THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Minggu, 13 November 2011

Atas nama sedekah



Wanita paruh baya berbadan bugar itu memperhatikan sosoknya di depan cermin. “Ini sudah meyakinkah tidak, ya?” komentarnya seorang diri. Ia pun melihat penampilannya yang tak seperti sosoknya dalam kesehariannya itu.
Wajahnya terlihat kusam, padahal ia sedang tak sakit. Pakaiannya kumuh dan compang-camping, berbeda dengan tempat tinggalnya yang bersih. Ia memperbaiki letak kerudung kumalnya kemudian memasang wajah memelas.
Ia keluar dari rumahnya dan melewati rumah-rumah besar sambil berjalan sempoyongan kemudian mengiba-iba. “Minta sedekahnya, tuan,” katanya lemas sambil menengadahkan tangan.
Seorang pelayan yang berada di sekitar halaman rumah mewah tersebut langsung memasuki rumah tersebut dengan juteknya. Ia tak menghiraukan keberadaan pengemis jadi-jadian itu. “Huh, dasar pemalas. Kalo mau penghasilan ya kerja!” omelnya setibanya di dapur.
Seorang majikannya yang masih gadis bernama Wiwik kemudian menghampirinya. “Bi, ada apa? Siapa wanita di luar sana?” tanyanya.
“Ya, biasa neng. Peminta-minta. Mana badannya bugar lagi, malah jadi pengemis,” omelnya.
Wiwik memperhatikan wanita di luar sana dan membenarkannya. “Iya. Padahal bisa kerja, tapi kok malah jadi pengemis?”
“Dasarnya ajah pemalas. Setiap hari ia meminta-minta ke rumah ini. Tak tahu malu. Mau dapat uang tapi tak berusaha selain mengemis. Saya aja yang kerja di sini butuh waktu untuk gajian. Nah wanita itu? Tanpa harus kerja keras, tinggal mengiba-iba saja ia langsung mendapatkan uang dalam sekejap mata,” protesnya panjang lebar.
Wiwik merenung. Wajar saja jika pembantunya cemburu membandingkan kerja kerasnya dengan pengemis yang malas. “Iya yah. Alasannya tidak berdaya, tapi kalau dilihat baik-baik, wanita itukan masih bisa bekerja. Seharusnya dia tak boleh malas berusaha. Apa dia tak malu setiap hari datang untuk mengemis?”
“Sungguh keliru orang yang terpedaya tipu muslihat pengemis itu dengan memberikannya uang. Apalagi yang mengatasnamakannya sedekah. Masa bersedekah dengan orang malas? Padahal ia masih dapat berusaha,” keluhnya lagi.
Wiwik membenarkan. “Iya sekarang banyak orang yang berpura-pura tak berdaya dan sok cacat untuk menarik simpati kita memberi sedekah. Itu sih bukan sedekah namanya, tapi membuat orang-orang tak mau berusaha itu semakin malas. Mereka akan dimanja oleh penghasilan yang diperoleh dengan cara mudah dan cepat. Padahal mereka sudah menipu.”
“Sudah kuberi tahu berkali-kali bahwa di rumah ini tak meladeni pengemis. Untunglah sekarang pak RT sudah mengeluarkan aturan denda bagi yang meladeni pengemis di kawasan ini.” Pelayan itu lalu menghela nafas lega.  
Wiwik tersenyum. “Yah. Gimana bangsa ini mau maju jika semua orang bermental pengemis seperti itu, malas dan tak sadar diri jika dirinya masih bisa berusaha. Jika semua orang mau enaknya sendiri tanpa mau bekerja keras memberikan manfaat. Nama Negara ini memang sudah tercoreng dengan keberadaan pengemis. Untunglah pemerintah mau mengarahkan mereka untuk berusaha. Tak seharusnya orang yang masih sebugar wanita tadi, meskipun ia sudah agak tua menengadahkan tangan. Orang-orang yang patut kita kasihi kan mereka yang sudah tua renta dan tak mampu untuk bekerja. Mereka yang patut mendapatkan sedekah kita.”


“Bagaimana dengan anak-anak yang mengemis di lampu merah itu, neng?”
“Fenomena itu sudah redup sekarang karena sudah diketahui jika ada orang yang memaksa mereka mengemis. Kasihan sekali anak-anak yang dipaksa mengemis itu. Itu termasuk  dalam perlindungan anak dan orang yang memaksa mereka itu akan dihukum.”
“Hm, jadi serba salah juga ya. Mau diberi membuat anak-anak itu malas dan semakin tenggelam untuk selalu mengemis. Tapi kalau tak diberi pun mereka akan menerima amukan orang yang menyuruhnya. Iya kan?”
Wiwik tersenyum sambil mengangguk. “Masalahnya di sini bagaimana caranya memperbaiki mental mereka dengan memberikan pengarahan berupa motivasi. Mengemis tentunya tak bisa dibiarkan terus-menerus seperti ini. Meskipun hidup dalam kemiskinan, tapi jika mereka masih diberikan kemampuan untuk berusaha, mengapa tak menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya? Tapi aku salut dengan Pak Salim. Dia hidup apa adanya dan juga cacat. Kedua kakinya telah diamputasi, tapi ia masih memiliki semangat untuk berusaha sebagai penambal ban dan tak mau meminta uang begitu saja di jalan-jalan. Apa kisah Pak Salim itu tak memotivasi para pengemis yang anggota tubuhnya masih lengkap untuk meneladani semangatnya dalam bekerja?”
Bi Inem tersenyum. Ia lalu memandangi wanita pengemis di luar sana. Seorang wanita menghampiri wanita yang masih berada di depan pagar rumah.
“Eh, Bu Tuti, kan?” sapanya. Wanita yang bernama Bu Tuti itu terkejut. Wanita yang menyapanya pun terkejut. “Loh kok berpakaian seperti ini? Masa mau ke arisan dengan pakaian itu?”
Bu Tuti lalu lari terbirit-birit karena malu kedoknya terbuka. Bi Inem tersenyum-senyum. “Akhirnya pekerjaan ‘sampingan’ pengemis jadi-jadian itu ketahuan juga.”
V(^_^)V

0 komentar: