Kami harus melewati
perjalanan yang cukup jauh dalam persaingan ini. Entah sudah berapa lama aku
dan kawan-kawanku berjalan kaki. Terasa panjang dan pegal juga ya, melelahkan!
Perjalanan ini panjang juga. Tapi di situlah tantangan kami diuji.
Sudah banyak yang
menyerah sih saking panjangnya perjalanan ini dan kulihat teman-temanku yang
lain tampak sempoyongan dan mulai tak bertenaga lagi. Mereka tampak sudah tak
berstamina lagi. Tak ada gairah lagi setelah melalui perjalanan panjang ini.
Hm, jadi tak seru juga
sih melihat yang lainnya jadi tak bersemangat lagi seperti ini. Kelesuan mereka
yang sudah setengah mati itu membuatku jadi tak bergairah juga. Namun apakah
harus terus-terusan begini?
Akhirnya aku
berinisiatif juga setelah melihat kondisi mental mereka sekarang. Hari kan
masih terang dan masih belum gelap. Aku bisa melanjutkan perjalanan berat ini
dan tiba di garis akhir kalau mereka tak berminat untuk bersaing lagi. Hehe,
inilah saatnya!
Aku bisa memanfaatkan
situasi ini untuk menang. Ya, lebih baik begini, bukan? Mending aku tancap
saja. Bukankah itu bagus? Aku bisa menang! Siapa sih yang tak mau menang?
Maka segera kukumpulkan
tenagaku untuk mempercepat jalanku. Selain dimotivasi oleh tak bergairahnya
mereka, aku juga malah menganggap akhir perjalanan ini adalah surga. Ya, anggap
saja kami sedang mendaki ke surga! Siapa sih yang tak mau masuk surga? Aku
terus beranggapan begitu agar termotivasi lebih. Anggap saja lagi ke surga!
Mereka masih tampak
loyo begitu, kupercepat langkahku. Aku tak betah berlama-lama lagi bersama mereka.
Aku harus cekatan dan tancap gas ke sana. Kan sama saja garis akhirnya itu
surga. Bukankah itu akhir perjalanan kami yang melelahkan?
Aku terus mengiangkan
surga itu di kepalaku. Itu adalah surga! Pasti akan lebih bersemangat lagi kan
jalannya? Benar saja, langkahku jadi semakin cepat begitu memikirkannya
berulang kali. Semangat!
Sebenarnya sih
langkahku melambat begini bukannya karena kelelahan juga, sih. Iya sih, aku
memang lelah, tapi aku masih bersemangat. Hanya saja, aku masih berada di
belakang mereka karena dasar kesetiakawanan! Kan malu juga rasanya kalau jauh
di depan. Ya, meski ini persaingan, tapi kalau mendekati garis finish kan baru bisa berlomba kecepatan.
Tak ada salahnya, kan? Lagian bagaimana kalau ada yang dalam bahaya kalau kami
berjauhan? Itulah yang kupikirkan. Kami kan juga harus saling tolong-menolong
meski dalam kompetisi sekali pun.
Tapi sekarang ini aku
berubah pikiran! Habis, kayaknya tak ada lagi yang mau menang, sih. Kan sayang
kalau kesempatan itu disia-siakan. Daripada tak ada yang mau menang, lebih baik
aku saja sendiri yang menggunakan kesempatan berharga itu. Iya, nggak?
Perjalanan ini memang
berat! Entah ini sudah langkahku yang ke berapa. Aku terus menghitungnya. Hm,
sekitar langkah 60.000-an kali? Bukankah 100 ribu langkah adalah titik
akhirnya? Wah, rasanya sudah tak sabar lagi untuk tiba di sana. Tinggal sedikit
lagi, kan? Ayo semangat! Itu pula yang menyemangatiku. Mungkin hanya aku
sendiri yang menghitung langkahku ini.
Dari situ aku tahu
kalau jaraknya sudah dekat. Makanya aku jadi semangat begini, deh! Jauh juga,
ya? Aku jadi tak sabaran lagi nih melangkahnya. Aku semakin cepat ke depan
seperti orang yang tengah terburu-buru. Entah apa yang akan terjadi padaku
nanti.
Kulintasi jalan yang
becek. Aku melangkah cepat, namun hati-hati karena jalannya licin. Tapi untung
saja sepatuku cukup berkualitas untuk melaluinya hingga aku bisa menjaga
keseimbanganku sendiri.
Kulewati
Ardi—sahabatku. Ia melangkah cukup kepayahan sekarang. Daritadi aku terus
berjalan bersamanya. Tapi sayangnya, kami harus berpisah sekarang. Aku tak mau
lamban lagi dan ingin menjadi yang terdepan. Ambisi itu datang begitu saja
karena keloyoan mereka tadinya. Padahal tadinya sih, aku tak begitu kepikiran
ingin menang. Aku hanya ingin merakit kebersamaan dengan yang lainnya
berlama-lama seperti ini, hehe.
Aku terpaksa
meninggalkan kawananku dengan lincahnya. Entah darimana datangnya energi ini. Aku
masih punya cukup stamina untuk itu. Bukannya tak setia kawan lagi, sih. Hanya
saja sayang rasanya kalau kesempatan emas untuk menang ini tak dimanfaatkan
semaksimal mungkin. Ini adalah kesempatanku!
Sayang kan kalau tak
ada yang menang?! Aku bisa kuat karena menyadari jaraknya tinggal sedikit lagi.
Aku pun terus menghitung, tanpa memedulikan pandangan Ardi. Aku sudah tak
peduli lagi, aku ingin menang saja karena bosan kalau terus kepayahan bersama
mereka. Perjalanan ini jadi tak ada artinya tanpa perjuangan. Apakah secara tak
sadar aku juga berniat untuk membangkitkan semangat mereka?
Aku terus melangkah dan
menghitung langkahku. Aku melangkah sendirian di sebuah gang. Sedikit lagi! Sedikit
lagi sampai! Sudah mendekati seratus ribu dan aku tahu betul harus ke arah
mana.
Aku sampai sedikit
lagi! Namun tiba-tiba saja aku dihadapkan oleh sebuah pintu yang tertutup
rapat. Eh, bagaimana ini? Bagaimana aku bisa lewat? Aku pun terhenti sejenak.
Kenapa ada penghalang setelah sedikit lagi bisa sampai? Kupandangi pintu kayu
itu. Sepertinya kami harus melewati rumah di ujung gang ini. Kuberusaha membuka
pintunya, tapi berat sekali!
“Kay! Kamu di mana?”
Tiba-tiba saja
terdengar suara salah seorang kawanku. Eh? Ada yang menyusul? Ada yang tak mau
kalah dan terbangkitkan semangatnya melihatku secepat ini? Tapi sejak kapan dan
siapa? Ia pasti diam-diam ingin bersaing denganku, makanya ia berusaha agar aku
tak menyadari kehadirannya. Hm, seru juga, nih! Syukurlah kalau begitu.
Ternyata ada gunanya juga aku memancing semangat yang lainnya.
“Aku di sini! Di sini!”
akhirnya kuberteriak juga karena takut kalau temanku itu semakin nyasar karena
gang yang berliku ala labirin ini.
Kumembalikkan badan dan
melihat seniorku—Siva—menyusul. Duh, rupanya ia! Boleh juga ia bisa sampai
menyusulku kemari. Tapi ia itu kan baik banget padaku. Apa aku tega menyainginya?
Kok rasanya jadi tak enak begini, ya? Aku jadi dilema!
Akhirnya kami sepakat
untuk membuka pintu berat itu bersama-sama. Ngh! Dua gadis pemberani ini
akhirnya berhasil membuka pintu itu. Fiuh! Udara apek merebak dari kegelapan. Mungkin
rumah ini semacam pos yang disediakan sebagai tempat peristirahatan sebelum
mencapai garis akhir. Kami memasuki rumah tak berpenghuni itu kemudian
menghampiri sebuah tong air besar. Kami harus menggunakan fasilitas di rumah
ini sebelum melanjutkan perjalanan.
Untuk melepas lelah
sementara, kami pun bergantian meraup air di tong itu dengan timba dan
meminumnya. Untuk sementara ini, kami memang tengah bekerja sama. Terus
nantinya itu bagaimana, ya? Apa aku mengalah saja ya demi ia? Soalnya ia sudah
banyak membantuku dalam pelajaran, sih. Ia sahabat setiaku sekaligus seniorku.
Siapa saja yang menang kan tak masalah sih sebenarnya. Yang menang sudah
mewakili kami semua. Tapi tentu saja dapat penghargaan lebih daripada yang
lain.
Apakah ia berpikiran
sama dan sungkan untuk memikirkan kemenangan lagi? Kami sih sama-sama
menyembunyikan pikiran ini dan bersikap biasa saja. Kami minum-minum di sana
sampai puas, sampai rasa haus kami karena perjalanan melelahkan itu hilang.
Aku jadi berpikir
apakah ia juga jadi sungkan untuk menang karena aku sudah membantunya kemari?
Aku sudah mengarahkannya memang. Duh, kok jadi membingungkan begini, ya?
Kira-kira nantinya siapa yang akan menang? Aku sih tak masalah kalau harus
menyerahkan kemenangan ini padanya. Tapi bagaimana kami harus bersaing kalau
begini?
Di kepalaku sih, biar
dia sajalah yang juara 1-nya. Tapi apakah ia juga berpikiran sama denganku? Wah
sulit juga, ya?
“Makasih ya, Kayla,”
ucapnya. Duh!
Aku berlagak
mengabaikannya dan merangkak karena kakiku sudah kepayahan daritadi jalan kaki
sangat jauh. Aku tiba di ruang makan dan melihat ada banyak krakers di sana.
Wah, sepertinya ada yang sengaja menyiapkan makan dan minum di tepian finish ini untuk rehat sejenak. Ya, aku
sih memang sudah lapar sejak tadi.
Aku pun dengan rakusnya
memakan krakers abon itu. Aku lapar sekali! Di meja itu ada banyak rasa yang
enak-enak. Wah! Asyiknya! Temanku juga ikut makan. Namun tiba-tiba saja ada
anak kecil perempuan manis berponi mendekat. Segera saja kumendekatinya balik.
Wah, manisnya anak ini! Ia mau saja kupangku.
“Anak manis, apa kau
mau kue?” tawarku riang.
Kucandain pula poninya
yang rata seperti poniku itu. Kuelus-elus rambutnya. Kucubit-cubit pipi
tembemnya. Tapi ngomong-ngomong ini anak siapa? Apakah pemilik rumah ini? Tapi
setelah kutanya-tanya, ia malah tak mau menjawab apa-apa. Apa ia bisu atau
saking pemalunya?
Anak misterius itu
kemudian melangkah menuju tempat yang terang. Kumengikutinya dan melihat ia
berbaur kembali bersama orang-orang di ruang tamu sana. Hm, padahal aku masih
ingin bermain dengannya. Rupanya ia anak salah seorang dari mereka.
Kami tak segera
menampakkan diri. Siapa mereka? Mereka semua ada di ruang tamu itu dan tampak
bosan. Mereka berpakaian kelas atas. Kok kami sampai tak menyadari keberadaan
mereka di sini, ya? Mungkin karena saking lahapnya makan-makan tadi.
“Huh, sepertinya tak
bakal ada yang mau datang, ya?” keluh salah seorang wanita setengah baya.
“Ya, sudah lama kita
menunggu di sini. Kenapa, ya?” timpal rekannya. “Seharusnya sih kita bisa
mendapatkan juaranya sekarang.”
Eh? Jadi mereka panitia
perlombaan ini? Panitia lombanya memang dirahasiakan sih, jadi masih misterius.
Tapi karena merasa ada yang aneh, aku tak kunjung keluar juga, begitu pun
dengan temanku ini. Kami tetap bersembunyi di balik tembok sambil terus
menguping. Sepertinya rumah inilah garis finish-nya!
“Kalau begini, sia-sia
sudahlah kita membuat acara ini. Mungkin sebaiknya kita pergi saja!”
“Hum, mungkin ada
banyak yang mati dimakan binatang buas atau jatuh di hutan sana. Mungkin mereka
mati semua.”
“Huft, padahal kita
membutuhkan pemenang yang terkuat dan terlincah sebagai bahan eksperimen kita.
Rugi sudah kita buang-buang uang untuk melakukan penyeleksian tolol seperti
ini. Huft!”
“Ya, kita semua
mengujicobakan mereka dengan jalan jauh seperti ini karena sesuai dengan syarat
uji fisik untuk bahan eksperimen kita.”
Eksperimen apa?!
Perasaanku jadi tak enak!
Aku dan temanku
langsung menukar pandang dengan wajah tegang. Untung saja aku berinisiatif
untuk menguping dulu sebelum menyerahkan diri. Untung saja aku belum menang
betulan!
Mereka pun segera pergi
dan menutup pintunya kembali. Untuk sementara ini kami aman. Tapi apa yang akan
mereka lakukan pada kami? Eksperimen apa yang akan mereka lakukan pada
pemenangnya?
***
hy, readers! yuk mampir ke novel horor karya THIRTEEN yang satu ini, dijamin temanya belum pernah ada di novel horor sebelumnya, jadi bikin penasaran kan? yaitu tentang ketindihan! yang pernah mengalami alangkah baiknya baca novel ini, dijamin unik. yuk klik linknya dengan ngeklik gambar kover di atas ini menuju MANGATOON, tapi lebih bagusnya lagi kalau buka di aplikasi NOVELTOON. makasi readers :=(D
0 komentar:
Posting Komentar