akan bilang ‘sampai berdarah-darah’. Usai naskah kelar, harus diendapkan
dulu sampai waktu yang pas untuk baca ulang dan revisi. Belum lagi saat
menunggu antrean pemuatan, penulis harus begitu sabar sesabarnya.
Ketika sudah dimuat, honor tak kunjung turun. (Kau bisa bayangkan
perjuangan itu, Nanda dan pelaku plagiat lain? Lalu setelah naskah itu
terbentang di media, kau mencurinya dengan hanya mengetik ulang dan
mengubah judul? Tega sekali!)
Saya pernah mengetahui seorang
penulis yang sudah top, sampai harus terbentur kasus plagiarisme. Dia
butuh eksistensi tetapi ide tak kunjung eksis. Sebagaimana ‘kuncian’
penulis, jika ide buntu, banyaklah membaca atau menonton sebab ide bisa
datang dari sana. Sayangnya, ketimbamg terinspirasi, dia malah
menjiplaknya sama sekali. Nah, ini juga yang Nanda lakukan nampaknya,
sebab menilik dari banyaknya karya-karyanya, saya dan teman-temannya
menduga dia membutuhkan eksistensi tetapi dia tak memiliki bank
inspirasi. Dia main cepat dan langkah ini yang dia ambil.
Saya
rasa Nanda tahu, bahwa kita memilikiUU hak cipta atau segala tetek
bengeknya. Namun, kita bicara yang paling dasar dulu ajalah, ‘Kejujuran’
dan ‘Ketegaan’. Jika dia seorang mahasiswa, dia tentu sudah terlalu
dewasa untuk diajari soal kejujuran, menghargai hak milik orang lain,
dan menjaga nama baik. Sudah ketuaan. Itu adalah ajaran untuk bocah 7-15
tahun.
Saya tak habis pikir, di tengah deru kemajuan teknologi
masih ada saja orang yang sanggup kehilangan akal untuk mencari ide lalu
melakukan penjiplakan. Kalau sebagain bilang justru karena teknologi
yang maju maka akses menjiplak begitu mudah, maka saya akan bertanya,
jadi itu gunanya teknologi yang maju? Seharusnya kemajuan teknologi
adalah akses untuk kita memperluas wawasan. Kita bisa mencari ide yang
lebih segar dan lebih dahsyat lagi dengan sekali buka jendela. Okey,
kita sudahi soal itu karena catatan ini akan begitu panjaaang.
Kasus plagiat selalu terjadi dari masa ke masa. Saya tidak punya ingatan
yang kuat tentang ini terutama di masa-masa lalu. Plagiat karya tulis
bukan hanya karya fiksi saja tetapi juga non fiksi.
Seorang
Chairil Anwar (1949) pernah dituduh menjiplak. Karyanya ‘Karawang
Bekasi’ sama dengan ‘The Dead Young Soldiers’ karya Archibal penyair
Amerika Serikat (tolong ralat jika saya salah). Banyak yang bilang itu
hanya mirip.
Kompas, 30 Januari 2011, pernah kecolongan juga.
Cerpen Perempuan Tua dalam Rashomon, yang ditulis oleh Saudara Dadang
Ari Murtono, katanya adalah cerpen plagiat dari cerpen berjudul RASHOMON
karya Akutagawa Ryunosuke. Untuk yang ini jujur saya hanya mencermati
perbincangannya saja di fesbuk ketika itu.
Presiden Hongaria Pal
Schmitt, menyatakan dirinya telah menjiplak disertasi setebal 200
halaman untuk gelar doktornya, dan ia mundur pada tahun 2012. Di
Indonesia, beberapa dosen kedapatan terlibat plagiarisme. Masih teringat
kasus Anggito Abimanyu, dosen UGM yang memplagiat tulisan dari harian
Kompas 21 Juli 2006 yang ditulis oleh Hatbonar Sinaga dan Munawar Kasan,
dengan judul hampir serupa “Menggagas Asuransi Bencana”. Anggito pun
mundur dari jabatannya.
Amir Santoso juga diduga membajak karya tulis ilmiah dari mahasiswanya
sendiri dan pakar-pakar lain untuk gelar doktornya di UI tahun 1978
(maaf kalau salah tahun). Ada juga I Made Kartawan Dosen Institut Seni
Indonesia Denpasar, yang terduga menjiplak laporan penelitian berjudul
Keragaman Laras (Tuning Systems) Gambelan Gong Kebyar hasil penelitian
Prof Bandem, untuk tesisnya di tahun 2003.
Lalu, mengingat
banyaknya naskah yang dikopas Nanda, saya berharap semoga Nanda tidak
melakukan penjiplakan untuk skripsi dan tesisnya nanti. Bukan tanpa
alasan saya bicara begitu. Jika dalam sebuah kasus dibutuhkan tiga
bukti untuk bisa menjeratnya, maka saya punya lebih dari tiga. Di
antaranya adalah resensi buku yang Nanda ambil dari hasil resensi orang
lain. Resensi itu sudah dimuat dengan menggunakan namanya sendiri. Lalu
ada juga karya-karya yang diikutsertakan dalam lomba yang ‘saya menduga –
dan sampai saat ini masih menunggu klarifikasi dari pihak penyelengara
lomba--- naskah tersebut diambil dari karya-karya di Majalah Story.
Tetapi cukup tiga saja yang saya sertakan. Yang dua sudah saya publish,
yang satunya ya di bawah ini. Tulisan ini non fiksi adalah hasil
comotan yang kemudian dia ikutsertakan dalam sebuah lomba: Lomba Menulis
Pelajar dan Mahasiswa “Rangkaian Milad 16 Tahun” KAMMI Daerah Medan.
Informasi terakhir yang saya dengar, tulisan Nanda itu unggul sebagai
juara 1. Semoga pihak penyelenggara membaca ini agar bisa melakukan
klarifikasi.
Kita simak bersama-sama yang ini: http://draft.kammi.org/…/nanda-dyani-amilla-menguliti-bakal… Nanda menulis itu pada 11 Maret 2014.
Tulisan Nanda itu, ternyata mencomot dari blog di bawah ini yang
ditulis 12 Maret 2012. Paragraf pertama sama persis, kemudin bagian
tengahnya dia mencomot-comot data yang ada di sana. https://satriwan.wordpress.com/…/menguliti-bakal-calon-pre…/
Paragraf pertama jelas sama persis. Berikutnya, bagian tengah mari kita
bandingkan. Nanda comot dari sana-sini. Ini tulisan politik dari
analisa seseorang, dan Nanda dengan ‘teganya’ mencomot analisa orang dan
diikutsertakan dalam lomba.... Jika dalam pembelaan dia mengatakan itu
hanya mengambil data, nah kita tahu bahwa dia tengah lari dari masalah.
Kita semua tahu bagaimana kode etik ‘pengambilan data’ itu. Jika saya
lampirkan di sini semua bagiannya, bakalan tambah panjang catatan ini.
Lalu mengapa plagiat selalu ada dari masa ke masa? Kasus-kasus di atas
berakhir dengan pengunduran diri si pelaku, atau pencabutan naskah dari
media yang kecolongan. Tidak ada proses berkelanjutan yang mengarah ke
ranah hukum. Mungkin karena honornya kecil kali ya, jadi dianggap asal
lewat. Beda dengan plagiasi lagu yang urusannya selalu ke pengadilan.
Saya pernah mendengar teman saya bilang, itu karena si penulis asli
tidak ada yang menggugat. Dengan imbalan kata ‘maaf’ dari pelaku, kasus
beres. Bahkan pembaca yang menjadi gemas.
Plagiarisme menjadi
kasus abadi yang kemudian hari akan terjadi lagi. Selain penulis asli
yang enggan beribet-ribet, media yang kecolongan pun agaknya tak ingin
terusik. Teringat akan tulisan Mas Denny Prabowo di http://dennyprabowo.blogspot.co.id/…/heboh-kasus-plagiasi.h… di sana Mas Denny bercerita bahwa sering kali tak mendapat respon dari redaktur/media yang kecolongan itu.
Lantas apa yang terjadi jika pihak-pihak yang mestinya bergerak ternyata hanya mendelik saja saat disodori bukti dan kenyataan adanya plagiarisme? Sungguh saya menyayangkan hal itu. Jika ini dikaitkan dengan posisi dan cari makan, maka bagaimana kita memandang si pembuat karya asli yang sudah ‘berdarah-darah’ berkarya?
Lantas apa yang terjadi jika pihak-pihak yang mestinya bergerak ternyata hanya mendelik saja saat disodori bukti dan kenyataan adanya plagiarisme? Sungguh saya menyayangkan hal itu. Jika ini dikaitkan dengan posisi dan cari makan, maka bagaimana kita memandang si pembuat karya asli yang sudah ‘berdarah-darah’ berkarya?
Saya selalu
bilang kepada penulis yang karyanya dicolong, “Sabar, berarti karyamu
keren sampe dijiplak begitu.” Sungguh itu hanya kalimat penghibur saja.
Padahal saya ingin sekali bilang, “Ayo kamu tuntut, kamu punya hak!”
Lalu saya akan ingatkan sederet perjuangannya saat melahirkan karya itu.
Ya, rata-rata mereka sungkan –atau enggan—berurusan dengan kasus ini.
Sementara si pencuri menikmati hasil colongannya, penulis aslinya cuma
gigit jari melihat naskahnya diakui orang.
Harusnya catatan ini jauh lebih panjang dari ini. Namun saya sudahi, mengingat saya masih mau hidup sehat tanpa caci maki.
Terakhir, mari kita sama-sama saling mengawasi dan perlu bersikap
tegas. Kejahatan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Jika memang
tidak ingin ke ranah hukum, paling tidak ada tindakan tegas dari
pihak-pihak yang terkait. Membangun kekuatan harusnya bersama. Tidak
nikmat bila mendengar “Kami dari ...... (menyebut wilayah) punya cara
sendiri menangani literasi.” Hei, hei, ini Indonesia, dan plagiarisme
adalah kasus kita bersama. Apalagi naskah yang dimuat dicomot dari
majalah nasional.
Untuk intitusi atau lembaga di mana pelaku
bernaung, bisa menjatuhi hukuman berat bagi sang pelaku dengan menyudahi
jabatannya atau mengeluarkannya. Serta menulis surat pernyataan maaf
atas tindakan pelaku sebagai murid/karyawannya kepada pihak terkait.
Untuk media yang kecolongan, bisa memberinya sangsi dengan tidak lagi
memuat karya pelaku dan mewajibkan pelaku mengembalikan honornya (lebih
bagus lagi honor tersebut diberikan kepada si penulis asli)
Untuk
si pelaku harusnya membuat surat pernyataan maaf kepada: penulis asli,
kampus atau lembaga tempat dia bernaung, media yang kecolongan, media
yang memuat naskah asli, dan pihak-pihak lain seperti teman-temannya
yang juga merasakan dampak dari perbuatannya.
Untuk penulis
asli, selayaknya memberikan pernyataan bahwa cerpennya dijiplak oleh
pelaku dengan menyertakan bukti-bukti dan membawa kasus ini hingga
tuntas bukan hanya sekedar pemaafan.
Untuk media yang memuat
naskah asli, mestinya menggugat pelaku karena walaupun hak cipta tetap
ada di penulis, media tersebut adalah yang pertama mewadahi dengan
melalui proses yang berlaku.
Untuk teman-teman semua, mari kita
berkarya dengan lebih baik. Katakan tidak untuk plagiarisme. Menghargai
kerja keras orang lain adalah sama dengan menghargai kerja keras
sendiri. Dan bersuaralah jika ada kasus plagiarisme. Walau belum ada
kasus yang sampai ke ranah hukum, setidaknya ada efek jera bagi pelaku.
------------- catatan ini untuk dinikmati dan direnungi, bukan untuk menyulut masalah baru dan menjadi bias.. (Reni Erina)
koment2nya baca di sini:
https://www.facebook.com/erin.terataiair/posts/10208624001909476
================================================================
Proses editing naskah sangat perlu dilakukan sebelum naskah itu diterbitkan karena bisa saja terjadi kesalahan yang tidak disengaja mau pun salah tulis, juga ketidaktahuan penulis tentang EYD yang baik hingga selalu ditolak oleh penerbit mayor karena tata penulisan yang masih kacau.
================================================================
JASA EDITING NASKAH BERHADIAH (remake)!
Menulis adalah kegiatan dan hobi yang sangat menyenangkan dan
digemari oleh banyak orang—belum lagi kalau tulisan itu dibukukan hingga dapat
dibaca oleh masyarakat luas. Kamu bercita-cita ingin menjadi penulis dengan
menuangkan idemu dalam bentuk sebuah buku yang berkualitas?
Namun, sekadar ditulis saja tak cukup untuk melengkapi kualitas tersebut. Diperlukan pula tata bahasa yang sesuai dengan EYD. Masih merasa lemah dalam kualitas EYD? Oleh karena itulah, Menulis Bukti Hidupku siap membantu dengan menyediakan jasa editing naskah dalam bahasa Indonesia agar isi bukumu semakin berkualitas!
Setiap naskah memerlukan proses
editing sebelum dijual. Tapi tidak semua penulis bisa melakukan editing
naskahnya dengan baik. Ia memerlukan bantuan jasa editing naskah. Teman-teman
penulis yang membutuhkan jasa, akan mendapatkan editing meliputi koreksi EYD seperti
misalnya :
·
Kalimat
yang salah atau kurang,
·
Tajwid
bahasa (pelafalan huruf dan kata),
· Kata penghubung apa bagusnya digunakan,
· Kata depan (di, ke),
·
Kesalahan
ketik (typo),
·
Kalimat
baku dan tak baku,
·
Penggunaan
huruf kapital (huruf besar), huruf miring dll,
·
Penggunaan
tanda baca yang tepat seperti elipsis, petik ganda, petik tunggal, tanda hubung
seperti en-dash dan em-dash dsb,
·
dan
masih banyak lagi…
Proses editing naskah sangat perlu dilakukan sebelum naskah itu diterbitkan karena bisa saja terjadi kesalahan yang tidak disengaja mau pun salah tulis, juga ketidaktahuan penulis tentang EYD yang baik hingga selalu ditolak oleh penerbit mayor karena tata penulisan yang masih kacau.
Misalnya penulis menulis “Karen sedih karena Miyung
mengacuhkan dirinya”. Kenapa harus sedih dalam konteks kalimatnya? Mungkin
penulis salah paham hingga mengira kalau arti kata “mengacuhkan” adalah
“mencuekin”. Padahal arti kata “acuh” adalah “peduli”. Siapa yang masih salah
memaknai salah satu kata yang sering disalahartikan ini?
Selain itu, masih banyak kesalahan penulisan lainnya. Apa
kalian merasa menjadi salah satu penulis yang membutuhkan bantuan jasa editing
naskah kami?
Editing yang kami lakukan tidak meliputi isi naskah seperti
misalnya pengecekan kebenaran isinya. Dalam editing,
kami juga tidak akan mengubah gaya tulisan, makna, dan alur cerita yang kamu
tulis.
Apa untungnya mencari jasa editing naskah
sendiri? Dengan mencari jasa editing naskah sendiri, tentu saja file hasil editing secara otomatis akan
menjadi milik penulis sepenuhnya. Beda kalau diedit secara langsung oleh
penerbit karena file hasil editingnya
tak akan diberikan.
Hanya dengan TARIF JASA EDITING sebesar Rp 200.000 (DUA
RATUS RIBU RUPIAH) untuk maksimal 100 hal (format A4, font TNR 12, spasi 1.5,
margin normal), kamu bisa mendapatkan hasil editing naskahmu hingga bisa
mempelajari kesalahan/kelemahan tata kepenulisanmu sendiri. Jadi sekalian bisa
belajar EYD secara mandiri, kan?
Nb: Bagaimana dengan tarif di atas
100 halaman atau jauh di bawah 100 halaman? Harga santai, kagak lebay. Dinego
aja, Say. Pasti bisa, Say. Dinego sampai oke di-DM. Cincay!
Tak semua penulis menyadari EYD itu
penting dalam menulis. Padahal hal itu sangat mempengaruhi baik dan buruknya
tata penulisan mereka agar pembaca dapat memahami tulisan seorang penulis. Baik
dan buruknya tata kepenulisan itu merupakan bukti serius atau tidaknya penulis
itu berkarya. Jika tak teliti dalam EYD, penulis hanya menulis kata yang tidak
berarti.
Misalnya penulis menulis kalimat “aku sanksi padamu”, hingga
membuat pembacanya salah tangkap makna kalimatnya karena arti “sanksi” adalah
“hukuman”. Seharusnya ia menulis “aku sangsi padamu” yang berarti “aku ragu
padamu”.
Dengan menggunakan jasa kami, kami
tidak bertanggung jawab atas isi dan konten yang ada di dalam naskah tersebut karena
merupakan tanggung jawab penulis naskah seutuhnya. Selain itu, penulis juga harus mencantumkan dalam bukunya
kalau sudah terbit nanti bahwa penyunting naskah/pemerhati aksara bukunya
adalah MENULIS BUKTI HIDUPKU.
BONUS:
Jasa editing naskah kami ada
bonusnya, loh! Tiap naskah yang masuk akan mendapatkan lembaran koreksi yang
bisa dipelajari (jadi tak hanya menerima file
hasil revisi naskahnya).
Bonus yang bisa dipilih seperti modul
kumpulan penerbit terbaik di Indonesia, kumpulan tips menulis, dll (hanya untuk
naskah yang maksimal 100 halaman). Bisa juga mendiskusikan soal penerbit
tujuan, tentang pembenahan tulisan yang kami kerjakan, dll. Kami akan bantu
sebisanya dari rekomendasi penerbit mayor, semi indie/semi mayor sampai penerbit
indie/self publishing yang sesuai dengan isi naskah kalian.
Kenapa ada bonusnya? Ya, ini sebagai
apresiasi karena kalian mau mencintai dan peduli pada kualitas naskah sendiri,
mau memperjuangkannya terbit sebaik-baiknya dan tak asal jadi untuk terus
mengurusnya sampai ke tangan pembaca, serta sebagai ucapan terima kasih karena
kalian mau memercayakan kami sebagai penyunting aksara naskah kalian.
Semua bisa didapatkan hanya dengan
tarif normal dua ratus ribu rupiah saja, loh!
Contoh naskah yang sudah sukses kami sunting aksaranya
seperti:
-
novel
Penyesalan (Alimudin Lewenussa).
-
novel
Tabir Kehidupan (Alimudin Lewenussa).
-
Dll…
Punya naskah yang mau diterbitkan? Ingin melakukan self
editing, tapi merasa kurang memahami EYD atau tak punya waktu karena kesibukan
yang menggunung?
Silakan kontak kami di sini untuk mendiskusikannya:
-
Facebook
(DM only) : ARIESKA ARIEF (add dulu, yah! Karena kalau belum berteman, DM nya
masuk ke spam.)
-
WA : 085 399 566 422 (jangan ditelepon, yah! Biasanya kalau nomor
asing, aku gak angkat.)
:=(D
0 komentar:
Posting Komentar