THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Jumat, 11 Maret 2016

TOKYO GHOUL - 12

kalo di episod lalu tu kaneki-nya kurang (hm yang rot a malah kurang banget kaneki-nya), di episod ini full kaneki hehe. jadinya akan lebih panjang lagi n mo kubagi 2 dulu ah! klik gambar di bawah ini menuju sumber yutubnya. hm di episod ini mengharu biru banget. bercampur iba pula, derita bertubi2 yang diakhiri dengan kemarahan yang meledak hingga kaneki jadi berubah 180 derajat!


https://www.youtube.com/watch?v=UQwIDZl5AIs&index=12&list=PLH7HPkIcGtYqPkA-aZzg9kXt6irbFKY7f



“Huaaaaaaaaaaaarrrrggghhh!” Tuk kesekian kalinya kumenjerit karena kaget.
Cring cring cring… tuk kesekian kalinya pula kuhentak-hentakkan borgol yang mengikat kedua lenganku di belakang kursi—berusaha membebaskan diri meski hasilnya akan menyakiti pergelangan tanganku sendiri. Kakiku yang juga terborgol rapi sudah tak bisa melangkah ke mana-mana lagi dan… eh kok lantainya lembut seperti bunga, ya? Juga… ng?
“Ukh? Ah?” Napasku terengah-engah karena pandanganku tersapu kegelapan. Kumerintih ketakutan bercampur isakan kepedihan. Aku tak bisa melihat apa-apa—di neraka ini! Aku sangat ketakutan siksaan itu akan terulang lagi. Apa lagi yang terjadi?! Aku dibutakan? Siksaan baru?
Namun kemudian sebuah tangan halus yang menyentuh lembut pipiku berhasil menenangkanku. Rintihanku hilang. Isakanku pergi entah ke mana. Semuanya lenyap seketika, begitu kurasakan sentuhan—
“Oka-san?” lirihku tenang. “Okasan…” hatiku menjadi damai menyebut kata itu—aku bisa merasakan betul sentuhan kasih sayangnya melalui tangan halusnya itu. Namun begitu penutup mataku dibuka… mataku melebar kecewa begitu melihat, “Rize-san?”
Gadis itu menyentuh pipiku dan berdiri tepat di depan kursi tempatku dibinasakan. “Hai, Kaneki? Lama nggak ketemu, ya? Sepertinya kamu lagi disiksa habis-habisan,” ujarnya santai dan tenang—seperti merasakan kesenangan psikopat itu juga. “Haha! Lucu sekali kau sampai jadi seperti ini. Menyedihkan!” Ia tersenyum sadis.
“Kenapa kamu ada di sini, Rize?” Kalau itu ibuku pasti takkan berkomentar seenaknya seperti itu.
“Eh, bos-mu datang lagi tuh!”
Kemudian tempat yang penuh bunga putih itu kembali berubah menjadi ladang neraka papan catur. Dia datang! Dengan tang besar di tangannya, ia memukul-mukulkan tang itu seolah siap mencabikku lagi. Kuterbelalak ngeri, kembali berusaha membebaskan borgol di tanganku. Ketegangan yang dahsyat kurasakan begitu ia melangkah meski perlahan—hatiku berdebar menyakitkan. Huhuhuhuuuks…
Deg deg deg…
“Arrrrrrrrrrrrrrrrrgggggggggggggghhhhhh!”
Treng treng treng… ia tampak puas akan hasilnya kali ini dan lebih bergairah lagi. Dimainkannya tang berlumuran darah itu dan kembali mengulangi hal yang sama hingga membuatku merasa tak sanggup lagi rasanya. Ditekan-diputuskan seperti menggunting kuku-berdarah-darah-beregenerasi-dipotong lagi… (pelampiasan stres psikopat!)
“Ayolah, Kaneki. Masih belum penuh, nih. Aku ingin mengisi penuh embernya.”
Crot crot crot. Bunga-bunga darah kembali mengotori lantai itu. Setelah permainannya berakhir, seperti biasa kumengisinya dengan tangisan ratapan—berharap siksaan pedih ini segera dihentikan. “Tolong… kumohon hentikan…”
“Hei, jangan berhenti menghitung. Dah sampai berapa tadi?” Ia menjambak rambutku—tak bosan-bosannya ia menyakitiku dari hal kecil sampai hal paling gila sekali pun.
Dengan suara lelah setengah mati kuterus mendengungkan hitungan membosankan itu. Kuberharap hitungan itu bisa membuatnya istirahat dan membiarkanku beristirahat pula. Aku baru sadar kenapa ia menyuruhku menghitung seperti itu—tak lain hanya agar pikiranku tetap terjaga kewarasannya. Sementara itu, ia terus memotong-motong dan jari-jariku terus beregenerasi. Semuanya dimaksudkan untuk ini.
Seribu dikurangi tujuh… regenerasi yang cepatnya bukan main ini membuatku sadar betul bahwa aku sekarang adalah monster!
“Kau mau tahu, Kaneki? Kenapa aku memperlakukanmu dengan… sangat istimewa?” terdengar nada liciknya sambil melangkah ke belakangku.
Cuih, istimewa?! Wtf!
“Kemampuan beregenerasimu sangat luar biasa dan cepat. Semuanya ini berkat eksperimen Kanto. Ia sengaja memasukkan organ ghoul ke dalam tubuh manusiamu itu. Ini semua sudah diaturnya, makanya terciptalah ghoul bermata satu, ghoul setengah manusia.”
Ia membuka topengnya yang berlumuran darah. Sekarang ia sudah ada di belakangku.
“Hello, kamu nggak nyadar ya kalo aku sedang membicarakanmu, Kaneki. Pikiranmu juga sangat tangguh. Buktinya sampai sekarang, akalmu masih sehat. Luar biasa!”
Jadi rupanya begitu? Karena itulah ia memilihku sebagai mainan favoritnya. Kutertunduk lesu—kembali menderaikan air mata kepedihanku. Membiarkan lelehannya mengotori lantainya juga menemani genangan darahku yang merembes liar di sana.
“Bunuh… bunuh saja aku… tolong aku dibunuh saja,” ucapku putus asa—berlinang air mata. Aku tak mau lagi merasakan kegilaannya yang mustahil diterima selama berhari-hari oleh manusia biasa. Aku akan lebih berterima kasih kalau ia mau membunuhku saja! Itu pun kalau aku masih bisa mati dengan mudah tentunya…
Namun seting neraka itu kemudian memudar dan berganti menjadi taman bunga putih. Kumenoleh ke sampingku dan melihat Rize duduk di sana.
“Met pagi!” gadis itu tersenyum membuat bunga putih di sana mekar menjadi merah darah.
“Rize? Kau masih hidup?” kusapa ia.
“Kau lupa ya kalau aku ada dalam dirimu selama ini. Astaga! Kenapa kau jadi seperti ini? Menyedihkan sekali!” komentarnya santai kemudian mengitariku. “Kenapa kau tak melawan?” Ia pasti menikmatinya juga bagaimana kudiperlakukan selama berhari-hari.
Kutertunduk sepi. Mau bagaimana lagi? Haruskah dan bagaimana caranya? Aku harus bagaimana menghentikan siksaan brutal ini?!
“Eh, btw tadi kamu bilang aku dengan sebutan ibu. Memangnya seperti apa ibumu itu?”
“Ia orang yang sangat luar biasa,” kumengenangnya dengan senyum terhibur. Mengenangnya membuatku sejenak melupakan rasa sakit ini. “Ia adalah kebangganku. Ia nggak pernah marah padaku dan tak pernah bermasalah dengan siapa pun. Ia sangat baik hati dan pemurah.”
“Itu ibumu?”
Kumelebarkan mata terkesima begitu memandang sekelilingku lagi. Ini kan… meja makan ini… keran cuci piring yang menetes dengan suara khas dan… sesosok wanita berparas lembut yang tengah membuat kerajinan bunga berwarna putih di ruangan sana—pintunya terbuka lebar hingga aku bisa melihat punggungnya. Ia tampak menggunting-gunting.
“Itu ibumu, kan?” Rize yang sudah duduk di kursi meja makan menatap wanita itu dengan santainya.
Kumenatap wanita itu penuh kenangan. Aku sangat merindukannya! Tapi kenapa aku bisa berada di sini?
“Tadaima!” tiba-tiba saja keheningan itu pecah oleh kedatangan seorang bocah lugu. Bocah itu kemudian berlari menuju ibunya. “Ma, ajari aku bahasa kanji lagi dong! Ini pe-er ku.”
“Eh, itu kamu?” Rize terkesima melihat bocah itu. “Manis banget, ya?”
Ibu lalu mengajari bocah manis itu hingga mengerti. Bocah itu memang semangat sekali belajarnya.
“Apa yang kaulakukan?” Rize masih saja kepo.
“Tiap pulang sekolah, kalo aku nggak ngerti tulisan kanji, aku menanyakannya pada ibuku dan aku pun mencatat pengucapannya seperti apa,” kenangku dengan mata penuh keharuan—melupakan sejenak penderitaan beratku selama berhari-hari.
“Terus itu ibumu mau ke mana?”
Kali ini tiba-tiba saja ibuku sudah ada di depan pintu dan keluar rumah—meninggalkan bocah manis itu sendirian.
“Mama keluar untuk bekerja demi diriku,” jawabku dengan wajah hangat tapi juga sendu.
Si bocah manis di depan pintu itu lalu masuk dengan lincahnya ke ruang baca.
“Ini ruang apa?” kepo Rize lagi begitu kami berdua memasuki ruangan itu dan berhenti di depan pintu.
“Ini ruang baca ayahku. Buku-bukunya sangat banyak. Aku sering menghabiskan waktu di sini,” kenangku lagi akan masa kecilku yang sudah kutu buku. “Aku jadi suka membaca karenanya.”
“Kau tak kesepian sendirian terus di rumah? Nggak pergi main ke luar bersama teman-temanmu?”
“Aku sudah cukup nyaman berada di sini. Buku-buku itu adalah teman-temanku selama ini.”
“Bokapmu kayak apa?” lagi-lagi Rize kepo.
“Aku nggak ingat soalnya dia meninggal waktu aku masih sangat kecil. Yang bisa kukenang darinya ya buku-buku peninggalannya ini. Aku jadi suka banget baca buku berkat warisannya ini.”
“Begitu, ya?”
“Ibuku sudah mengajariku banyak hal.” Kemudian kurasakan lagi bagaimana ia membelai wajahku waktu kecil. “Tak masalah kalau aku disakiti orang, yang penting aku tak melakukan hal yang sama ke orang itu. Lebih baik disakiti daripada menyakiti orang. Itulah yang kupelajari darinya. Itulah yang kupegang teguh hingga kini. Ia sangat mengagumkan!” pujiku sambil memejamkan mata seolah menikmati belaiannya lagi di pipiku.
“Wow, begitukah? Ibumu tangguh juga, ya? Tapi masa iya? Kita lihat saja nanti!”
Namun waktu istirahatku segera berakhir begitu seting neraka kembali hadir di depan mataku. Kukembali menjerit-jerit gila. Perasaan rindu tergantikan dengan perasaan takut tak bertepi. Ya Tuhan!
“Pikiranmu tangguh sekali ya, Kaneki? Tubuhmu juga sangat kuat. Proses regenerasimu juga sangat cepat,” komentar psikopat itu. “Menarik!”
Napasku tertahan-tahan. Masih kuatkah aku kali ini menanggungnya? Kepahitan apa lagi yang akan kualami hari ini?
“Kaneki, aku salut dengan ketangguhanmu itu. Bagaimana kalau kita coba lagi?” Ia lalu memungut seekor kelabang. “Pernah dengar lipan cina berkepala merah ini?” Sementara itu, lipan itu juga menggeliat berusaha membebaskan diri dari tangannya—sama seperti aku yang hanya bisa terduduk ketakutan ini. “Bagaimana kalau kumasukkan ke telingamu? Bagaimana agar kau bisa merasakan sensasi menyengatnya? Kau pasti tak akan kebratan, kan?”
(Tak “kebratan” karena tak bisa berbuat apa-apa untuk melawan!)
Kuterbelalak menatap lipan mengerikan itu semakin didekatkannya ke telingaku. “Tidak. Tidak. Jangan… aku mohon… tolong, jangan… jangaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnn!!!” raungku histeris.
Srrrrrssrrrrrrrrrrsrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrsssssssssssssssskkkkkkkkkkkkkkkkk….. ia berdengung-dengung!
“Wahahahahahahahahahahahahahahaha!!!” kutertawa di tengah-tengah isak tangisku merasakan kegeliannya yang menggeliat di sepanjang saluran telingaku.
Psikopat itu tertawa tak kalah meledaknya dariku. “Hahahahahahahahahaha! Senangnya liat kau senang! Bisa kubunuh kau sekarang? Rasanya sudah tak sabar lagi bisa mencicipimu! Bisa kumakan kau sekarang?! Hahahahahahaha!!!” ia tertawa-tawa iblis menemaniku gila.
Kutertawa sampai napasku hampir habis. Tidak! Aku tak boleh gila. Aku tak boleh tertawa bersama bajingan ini! Ia hanya ingin membuatku gila dengan cobaan yang tak kalah gilanya juga. Penderitaan yang tak berkesudahan ini membuat kepalaku kembali terkulai. Kembali air mata melumuri wajahku. Sedih sekali rasanya—pedih sekali disakiti berkali-kali seperti ini, tapi tak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa terus disiksa entah sampai kapan…
Hanya ini yang bisa mengisi waktuku beberapa hari ini: menjerit kesakitan, menangis pedih, dan sekarang… berhalusinasi—berdiskusi dengan Rize yang berdiam dalam tubuhku sendiri.
“Huh! Lebih baik disakiti daripada menyakiti orang lain? Benarkah?” cibir Rize yang tahu-tahunya sudah duduk di belakang kursiku. Ia tampak santai.
Rize, aku sudah habis-habisan merana di sini sendirian, kau masih saja…
“Kita lihat saja sampai berapa lama lagikah kau akan bertahan digituin. Sampai berapa lama kau bisa menjaga kewarasanmu itu? Karena prinsip itulah kau jadi begini. Pantas saja!”
Kuhanya bisa terdiam—beristirahat setelah dikerjain dengan cara yang baru.
“Aku akan mematahkan prinsip kuno-mu itu. Masa kamu mau diperlakukan sebrutal ini terus?”
Aku tahu ia tak sependapat denganku. Tapi aku akan tetap memegang prinsip yang diajarkan ibuku itu! Terserah kalau ia mau berdebat mengenai itu denganku, aku ladeni. Ibuku lah yang paling benar dan aku memercayainya ini semua demi kebaikanku sendiri. Titik!
“Lihat! Itu apa?”
Lagi-lagi meski dalam kondisi terikat di kursi, kami kembali ke dalam rumah masa kecilku dulu. Kulihat ibu sedang memberikan amplop uangnya pada bibi. “Uang.”
“Uang buat apa?”
“Uang buat bibi karena katanya ia kehabisan uang.”
“Dan ibumu tak bisa menolaknya?”
“Ia tak tega untuk itu.”
“Bagaimana dengan dirimu?”
Kutertegun. Kubayangkan diriku yang masih kecil berada di depan pintu sementara bibiku asyik menghitung-hitung uangnya.
“Ibuku kerja seharian penuh demi memenuhi kebutuhanku. Pagi kerja sampe sore dan malamnya mulung sampah. Libur pun dia mengerjakan pekerjaan rumah. Tak ada istirahatnya demi mengumpulkan uang untukku. Ibuku sampai lelah seperti ini.”
Kupandang iba ibuku yang tengah tertidur kelelahan dengan kepala tertelungkup di meja. Kasihan sekali beliau. Mungkin penderitaanku kini tak sebanding dengan perjuangannya menghidupiku selama ini.
“Ma, istirahat ya?” bisikku sambil menyelimutinya penuh kehangatan.
Mungkin ibuku bisa merasakannya—meski ia takkan bisa melihat wujudku yang sudah dewasa sekarang. Ia tersenyum padaku—lemah.
“Lalu apa yang terjadi padanya?”
“Lalu…” Kuterbelalak begitu kain putih melayang lembut menutupi wajahnya yang pucat. Matanya sudah terpejam rapat. Kuterisak sedih melihatnya. “Ia pergi karena kelelahan. Sejak saat itulah aku hidup sendiri.”
Rize mengangguk-angguk santai. “Semua ini karena ia terlalu baik.”
“Hidupku rapuh semenjak kepergiannya. Aku sangat rapuh dan kehilangan gairah hidup. Hari-hariku sangat murung. Namun…”
“Kaneki!” Hide kecil berlari kencang menyambar si bocah manis berwajah sendu dari belakang—memeluknya dengan hangat penuh kerinduan. “We! Sampe kapan kamu mengurung diri di rumah mulu? Aku tuh belajar di skolah ga bisa tanpamu yang selalu ngajarin aku… bla bla bla…”
Kembali kuterkenang melihat hangatnya perlakuan Hide padaku semenjak kecil. Dan waktu SMA…
“Kaneki, kalo kamu jadi ghoul, kamu mau nggak makan senior kita di kelas 2 itu?” obrolan iseng itu mengalun saat kami nongkrong malam-malam di taman bermain—bersantai-santai.
“Nggaklah!” tegasku. Pertanyaan konyol macam apa itu? Tapi sekarang aku setengah ghoul.
Mereka makan cemilan bersama, bersantai bersama, menghabiskan waktu bersama, sangat mengasyikkan! Akrab seperti saudara kandung…
Aku dan Rize melintas di depan kenangan indah itu. “Hide adalah pendukung moral yang kumiliki. Ia temanku satu-satunya. Bersamanya, aku jadi tak merasa kesepian dan sendirian lagi di dunia ini. Ia adalah sahabatku nomor satu. Orang yang sangat berharga bagiku. Bagiku, ia sudah seperti saudara kandung saking dekatnya hubungan kami yang tak terpisahkan ini.”
“Hm, gitu, ya? Tapi sepertinya kau akan kehilangan temanmu lagi,” ujarnya sambil tersenyum santai.
“Eh? Maksudmu apa?” Kumelebarkan mata terkejut mendengar ucapannya itu.
Pemandangan taman di malam hari itu langsung berubah menjadi pemandangan yang mengerikan.
“Nggh! Ngh!” Dua orang tampak menggeliat di hadapanku. Kedua tangan dan kakinya diikat dan mulutnya pun dibekap. Keduanya adalah…
Kuterkesiap dan terbelalak melihat mereka. A-apa yang… Yamori langsung menjambakku baik-baik melihat mereka.
“Kaneki,” si psikopat Yamori menyapaku. “Atas ketangguhanmu itu, aku punya rencana baru. Tada! Kamu pastinya kenal kan dengan mereka ini? Sepasang kekasih yang saling mencintai!”
Dan mereka adalah teman-teman Banjo yang mengurusiku selama ini untuk membebaskanku.
“Beberapa hari ini aku menyadari sesuatu dari mereka secara diam-diam. Kamu pasti lagi nunggu bantuan kan dari mereka setelah berhari-hari disekap di sini? Nah, sekarang aku punya permainan baru. Aku tak mau kau sampai salah pilih. Bagaimana pandanganmu mengenai hal ini? Sekarang kamu yang harus selamatkan mereka. Mereka membutuhkan bantuanmu sekarang. Tapi kamu harus milih salah satunya. Pilih mana? Aku bunuh yang cowok atau yang cewek?”
Wtf! Pertanyaan pilihan macam apa itu?!
“Sekarang cepat kamu pilih mau selamatkan yang mana? Kalau tidak milih, aku bunuh dua-duanya, loh!”
“Nggak! Nggak! Kalo aku milih, itu artinya sama saja dengan membunuh, kan?” kembali air mataku mengisi. “Kalau mau bunuh orang, tolong bunuh aku saja! Aku saja yang dibunuh!” raungku stres.
“Ck! Kamu ini nggak ngerti ya ucapanku tadi? Aku minta kamu pilih, Bego! Bukan kamu yang mau kubunuh. Cepat! Kanan? Kiri? Cewek? Cowok?”
Ia menjambak-jambak rambutku memandang mereka—menentukan pilihan. Si pelayan cowok menatapku penuh arti—seolah memintaku untuk memilihnya saja dan menyelamatkan pacarnya yang kepanikan. Tapi tentu saja aku terus bungkam. Lebih baik aku disiksa saja sampe mati, biar dia puas. Tak mungkin aku memilih!
“Ck! Membosankan! Akan kubuat kamu mengerti.” Ia kemudian melangkah ke arah mereka dan… menyambar leher pelayan cewek itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. “Nah bagaimana?! Apa ini yang kamu pilih?!” jeritnya gila-gilaan.
Sementara itu, pasangannya berusaha membebaskan diri kepanikan melihat pacarnya kesakitan dan meronta-ronta hebat. Ia mengulum bekapan di mulutnya dan berteriak histeris, “Kaneki! Kaneki! Pilih aku! Tolong pilih aku saja! Haru bisa mati! Pliz, Kaneki! Kanekiiiiiiiiiiiiiiiii!”
Namun aku sudah tak bisa bersuara lagi saking syoknya melihat pembantaian keji di depan mataku itu. Bagaimana ini? Aku tak bisa memilih! Aku tak mungkin membunuh teman sendiri. Tapi bagaimana dengan pacarnya? Tatapanku terpaku. Aku bingung! Aku hanya bisa terlongo di sini dengan tatapan terpaku ke pembunuhan itu.
Krek. Yamori melepaskan korbannya. “Duh, lehernya patah ya?” komentarnya santai.
“Huaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrrrrggggggggggghhhhhhhhhhhh!” si pelayan berkacamata itu meratap dan meraung histeris karena kehilangan. Ia menggeram, menatapku dengan tatapan menusuk seolah menyalahkan penderitaannya itu karena kepengecutanku yang tak berani bersuara apa-apa. Tapi tetap saja aku tak bisa memilih siapa pun dalam hal ini!
Sementara itu, aku masih syok di kursi panas ini. Yamori lalu menjambak rambutnya dan menusuknya dengan kagunenya. Srugh!
“Ini kan yang kauinginkan, Kaneki? Salah siapa coba mereka berdua mati semua? Kehancuran dunia ini semuanya berasal dari ketidakberdayaan dan kelemahan seseorang. Aku berterima kasih pada orang yang pernah mengucapkan ini padaku dulu. Meskipun dulu aku melecehkan ucapannya ini, tapi sekarang aku mengakuinya. Sayang banget ya orangnya udah mati.”
Uraian darah yang menghujani lantai membuatku kembali ke alam halusinasiku. Kepalaku kembali terkulai. Air mata mengiringinya lagi. Syok hebat.
“Mangnya aku salah kalau tak memilih siapa yang harus mati? Tapi… tapi ini semua salahku,” ratapku terisak pedih. Tapi harus bagaimana lagi? Benar iya, salah juga iya!
“Baru sadar ya kalau semuanya itu karena kesalahanmu?” Rize yang kali ini berada di sisi kursiku—di bawah genangan darahku kembali berkomentar.
Lagi-lagi aku terbawa ke alam bawah sadarku sendiri bersamanya!
“Pantas saja kau jadi kayak gini!” Ia kembali memprovokasiku. Ia melangkah dengan lembutnya mengelilingi kursi tempatku terikat ini. “Kau hanya bisa duduk manis di kursi ini sementara teman-temanmu dibantai keji. Kau tak bisa berbuat apa-apa. Ini terlalu pemurah atau lemah? Masa kau lebih milih untuk disakiti daripada menyakiti, sih? Nggak salah, tuh? Kamu nggak mau mengirim bajingan Yamori itu ke neraka? Lihat betapa bejatnya ia padamu dan juga pada teman-temanmu tadi yang bermaksud baik mau membebaskan kamu. Coba kamu pandai memilih, si wanita pasti masih bisa hidup.”
Kalimatnya itu semakin membebani pikiranku yang sudah stres berat!
“Kau memang sangat baik, Kaneki! Jujur aku akui itu dan tertarik pada sifat baikmu itu. Tapi bagaimana pun juga, kehancuran dunia ini semuanya berasal dari kelemahan orang. Dan karena siapa semuanya itu terjadi? Coba saja saat itu kau tidak lemah…”
Ia membuka jalan pikiranku (atau justru menyesatkan, ya?) dengan membangkitkan kenangan pahit itu. Di tengah hujan deras itu, Ryoko tengah tersenyum manis menanti eksekusinya di tangan CCG. “R-Ryoko San?”
Tiba-tiba saja kagune meluncur tajam ke belakang kepalanya yang hanya bisa bergeming bersimpuh di tempat. Kuterbelalak melihatnya. Bahaya! Spontan saja hendak kuberlari untuk menyelamatkan wanita berhati lembut itu, namun tubuhku terikat rapat ke kursi. Kuberusaha membebaskan diri dari rantai-rantai sialan yang membelengguku ini. Cring-cring!
“Tidak! Tidak! Jangan! Jangaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan!!!”
Air mataku meluncur begitu menyaksikan kematian Ryoko untuk kesekian kalinya di mataku ini. Syok. Tapi aku tak berdaya untuk menyelamatkannya karena terbelenggu di kursi. (entah mengapa hati ini baru tergerak untuk menyelamatkannya di dunia ilusi ini, padahal Ryoko sudah mati di alam nyata. Mungkin karena tak ingin ada yang mati lagi setelah melihat teman-teman baruku tadi tewas karenaku. Aku jadi merasa bersalah atas semua kefatalan ini!).
Selanjutnya, kursi itu memutar dan membawaku ke Anteiku. Kumelihat Toka dan Hinami dicekik di tangan besar si keparat Yamori itu. “Toka? Hinami-chan?” Keduanya tampak sudah tak berdaya. Mata mereka terpejam rapat. Matikah?
Yamori keparat itu lalu melenyapkan kedua tubuh sahabatku itu. “Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaakkk!”
“Selanjutnya, orang yang paling kausayangi,” Rize bersuara.
Kursi itu memutar lagi dan membawaku ke koridor kampus yang selalu kulalui bersama Hide. Kupandangi Hide yang tengah melangkah santai memunggungiku. Tidak. Tidak! Aku tak ingin kehilangannya juga!
“Hide!” kumemekik memanggilnya.
Ia kemudian membalikkan badan dan menatapku dingin. “Dasar kau monster!”
“Eh? Kenapa kamu bilang begitu, Hide?” ucapannya itu membuatku rapuh.
“Kenapa kau tak jujur padaku kalau kamu ternyata setengah ghoul? Coba kau jujur sejak awal padaku, semuanya ini takkan terjadi…”
Bruk. Yamori berada di belakang tubuhnya setelah menikamnya. Tidak. Tidak! Arrrrrrrrrrrrrrrrggggggggggggghhhhhhhhhhhhhhhhhhh!
“Ini semuanya gara-gara kamu! Gara-gara siapa mereka semua mati? Inilah masa depan yang kaupilih!” suara Rize kembali menyeruak di tengah kesadaranku. “Semua orang yang sangat berharga dalam hidupmu akan mati.”
Kursi yang membelengguku kembali ke taman bunga putih itu. Hiks-hiks-hiks…
Rize mengitariku—membayang-bayangi akalku. “Karena apa mereka semuanya mati? Takdir? Kecelakaan? Kebetulan? Nggak ada namanya takdir. Yang ada itu sebab-akibat. Nah, siapa yang menyebabkan itu semua? Apa akibatnya? Sudah kaulihat sendiri bukan dengan mata kepalamu sendiri?”
Sementara itu, kepalaku terkulai—kembali menangis tersedu-sedu. Ya, aku memang lemah. Lemah. Lemah! Huhuhuks…
“Kau ini nggak sadar kalau kau memilih keduanya, sebenarnya kau sudah mengabaikan keduanya pula. Kau lebih memilih kedua temanmu tadi untuk hidup, eh malah keduanya yang mati. Heh, apa kau masih berpikir kalau disakiti itu lebih baik daripada menyakiti? Kau tak mau kuat untuk teman-temanmu? Bagaimana dengan mereka kalau kau disakiti terus? Bagaimana kau bisa melindungi mereka? Apa kau mau mereka dalam bahaya? Kau mau ada yang mati lagi karenamu?”
Ia menyentuh wajah sayuku—merayuku yang tengah stres luar biasa ini.
“Aku harus meracunimu. Sudah saatnya kau move on dari prinsip tolol itu. Itu sudah tak berlaku lagi bagimu yang sekarang ini. Lihat situasinya sekarang. Kau sekarang sudah beda keadaannya, tak seperti ibumu itu. Kita ini sudah diubah jadi monster oleh eksperimen kotor  itu. Kita ini monster dan ibumu itu bodoh!”
Kutertunduk. “Stop,” lirihku. “Berhenti bicara.”
“Ya, ibumu itu bodoh! Coba dia nggak kasih uang dan tegas menolak bibimu itu, ia tak perlu mati sia-sia dan meninggalkanmu sendirian di dunia ini. Itu bukan kebaikan namanya, itu namanya lemah. Ia tak memikirkan dirimu bagaimana nantinya. Lihat sendiri kan jadinya? Kau masih saja mau seperti ibumu?”
“Plis, hentikan,” ratapku dengan wajah tertunduk—mulai bersimbah air mata lagi karena tak tega ibuku dihina-hinanya. Itu tak benar! Ibu sangat memikirkanku. Buktinya ia bekerja keras demi menghidupiku, namun…
“Kau pikir ibumu luar biasa saking baiknya? Itu mengagumkan! Kau sangat bangga ibumu yang seperti itu? Tapi buktinya, ia lebih memilih bibimu daripada dirimu,” Rize kembali menghasut.
“Tolong… tolong diam,” isakku. Tolong jangan hina ibuku lagi! Aku mohon! (saking lemahnya sebagai lelaki, ibunya dihina pun masih segan mukul dan membentak cewek, masih aja sopan. Sangat anti kekerasan!).
“Tapi aku benar, kan? Apa kau masih mau menyimpan prinsip ibumu itu? Kau mau mati konyol karena prinsip itu di sini dan bagaimana dengan teman-temanmu? Aogiri itu edan, loh. Mereka tak akan segan-segan membantai ghoul yang menentang mereka—termasuk di Anteiku. Sekarang, pikirkanlah teman-temanmu—Hide dan mereka yang ada di Anteiku.”
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhh!!!” pekikku stres luar binasa. Sekarang, ia membiarkanku menyelami ucapannya barusan. Ia ada benarnya, tapi…
“Mama… Mama… kenapa kau meninggalkanku sendiri?” kepalaku kembali tertunduk sedih. “Kenapa kau lebih memilih bibi daripada diriku? Aku kesepian. Aku kesepian!”
“Jadi apa kau sudah berubah pikiran sekarang? Bagaimana? Apa kau masih ingin begini terus? Atau…”
Kepalaku sudah terasa berat—penuh beban pikiran. “Aku ingin kuat. Aku tak ingin ada orang yang merebut tempatku dan menyakiti teman-temanku! Takkan kubiarkan!” pikiranku mulai terhasut.
“Meski harus menyakiti orang?” Rize memberi pertanyaan jebakan—seolah mengejek.
“Iya! Meski harus begitu!” teriakku histeris—stres dan panas.
“Meski harus mengabaikan bibimu?”
“Ya! Meski harus begitu!” pekikku sekuat tenaga dengan air mata yang masih berderai-derai.
“Meski harus menyerahkan nyawanya?”
“Ya! Meski harus begitu, biarkan saja!” raungku ngos-ngosan.
Rize tersenyum puas melihat kebuasanku yang diciptakannya ini. Ia berhasil mendidik akalku untuk berani dan ganas. “Anak baik. Gitu, dong! Seharusnya kamu begitu…”
Sementara itu, akalku mulai mencerna. Apa yang sebenarnya kukatakan barusan? Berani sekali! Tapi bukankah… bukankah itu mengerikan?
“Aku menerima semua masukanmu,” sahutku masih dengan kepala tertunduk. “Terus aku harus bagaimana?”
“Jadi kau… kau sependapat denganku? Maksudku… apakah kau mau menerimaku sepenuhnya dalam tubuhmu?”
Kuterdiam sejenak (mengisap ingus). “Aku… tak bilang begitu.”
“Aku senang kau tak jadi cowok lemah kayak tadi lagi…”
Cring! Tanpa diduganya, aku kemudian menjatuhkan tubuhku ke atas tubuhnya. Kutahan kedua lengannya dengan lenganku—meski gelang borgol dan rantainya masih menempel di sana. Taman bunga yang putih itu pun secara perlahan berubah menjadi bunga darah dan menjalar seperti jamur. Indah sekali!
Ia menatapku dengan mata ghoulnya yang redup dan kupelototi ia seperti orang gila. Air mata stresku masih menetes-netes. Akalku sudah diracuninya—akalku sudah rusak dengan segala macam siksaan yang ditimpakan selama berhari-hari di tubuh dan pikiranku plus oleh gadis yang ada dalam tubuhku ini.
“Lakukan,” bisiknya dengan suara seksi.
Aku tak boleh ragu lagi! Meski semuanya bertentangan dengan nurani ini. Tapi aku harus melakukan ini semua demi mereka yang kucintai agar aku tak sendirian lagi menghadapi dunia ini. Aku harus mendapatkan kekuatan dari gadis ini dan terlepas dari belenggu sinting ini. Aku bukan mainan. Aku bukan alat. Aku bukan orang yang harus disakiti terus. Aku… aku manusia? Bukan… aku sudah menyerah! Aku tak bisa memperjuangkan wilayah dan teman-temanku selama… selama aku menjadi manusia… ?!
Krauk… krauk… krauk….
“Kau hanya bisa mewujudkan kekuatan itu hanya dengan makan. Ya, dengan memakanku kau pasti bisa mempertahankan wilayah dan melindungi teman-temanmu.”
Hosh-hosh… kuterus memangsa tubuh lembut Rize dengan rakusnya… dengan lahapnya. Dengan akal yang sudah heng berat karena depresi yang sangat menyiksa setelah disekap berhari-hari. Aku tak bisa memurnikan hatiku lagi. Kubiarkan diriku lenyap di tiap gigitanku. Kubiarkan sel tubuhku berganti—termasuk sifat terpujiku. Kubiarkan saja diri ini berubah dari setengah ghoul menjadi…
Noda darah menjilat sekitar area mulutku setelah kumenyelesaikan semuanya. Takkan ada lagi air mata. Warna rambutku yang berganti menjadi putih—seputih taman bunga itu menegaskan identitas baruku yang sekarang ini.
Aku adalah ghoul!


=====================================================================
baca battle seru lainnya dengan ngeklik gambar di bawah ini menuju sumber entrinya. dukung entri aku ya:


http://battle-of-realms-6.blogspot.co.id/2016/03/fbc-015-ghoul.html?showComment=1457134334921#c4115306077024512880

0 komentar: