Barro Porro I ! Itulah
nama area jalur tangga yang harus kunaiki…
Aku sempat kebingungan
mencari-cari letak jalur tangga tersebut di sekolah baruku ini – SMA Losari –
menuju kantin sekolah. Hari ini, kami ada double date di kantin tersebut
sepulang sekolah. Hanya saja, sebagai murid baru tentu saja aku kesasar ke
sana-kemari berusaha menemukan jalur tangga yang dimaksud. Katanya sih,
kantinnya ada di lantai 4. Itu pun harus melewati jalur tangga Barro Porro I.
Mereka bertiga pasti
menungguku lama di sana. Ryan – pacarku itu memang sudah memberiku gambaran
peta lokasinya dan harus melalui jalan apa saja untuk menemukan jalur tangga
Barro Porro I. Huh, semuanya jadi terasa membingungkan! Bagaimana caraku agar
bisa ke sana? Dan sekarang, aku tengah berada di mana?
Kupandangi lapangan
berumput yang sepi di sekitarku dengan malas. Sepertinya aku berada di belakang
sekolah. Aku tak begitu memperhatikannya karena sibuk mencari jalan ke kantin
itu.
Kumenyerah. Mungkin
sebaiknya aku pulang duluan saja sebelum tersesat. Soalnya, sekolah ini kan
sangat luas karena ada banyak jurusan di sekolah ini dan juga memiliki keunikan
tersendiri. Jalur tangga pun menggunakan nama segala seperti halnya nama jalan,
karena tangga-tangga di sekolah ini lumayan banyak dan ada area jalur tangga
yang tak boleh diinjak sedikit pun.
Kenapa? Karena
jalur-jalur tangga terlarang itu akan membawamu ke dunia lain – ke tempat para
mahluk halus itu berada. Sekali kau melintasi jalur-jalur tangga terlarang itu,
kau akan terperangkap di dunia mereka dan takkan bisa lagi kembali ke dunia
ini. Tapi aku sendiri lupa nama-nama jalur tangga yang tak boleh dilintasi itu.
Habis, nama-nama jalur tangga di sekolah ini susah-susah sih dilafalkan.
Ataukah sebaiknya aku
menelpon Ryan ya agar menjemputku di sini. Kan tak enak dengan kedua sahabatnya
yang mau dikenalkannya padaku. Namun, baru saja aku hendak menghubunginya,
tiba-tiba saja mataku terpaku pada sebuah papan nama yang bergelantungan di
atas sebuah jalur tangga: Barro Porro I. Akhirnya! Hatiku memekik kegirangan.
Bergegas kuberlari ke tangga tersebut agar bisa segera tiba di kantin lantai 4.
Ryan, aku datang!
“Tunggu!” Tiba-tiba
saja seorang pria mencegatku. Refleks kumembalikkan badan dan melihat seorang
pria bungkuk menatapku tajam. “Kau mau ke mana?”
“Ke Kantin Cita Rasa
Makassar. Pacarku dan kedua kawannya sedang menungguku di sana,” jawabku.
Pria itu mengernyitkan
kening. “Kantin itu kan lewat tangga di gedung seberang sana.”
“Ta… tapi kata pacarku
– “
“Saya sudah bertahun-tahun
menjaga sekolah ini. Jadi saya lebih tahu di mana letak kantin itu persisnya.
Pacarmu pasti salah ingat.”
“Oh, ya? Jadi saya
harus melintasi tangga yang mana?”
“Di gedung seberang
sana, carilah jalur tangga Barro Porro-13 terus naiklah ke lantai 4.”
“Hm, begitu ya?”
Kumengangguk-anggukkan kepala kemudian memutar arah ke gedung seberang.
Kumelangkah menuju koridor gedung yang sepi dan lengang itu. Gedung tersebut
tampak rusak sana-sini, sepertinya sudah lama tak digunakan. Di mana letak
jalur tangga itu?
Mataku yang sibuk
mencari-cari akhirnya menemukan sebuah papan arah yang bergelantungan di atas
sebuah jalur tangga lagi: Barro Porro-13. Aha! Itu dia. Dengan tak sabarannya,
segera kunaiki tangga tersebut menuju lantai 4. Aku sudah tak sabar lagi
bertemu dengan Ryan, lagian perutku juga sudah lapar.
Namun entah mengapa,
aku jadi kepikiran juga. Apa iya Ryan salah memberiku peta lokasinya? Entah
mengapa aku merasa jalur tangga semula tadi itulah jalan yang benar. Tapi
mengapa aku malah mengikuti arahan pria itu? Sebenarnya siapa yang salah di
sini?
Begitu tiba di lantai
4, perasaanku jadi semakin tak enak. Suasananya tampak sepi. Terus, di mana
kantin itu? Mungkin tak ada salahnya aku mencari sambil menghubungi Ryan. Namun
sialnya, tak ada sinyal! Aku pun mengirimkan SMS padanya kalau aku berada di
Barro Porro-13.
Akhirnya aku turun
lewat jalur tangga yang lain, yang entah apa nama jalur tangganya karena tangga
itu lebih dekat dengan perjalananku. Aku tak berpikiran lagi untuk mencari
jalur tangga yang kunaiki tadi karena panik. Buru-buru pula kulintasi tangga
itu menuju bawah begitu melihat seorang pria aneh membelakangiku di tikungan
menuju lantai 3. Kuterbelalak begitu melihat pria yang sama membelakangiku di
tikungan menuju lantai 2!
Hah?! Cepat sekali
turunnya! Ini pasti ada yang tak beres. Akhirnya kuberlari melewati pria aneh
itu dengan bulu kuduk yang merinding hebat. Akhirnya, aku pun tiba di tikungan
lantai dasar dan berpura-pura tak menyadari keberadaan pria yang membelakangiku
itu lagi. Kumemejamkan mata hingga akhirnya tibalah aku di lantai dasar.
Hosh-hosh, aneh sekali!
Kelegaanku berakhir begitu kumelihat papan nama jalur tangga yang baru saja
kuturuni tadi: Barro Porro-13. Hah?! Perasaan tadi aku tak lewat jalur tangga
ini, deh!
Tapi kan yang penting
aku sudah berada di bawah. Tinggal kembali lagi mencari keramaian dan… o’oh!
Kenapa gelap sekali? Perasaan aku hanya sebentar mengitari Barro Porro-13 deh!
Tak mungkin kan sampai berjam-jam hingga malam seperti ini?
Kakiku bergetar hebat, tak
berani melangkah maju sedikit pun. Akhirnya karena tak bisa melihat ke
sekeliling, kulangkahkan kakiku kembali ke atas. Aku bingung harus ke mana
lagi. Aku sangat ketakutan!
Namun begitu tiba di
lantai 4, tiba-tiba saja aku bertabrakan dengan seseorang. Oh, tidak!
Jangan-jangan…
“Agnes?”
Langsung kutengadahkan
wajahku ke sumber suara yang familiar di telingaku itu. “Ryan?!” pekikku girang
seraya mendekapnya lega. “Kenapa kau ada di sini? Tahu dari mana?”
“Dari SMS-mu,”
jawabnya. “Aku sudah berusaha menghubungimu, tapi tak terhubung juga hingga
akhirnya kami memberanikan diri untuk mencarimu di sini.”
“Oh, akhirnya SMS-ku sampai
juga. Aku tertolong.” Kumengernyit. “Tu… tunggu dulu. ‘Kami’?”
Tak lama muncul
sepasang kekasih di belakang Ryan. “Iya. Aku membawa Erik dan Siska membantuku
mencarimu. Untung saja kami menemukanmu.”
“Kenapa kau nekat
melewati jalur tangga ini, Nes?” tegur Siska. “Ini kan jalur tangga terlarang.”
“Iya! Karena takut kau
kenapa-napa, terpaksa kami bertaruh nyawa kemari,” timpal Erik, sinis.
“Sekarang kami tak bisa menemukan jalan pulang daritadi.”
“Pantas!” Rupanya
mereka juga mengalami keanehan yang sama denganku. “Ma… maaf ya! Aku tak tahu –
”
“Sudah-sudah! Sekarang
kita cari jalur tangga yang tepat untuk pulang sama-sama. Oke?” Ryan
menyikapinya dengan bijak. Kemudian kami pun melangkah berbarengan mencari-cari
tangga yang aman, dengan senter satu-satunya yang berada di tangan Ryan.
Yang terjadi, hasilnya
lagi-lagi kami melintasi jalur tangga yang sama – Barro Porro-13! Entah sudah
berapa kali kami melintasi jalur tangga tersebut. Padahal kami sudah
menghindari dan menjauhi jalur tangga terlarang itu. Tapi hasil yang sama tetap
terulang!
“Percuma saja!”
tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh seorang pria. Ryan mengarahkan senternya
ke orang tersebut yang tengah berdiri di puncak tangga tikungan menuju lantai 4. “Ikutlah denganku.
Akan kutunjukkan jalur tangga yang tepat agar kalian bisa kembali.”
Aku tak bisa melihat
dengan jelas siapa pria itu. Tapi Ryan mengomandokan agar kami mengikuti pria
tersebut sebelum kehilangan jejak, meski kami sudah kelelahan karena naik-turun
tangga daritadi.
“Lewat sini, silakan!”
Pria itu menunjuk sebuah jalur tangga yang curam. Saking gelapnya, kami tak
bisa melihat apa-apa.
Kami saling mendekap
dan bergandengan tangan sambil menuruni tangga. Namun tiba-tiba saja senter
Ryan mati. “Sial, kenapa harus di saat-saat seperti ini, sih? Hati-hati!”
komando Ryan.
Kami menuruni anak
tangga dikelilingi kegelapan pekat. Keringat dingin kami bercucuran saking
takutnya hingga…
“Arrrrgghhh!!!” Ryan
memekik-mekik.
“Ryan! Apa yang terjadi
padamu?!” pekikku cemas. Aku baru tahu jawabannya begitu kakiku tiba-tiba saja
tak memijaki anak tangga yang selanjutnya dan jatuh berguling-guling ke bawah.
Begitu pun dengan yang lainnya menyusul. Kami terus jatuh berguling-guling,
entah berapa lama – yang jelasnya lebih lama, padahal seharusnya kami kan sudah
tiba di lantai dasar!
***
“Agnes! Bangun!”
Kumengerjap-ngerjapkan
mataku begitu Ryan membangunkanku. Kuterduduk sambil memegangi kepalaku yang
masih pusing. Namun mataku segera melebar begitu melihat pemandangan semula – yang
terang, sebelumku menaiki Barro Porro-13 untuk pertama kalinya.
“Hei! Kita benar-benar
sudah kembali, kan?!” sahutku riang. “Ayo kita pulang saja!”
“Agnes, tunggu!” Ryan mencegatku.
“Kita sudah melintasi Barro Porro-13 sebanyak 13 kali dan –“
“Memangnya kenapa kalau
sudah 13 kali?” tanyaku riang. “Yang penting kan kita sudah kembali.”
“Masalahnya, itu artinya…”
Aku baru tersadar apa maksudnya
begitu beberapa siswa melangkah dengan santainya … menembus tubuhku!
ARIESKA ARIEF
tercatat sebagai murid satu-satunya di kelas MENULIS BUKTI HIDUPKU (level 28)
dengan roster harian: midnight (lomba menulis), fajar (mimpi), pagi (media
massa), siang (kumcer), sore (novel), petang (freelancer) dan malam (kisah nyata / non fiksi). (^0^)7
PIN BB RAMADHAN (buku
jomblo perdanaku) dan ke-43 antologi keroyokanku buktinya! b^0^d