THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Senin, 14 September 2020

THE EYEPATCH - 5

 


Di hari ketiganya di rumah sakit itu, untuk pertama kalinya Shue membuka kedua belah matanya secara perlahan. Sinar mentari pagi langsung menyambut penglihatannya. Dipandanginya sekelilingnya dan melihat suasana di dalam sebuah kamar berwarna serba putih. Ia juga melirik tubuhnya yang berpakaian pasien. Ia pun tersadar sudah tak sadarkan diri selama beberapa hari dan memimpikan kejadian mengerikan itu.

Ia mencoba untuk membangunkan tubuhnya, namun rasa nyeri di lengan dan bahunya memaksanya untuk kembali berbaring. Dicobanya untuk menggerakkan tangannya. Kedua tanganya terluka parah, tapi ia masih bisa menggerakkan tangan kanannya dengan luka di bahu itu dengan baik.

Tiba-tiba saja pandangannya terpaku pada sesuatu di sampingnya. Tapi yang membuatnya terpaku adalah kehadiran seorang gadis yang tengah merebahkan kepalanya di sisi ranjangnya. Gadis itu tak lain adalah Anya—gadis yang dikenalinya pernah menjadi sukarelawan dalam pertunjukannya. Anya sedang tertidur pulas karena kelelahan.

 “Gadis ini kan…” Shue lalu mengarahkan tangannya untuk menyentuh kepala suster itu.

Tapi belum sampai tangannya hinggap ke kepala Anya, gadis itu segera membuka matanya dan mengangkat kepalanya secara perlahan. Shue segera menurunkan kembali tangannya sebelum ia sempat melihatnya.

“Shue, kau sudah sadar?” pekik Anya riang. “Alhamdulillah! Aku akan segera memberitahukannya pada dokter,” ujarnya seraya beranjak dari duduknya.

Secara refleks, Shue langsung mencekal lengannya hingga membuat Anya tersipu. Ia terdiam membiarkan tangannya berada di cekalan pemuda itu beberapa saat.

“Ma-makasih ya, Suster. Kamu pasti kelelahan menjagaiku saat pingsan,” ucap Shue dengan nada rendah.

Wajah Anya jadi merah, apalagi begitu mendengar suara berat itu. Ia lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nggak. Kamu nggak usah berterima kasih. Kan sudah seharusnya aku menjagai kamu di sini. Lagipula pekerjaanku juga tak banyak di sini, jadi aku bisa menawarkan diri menjagamu. Kamu kan tak ada yang menjaga.”

“Terima kasih juga karena kau bersedia jadi sukarelawanku tempo hari. Aku tak sempat mengucapkannya waktu itu karena keletihan. Kau kan gadis yang selalu menjadi sukarelawanku di pertunjukan memanahku? Aku sama sekali tak menyangka bahwa kau seorang suster.”

Anya mengangguk malu. “I-iya. Tak apa. Mulai sekarang, aku yang akan menjagamu selama proses penyembuhan,” katanya. “Panggil saja aku Anya.”

Bibir Shue yang masih pucat, tersenyum lemah. “Oke, Anya. Tapi setidaknya, biarkan aku menengok ketuaku terlebih dahulu. Aku ingin mengetahui keadaannya. Berkat dialah aku selamat,” pintanya.

Anya terdiam, raut wajahnya berubah tergagap.

“Ada apa? Ketuaku dirawat di sini juga, kan? Bagaimana keadaannya? Apa aku boleh menjenguknya?”

Anya masih membisu. Ia terlihat cemas.

“Anya? Anya?” tegur Shue lagi. “Apa yang terjadi padanya, Anya? Apa terjadi sesuatu padanya?” Perasaan Shue mulai tak enak.

Akhirnya Anya memberanikan diri menatap Shue. “Pak Lukman … Pak Lukman sudah…”

***

Beberapa saat kemudian, Anya datang kembali membawakan sarapan pagi. Ditatapnya Shue yang setengah berbaring di ranjangnya dengan wajah kaku. Entah apa yang dipikirkannya.

“Shue, kamu sarapan dulu ya.”

Shue tak merespon dan pandangannya tetap lurus.

“Shue,” panggil Anya lagi sambil menepuk bahunya.

“Aku tidak mau makan,” sahut Shue dingin.

Anya menatap Shue sedih. “Kau jangan seperti itu. Kamu kan baru sembuh.”

Ekspresi wajah Shue berubah. “Aku tak mau makan! Dan aku tak mau hidup lagi! Aku tak berhak mendapatkan napas ini lagi setelah apa yang kulakukan pada Ketua!” pekiknya emosi sambil mencabut selang infusnya.

“Shue!” Anya menegurnya cemas. “Apa yang kamu lakukan?!”

“Ini semua gara-gara aku! Seharusnya akulah yang mati pada waktu itu, tapi Ketua datang menyelamatkan aku! Aku tak berhak mendapatkan kehidupan ini!” raungnya.

“Shue, sadarlah! Itu semua sudah kehendak Allah. Kau harus sabar. Lagipula, Pak Lukman menyelamatkanmu agar kau bisa bertahan hidup hingga saat ini. Kenapa kau harus menyia-nyiakan kebaikannya?”

Shue terdiam, tampak berpikir.

“Kalau kamu seperti ini terus, arwah beliau takkan tenang. Apa kamu mau membuatnya susah lagi? Apa kau mau menyia-nyiakan pengorbanannya untukmu? Kalau kau begini terus juga takkan mengembalikan beliau ke dunia.”

Shue meneteskan air mata. Tak ada lagi sinar mata tajam di sana. “Tapi … tapi aku sudah membuat Ketua sampai seperti ini … tak seharusnya Ketua yang menanggungnya. Aku harus bagaimana?”

“Kau jangan sedih. Pak Lukman pasti melakukannya dengan kerelaan. Dia pasti senang melakukannya, agar kau bisa hidup lebih lama lagi. Dia pasti sangat mencintaimu. Lebih baik sekarang kaudoakan beliau agar mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya. Itu yang paling dibutuhkannya darimu daripada kau terus menyesali diri seperti ini.”

Air mata Shue semakin mengucur deras. Akhirnya ia menangis sejadi-jadinya sambil menundukkan wajahnya. Ia memang masih sulit menerima kenyataan pahit itu. Lagi-lagi ia harus kehilangan orang yang dicintainya. Tapi mendengar kata-kata Anya barusan, ia sadar kalau menyesali dirinya secara terus-menerus takkan membuat Pak Lukman dihidupkan kembali. Semuanya telah terjadi dan ia harus tetap melanjutkan hidupnya.

***


 halo readers, THIRTEEN mau suguhin karya novel berbentuk kumcer ini alias novel setengah kumcer, terdapat berbagai kisah gore di sini dan unik serta menegangkan, tak percaya? buka saja linknya langsung dengan klik gambar di atas atau bisa buka langsung di aplikasi STORIAL dengan search judul RITUAL 100 KISAH HOROR. salah satu ceritanya adalah Red Breakfast, ngeri banget bukan hanya dari judulnya? :=(D

0 komentar: