THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Senin, 25 Oktober 2010

RIWAYAT SI RODA API (pemenang karya favorit LMCR 2010)


by: ARIESKA ARIEF (no.33) 
*** 
Bruuum…!
Kuraungkan motorku untuk terus melaju membelah aspal. Aku masih terus bergelut di dunia liar yang penuh lingkaran roda. Bukannya mengais rezeki sebagai tukang ojek yang sudah menjadi santapan harianku, aku malah adu balap di sebuah pertandingan balapan liar, setiap langit gelap membungkus bumi.
Aku salah seorang pembalap liar yang kerap membuat lalu lintas kota menjadi sekusut benang. Aku adalah pembalap berbakat  yang acap kali menuai kemenangan yang spektakuler. Tak heran jika aku mengantongi lebih banyak penghasilan dari balapan liar ini daripada menjadi tukang ojek.
Ya. Aku hidup miskin di sebuah gubuk terpencil bersama dengan ibuku. Usiaku sudah menginjak 16 tahun, tapi sudah harus bekerja keras meniti guratan nestapa karena penghasilan ibuku yang sebagai pembantu rumah tangga tak seberapa.
Aku ingin berhenti menjadi tukang ojek. Tapi aku memerlukan motor pak Aman ini, yang memperkerjakanku sebagai tukang ojek. Aku ingin punya motor sendiri agar aku tak perlu lagi menyetor uang pada pak Aman.
Malam itu akhirnya mimpiku jadi kenyataan. Pak Lukas, seorang pria setengah baya yang selalu muncul menonton balapan liar itu tertarik pada bakatku. Ia menawarkan sesuatu. “Dengan bakatmu itu, aku bisa membuatmu kaya jika kau mau bergabung denganku, anak muda,” katanya. Senyum lengkung mengulum menghiasi kerutan wajahnya.
Aku terpaku. Hatiku bersorak. Dengan begitu aku tak usah menjadi tukang ojek lagi. Aku juga bisa memiliki motor sendiri. Aku tergiur. Tentu saja aku menerima tawarannya dengan senang hati. Tapi bagaimana dengan ibu?
***
“Pokoknya tidak bisa! Ibu tidak setuju!” jawab ibuku keesokan paginya setelah kukemukakan tawaran Pak Lukas kemarin. “Ibu tak pernah mengizinkanmu menjadi pembalap! Lagian dia itukan lintah darat!”
“Tapi.. tapi.. aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, bu! Aku tak peduli profesinya saat ini. Tapi dia bisa membuatku kaya!”
“Kalau kau tetap bersikeras akan niatmu itu, sebaiknya kau tak usah kembali lagi ke rumah ini,” sahutnya kelam.
 “Oke.. oke. Aku sudah besar, bu. Sekarang biar aku yang memutuskan! Aku tak peduli pendapat ibu!” Aku langsung keluar rumah sambil membanting pintu. Brak!
***
Sesuai dengan alamat yang diberikan Pak Lukas padaku kemarin, pagi itu juga  aku pun bertandang ke rumahnya. Rumahnya cukup besar dan mewah. Rumah itu dikawal oleh beberapa bodyguard berbadan kekar-kekar yang menghiasi sudut rumahnya.
 “Bagaimana? Apa ibumu setuju kau bekerjasama denganku?” tanyanya sambil menaikkan sebelah alisnya.
Aku lalu teringat sikap sinis ibu tadi. Aku menggeleng lesu. “Sebenarnya ia sama sekali tak pernah mau mempedulikan perasaanku.”
“Tapi kau sendiri mau kan?” tanyanya antusias.
Kumenatapnya dalam. Aku mengangguk terburu-buru karena tergiur. Aku tak sempat melihat keseriusan di matanya. Yang aku pikirkan hanyalah mencapai impianku menjadi seorang pembalap yang sukses.
***
Sejak saat itulah aku tinggal dengan Pak Lukas. Dan aku juga mulai memanggilnya ‘bos’. Aku tak mau peduli dengan nasib ibuku yang keras kepala itu. Selama ini aku selalu memendam kekecewaan padanya. Ketidakpuasan karena identitas ayahku disembunyikannya.
Sekarang aku merasakan sesuatu yang berbeda drastis. Pak Lukas mulai menghidupi dan memenuhi segala kebutuhanku di rumah ini. Termasuk memberikanku motor balap pribadi. Tiap ada turnamen balapan liar di jalan, aku harus turut serta untuknya. Aku merasa dimanjakan hidup di sini. Karena terbuai oleh kemewahan, aku sampai-sampai lupa menjenguk ibuku. Bagaimana kabarnya sekarang? Tapi, ah.. apa peduliku!
Sebulan telah berlalu, dan aku merasa semakin tak terkalahkan! Si Roda Api, julukan itulah yang mereka gelarkan padaku.
***
Selain mengikuti balapan liar, sehari-hari aku beraktivitas mengikuti ke mana Pak Lukas  pergi untuk menagih hutang. Dengan motor balapku aku melaju di depan, sementara mobil yang beliau tumpangi di belakangku. Aku menuntun beliau menuju jalan yang aman dan nyaman. Aku mengenali jalan di kota ini dengan baik berkat pekerjaanku menjadi tukang ojek dulu.
Siang itu dari spion motorku, tiba-tiba saja kusadari sebuah motor mengiringiku disusul oleh beberapa motor lainnya. Aku mencium ketidakberesan di sini. Tanpa tanggung-tanggung salah seorang dari mereka lalu menghantam punggungku dengan kayu. Aku terjatuh berguling-guling mencium aspal. Mengapa? Mengapa mereka menyerangku?!
Mobil pak Lukas pun berhenti. “Ada apa ini?!” pekik Pak Lukas sambil berhambur keluar dari mobilnya.
Rupanya mereka juga anak buah Pak Lukas yang lainnya. Mereka turun dari motornya. Kulepaskan helemku lalu berusaha untuk bangkit meskipun tak membutuhkan uluran tangan mereka yang segera menyeretku berdiri dengan kasarnya.
“Bos! Bocah ini putranya Sri, bos!”
Memangnya kenapa?! Batinku bertanya-tanya. Apa hubungannya dengan ibuku?!
Pak Lukas terbelalak. Mulutnya melongo. Beliau menghampiriku. “Apa benar begitu?!”
Aku mengangguk gelagapan.
“Bangsat!” rutuknya sambil menamparku. “Jadi kau mau memata-matai saya ya?!” raungnya sambil mencengkram kerah bajuku.
Aku menggeleng terburu-buru. “Mana mungkin saya mengkhianati anda, bos!” Sebenarnya ada apa ini?! Aku tak mengerti! Aku takut!
“Oke! Buat aku percaya!” Pak Lukas kemudian menyeretku masuk ke dalam mobilnya.
***
Di dalam mobil itu kami saling membisu. Aku menunjukkan jalan ke rumah ibu tanpa berani mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Tak lama kemudian kami pun sampai di rumah terpencil itu. Aku yakin jam segini ibu pasti tak ada di rumah. Aku mengambil kunci rumah yang biasa disembunyikan di bawah pot kemudian kami pun masuk.
Pak Lukas dan yang lainnya terlihat sedang mencari-cari sesuatu dengan gencarnya di laci, lemari dan lainnya. Aku tak tahu apa yang dicarinya. Aku hanya bisa terdiam melihat isi rumahku diobrak-abrik. Aku tak sanggup untuk bertanya. Lidahku keluh.
“Bos! Kita tak menemukan dokumen penting itu di mana-mana!”
Pak Lukas menggigit bibir. “Kita bakar saja rumah ini! Dengan begitu, buktinya juga akan lenyap. Jangan takut! Ini satu-satunya rumah terpencil di sini, takkan ada yang tahu!”
Saking syoknya mendengar perintah itu, lagi-lagi aku hanya mampu mematung. Para suruhan Pak Lukas dengan gencarnya menyiramkan bensin ke berbagai sudut rumahku. Aku ingin mencegahnya, namun aku tak kuasa menggerakkan raga ini.
Aku baru tergerakkan ketika Pak Lukas menyeretku keluar. Di depan mobilnya ia lalu mencengkram kedua bahuku sementara para suruhannya mulai memercikkan api ke rumahku!
“Dengar! Kau tak punya pilihan lain selain ikut denganku! Kau bukan mata-matanya Sri, bukan? Kau ingin membuatku percayakan jika kau takkan mengkhianatiku?!”
Aku tak menjawab. Mataku sedang menampung adegan kobaran api yang mulai melahap habis rumahku. Ia lalu memutar daguku ke arahnya. Sekarang mataku sedang menampung wajah bengis seseorang yang memberiku berbagai macam kemewahan yang kini berlaku keras padaku.
“Awas! Ini rahasia kita! Kalau sampai kau membocorkan kejadian ini, maka riwayat Si Roda Api akan tamat saat itu juga!” ancamnya.
Aku kebingungan. Aku merasa sudah sangat kejam dan berdosa pada ibu. Tapi aku tak punya pilihan lain! Aku tak tahan jika harus hidup miskin lagi, apalagi setelah kehilangan tempat tinggal. Dan lagi impianku…
Aku tahu ini sangat durhaka. Aku tak tahu apa yang kulakukan ketika pada akhirnya aku menaiki mobil itu bersama Pak Lukas. Aku terbuai ambisi dan kemewahan, aku tak ingin kehilangannya, sementara ibuku harus kehilangan separuh nyawanya seiring berkoarnya api.
Ya Tuhan, apakah aku sudah gila?! Anak macam apa aku ini?! Ke mana nuraniku?!
***
Tahun berikutnya datang menghabiskan satu periode masa hidupku. Aku sudah banyak makan garam di dunia balapan dan tentu saja merekrut banyak kemenangan. Tapi kemenangan itu terasa hampa. Rasanya aku sudah tak membutuhkan kemenangan dan popularitas sebagai Si Roda Api lagi. Pak Lukas lah yang membutuhkannya. Selain mengambil kendali uang hasil pertandinganku, ia juga memperoleh banyak uang dari hasil taruhan.
Ya. Beliau mempertaruhkan nasibku di pertandingan balapan itu dengan uang. Aku sering melihatnya menghitung uang di meja kerjanya. Dan begitu ia melihatku ia selalu berkata, “Hai tambang emasku yang berharga.” Seringainya.
Rasa muakku pada beliau bertambah dimulai sejak saat itu. Tapi aku tak bisa lari darinya, meskipun sangat ingin kulakukan sejak ia membakar rumah ibuku. Kalau aku lari, riwayat Si Roda Api akan tamat. Dan itu berarti ancaman kematianku adalah tali pengekang agar aku tak bisa ke mana-mana.
Tapi rasanya ingin mati saja agar ia berhenti memanfaatkanku seperti anjing emasnya.
***
“Ayo! Siapa lagi yang mau taruhan?! Si Roda Api pasti takkan terkalahkan. Iya kan?” komentar Pak Lukas sambil menyikutku.
Aku hanya menghela nafas pasrah. Rekan-rekan Pak Lukas yang setia menghadiri pertandingan balapan liar itu tak ada lagi yang berani.
“Bagaimana kalau kita bertaruh satu milyar?” tiba-tiba saja terdengar sebuah suara yang penuh percaya diri. Seorang pria gemuk datang membawa seorang pemuda sebayaku yang berkacamata hitam, namanya Jonatan.
Tentu saja Pak Lukas menerimanya dengan senang hati. Jonatan membuka kacamatanya lalu mendelik padaku sambil tersenyum sinis. Tak lama ia pun sudah siap di atas motornya.
Aku juga segera menunggangi motor kesayanganku. Aku siap bertanding dengannya. Tapi kali ini aku tak peduli kalah atau menang. Aku bahkan berharap ia bisa mengalahkanku agar Pak Lukas bangkrut. Tapi tak berarti aku harus  sengaja mengalah untuknya.
Adu balapan khusus kami berdua pun dimulai. Si Roda Api beraksi. Kami melaju sama cepatnya cukup lama. Ternyata Jonatan hebat juga bisa menyaingiku selama itu. Kami lalu melaju di sebuah terowongan yang gelap. Samar-samar kulihat ia menodongkan sebuah pistol ke arah ban motorku!
Refleks aku menghindarinya. Celakanya aku tak bisa mengendalikan motorku sehingga menabrak dinding terowongan. Aku pun terjatuh berguling-guling. Badanku terasa remuk. Di tengah rintihanku itu aku mendengar Jonatan tertawa-tawa kesenangan melihat kekalahanku yang memalukan. Sial! Aku dicuranginya!
***
“Dasar anak tak berguna!” pekik Pak Lukas sambil menamparku. “Gara-gara kau aku kehilangan satu milyar, tahu!” bentaknya.
Pulangnya aku dihajar habis-habisan di kantornya. Aku diam saja. Ia sama sekali tak mempedulikan sakitku karena kecelakaan tadi.
“Ayo jawab!” Kali ini ia menjambak rambutku kemudian memukulku lagi berulang-ulang. “Rasakan ini! Rasakan ini, dasar ulat tak tahu diuntung! Memang kau bisa mengganti satu milyarku itu, dasar goblok! Percuma aku memelihara piaraan tak berguna sepertimu! Puih!”
Bruk! Aku pun didorongnya jatuh. Kuseka darah di lekuk bibirku. Aku hanya bisa menahan pedih. Pedih karena merasa habis manis sepah dibuang. Harus kuakui, itu semua berawal dari kebodohanku sendiri yang tergiur olehnya dengan memanfaatkan ambisiku yang berapi-api.
Ia lalu mencengkram kerah bajuku. “Aku sudah banyak mengorbankan materi untukmu, dasar anjing keparat! Kau sama keparatnya dengan ibumu yang busuk itu! Wanita rendahan seperti itu seharusnya…”
Aku langsung naik pitam mendengar ibuku dicaci maki seperti itu. Kutepis tangan Pak Lukas dari kerahku. “Bos, aku membiarkanmu memperlakukanku semaumu bukan berarti kau boleh menghina ibuku seperti itu!” tegurku tegas.
“Ho! Kau berani melawanku?!”
“Bos lupa ya kalau kita punya rahasia besar yang akan menjebloskan bos ke dalam penjara?!” tantangku.
Ia terbelalak. “Kau!” Tapi ia kehabisan kata-kata lalu berjalan ke belakang mejanya memunggungiku.
“Bos, aku tak keberatan di penjara. Kita memang harus menebus semuanya…,” komentarku buru-buru.
“Tapi aku keberatan!” seru Pak Lukas sambil berbalik. Tak kusangka-sangka ia dengan cepat membidikku dengan pistol. Dua timah panas bersarang seketika di bahu dan lenganku.
“Mati kau!!” raungnya. Ia menembakkan beberapa timah panas lagi ke arahku, tapi meleset karena aku bergegas keluar dari ruangan itu sambil memegangi luka tembak di lenganku.
Aku terus berlari. Nafasku tinggal separuh. Darahku berceceran sehingga meninggalkan jejak yang pasti. Jalanan tampak sepi dan lengang. Aku tak tahu harus ke mana. Pak Lukas dan bawahannya pasti mengejarku.
Akhirnya aku berlari pulang, ke rumah ibuku yang sempat terbakar tahun lalu. Aku tak sempat berpikiran jernih lagi. Hanya tempat itu yang bisa melindungiku dari amukan setan itu.
Aku pun tiba di rumah terpencil itu. Tampak rumah itu telah direnovasi. Pintunya terbuka lebar. Pandanganku semakin berkunang-kunang dan langkahku semakin sempoyongan karena keletihan yang luar biasa menyambutku. Tapi aku harus berjuang. Tinggal sedikit lagi aku bisa memeluk ibu. Ingin rasanya kaki ini seperti kecepatan roda, si roda api yang kecepatannya tiada tara. Tapi…



DOR!
Sebuah peluru dahsyat datang menggerogoti tubuhku lagi tanpa permisi. Peluru itu menghantam punggungku sehingga aku tersungkur. Aku muntah darah. Rasa sakit mencabik-cabik ragaku. Tapi aku harus bertahan! Aku merayap mati-matian. Pintu itu menganga untukku.
Tapi Pak Lukas keburu berdiri di hadapanku. Ia menikmati keadaan sekaratku. Ia tersenyum mengejek. “Kalau saja kau tak lancang, kau pasti tak perlu menderita begini. Tapi kau jangan khawatir, aku akan segera menghapus penderitaanmu itu,” katanya sambil menodongkan pistol ke keningku.
“Dasar.. tua bangka… aku lebih.. aku lebih memilih begini.. daripada menjadi alat kepuasanmu, brengsek…” sahutku setengah mati.
“Oke. Ucapkan selamat tinggal untuk ibumu, nak. Aku akan segera mengirimmu ke alam yang belum pernah kaudatangi.” Pak Lukas sedikit demi sedikit mulai menarik picu pistolnya.
Air mataku berhujanan. Aku hanya bisa pasrah. Rasa pilu menghujam karena di detik-detik terakhirku aku belum sempat bertemu ibu bahkan mencuci kakinya sebagai tanda maafku.
Tiba-tiba tubuh Pak Lukas rubuh. Sosok yang kukenal bagai sayap yang melindungiku itu berdiri di hadapanku. Sosok itu memegang pot bunga yang retak setelah memukul kepala tua bangka itu. Dia adalah Sri, ibuku. Pertama kalinya aku merasa bahagia sekali melihatnya.
“Ibu… ibu.. maafkan aku, bu…,” itulah kalimat pertama yang kuutarakan padanya.
Kaki itu masih berdiri kaku di hadapanku. Kupegang lalu kucium-cium kedua kakinya. Kukerahkan segenap tenagaku untuk memeluk kakinya. Kubiarkan air mataku menghujani kakinya karena aku sudah tak berdaya mengambilkan air untuk mencucikan kakinya. Tak hanya air mata, darahku yang terus mengucur keluar pun turut serta tanpa diminta.
Aku lalu menceritakan bagaimana kebakaran itu terjadi, bagaimana Pak Lukas mengancam akan membunuhku jika aku membocorkan rahasianya. Dan semuanya berawal dari keegoisanku.
“Aku lebih memikirkan kebahagiaan sendiri daripada kebahagiaan ibu… aku selalu merasa yang paling menderita di dunia… aku tahu sebanyak apa pun aku meminta maaf.. dosa-dosaku rasanya tak pantas terampuni, setelah apa yang ibu berikan padaku sejak dalam kandungan… uhuk uhuk..” Aku lalu terbatuk-batuk. Aku tak bisa lagi menahan kucuran darah di mulutku yang meleleh begitu deras. Keadaanku benar-benar hancur. Aku merasa ini sudah saatnya… “Bu… sebelum aku… pergi, maafkanlah aku, ibu…”
Tiba-tiba saja tangis ibu meledak. Ia bersimpuh kemudian memangku kepalaku. “Kamu jangan berkata seperti itu! Kita baru saja dipertemukan kembali, aku tak ingin melepaskanmu lagi! Kamu pasti akan selamat, nak!!” pekik ibu. Ia lalu berteriak-teriak minta tolong.
“Tak usah, bu… jangan menangisi anak durhaka sepertiku… aku memang pantas menerima ini,” kataku sambil menyeka air matanya. “Keadaanku ini tak sepadan dengan apa yang kulakukan padamu. Tak seharusnya aku memperlakukanmu seperti itu…aku bahkan tak bisa memaafkan diriku sendiri…”
“Sudahlah, nak! Lihat pintu itu! Lihat! Ibu selalu membukanya lebar-lebar! Ibu tak pernah menguncinya karena berharap suatu saat nanti kamu akan kembali, sayang! Begitu pun dengan pintu maaf ibu padamu yang selalu terbuka selebar pintu itu!”
Betapa bahagianya hatiku mendengarnya. Aku benar-benar menyesal telah menyia-nyiakan sosok yang mulia itu. Tapi sekarang sudah terlambat. “Maafkan aku, bu… seandainya saja aku diberi kesempatan untuk hidup lebih lama lagi.. aku ingin sekali berbakti pada ibu… terima kasih, ibu.. atas semua yang telah kauberikan… dan lagi, aku senang kok nama ibu dilekatkan di nama belakangku… aku tak butuh ayah lagi… aku sudah punya ibu… jika kita bertemu lagi…” Tapi oh.. kelopak mataku mulai terasa berat sekali dan semuanya menjadi gelap.
“Iya, sayang! Iya! Pasti…” Ibu kemudian menyadari apa yang terjadi padaku. Ia hanya memegang ragaku yang kosong.
Ya. Tubuh itu sudah menjadi jenazah karena banyak kehilangan darah. Aku akan menemui Sang Pencipta Yang Agung dan mempertanggung jawabkan perbuatanku, khususnya pada ibu. Berkat kemuliaan hati ibu membukakan pintu maafnya lebar-lebar, aku jadi bisa pergi dengan tenang. Tapi aku tak sempat mengatakan apa yang ingin kukatakan tadi…
Ibu lalu memekik sambil memeluk kepalaku dan meneriakkan namaku, nama terindah yang diberikannya sejak kulahir.
***



Wanita itu mengelus-elus nama di nisan itu, kemudian mengecupnya. Ia kemudian memanjatkan doa untuk si pemilik nisan, lalu berbicara sendiri dengan makam itu.
“Sayang, maafkan ibu yang menyembunyikan identitas ayahmu. Ibu tak sangka jika kau akan bertemu dengannya. Dia itu bajingan dan tak pantas menghiasi nama belakangmu. Sekarang ia sudah di penjara karena kasus pembunuhan. Bukti-buktinya ada pada ibu, oleh karena itulah ia membakar rumah ibu. Ibu ragu menyerahkannya ke pihak berwajib karena masih mencintai bajingan itu. Foto itu hanya ibu gunakan sebagai ancaman agar ia kembali pada ibu. Ini semua salah ibu. Andaikan saja kamu tahu lebih awal, kamu tak perlu mati di tangannya…”
Wanita itu kembali menitikkan air mata. “Maafkan ibu karena sudah membuatmu menderita, nak…”
Hari mulai gelap. Wanita itu mulai beranjak pergi, padahal aku ingin menyambung kalimat terakhirku. Tapi kurasa bagaimana pun ia takkan bisa mendengarnya karena dunia kami sudah berbeda.
Ibu, jika kita bertemu lagi, akan kusematkan gelang emas di kaki ibu dan kucuci dengan air sungai firdaus. Putramu, Firdaus Sri Mikail.
 (Tahun 2000)
(***)
*Terinspirasi dari cerita mimpi saya tentang pembalap

0 komentar: