THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Senin, 07 Maret 2016

TOKYO GHOUL - 9

di episod ini datar2 aja n penuh keharuan malah akan kekeluargaan, indah dan tenang... klik gambar menuju episod yang dimaksud... ada seru2nya juga kok di opening soal amon kun hehe...





“Telah terjadi penyerangan besar-besaran para ghoul di wilayah seberang, sepertinya sebentar lagi akan terjadi peperangan antara CCG dan para ghoul itu. Diharapkan untuk tidak banyak bepergian di daerah konflik tersebut…”
Huh! Hampir setiap hari, selalu saja ada berita mengenai ghoul dan kami memilih untuk hidup damai di tengah masyarakat seperti ini. Geng ghoul yang mana sih yang tega berbuat onar seperti itu?
“Kakak!” Di tengah-tengah keprihatinanku ini, tiba-tiba saja Hinami memekik memanggilku pas saat kukeluar ruangan. Kulihat ia di koridor itu.
“Hinami?” Kumengernyit begitu melihatnya mengenakan masker, kacamata hitam, dan rambut palsu panjang acak-acakan—hm sungguh tak pas untuknya. Tampak seperti orang aneh—kayak teroris. “Kenapa kau menyamar seperti itu, Dek?”
“Aku mau beli rumah buat Hetare!” sahutnya riang sambil membuka kacamata hitamnya. Ya, ampun! Harus sampai sebegininya dia sekarang ini. Tapi ia masih bisa seriang itu. Kasihan, wajahnya kan sudah dikenali CCG itu. Tapi bukannya penampilan itu justru menarik perhatian dan curiga, ya?
“Kamu sendirian?” tanyaku care.
“Aku sama Kak Yomo!” riangnya sambil menggamit tangan Yomo.
“Oke, hati-hati, ya!” Kutersenyum senang bisa melihat keceriaan Hinami lagi. Aku yakin Yomo pasti bisa melindunginya dengan baik. Aku juga senang karena Hinami sudah tak kesepian lagi karena sudah punya teman baru bernama—
“Hetare!” Seekor burung kakatua di bahu Pak Yoshi lalu menyahut memperkenalkan dirinya. Ya, itulah teman baru Hinami sekarang ini. Lucu juga melihatnya!
Ya, sejak saat itu, Hinami tinggal bersama Toka di kosannya di atas. Akhirnya dia bisa ceria lagi dan tersenyum cerah seperti itu. Syukurlah! Aku sempat cemas karena setelah kematian orangtuanya, dia tampak sangat murung. Aku bisa merasakan hebatnya kemurungan itu ketika masih kecil dulu. Untunglah kehadiran burung itu membuat kemurungannya itu hilang. Aku senang tak ada lagi beban dan perlahan ia bisa melupakan kepedihan itu. Bagaimana pun juga, kita semua meresponi kesedihan itu dengan cara yang berbeda-beda. Hiks…
“Kaneki,” Toka menyembulkan kepala menatapku dari ceruk dinding. “Hinami dah pergi beli rumah ya buat burung itu?”
Aku mengangguk saja. “Ia kelihatan senang. Syukurlah!”
“Huh! Aku sama sekali gak bisa membiarkan burung itu tinggal di rumahku,” keluhnya sambil memasuki ruang ganti.
Aku terus memandanginya. Meskipun judes setengah mati, tapi ia sangat care pada Hinami. Itu yang membuatku salut padanya.
“Apaan lu liatin gue mulu?” hardiknya. “Kubunuh kau nanti!”
“Ah, nggak,” kugelagapan dan ia pun menutup pintunya. Huh! Dasar Toka. Ia selalu saja keras dan ketus padaku. Sifat galaknya masih saja…
(Di kafe…)
Prang!
“Astaga! Hati-hati, Cewek Sialan!” hardik Nishi kasar ketika Toka tak sengaja memecahkan piring.
“Apaan lo, Nishi Sialan! Gitu caramu bicara ama seniormu di kafe ini?”
“Bweh, di kafe tak berguna kayak gini maksud lo? Dasar Toka sialan!”
Ya, ampun! Mereka memang selalu begitu, tak akan bisa akur juga meski di satu tempat. Huft, biar aku saja yang membereskan pecahannya di lantai. Sementara itu, mereka masih saja adu mulut—tak ada yang berhasil melerainya dan… berita tentang penyerangan ghoul di wilayah seberang pun mengalun—tapi tak ada yang mendengarkannya baik-baik.
(Di bar…)
“Jadi kamu melukai tubuh kuat Ren, ya? Sulit dipercaya!” ungkap Itori saat aku curhat padanya malam itu.
“Tapi aku sama sekali nggak sadar akan apa yang kulakukan kemarin dulu,” galauku. “Hampir saja kumemakan Yomo. Soalnya Rize di tubuhku semakin memengaruhiku. Seandainya saja aku tak berpikiran untuk menggunakannya waktu itu…”
“Jadi kau datang ke sini untuk membahas soal Rize?”
Ia tahu apa maksud kedatanganku yang penasaran akan Rize itu. “Apa kau bisa cerita seperti apa ia? Kan ia sudah menjadi bagian dari diriku juga soalnya.”
“Gimana, ya?” Itori tampak berpikir sejenak. “Ia itu orangnya bisa nongol di mana aja. Ya, di mana aja.”
Kulihat ekspresi segannya seolah-olah ia melihat sosok Rize di pantulan bayangan gelasnya. Ng? sepertinya Rize itu sangat ditakuti ya meskipun ia sudah mati sekali pun. Tapi kenapa?
“Eh, kalo kamu mau tahu soal dia, kamu datang aja ke wilayah seberang sono karena ia berasal dari sana. Ia memang suka berpindah-pindah.”
(Di jalan malam-malam…)
Ke wilayah seberang, ya? Aku akan ke sana kalo lagi libur…
Bruk. Eh? Tiba-tiba saja kubertabrakan dengan seorang gadis aneh.
“Maaf!” sahutku sopan meski ia yang duluan menabrakku. Itu spontanitasku saja.
“Aku yang minta maaf,” katanya seperti orang mabuk. Ia pun berlalu. Tapi begitu ia melintas, kumengendus bau enak darinya. Entah sensasi seperti apa yang kurasakan ini…
(Di kafe pagi-pagi…)
“Jadi kamu kecopetan? Kamu ingat mukanya?” tanya Hide waktu kuceritakan tentang dompetku yang hilang.
“Nggak,” kataku sambil terus bekerja. “Isinya juga nggak penting-penting amat, kok.” Kutersenyum tanpa beban padanya.
“Menyedihkan amat sih lo!” gerutu Nishi sambil lewat. “Dicopet tapi seolah nggak dapat musibah.”
Ya, beginilah aku! Aku sama sekali tak memikirkan isi dompet itu. Biarkan sajalah. Cari tahu dan mengingat di mana tepatnya dan oleh siapa dicopet aja, tidak. Aku juga tak memikirkan harus ribet mengurus ulang kartu-kartu identitas di situ. Ikhlasin aja.
Setelah kepergiannya, tinggal aku berdua bersama Hide di sana sambil dengar berita.
“Hm, gawat juga ya di wilayah seberang. Para ghoul itu sudah keterlaluan!” Ia tampak beranalisis panjang-lebar soal ghoul.
Mendengarnya, hatiku jadi risih dan tak enak hati, soalnya ia membicarakan sesuatu yang membahayakannya sendiri. Kenapa ia begitu serius membicarakannya? Membuatku jadi salah tingkah saja.
“Kau begitu tertarik soal ghoul, ya?” tanyaku gelagapan plus cemas. Aku ingin sekali tak membicarakan soal ini. Soalnya ia kan ga tahu Anteiku ini sarang ghoul pecinta damai.
Ia memandangku penuh arti. Eh… kenapa ia memandangku seperti itu? Jangan sampai—
“Soalnya aku kesengsem ama majalah soal ghoul ini!” Ia menunjukkan sebuah majalah padaku dan menceritakan keseruannya panjang-lebar. Aku tak mendengarkannya baik-baik, tapi aku lega banget soalnya ia tak sampai mengetahui identitas baruku dan Anteiku ini. Ia bisa dalam bahaya kalau begitu!
“Eh, aku cabut dulu ya, Kaneki!” Hide pun cabut. Fiuh, mungkin akunya saja yang terlalu khawatir. Soalnya, apa salahnya kalau ia tertarik soal ghoul yang hanya sebatas di majalah itu saja? Ya, nggak?
“Eh, Toka mana?” Nishi bertanya padaku yang tengah mengelap gelas bersih. “Daritadi nggak kelihatan. Kaneki, coba kau lihat dia. Soalnya dia kan nggak bisa ngurusin Hetare sendirian di sana.”
(Di kosan Toka…)
“Toka?” Kubertamu di kosan Toka sambil membuka pintunya kemudian masuk. Kulihat ia tengah duduk di depan kandang Hetare.
“Aku jadi penasaran siapa sebenarnya keluarga anak ini,” lirihnya sendu.
“Ng? Maksudmu apa?” Kududuk di sampingnya—di depen kandang Hetare itu.
“Hetare ditemukan terluka sendirian oleh Hinami yang memutuskan untuk memeliharanya. Dia pasti punya keluarga juga. Di keluargaku aku dulu punya ayah dan adik laki-laki. Kami juga pernah miara burung kecil seperti ini. Melihat burung ini, aku jadi teringat burung yang kupiara dengan adikku waktu kecil dulu. Kami menemukannya sedang terluka. Kasihan dia. Kami memungutnya dan memberinya makan. Kami mencarikannya cacing bersama—meskipun adikku geli pada cacing itu padahal dia laki-laki. Kami selalu bersama. Kata ayah, adikku itu sama gelinya pada cacing kayak ayahku dan aku sama tomboinya seperti ibuku,” tampak wajah penuh kerinduan pada keluarga dari mimik wajah sendunya yang bisa kubaca di sana. “Kalau kamu? Ada siapa saja dalam keluargamu, Kaneki?”
“Ng… aku tak ingat soal ayahku karena dia meninggal waktu aku masih sangat kecil sedangkan ibuku…”
Ah, ngapain membahas soal menyedihkan ini? Kenapa harus berbagi hal baper seperti ini dengannya? Sangat sensitif!
“Kakak!” tiba-tiba saja Hinami masuk dengan penampilan barunya.
“Eh? Kamu potong rambut?” komentarku.
“Kak Toka yang motongin,” jawabnya ceria.
Kupandangi Toka tak percaya. Masa, sih?
“Apa liat-liat? Bagimu pasti aku tak seperti itu, kan?” judesnya.
“Ah, nggak. Nggak nyangka aja kamu bisa motongin rambut Hinami sebagus itu,” pujiku tersenyum.
“Bajingan. Bajingan…” tiba-tiba saja Hetare berkicau binal.
“Diem!” Toka jadi naik darah mendengarnya. “We! Kotor juga ya mulutmu itu! Ntar kamu kutaruh di minyak panas baru tahu rasa!”
“Aku Hetare… aku seekor kucing…”
Haha! Siapa dulu pemilik rumahnya. Ia pasti menirukan bahasa Toka kalau ia lagi marah.
Sungguh menenangkan bisa hidup seperti ini bersama mereka—keluarga baruku. Ini baru hidup yang sesungguhnya. Tersenyum dan tawa keceriaan itulah hidup yang sebenarnya. Kami ghoul—tapi kami bisa hidup damai dengan manusia… tak seperti para ghoul yang selalu dikabarkan di TV itu—Aogiri!


========================================================================
baca beattle seru lainnya dengan mengklik gambar di bawah ini menuju sumber linknya ya :=(D

http://battle-of-realms-6.blogspot.co.id/2016/03/fbc-015-ghoul.html?showComment=1457134334921#c4115306077024512880

0 komentar: