THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Senin, 27 Juli 2020

Eksperimen Kompetisi


Kami harus melewati perjalanan yang cukup jauh dalam persaingan ini. Entah sudah berapa lama aku dan kawan-kawanku berjalan kaki. Terasa panjang dan pegal juga ya, melelahkan! Perjalanan ini panjang juga. Tapi di situlah tantangan kami diuji.

Sudah banyak yang menyerah sih saking panjangnya perjalanan ini dan kulihat teman-temanku yang lain tampak sempoyongan dan mulai tak bertenaga lagi. Mereka tampak sudah tak berstamina lagi. Tak ada gairah lagi setelah melalui perjalanan panjang ini.

Hm, jadi tak seru juga sih melihat yang lainnya jadi tak bersemangat lagi seperti ini. Kelesuan mereka yang sudah setengah mati itu membuatku jadi tak bergairah juga. Namun apakah harus terus-terusan begini?

Akhirnya aku berinisiatif juga setelah melihat kondisi mental mereka sekarang. Hari kan masih terang dan masih belum gelap. Aku bisa melanjutkan perjalanan berat ini dan tiba di garis akhir kalau mereka tak berminat untuk bersaing lagi. Hehe, inilah saatnya!

Aku bisa memanfaatkan situasi ini untuk menang. Ya, lebih baik begini, bukan? Mending aku tancap saja. Bukankah itu bagus? Aku bisa menang! Siapa sih yang tak mau menang?

Maka segera kukumpulkan tenagaku untuk mempercepat jalanku. Selain dimotivasi oleh tak bergairahnya mereka, aku juga malah menganggap akhir perjalanan ini adalah surga. Ya, anggap saja kami sedang mendaki ke surga! Siapa sih yang tak mau masuk surga? Aku terus beranggapan begitu agar termotivasi lebih. Anggap saja lagi ke surga!

Mereka masih tampak loyo begitu, kupercepat langkahku. Aku tak betah berlama-lama lagi bersama mereka. Aku harus cekatan dan tancap gas ke sana. Kan sama saja garis akhirnya itu surga. Bukankah itu akhir perjalanan kami yang melelahkan?

Aku terus mengiangkan surga itu di kepalaku. Itu adalah surga! Pasti akan lebih bersemangat lagi kan jalannya? Benar saja, langkahku jadi semakin cepat begitu memikirkannya berulang kali. Semangat!

Sebenarnya sih langkahku melambat begini bukannya karena kelelahan juga, sih. Iya sih, aku memang lelah, tapi aku masih bersemangat. Hanya saja, aku masih berada di belakang mereka karena dasar kesetiakawanan! Kan malu juga rasanya kalau jauh di depan. Ya, meski ini persaingan, tapi kalau mendekati garis finish kan baru bisa berlomba kecepatan. Tak ada salahnya, kan? Lagian bagaimana kalau ada yang dalam bahaya kalau kami berjauhan? Itulah yang kupikirkan. Kami kan juga harus saling tolong-menolong meski dalam kompetisi sekali pun.

Tapi sekarang ini aku berubah pikiran! Habis, kayaknya tak ada lagi yang mau menang, sih. Kan sayang kalau kesempatan itu disia-siakan. Daripada tak ada yang mau menang, lebih baik aku saja sendiri yang menggunakan kesempatan berharga itu. Iya, nggak?

Perjalanan ini memang berat! Entah ini sudah langkahku yang ke berapa. Aku terus menghitungnya. Hm, sekitar langkah 60.000-an kali? Bukankah 100 ribu langkah adalah titik akhirnya? Wah, rasanya sudah tak sabar lagi untuk tiba di sana. Tinggal sedikit lagi, kan? Ayo semangat! Itu pula yang menyemangatiku. Mungkin hanya aku sendiri yang menghitung langkahku ini.

Dari situ aku tahu kalau jaraknya sudah dekat. Makanya aku jadi semangat begini, deh! Jauh juga, ya? Aku jadi tak sabaran lagi nih melangkahnya. Aku semakin cepat ke depan seperti orang yang tengah terburu-buru. Entah apa yang akan terjadi padaku nanti.

Kulintasi jalan yang becek. Aku melangkah cepat, namun hati-hati karena jalannya licin. Tapi untung saja sepatuku cukup berkualitas untuk melaluinya hingga aku bisa menjaga keseimbanganku sendiri.

Kulewati Ardi—sahabatku. Ia melangkah cukup kepayahan sekarang. Daritadi aku terus berjalan bersamanya. Tapi sayangnya, kami harus berpisah sekarang. Aku tak mau lamban lagi dan ingin menjadi yang terdepan. Ambisi itu datang begitu saja karena keloyoan mereka tadinya. Padahal tadinya sih, aku tak begitu kepikiran ingin menang. Aku hanya ingin merakit kebersamaan dengan yang lainnya berlama-lama seperti ini, hehe.

Aku terpaksa meninggalkan kawananku dengan lincahnya. Entah darimana datangnya energi ini. Aku masih punya cukup stamina untuk itu. Bukannya tak setia kawan lagi, sih. Hanya saja sayang rasanya kalau kesempatan emas untuk menang ini tak dimanfaatkan semaksimal mungkin. Ini adalah kesempatanku!

Sayang kan kalau tak ada yang menang?! Aku bisa kuat karena menyadari jaraknya tinggal sedikit lagi. Aku pun terus menghitung, tanpa memedulikan pandangan Ardi. Aku sudah tak peduli lagi, aku ingin menang saja karena bosan kalau terus kepayahan bersama mereka. Perjalanan ini jadi tak ada artinya tanpa perjuangan. Apakah secara tak sadar aku juga berniat untuk membangkitkan semangat mereka?

Aku terus melangkah dan menghitung langkahku. Aku melangkah sendirian di sebuah gang. Sedikit lagi! Sedikit lagi sampai! Sudah mendekati seratus ribu dan aku tahu betul harus ke arah mana.

Aku sampai sedikit lagi! Namun tiba-tiba saja aku dihadapkan oleh sebuah pintu yang tertutup rapat. Eh, bagaimana ini? Bagaimana aku bisa lewat? Aku pun terhenti sejenak. Kenapa ada penghalang setelah sedikit lagi bisa sampai? Kupandangi pintu kayu itu. Sepertinya kami harus melewati rumah di ujung gang ini. Kuberusaha membuka pintunya, tapi berat sekali!

“Kay! Kamu di mana?”

Tiba-tiba saja terdengar suara salah seorang kawanku. Eh? Ada yang menyusul? Ada yang tak mau kalah dan terbangkitkan semangatnya melihatku secepat ini? Tapi sejak kapan dan siapa? Ia pasti diam-diam ingin bersaing denganku, makanya ia berusaha agar aku tak menyadari kehadirannya. Hm, seru juga, nih! Syukurlah kalau begitu. Ternyata ada gunanya juga aku memancing semangat yang lainnya.

“Aku di sini! Di sini!” akhirnya kuberteriak juga karena takut kalau temanku itu semakin nyasar karena gang yang berliku ala labirin ini.

Kumembalikkan badan dan melihat seniorku—Siva—menyusul. Duh, rupanya ia! Boleh juga ia bisa sampai menyusulku kemari. Tapi ia itu kan baik banget padaku. Apa aku tega menyainginya? Kok rasanya jadi tak enak begini, ya? Aku jadi dilema!

Akhirnya kami sepakat untuk membuka pintu berat itu bersama-sama. Ngh! Dua gadis pemberani ini akhirnya berhasil membuka pintu itu. Fiuh! Udara apek merebak dari kegelapan. Mungkin rumah ini semacam pos yang disediakan sebagai tempat peristirahatan sebelum mencapai garis akhir. Kami memasuki rumah tak berpenghuni itu kemudian menghampiri sebuah tong air besar. Kami harus menggunakan fasilitas di rumah ini sebelum melanjutkan perjalanan.

Untuk melepas lelah sementara, kami pun bergantian meraup air di tong itu dengan timba dan meminumnya. Untuk sementara ini, kami memang tengah bekerja sama. Terus nantinya itu bagaimana, ya? Apa aku mengalah saja ya demi ia? Soalnya ia sudah banyak membantuku dalam pelajaran, sih. Ia sahabat setiaku sekaligus seniorku. Siapa saja yang menang kan tak masalah sih sebenarnya. Yang menang sudah mewakili kami semua. Tapi tentu saja dapat penghargaan lebih daripada yang lain.

Apakah ia berpikiran sama dan sungkan untuk memikirkan kemenangan lagi? Kami sih sama-sama menyembunyikan pikiran ini dan bersikap biasa saja. Kami minum-minum di sana sampai puas, sampai rasa haus kami karena perjalanan melelahkan itu hilang.

Aku jadi berpikir apakah ia juga jadi sungkan untuk menang karena aku sudah membantunya kemari? Aku sudah mengarahkannya memang. Duh, kok jadi membingungkan begini, ya? Kira-kira nantinya siapa yang akan menang? Aku sih tak masalah kalau harus menyerahkan kemenangan ini padanya. Tapi bagaimana kami harus bersaing kalau begini?

Di kepalaku sih, biar dia sajalah yang juara 1-nya. Tapi apakah ia juga berpikiran sama denganku? Wah sulit juga, ya?

“Makasih ya, Kayla,” ucapnya. Duh!

Aku berlagak mengabaikannya dan merangkak karena kakiku sudah kepayahan daritadi jalan kaki sangat jauh. Aku tiba di ruang makan dan melihat ada banyak krakers di sana. Wah, sepertinya ada yang sengaja menyiapkan makan dan minum di tepian finish ini untuk rehat sejenak. Ya, aku sih memang sudah lapar sejak tadi.

Aku pun dengan rakusnya memakan krakers abon itu. Aku lapar sekali! Di meja itu ada banyak rasa yang enak-enak. Wah! Asyiknya! Temanku juga ikut makan. Namun tiba-tiba saja ada anak kecil perempuan manis berponi mendekat. Segera saja kumendekatinya balik. Wah, manisnya anak ini! Ia mau saja kupangku.

“Anak manis, apa kau mau kue?” tawarku riang.

Kucandain pula poninya yang rata seperti poniku itu. Kuelus-elus rambutnya. Kucubit-cubit pipi tembemnya. Tapi ngomong-ngomong ini anak siapa? Apakah pemilik rumah ini? Tapi setelah kutanya-tanya, ia malah tak mau menjawab apa-apa. Apa ia bisu atau saking pemalunya?

Anak misterius itu kemudian melangkah menuju tempat yang terang. Kumengikutinya dan melihat ia berbaur kembali bersama orang-orang di ruang tamu sana. Hm, padahal aku masih ingin bermain dengannya. Rupanya ia anak salah seorang dari mereka.

Kami tak segera menampakkan diri. Siapa mereka? Mereka semua ada di ruang tamu itu dan tampak bosan. Mereka berpakaian kelas atas. Kok kami sampai tak menyadari keberadaan mereka di sini, ya? Mungkin karena saking lahapnya makan-makan tadi.

“Huh, sepertinya tak bakal ada yang mau datang, ya?” keluh salah seorang wanita setengah baya.

“Ya, sudah lama kita menunggu di sini. Kenapa, ya?” timpal rekannya. “Seharusnya sih kita bisa mendapatkan juaranya sekarang.”

Eh? Jadi mereka panitia perlombaan ini? Panitia lombanya memang dirahasiakan sih, jadi masih misterius. Tapi karena merasa ada yang aneh, aku tak kunjung keluar juga, begitu pun dengan temanku ini. Kami tetap bersembunyi di balik tembok sambil terus menguping. Sepertinya rumah inilah garis finish-nya!

“Kalau begini, sia-sia sudahlah kita membuat acara ini. Mungkin sebaiknya kita pergi saja!”

“Hum, mungkin ada banyak yang mati dimakan binatang buas atau jatuh di hutan sana. Mungkin mereka mati semua.”

“Huft, padahal kita membutuhkan pemenang yang terkuat dan terlincah sebagai bahan eksperimen kita. Rugi sudah kita buang-buang uang untuk melakukan penyeleksian tolol seperti ini. Huft!”

“Ya, kita semua mengujicobakan mereka dengan jalan jauh seperti ini karena sesuai dengan syarat uji fisik untuk bahan eksperimen kita.”

Eksperimen apa?! Perasaanku jadi tak enak!

Aku dan temanku langsung menukar pandang dengan wajah tegang. Untung saja aku berinisiatif untuk menguping dulu sebelum menyerahkan diri. Untung saja aku belum menang betulan!

Mereka pun segera pergi dan menutup pintunya kembali. Untuk sementara ini kami aman. Tapi apa yang akan mereka lakukan pada kami? Eksperimen apa yang akan mereka lakukan pada pemenangnya?

***

https://mangatoon.mobi/id/detail/333845/episodes

hy, readers! yuk mampir ke novel horor karya THIRTEEN yang satu ini, dijamin temanya belum pernah ada di novel horor sebelumnya, jadi bikin penasaran kan? yaitu tentang ketindihan! yang pernah mengalami alangkah baiknya baca novel ini, dijamin unik. yuk klik linknya dengan ngeklik gambar kover di atas ini menuju MANGATOON, tapi lebih bagusnya lagi kalau buka di aplikasi NOVELTOON. makasi readers :=(D

0 komentar: