THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Jumat, 18 September 2020

REFF - 7

 


Beberapa hari kemudian, Kid pun dilepaskan karena terbukti tidak bersalah—ditambah dengan kesaksian saudari tirinya itu. Sekarang Kid tinggal di panti asuhan tempat Vio tinggal. Meskipun masih sedih karena sudah kehilangan ayah, Kid senang karena panti asuhan itu mau menerimanya dengan baik.

Siang itu, ia tengah mengecat pagar rumah samping bersama dengan anak laki-laki lainnya. Sambil mengecat, ia lantas teringat terakhir kalinya ia bertemu dengan Sara—kakak tirinya itu. Agar ia mau bersaksi, Kid terpaksa menerima persyaratan dari gadis itu meskipun sangat berat.

Ia pun teringat syarat itu,“Kau tak boleh lagi bertemu dengan ibuku!” Penegasan gadis itu kembali bergaung di benaknya.

Persyaratan yang sangat kejam! Tapi demi masa depannya, ia dengan berat hati harus menuruti persyaratan itu. Tapi sekarang, ia malah menyesali keputusannya itu.

Padahal sekarang, aku sudah tak punya siapa-siapa lagi—harus kehilangan ibu pula. Ini benar-benar tak adil! Tapi apa beliau tak mencari-cari aku, ya? Apa dia tahu nasibku kemarin dulu? Beliau kan tak tahu aku tinggal di sini. Aku ingin sekali berjumpa kembali dengannya! Hanya dia satu-satunya orang berharga yang kumiliki sekarang! Tak ada yang lain lagi. Gadis itu tak berhak mengintimidasiku!” batinnya bergejolak dengan raut wajah sendu dan tertekan. “Aku akan mencari rumah Ibu dan menemuinya lagi!” serunya girang. Ia sangat merindukan wanita itu.

“Kid! Kiiiid!” tiba-tiba saja, suara pekikan Vio menyentakkan pikirannya. Ia tampak panik dan berlari-lari ke arahnya.

Kid langsung berdiri menyambutnya dengan wajah tegang. Vio tiba di hadapannya dengan napas tersengal.

“Gawat, Kid! Gawat!” serunya panik.

“Ada apa lagi?” tanya Kid bergetar ketakutan. Ia jadi tampak cemas.

Vio menelan ludah sambil mengatur napasnya. “Ada … ada massa di depan rumah mencari-carimu!”

Kid terperangah. Wajahnya pucat pasi sementara keringat dingin mengalir di pelipisnya. Teman-teman lainnya pun menghentikan pekerjaan mereka dan Kid menjadi pusat perhatian yang lain.

“Mereka … mereka menyuruhmu keluar, Kid! Entah apa yang mereka inginkan. Tapi yang jelasnya, mereka berang karena masih menganggapmu sebagai pembunuh!” seru Vio susah-payah. “Tapi kami tetap berusaha menyembunyikanmu. Sekarang kamu harus pergi diam-diam dari sini dan bersembunyi dari mereka!”

“Aku harus menemui mereka,” kata Kid tanpa ragu-ragu sehingga membuat Vio tertegun. Ia langsung melewati Vio, namun gadis perhatian itu langsung mencekal lengannya.

“Ja-jangan, Kid! Mereka banyak sekali! Mereka bisa saja melukaimu tanpa ampun! Berbahaya!”

“Iya! Aku tahu,” kata Kid tenang. “Tapi aku harus menjelaskannya pada mereka kalau aku benar-benar tidak bersalah. Kamu tenang saja di sini. Aku pasti akan baik-baik saja!” Kid meyakinkan Vio sambil tersenyum lembut dan melepaskan tangannya.

“Ta-tapi, Kid! Kid!” Vio berusaha mencegahnya lagi, namun Kid langsung meninggalkannya dan melangkah mantap menuju teras dengan wajah serius.

“Kiiiiiiiidddd!!!”

***

Akhirnya malam itu, kesampaian juga tekad Kid untuk ke rumah ibunya. Malam itu, petir yang menggelegar menciptakan hujan lebat. Ia sedang berdiri tegak tepat di depan sebuah rumah mewah besar bertingkat tiga dengan sebuah halaman yang lebih luas daripada flat-nya, tanpa memedulikan dinginnya hujan yang mengepunginya.

Tiba-tiba saja, sebuah mobil sedan mewah menuju rumah itu. Ketika akan memasuki halaman rumah, mobil itu terhenti dan menglakson Kid yang menghalangi pintu. Pip!

Tapi Kid yang membelakanginya bergeming dan sorot matanya tetap tertuju ke rumah itu.

Seorang gadis berpayung hitam segera keluar dari kemudi mobil dan melangkah gusar ke arahnya. “Ngapain lagi kamu ke sini?! Bukankah kita sudah sepakat untuk—”

“Iya! Aku mengerti,” Kid langsung memotongnya. Kali ini, ia menunduk tanpa mau melihat wajah Sara. “Tapi, kumohonkan kali ini saja aku bisa bertemu dengannya—”

“Nggak bisa! Pokoknya kita sudah sepakat! Minggir!” pekik gadis itu judes.

Kid malah berlutut di hadapannya, tanpa mau memandang wajah geram gadis itu. “Aku mohon … aku mohon, Kak! Untuk yang terakhir kalinya izinkan. Tolong izinkan aku!”

Sara terdiam, hanya terdengar suara dengus napas geramnya.

“Aku ngerti kalau aku sudah melanggar kesepakatan kita. Aku berterima kasih karena kau mau menolongku. Tapi tolonglah! Setidaknya untuk malam ini saja, kauperkenankan aku untuk melihatnya.”

“Kenapa aku harus mendengarkanmu?” Sara bersikeras menolaknya tanpa rasa iba sedikit pun.

“Karena … karena aku akan segera meninggalkan kota ini untuk selama-lamanya,” jawab Kid sambil berlinangan air mata, tapi tak terlihat karena bercampur air hujan.

Kali ini Sara membisu.

“Hanya dengan melihat wajahnya juga nggak apa-apa, kok,” kata Kid miris. Suaranya semakin sengau, tapi ia tetap berusaha menegarkan suaranya. “Sekarang tinggal Ibu yang aku punya. Selama ini, Ayah tak pernah memperlakukanku dengan baik. Baru kali ini—setelah bertahun-tahun lamanya—aku baru bisa merasakan kehangatan kasih sayang seorang ibu. Mungkin aku memang sudah mengkhianati perjanjian itu, tapi … salahkah kalau malam ini aku …  aku—”

“Oke! Oke!” pekik Sara mengabulkan.

Kid mendongakinya dengan mata yang berbinar-binar.

“Tapi hanya untuk malam ini saja kau kuizinkan untuk masuk. Lain kali … lain kali, kupastikan tak akan ada ampun untukmu!” ancamnya jutek.

Perkataan itu memang membuat perasaan Kid perih. Tapi setidaknya untuk malam itu, ia bisa bernapas lega karena sudah diizinkan untuk bertemu sang ibu.

***

Mereka pun memasuki rumah mewah itu. Kid yang basah kuyup melayangkan pandangannya ke pelosok rumah. Ia tampak terkagum-kagum melihat isi rumah yang menakjubkan itu—benar-benar besar, tinggi, mewah, dan dipenuhi perabotan-perabotan mewah pula.

“Besar sekali rumah ini!” pujinya. “Tapi kenapa sepi sekali?”

“Ayahku sedang bisnis keluar kota. Kakakku kuliah di luar negeri, sedangkan adikku sekolah di ibu kota,” jawab Sara singkat.

“Kalau Ibu? Apa ibuku ada di rumah?” tanya Kid antusias.

Sara terdiam sejenak. “Tunggulah beberapa saat lagi,” hanya itu yang bisa dikatakannya kemudian ia pun mengempaskan tubuhnya ke sofa yang empuk. Ia menatap Kid yang masih berdiri kikuk dengan angkuh. “Kenapa? Duduklah!” ajaknya.

Malu-malu, Kid melangkah ke sofa. Ia membelai sofa yang berbahan lembut itu. “Nggak usah. Aku berdiri saja,” katanya sambil tersenyum ramah. “Sepertinya ini sofa mahal. Aku takut merusaknya,” katanya salah tingkah.

Sara tersenyum kecut. “Sudah, deh! Sebaiknya kamu ceritakan saja apa yang membuatmu berubah pikiran sambil menanti ibu kita pulang.”

Senyum Kid redup. Matanya kembali sendu. Ia kembali teringat kejadian siang tadi…

***


 hay, readers! nih novel misteri terbaru karya THIRTEEN, cek ya di aplikasi dan web STORIAL. kalo belum punya aplikasinya, silakan didonlod dulu dan search judulnya HELLICIOUS, sedangkan kalau mau baca di webnya silakan langsung klik gambar di atas menuju linknya. oke? :=(D

0 komentar: