di episod ini datar2 aja n penuh keharuan malah akan kekeluargaan, indah dan tenang... klik gambar menuju episod yang dimaksud... ada seru2nya juga kok di opening soal amon kun hehe...
“Telah terjadi penyerangan
besar-besaran para ghoul di wilayah seberang, sepertinya sebentar lagi akan
terjadi peperangan antara CCG dan para ghoul itu. Diharapkan untuk tidak banyak
bepergian di daerah konflik tersebut…”
Huh! Hampir setiap hari, selalu saja
ada berita mengenai ghoul dan kami memilih untuk hidup damai di tengah
masyarakat seperti ini. Geng ghoul yang mana sih yang tega berbuat onar seperti
itu?
“Kakak!” Di tengah-tengah
keprihatinanku ini, tiba-tiba saja Hinami memekik memanggilku pas saat kukeluar
ruangan. Kulihat ia di koridor itu.
“Hinami?” Kumengernyit begitu
melihatnya mengenakan masker, kacamata hitam, dan rambut palsu panjang
acak-acakan—hm sungguh tak pas untuknya. Tampak seperti orang aneh—kayak
teroris. “Kenapa kau menyamar seperti itu, Dek?”
“Aku mau beli rumah buat Hetare!”
sahutnya riang sambil membuka kacamata hitamnya. Ya, ampun! Harus sampai
sebegininya dia sekarang ini. Tapi ia masih bisa seriang itu. Kasihan, wajahnya
kan sudah dikenali CCG itu. Tapi bukannya penampilan itu justru menarik
perhatian dan curiga, ya?
“Kamu sendirian?” tanyaku care.
“Aku sama Kak Yomo!” riangnya
sambil menggamit tangan Yomo.
“Oke, hati-hati, ya!” Kutersenyum
senang bisa melihat keceriaan Hinami lagi. Aku yakin Yomo pasti bisa
melindunginya dengan baik. Aku juga senang karena Hinami sudah tak kesepian
lagi karena sudah punya teman baru bernama—
“Hetare!” Seekor burung kakatua
di bahu Pak Yoshi lalu menyahut memperkenalkan dirinya. Ya, itulah teman baru
Hinami sekarang ini. Lucu juga melihatnya!
Ya, sejak saat itu, Hinami
tinggal bersama Toka di kosannya di atas. Akhirnya dia bisa ceria lagi dan
tersenyum cerah seperti itu. Syukurlah! Aku sempat cemas karena setelah
kematian orangtuanya, dia tampak sangat murung. Aku bisa merasakan hebatnya
kemurungan itu ketika masih kecil dulu. Untunglah kehadiran burung itu membuat
kemurungannya itu hilang. Aku senang tak ada lagi beban dan perlahan ia bisa
melupakan kepedihan itu. Bagaimana pun juga, kita semua meresponi kesedihan itu
dengan cara yang berbeda-beda. Hiks…
“Kaneki,” Toka menyembulkan
kepala menatapku dari ceruk dinding. “Hinami dah pergi beli rumah ya buat
burung itu?”
Aku mengangguk saja. “Ia
kelihatan senang. Syukurlah!”
“Huh! Aku sama sekali gak bisa
membiarkan burung itu tinggal di rumahku,” keluhnya sambil memasuki ruang
ganti.
Aku terus memandanginya. Meskipun
judes setengah mati, tapi ia sangat care pada Hinami. Itu yang membuatku salut
padanya.
“Apaan lu liatin gue mulu?”
hardiknya. “Kubunuh kau nanti!”
“Ah, nggak,” kugelagapan dan ia
pun menutup pintunya. Huh! Dasar Toka. Ia selalu saja keras dan ketus padaku.
Sifat galaknya masih saja…
(Di kafe…)
Prang!
“Astaga! Hati-hati, Cewek
Sialan!” hardik Nishi kasar ketika Toka tak sengaja memecahkan piring.
“Apaan lo, Nishi Sialan! Gitu
caramu bicara ama seniormu di kafe ini?”
“Bweh, di kafe tak berguna kayak
gini maksud lo? Dasar Toka sialan!”
Ya, ampun! Mereka memang selalu
begitu, tak akan bisa akur juga meski di satu tempat. Huft, biar aku saja yang
membereskan pecahannya di lantai. Sementara itu, mereka masih saja adu mulut—tak
ada yang berhasil melerainya dan… berita tentang penyerangan ghoul di wilayah
seberang pun mengalun—tapi tak ada yang mendengarkannya baik-baik.
(Di bar…)
“Jadi kamu melukai tubuh kuat
Ren, ya? Sulit dipercaya!” ungkap Itori saat aku curhat padanya malam itu.
“Tapi aku sama sekali nggak sadar
akan apa yang kulakukan kemarin dulu,” galauku. “Hampir saja kumemakan Yomo.
Soalnya Rize di tubuhku semakin memengaruhiku. Seandainya saja aku tak
berpikiran untuk menggunakannya waktu itu…”
“Jadi kau datang ke sini untuk
membahas soal Rize?”
Ia tahu apa maksud kedatanganku
yang penasaran akan Rize itu. “Apa kau bisa cerita seperti apa ia? Kan ia sudah
menjadi bagian dari diriku juga soalnya.”
“Gimana, ya?” Itori tampak
berpikir sejenak. “Ia itu orangnya bisa nongol di mana aja. Ya, di mana aja.”
Kulihat ekspresi segannya
seolah-olah ia melihat sosok Rize di pantulan bayangan gelasnya. Ng? sepertinya
Rize itu sangat ditakuti ya meskipun ia sudah mati sekali pun. Tapi kenapa?
“Eh, kalo kamu mau tahu soal dia,
kamu datang aja ke wilayah seberang sono karena ia berasal dari sana. Ia memang
suka berpindah-pindah.”
(Di jalan malam-malam…)
Ke wilayah seberang, ya? Aku akan
ke sana kalo lagi libur…
Bruk. Eh? Tiba-tiba saja
kubertabrakan dengan seorang gadis aneh.
“Maaf!” sahutku sopan meski ia
yang duluan menabrakku. Itu spontanitasku saja.
“Aku yang minta maaf,” katanya
seperti orang mabuk. Ia pun berlalu. Tapi begitu ia melintas, kumengendus bau
enak darinya. Entah sensasi seperti apa yang kurasakan ini…
(Di kafe pagi-pagi…)
“Jadi kamu kecopetan? Kamu ingat
mukanya?” tanya Hide waktu kuceritakan tentang dompetku yang hilang.
“Nggak,” kataku sambil terus
bekerja. “Isinya juga nggak penting-penting amat, kok.” Kutersenyum tanpa beban
padanya.
“Menyedihkan amat sih lo!” gerutu
Nishi sambil lewat. “Dicopet tapi seolah nggak dapat musibah.”
Ya, beginilah aku! Aku sama
sekali tak memikirkan isi dompet itu. Biarkan sajalah. Cari tahu dan mengingat
di mana tepatnya dan oleh siapa dicopet aja, tidak. Aku juga tak memikirkan
harus ribet mengurus ulang kartu-kartu identitas di situ. Ikhlasin aja.
Setelah kepergiannya, tinggal aku
berdua bersama Hide di sana sambil dengar berita.
“Hm, gawat juga ya di wilayah
seberang. Para ghoul itu sudah keterlaluan!” Ia tampak beranalisis
panjang-lebar soal ghoul.
Mendengarnya, hatiku jadi risih
dan tak enak hati, soalnya ia membicarakan sesuatu yang membahayakannya sendiri.
Kenapa ia begitu serius membicarakannya? Membuatku jadi salah tingkah saja.
“Kau begitu tertarik soal ghoul,
ya?” tanyaku gelagapan plus cemas. Aku ingin sekali tak membicarakan soal ini. Soalnya
ia kan ga tahu Anteiku ini sarang ghoul pecinta damai.
Ia memandangku penuh arti. Eh…
kenapa ia memandangku seperti itu? Jangan sampai—
“Soalnya aku kesengsem ama
majalah soal ghoul ini!” Ia menunjukkan sebuah majalah padaku dan menceritakan
keseruannya panjang-lebar. Aku tak mendengarkannya baik-baik, tapi aku lega
banget soalnya ia tak sampai mengetahui identitas baruku dan Anteiku ini. Ia
bisa dalam bahaya kalau begitu!
“Eh, aku cabut dulu ya, Kaneki!”
Hide pun cabut. Fiuh, mungkin akunya saja yang terlalu khawatir. Soalnya, apa
salahnya kalau ia tertarik soal ghoul yang hanya sebatas di majalah itu saja?
Ya, nggak?
“Eh, Toka mana?” Nishi bertanya
padaku yang tengah mengelap gelas bersih. “Daritadi nggak kelihatan. Kaneki,
coba kau lihat dia. Soalnya dia kan nggak bisa ngurusin Hetare sendirian di sana.”
(Di kosan Toka…)
“Toka?” Kubertamu di kosan Toka
sambil membuka pintunya kemudian masuk. Kulihat ia tengah duduk di depan
kandang Hetare.
“Aku jadi penasaran siapa
sebenarnya keluarga anak ini,” lirihnya sendu.
“Ng? Maksudmu apa?” Kududuk di
sampingnya—di depen kandang Hetare itu.
“Hetare ditemukan terluka
sendirian oleh Hinami yang memutuskan untuk memeliharanya. Dia pasti punya
keluarga juga. Di keluargaku aku dulu punya ayah dan adik laki-laki. Kami juga
pernah miara burung kecil seperti ini. Melihat burung ini, aku jadi teringat
burung yang kupiara dengan adikku waktu kecil dulu. Kami menemukannya sedang
terluka. Kasihan dia. Kami memungutnya dan memberinya makan. Kami mencarikannya
cacing bersama—meskipun adikku geli pada cacing itu padahal dia laki-laki. Kami
selalu bersama. Kata ayah, adikku itu sama gelinya pada cacing kayak ayahku dan
aku sama tomboinya seperti ibuku,” tampak wajah penuh kerinduan pada keluarga
dari mimik wajah sendunya yang bisa kubaca di sana. “Kalau kamu? Ada siapa saja
dalam keluargamu, Kaneki?”
“Ng… aku tak ingat soal ayahku
karena dia meninggal waktu aku masih sangat kecil sedangkan ibuku…”
Ah, ngapain membahas soal
menyedihkan ini? Kenapa harus berbagi hal baper seperti ini dengannya? Sangat
sensitif!
“Kakak!” tiba-tiba saja Hinami
masuk dengan penampilan barunya.
“Eh? Kamu potong rambut?”
komentarku.
“Kak Toka yang motongin,”
jawabnya ceria.
Kupandangi Toka tak percaya. Masa,
sih?
“Apa liat-liat? Bagimu pasti aku
tak seperti itu, kan?” judesnya.
“Ah, nggak. Nggak nyangka aja
kamu bisa motongin rambut Hinami sebagus itu,” pujiku tersenyum.
“Bajingan. Bajingan…” tiba-tiba
saja Hetare berkicau binal.
“Diem!” Toka jadi naik darah
mendengarnya. “We! Kotor juga ya mulutmu itu! Ntar kamu kutaruh di minyak panas
baru tahu rasa!”
“Aku Hetare… aku seekor kucing…”
Haha! Siapa dulu pemilik
rumahnya. Ia pasti menirukan bahasa Toka kalau ia lagi marah.
Sungguh menenangkan bisa hidup
seperti ini bersama mereka—keluarga baruku. Ini baru hidup yang sesungguhnya.
Tersenyum dan tawa keceriaan itulah hidup yang sebenarnya. Kami ghoul—tapi kami
bisa hidup damai dengan manusia… tak seperti para ghoul yang selalu dikabarkan
di TV itu—Aogiri!
========================================================================
baca beattle seru lainnya dengan mengklik gambar di bawah ini menuju sumber linknya ya :=(D
0 komentar:
Posting Komentar