kalo di episod lalu tu kaneki-nya kurang (hm yang rot a malah kurang banget kaneki-nya), di episod ini full kaneki hehe. jadinya akan lebih panjang lagi n mo kubagi 2 dulu ah! klik gambar di bawah ini menuju sumber yutubnya. hm di episod ini mengharu biru banget. bercampur iba pula, derita bertubi2 yang diakhiri dengan kemarahan yang meledak hingga kaneki jadi berubah 180 derajat!
“Huaaaaaaaaaaaarrrrggghhh!” Tuk
kesekian kalinya kumenjerit karena kaget.
Cring cring cring… tuk kesekian
kalinya pula kuhentak-hentakkan borgol yang mengikat kedua lenganku di belakang
kursi—berusaha membebaskan diri meski hasilnya akan menyakiti pergelangan
tanganku sendiri. Kakiku yang juga terborgol rapi sudah tak bisa melangkah ke
mana-mana lagi dan… eh kok lantainya lembut seperti bunga, ya? Juga… ng?
“Ukh? Ah?” Napasku terengah-engah
karena pandanganku tersapu kegelapan. Kumerintih ketakutan bercampur isakan
kepedihan. Aku tak bisa melihat apa-apa—di neraka ini! Aku sangat ketakutan
siksaan itu akan terulang lagi. Apa lagi yang terjadi?! Aku dibutakan? Siksaan baru?
Namun kemudian sebuah tangan
halus yang menyentuh lembut pipiku berhasil menenangkanku. Rintihanku hilang.
Isakanku pergi entah ke mana. Semuanya lenyap seketika, begitu kurasakan
sentuhan—
“Oka-san?” lirihku tenang.
“Okasan…” hatiku menjadi damai menyebut kata itu—aku bisa merasakan betul sentuhan
kasih sayangnya melalui tangan halusnya itu. Namun begitu penutup mataku
dibuka… mataku melebar kecewa begitu melihat, “Rize-san?”
Gadis itu menyentuh pipiku dan
berdiri tepat di depan kursi tempatku dibinasakan. “Hai, Kaneki? Lama nggak
ketemu, ya? Sepertinya kamu lagi disiksa habis-habisan,” ujarnya santai dan
tenang—seperti merasakan kesenangan psikopat itu juga. “Haha! Lucu sekali kau
sampai jadi seperti ini. Menyedihkan!” Ia tersenyum sadis.
“Kenapa kamu ada di sini, Rize?”
Kalau itu ibuku pasti takkan berkomentar seenaknya seperti itu.
“Eh, bos-mu datang lagi tuh!”
Kemudian tempat yang penuh bunga
putih itu kembali berubah menjadi ladang neraka papan catur. Dia datang! Dengan
tang besar di tangannya, ia memukul-mukulkan tang itu seolah siap mencabikku
lagi. Kuterbelalak ngeri, kembali berusaha membebaskan borgol di tanganku.
Ketegangan yang dahsyat kurasakan begitu ia melangkah meski perlahan—hatiku
berdebar menyakitkan. Huhuhuhuuuks…
Deg deg deg…
…
“Arrrrrrrrrrrrrrrrrgggggggggggggghhhhhh!”
Treng treng treng… ia tampak puas
akan hasilnya kali ini dan lebih bergairah lagi. Dimainkannya tang berlumuran
darah itu dan kembali mengulangi hal yang sama hingga membuatku merasa tak
sanggup lagi rasanya. Ditekan-diputuskan seperti menggunting
kuku-berdarah-darah-beregenerasi-dipotong lagi… (pelampiasan stres psikopat!)
“Ayolah, Kaneki. Masih belum
penuh, nih. Aku ingin mengisi penuh embernya.”
Crot crot crot. Bunga-bunga darah
kembali mengotori lantai itu. Setelah permainannya berakhir, seperti biasa
kumengisinya dengan tangisan ratapan—berharap siksaan pedih ini segera
dihentikan. “Tolong… kumohon hentikan…”
“Hei, jangan berhenti menghitung.
Dah sampai berapa tadi?” Ia menjambak rambutku—tak bosan-bosannya ia
menyakitiku dari hal kecil sampai hal paling gila sekali pun.
Dengan suara lelah setengah mati
kuterus mendengungkan hitungan membosankan itu. Kuberharap hitungan itu bisa
membuatnya istirahat dan membiarkanku beristirahat pula. Aku baru sadar kenapa
ia menyuruhku menghitung seperti itu—tak lain hanya agar pikiranku tetap
terjaga kewarasannya. Sementara itu, ia terus memotong-motong dan jari-jariku
terus beregenerasi. Semuanya dimaksudkan untuk ini.
Seribu dikurangi tujuh…
regenerasi yang cepatnya bukan main ini membuatku sadar betul bahwa aku
sekarang adalah monster!
“Kau mau tahu, Kaneki? Kenapa aku
memperlakukanmu dengan… sangat istimewa?” terdengar nada liciknya sambil
melangkah ke belakangku.
Cuih, istimewa?! Wtf!
“Kemampuan beregenerasimu sangat
luar biasa dan cepat. Semuanya ini berkat eksperimen Kanto. Ia sengaja
memasukkan organ ghoul ke dalam tubuh manusiamu itu. Ini semua sudah diaturnya,
makanya terciptalah ghoul bermata satu, ghoul setengah manusia.”
Ia membuka topengnya yang
berlumuran darah. Sekarang ia sudah ada di belakangku.
“Hello, kamu nggak nyadar ya kalo
aku sedang membicarakanmu, Kaneki. Pikiranmu juga sangat tangguh. Buktinya
sampai sekarang, akalmu masih sehat. Luar biasa!”
Jadi rupanya begitu? Karena
itulah ia memilihku sebagai mainan favoritnya. Kutertunduk lesu—kembali
menderaikan air mata kepedihanku. Membiarkan lelehannya mengotori lantainya
juga menemani genangan darahku yang merembes liar di sana.
“Bunuh… bunuh saja aku… tolong
aku dibunuh saja,” ucapku putus asa—berlinang air mata. Aku tak mau lagi
merasakan kegilaannya yang mustahil diterima selama berhari-hari oleh manusia
biasa. Aku akan lebih berterima kasih kalau ia mau membunuhku saja! Itu pun
kalau aku masih bisa mati dengan mudah tentunya…
Namun seting neraka itu kemudian
memudar dan berganti menjadi taman bunga putih. Kumenoleh ke sampingku dan
melihat Rize duduk di sana.
“Met pagi!” gadis itu tersenyum
membuat bunga putih di sana mekar menjadi merah darah.
“Rize? Kau masih hidup?” kusapa
ia.
“Kau lupa ya kalau aku ada dalam
dirimu selama ini. Astaga! Kenapa kau jadi seperti ini? Menyedihkan sekali!”
komentarnya santai kemudian mengitariku. “Kenapa kau tak melawan?” Ia pasti
menikmatinya juga bagaimana kudiperlakukan selama berhari-hari.
Kutertunduk sepi. Mau bagaimana
lagi? Haruskah dan bagaimana caranya? Aku harus bagaimana menghentikan siksaan
brutal ini?!
“Eh, btw tadi kamu bilang aku
dengan sebutan ibu. Memangnya seperti apa ibumu itu?”
“Ia orang yang sangat luar
biasa,” kumengenangnya dengan senyum terhibur. Mengenangnya membuatku sejenak
melupakan rasa sakit ini. “Ia adalah kebangganku. Ia nggak pernah marah padaku
dan tak pernah bermasalah dengan siapa pun. Ia sangat baik hati dan pemurah.”
“Itu ibumu?”
Kumelebarkan mata terkesima
begitu memandang sekelilingku lagi. Ini kan… meja makan ini… keran cuci piring
yang menetes dengan suara khas dan… sesosok wanita berparas lembut yang tengah
membuat kerajinan bunga berwarna putih di ruangan sana—pintunya terbuka lebar
hingga aku bisa melihat punggungnya. Ia tampak menggunting-gunting.
“Itu ibumu, kan?” Rize yang sudah
duduk di kursi meja makan menatap wanita itu dengan santainya.
Kumenatap wanita itu penuh
kenangan. Aku sangat merindukannya! Tapi kenapa aku bisa berada di sini?
“Tadaima!” tiba-tiba saja
keheningan itu pecah oleh kedatangan seorang bocah lugu. Bocah itu kemudian
berlari menuju ibunya. “Ma, ajari aku bahasa kanji lagi dong! Ini pe-er ku.”
“Eh, itu kamu?” Rize terkesima
melihat bocah itu. “Manis banget, ya?”
Ibu lalu mengajari bocah manis
itu hingga mengerti. Bocah itu memang semangat sekali belajarnya.
“Apa yang kaulakukan?” Rize masih
saja kepo.
“Tiap pulang sekolah, kalo aku
nggak ngerti tulisan kanji, aku menanyakannya pada ibuku dan aku pun mencatat
pengucapannya seperti apa,” kenangku dengan mata penuh keharuan—melupakan
sejenak penderitaan beratku selama berhari-hari.
“Terus itu ibumu mau ke mana?”
Kali ini tiba-tiba saja ibuku
sudah ada di depan pintu dan keluar rumah—meninggalkan bocah manis itu
sendirian.
“Mama keluar untuk bekerja demi
diriku,” jawabku dengan wajah hangat tapi juga sendu.
Si bocah manis di depan pintu itu
lalu masuk dengan lincahnya ke ruang baca.
“Ini ruang apa?” kepo Rize lagi
begitu kami berdua memasuki ruangan itu dan berhenti di depan pintu.
“Ini ruang baca ayahku.
Buku-bukunya sangat banyak. Aku sering menghabiskan waktu di sini,” kenangku
lagi akan masa kecilku yang sudah kutu buku. “Aku jadi suka membaca karenanya.”
“Kau tak kesepian sendirian terus
di rumah? Nggak pergi main ke luar bersama teman-temanmu?”
“Aku sudah cukup nyaman berada di
sini. Buku-buku itu adalah teman-temanku selama ini.”
“Bokapmu kayak apa?” lagi-lagi
Rize kepo.
“Aku nggak ingat soalnya dia
meninggal waktu aku masih sangat kecil. Yang bisa kukenang darinya ya buku-buku
peninggalannya ini. Aku jadi suka banget baca buku berkat warisannya ini.”
“Begitu, ya?”
“Ibuku sudah mengajariku banyak
hal.” Kemudian kurasakan lagi bagaimana ia membelai wajahku waktu kecil. “Tak
masalah kalau aku disakiti orang, yang penting aku tak melakukan hal yang sama
ke orang itu. Lebih baik disakiti daripada menyakiti orang. Itulah yang kupelajari
darinya. Itulah yang kupegang teguh hingga kini. Ia sangat mengagumkan!” pujiku
sambil memejamkan mata seolah menikmati belaiannya lagi di pipiku.
“Wow, begitukah? Ibumu tangguh
juga, ya? Tapi masa iya? Kita lihat saja nanti!”
Namun waktu istirahatku segera
berakhir begitu seting neraka kembali hadir di depan mataku. Kukembali
menjerit-jerit gila. Perasaan rindu tergantikan dengan perasaan takut tak
bertepi. Ya Tuhan!
“Pikiranmu tangguh sekali ya,
Kaneki? Tubuhmu juga sangat kuat. Proses regenerasimu juga sangat cepat,”
komentar psikopat itu. “Menarik!”
Napasku tertahan-tahan. Masih
kuatkah aku kali ini menanggungnya? Kepahitan apa lagi yang akan kualami hari
ini?
“Kaneki, aku salut dengan
ketangguhanmu itu. Bagaimana kalau kita coba lagi?” Ia lalu memungut seekor
kelabang. “Pernah dengar lipan cina berkepala merah ini?” Sementara itu, lipan
itu juga menggeliat berusaha membebaskan diri dari tangannya—sama seperti aku
yang hanya bisa terduduk ketakutan ini. “Bagaimana kalau kumasukkan ke
telingamu? Bagaimana agar kau bisa merasakan sensasi menyengatnya? Kau pasti
tak akan kebratan, kan?”
(Tak “kebratan” karena tak bisa
berbuat apa-apa untuk melawan!)
Kuterbelalak menatap lipan
mengerikan itu semakin didekatkannya ke telingaku. “Tidak. Tidak. Jangan… aku
mohon… tolong, jangan… jangaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnn!!!” raungku
histeris.
Srrrrrssrrrrrrrrrrsrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrsssssssssssssssskkkkkkkkkkkkkkkkk…..
ia berdengung-dengung!
“Wahahahahahahahahahahahahahahaha!!!”
kutertawa di tengah-tengah isak tangisku merasakan kegeliannya yang menggeliat
di sepanjang saluran telingaku.
Psikopat itu tertawa tak kalah
meledaknya dariku. “Hahahahahahahahahaha! Senangnya liat kau senang! Bisa
kubunuh kau sekarang? Rasanya sudah tak sabar lagi bisa mencicipimu! Bisa
kumakan kau sekarang?! Hahahahahahaha!!!” ia tertawa-tawa iblis menemaniku gila.
Kutertawa sampai napasku hampir
habis. Tidak! Aku tak boleh gila. Aku tak boleh tertawa bersama bajingan ini!
Ia hanya ingin membuatku gila dengan cobaan yang tak kalah gilanya juga.
Penderitaan yang tak berkesudahan ini membuat kepalaku kembali terkulai.
Kembali air mata melumuri wajahku. Sedih sekali rasanya—pedih sekali disakiti
berkali-kali seperti ini, tapi tak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa terus
disiksa entah sampai kapan…
Hanya ini yang bisa mengisi
waktuku beberapa hari ini: menjerit kesakitan, menangis pedih, dan sekarang…
berhalusinasi—berdiskusi dengan Rize yang berdiam dalam tubuhku sendiri.
“Huh! Lebih baik disakiti
daripada menyakiti orang lain? Benarkah?” cibir Rize yang tahu-tahunya sudah
duduk di belakang kursiku. Ia tampak santai.
Rize, aku sudah habis-habisan
merana di sini sendirian, kau masih saja…
“Kita lihat saja sampai berapa
lama lagikah kau akan bertahan digituin. Sampai berapa lama kau bisa menjaga
kewarasanmu itu? Karena prinsip itulah kau jadi begini. Pantas saja!”
Kuhanya bisa terdiam—beristirahat
setelah dikerjain dengan cara yang baru.
“Aku akan mematahkan prinsip
kuno-mu itu. Masa kamu mau diperlakukan sebrutal ini terus?”
Aku tahu ia tak sependapat
denganku. Tapi aku akan tetap memegang prinsip yang diajarkan ibuku itu!
Terserah kalau ia mau berdebat mengenai itu denganku, aku ladeni. Ibuku lah
yang paling benar dan aku memercayainya ini semua demi kebaikanku sendiri. Titik!
“Lihat! Itu apa?”
Lagi-lagi meski dalam kondisi
terikat di kursi, kami kembali ke dalam rumah masa kecilku dulu. Kulihat ibu
sedang memberikan amplop uangnya pada bibi. “Uang.”
“Uang buat apa?”
“Uang buat bibi karena katanya ia
kehabisan uang.”
“Dan ibumu tak bisa menolaknya?”
“Ia tak tega untuk itu.”
“Bagaimana dengan dirimu?”
Kutertegun. Kubayangkan diriku
yang masih kecil berada di depan pintu sementara bibiku asyik menghitung-hitung
uangnya.
“Ibuku kerja seharian penuh demi
memenuhi kebutuhanku. Pagi kerja sampe sore dan malamnya mulung sampah. Libur
pun dia mengerjakan pekerjaan rumah. Tak ada istirahatnya demi mengumpulkan
uang untukku. Ibuku sampai lelah seperti ini.”
Kupandang iba ibuku yang tengah
tertidur kelelahan dengan kepala tertelungkup di meja. Kasihan sekali beliau.
Mungkin penderitaanku kini tak sebanding dengan perjuangannya menghidupiku
selama ini.
“Ma, istirahat ya?” bisikku
sambil menyelimutinya penuh kehangatan.
Mungkin ibuku bisa
merasakannya—meski ia takkan bisa melihat wujudku yang sudah dewasa sekarang.
Ia tersenyum padaku—lemah.
“Lalu apa yang terjadi padanya?”
“Lalu…” Kuterbelalak begitu kain
putih melayang lembut menutupi wajahnya yang pucat. Matanya sudah terpejam
rapat. Kuterisak sedih melihatnya. “Ia pergi karena kelelahan. Sejak saat
itulah aku hidup sendiri.”
Rize mengangguk-angguk santai.
“Semua ini karena ia terlalu baik.”
“Hidupku rapuh semenjak
kepergiannya. Aku sangat rapuh dan kehilangan gairah hidup. Hari-hariku sangat
murung. Namun…”
“Kaneki!” Hide kecil berlari
kencang menyambar si bocah manis berwajah sendu dari belakang—memeluknya dengan
hangat penuh kerinduan. “We! Sampe kapan kamu mengurung diri di rumah mulu? Aku
tuh belajar di skolah ga bisa tanpamu yang selalu ngajarin aku… bla bla bla…”
Kembali kuterkenang melihat
hangatnya perlakuan Hide padaku semenjak kecil. Dan waktu SMA…
“Kaneki, kalo kamu jadi ghoul,
kamu mau nggak makan senior kita di kelas 2 itu?” obrolan iseng itu mengalun
saat kami nongkrong malam-malam di taman bermain—bersantai-santai.
“Nggaklah!” tegasku. Pertanyaan konyol
macam apa itu? Tapi sekarang aku setengah ghoul.
Mereka makan cemilan bersama,
bersantai bersama, menghabiskan waktu bersama, sangat mengasyikkan! Akrab
seperti saudara kandung…
Aku dan Rize melintas di depan kenangan
indah itu. “Hide adalah pendukung moral yang kumiliki. Ia temanku satu-satunya.
Bersamanya, aku jadi tak merasa kesepian dan sendirian lagi di dunia ini. Ia
adalah sahabatku nomor satu. Orang yang sangat berharga bagiku. Bagiku, ia
sudah seperti saudara kandung saking dekatnya hubungan kami yang tak
terpisahkan ini.”
“Hm, gitu, ya? Tapi sepertinya
kau akan kehilangan temanmu lagi,” ujarnya sambil tersenyum santai.
“Eh? Maksudmu apa?” Kumelebarkan
mata terkejut mendengar ucapannya itu.
Pemandangan taman di malam hari
itu langsung berubah menjadi pemandangan yang mengerikan.
“Nggh! Ngh!” Dua orang tampak
menggeliat di hadapanku. Kedua tangan dan kakinya diikat dan mulutnya pun
dibekap. Keduanya adalah…
Kuterkesiap dan terbelalak
melihat mereka. A-apa yang… Yamori langsung menjambakku baik-baik melihat
mereka.
“Kaneki,” si psikopat Yamori
menyapaku. “Atas ketangguhanmu itu, aku punya rencana baru. Tada! Kamu pastinya
kenal kan dengan mereka ini? Sepasang kekasih yang saling mencintai!”
Dan mereka adalah teman-teman
Banjo yang mengurusiku selama ini untuk membebaskanku.
“Beberapa hari ini aku menyadari
sesuatu dari mereka secara diam-diam. Kamu pasti lagi nunggu bantuan kan dari
mereka setelah berhari-hari disekap di sini? Nah, sekarang aku punya permainan
baru. Aku tak mau kau sampai salah pilih. Bagaimana pandanganmu mengenai hal
ini? Sekarang kamu yang harus selamatkan mereka. Mereka membutuhkan bantuanmu
sekarang. Tapi kamu harus milih salah satunya. Pilih mana? Aku bunuh yang cowok
atau yang cewek?”
Wtf! Pertanyaan pilihan macam apa
itu?!
“Sekarang cepat kamu pilih mau
selamatkan yang mana? Kalau tidak milih, aku bunuh dua-duanya, loh!”
“Nggak! Nggak! Kalo aku milih,
itu artinya sama saja dengan membunuh, kan?” kembali air mataku mengisi. “Kalau
mau bunuh orang, tolong bunuh aku saja! Aku saja yang dibunuh!” raungku stres.
“Ck! Kamu ini nggak ngerti ya
ucapanku tadi? Aku minta kamu pilih, Bego! Bukan kamu yang mau kubunuh. Cepat!
Kanan? Kiri? Cewek? Cowok?”
Ia menjambak-jambak rambutku
memandang mereka—menentukan pilihan. Si pelayan cowok menatapku penuh
arti—seolah memintaku untuk memilihnya saja dan menyelamatkan pacarnya yang
kepanikan. Tapi tentu saja aku terus bungkam. Lebih baik aku disiksa saja sampe
mati, biar dia puas. Tak mungkin aku memilih!
“Ck! Membosankan! Akan kubuat
kamu mengerti.” Ia kemudian melangkah ke arah mereka dan… menyambar leher
pelayan cewek itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. “Nah bagaimana?! Apa
ini yang kamu pilih?!” jeritnya gila-gilaan.
Sementara itu, pasangannya
berusaha membebaskan diri kepanikan melihat pacarnya kesakitan dan
meronta-ronta hebat. Ia mengulum bekapan di mulutnya dan berteriak histeris,
“Kaneki! Kaneki! Pilih aku! Tolong pilih aku saja! Haru bisa mati! Pliz,
Kaneki! Kanekiiiiiiiiiiiiiiiii!”
Namun aku sudah tak bisa bersuara
lagi saking syoknya melihat pembantaian keji di depan mataku itu. Bagaimana
ini? Aku tak bisa memilih! Aku tak mungkin membunuh teman sendiri. Tapi
bagaimana dengan pacarnya? Tatapanku terpaku. Aku bingung! Aku hanya bisa
terlongo di sini dengan tatapan terpaku ke pembunuhan itu.
Krek. Yamori melepaskan
korbannya. “Duh, lehernya patah ya?” komentarnya santai.
“Huaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrrrrggggggggggghhhhhhhhhhhh!”
si pelayan berkacamata itu meratap dan meraung histeris karena kehilangan. Ia
menggeram, menatapku dengan tatapan menusuk seolah menyalahkan penderitaannya
itu karena kepengecutanku yang tak berani bersuara apa-apa. Tapi tetap saja aku
tak bisa memilih siapa pun dalam hal ini!
Sementara itu, aku masih syok di
kursi panas ini. Yamori lalu menjambak rambutnya dan menusuknya dengan
kagunenya. Srugh!
“Ini kan yang kauinginkan,
Kaneki? Salah siapa coba mereka berdua mati semua? Kehancuran dunia ini
semuanya berasal dari ketidakberdayaan dan kelemahan seseorang. Aku berterima
kasih pada orang yang pernah mengucapkan ini padaku dulu. Meskipun dulu aku
melecehkan ucapannya ini, tapi sekarang aku mengakuinya. Sayang banget ya
orangnya udah mati.”
Uraian darah yang menghujani
lantai membuatku kembali ke alam halusinasiku. Kepalaku kembali terkulai. Air
mata mengiringinya lagi. Syok hebat.
“Mangnya aku salah kalau tak
memilih siapa yang harus mati? Tapi… tapi ini semua salahku,” ratapku terisak
pedih. Tapi harus bagaimana lagi? Benar iya, salah juga iya!
“Baru sadar ya kalau semuanya itu
karena kesalahanmu?” Rize yang kali ini berada di sisi kursiku—di bawah
genangan darahku kembali berkomentar.
Lagi-lagi aku terbawa ke alam
bawah sadarku sendiri bersamanya!
“Pantas saja kau jadi kayak
gini!” Ia kembali memprovokasiku. Ia melangkah dengan lembutnya mengelilingi kursi
tempatku terikat ini. “Kau hanya bisa duduk manis di kursi ini sementara
teman-temanmu dibantai keji. Kau tak bisa berbuat apa-apa. Ini terlalu pemurah
atau lemah? Masa kau lebih milih untuk disakiti daripada menyakiti, sih? Nggak
salah, tuh? Kamu nggak mau mengirim bajingan Yamori itu ke neraka? Lihat betapa
bejatnya ia padamu dan juga pada teman-temanmu tadi yang bermaksud baik mau
membebaskan kamu. Coba kamu pandai memilih, si wanita pasti masih bisa hidup.”
Kalimatnya itu semakin membebani
pikiranku yang sudah stres berat!
“Kau memang sangat baik, Kaneki! Jujur
aku akui itu dan tertarik pada sifat baikmu itu. Tapi bagaimana pun juga,
kehancuran dunia ini semuanya berasal dari kelemahan orang. Dan karena siapa
semuanya itu terjadi? Coba saja saat itu kau tidak lemah…”
Ia membuka jalan pikiranku (atau
justru menyesatkan, ya?) dengan membangkitkan kenangan pahit itu. Di tengah
hujan deras itu, Ryoko tengah tersenyum manis menanti eksekusinya di tangan
CCG. “R-Ryoko San?”
Tiba-tiba saja kagune meluncur
tajam ke belakang kepalanya yang hanya bisa bergeming bersimpuh di tempat.
Kuterbelalak melihatnya. Bahaya! Spontan saja hendak kuberlari untuk
menyelamatkan wanita berhati lembut itu, namun tubuhku terikat rapat ke kursi.
Kuberusaha membebaskan diri dari rantai-rantai sialan yang membelengguku ini.
Cring-cring!
“Tidak! Tidak! Jangan!
Jangaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan!!!”
Air mataku meluncur begitu
menyaksikan kematian Ryoko untuk kesekian kalinya di mataku ini. Syok. Tapi aku
tak berdaya untuk menyelamatkannya karena terbelenggu di kursi. (entah mengapa
hati ini baru tergerak untuk menyelamatkannya di dunia ilusi ini, padahal Ryoko
sudah mati di alam nyata. Mungkin karena tak ingin ada yang mati lagi setelah
melihat teman-teman baruku tadi tewas karenaku. Aku jadi merasa bersalah atas
semua kefatalan ini!).
Selanjutnya, kursi itu memutar
dan membawaku ke Anteiku. Kumelihat Toka dan Hinami dicekik di tangan besar si
keparat Yamori itu. “Toka? Hinami-chan?” Keduanya tampak sudah tak berdaya. Mata
mereka terpejam rapat. Matikah?
Yamori keparat itu lalu
melenyapkan kedua tubuh sahabatku itu. “Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaakkk!”
“Selanjutnya, orang yang paling
kausayangi,” Rize bersuara.
Kursi itu memutar lagi dan
membawaku ke koridor kampus yang selalu kulalui bersama Hide. Kupandangi Hide
yang tengah melangkah santai memunggungiku. Tidak. Tidak! Aku tak ingin
kehilangannya juga!
“Hide!” kumemekik memanggilnya.
Ia kemudian membalikkan badan dan
menatapku dingin. “Dasar kau monster!”
“Eh? Kenapa kamu bilang begitu,
Hide?” ucapannya itu membuatku rapuh.
“Kenapa kau tak jujur padaku
kalau kamu ternyata setengah ghoul? Coba kau jujur sejak awal padaku, semuanya
ini takkan terjadi…”
Bruk. Yamori berada di belakang
tubuhnya setelah menikamnya. Tidak. Tidak!
Arrrrrrrrrrrrrrrrggggggggggggghhhhhhhhhhhhhhhhhhh!
“Ini semuanya gara-gara kamu!
Gara-gara siapa mereka semua mati? Inilah masa depan yang kaupilih!” suara Rize
kembali menyeruak di tengah kesadaranku. “Semua orang yang sangat berharga
dalam hidupmu akan mati.”
Kursi yang membelengguku kembali
ke taman bunga putih itu. Hiks-hiks-hiks…
Rize mengitariku—membayang-bayangi
akalku. “Karena apa mereka semuanya mati? Takdir? Kecelakaan? Kebetulan? Nggak
ada namanya takdir. Yang ada itu sebab-akibat. Nah, siapa yang menyebabkan itu
semua? Apa akibatnya? Sudah kaulihat sendiri bukan dengan mata kepalamu sendiri?”
Sementara itu, kepalaku
terkulai—kembali menangis tersedu-sedu. Ya, aku memang lemah. Lemah. Lemah! Huhuhuks…
“Kau ini nggak sadar kalau kau
memilih keduanya, sebenarnya kau sudah mengabaikan keduanya pula. Kau lebih
memilih kedua temanmu tadi untuk hidup, eh malah keduanya yang mati. Heh, apa
kau masih berpikir kalau disakiti itu lebih baik daripada menyakiti? Kau tak
mau kuat untuk teman-temanmu? Bagaimana dengan mereka kalau kau disakiti terus?
Bagaimana kau bisa melindungi mereka? Apa kau mau mereka dalam bahaya? Kau mau
ada yang mati lagi karenamu?”
Ia menyentuh wajah
sayuku—merayuku yang tengah stres luar biasa ini.
“Aku harus meracunimu. Sudah
saatnya kau move on dari prinsip tolol itu. Itu sudah tak berlaku lagi bagimu
yang sekarang ini. Lihat situasinya sekarang. Kau sekarang sudah beda keadaannya,
tak seperti ibumu itu. Kita ini sudah diubah jadi monster oleh eksperimen kotor
itu. Kita ini monster dan ibumu itu
bodoh!”
Kutertunduk. “Stop,” lirihku.
“Berhenti bicara.”
“Ya, ibumu itu bodoh! Coba dia
nggak kasih uang dan tegas menolak bibimu itu, ia tak perlu mati sia-sia dan
meninggalkanmu sendirian di dunia ini. Itu bukan kebaikan namanya, itu namanya
lemah. Ia tak memikirkan dirimu bagaimana nantinya. Lihat sendiri kan jadinya?
Kau masih saja mau seperti ibumu?”
“Plis, hentikan,” ratapku dengan
wajah tertunduk—mulai bersimbah air mata lagi karena tak tega ibuku
dihina-hinanya. Itu tak benar! Ibu sangat memikirkanku. Buktinya ia bekerja
keras demi menghidupiku, namun…
“Kau pikir ibumu luar biasa
saking baiknya? Itu mengagumkan! Kau sangat bangga ibumu yang seperti itu? Tapi
buktinya, ia lebih memilih bibimu daripada dirimu,” Rize kembali menghasut.
“Tolong… tolong diam,” isakku.
Tolong jangan hina ibuku lagi! Aku mohon! (saking lemahnya sebagai lelaki,
ibunya dihina pun masih segan mukul dan membentak cewek, masih aja sopan. Sangat
anti kekerasan!).
“Tapi aku benar, kan? Apa kau
masih mau menyimpan prinsip ibumu itu? Kau mau mati konyol karena prinsip itu
di sini dan bagaimana dengan teman-temanmu? Aogiri itu edan, loh. Mereka tak
akan segan-segan membantai ghoul yang menentang mereka—termasuk di Anteiku.
Sekarang, pikirkanlah teman-temanmu—Hide dan mereka yang ada di Anteiku.”
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhh!!!”
pekikku stres luar binasa. Sekarang, ia membiarkanku menyelami ucapannya
barusan. Ia ada benarnya, tapi…
“Mama… Mama… kenapa kau
meninggalkanku sendiri?” kepalaku kembali tertunduk sedih. “Kenapa kau lebih
memilih bibi daripada diriku? Aku kesepian. Aku kesepian!”
“Jadi apa kau sudah berubah
pikiran sekarang? Bagaimana? Apa kau masih ingin begini terus? Atau…”
Kepalaku sudah terasa berat—penuh
beban pikiran. “Aku ingin kuat. Aku tak ingin ada orang yang merebut tempatku
dan menyakiti teman-temanku! Takkan kubiarkan!” pikiranku mulai terhasut.
“Meski harus menyakiti orang?”
Rize memberi pertanyaan jebakan—seolah mengejek.
“Iya! Meski harus begitu!”
teriakku histeris—stres dan panas.
“Meski harus mengabaikan bibimu?”
“Ya! Meski harus begitu!” pekikku
sekuat tenaga dengan air mata yang masih berderai-derai.
“Meski harus menyerahkan
nyawanya?”
“Ya! Meski harus begitu, biarkan
saja!” raungku ngos-ngosan.
Rize tersenyum puas melihat
kebuasanku yang diciptakannya ini. Ia berhasil mendidik akalku untuk berani dan
ganas. “Anak baik. Gitu, dong! Seharusnya kamu begitu…”
Sementara itu, akalku mulai
mencerna. Apa yang sebenarnya kukatakan barusan? Berani sekali! Tapi bukankah…
bukankah itu mengerikan?
“Aku menerima semua masukanmu,”
sahutku masih dengan kepala tertunduk. “Terus aku harus bagaimana?”
“Jadi kau… kau sependapat
denganku? Maksudku… apakah kau mau menerimaku sepenuhnya dalam tubuhmu?”
Kuterdiam sejenak (mengisap
ingus). “Aku… tak bilang begitu.”
“Aku senang kau tak jadi cowok
lemah kayak tadi lagi…”
Cring! Tanpa diduganya, aku
kemudian menjatuhkan tubuhku ke atas tubuhnya. Kutahan kedua lengannya dengan
lenganku—meski gelang borgol dan rantainya masih menempel di sana. Taman bunga
yang putih itu pun secara perlahan berubah menjadi bunga darah dan menjalar
seperti jamur. Indah sekali!
Ia menatapku dengan mata ghoulnya
yang redup dan kupelototi ia seperti orang gila. Air mata stresku masih
menetes-netes. Akalku sudah diracuninya—akalku sudah rusak dengan segala macam siksaan
yang ditimpakan selama berhari-hari di tubuh dan pikiranku plus oleh gadis yang
ada dalam tubuhku ini.
“Lakukan,” bisiknya dengan suara
seksi.
Aku tak boleh ragu lagi! Meski
semuanya bertentangan dengan nurani ini. Tapi aku harus melakukan ini semua
demi mereka yang kucintai agar aku tak sendirian lagi menghadapi dunia ini. Aku
harus mendapatkan kekuatan dari gadis ini dan terlepas dari belenggu sinting
ini. Aku bukan mainan. Aku bukan alat. Aku bukan orang yang harus disakiti
terus. Aku… aku manusia? Bukan… aku sudah menyerah! Aku tak bisa memperjuangkan
wilayah dan teman-temanku selama… selama aku menjadi manusia… ?!
Krauk… krauk… krauk….
“Kau hanya bisa mewujudkan
kekuatan itu hanya dengan makan. Ya, dengan memakanku kau pasti bisa
mempertahankan wilayah dan melindungi teman-temanmu.”
Hosh-hosh… kuterus memangsa tubuh
lembut Rize dengan rakusnya… dengan lahapnya. Dengan akal yang sudah heng berat
karena depresi yang sangat menyiksa setelah disekap berhari-hari. Aku tak bisa
memurnikan hatiku lagi. Kubiarkan diriku lenyap di tiap gigitanku. Kubiarkan
sel tubuhku berganti—termasuk sifat terpujiku. Kubiarkan saja diri ini berubah
dari setengah ghoul menjadi…
Noda darah menjilat sekitar area
mulutku setelah kumenyelesaikan semuanya. Takkan ada lagi air mata. Warna
rambutku yang berganti menjadi putih—seputih taman bunga itu menegaskan identitas
baruku yang sekarang ini.
Aku adalah ghoul!
=====================================================================
baca battle seru lainnya dengan ngeklik gambar di bawah ini menuju sumber entrinya. dukung entri aku ya:
0 komentar:
Posting Komentar