THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Selasa, 01 Maret 2016

TOKYO GHOUL - 8

episod yang ini keren, loh! penuh keharuan dan pengorbanan. ceile! pasang badan, suit-suit. klik gambar menuju episodnya. klik dan met watching ya...


https://www.youtube.com/watch?v=VKZY5rHwoxs&list=PLH7HPkIcGtYqPkA-aZzg9kXt6irbFKY7f&index=8



“Toka-Chan?”
Toka mana, sih? Kok daritadi nggak kelihatan? Sekian lama kumencarinya, akhirnya kumendapatinya juga di sebuah ruangan. “Kau dari mana saja, sih? Apa ada yang bisa kubantu?” Sebenarnya aku mencemaskannya yang suka bepergian tanpa izin itu. Aku takut kalau dia—
“Bukan urusanmu,” tandasnya tandus seperti biasa sambil memasukkan barangnya ke loker. Ia kemudian keluar menuju kamar Hinami.
“Toka, katakan saja kalau ada yang bisa kulakukan buat kalian. Aku ingin bisa berguna bagi kalian,” kumeyakinkannya.
“Nggak usah,” katanya dingin sambil terhenti di sampingku. “Untuk saat ini, kau belum perlu melakukan apa-apa.”
Kemudian ia memasuki kamar Hinami. “Eh? Hinami mana?”
(Di taman bermain…)
“Hinami! Hinami!”
Malam itu, kami berdua mencari-cari anak itu di sana. Tapi aku tak menemukannya di bagian sini, di bagian Toka juga. “Toka? Bagaimana? Ketemu belum?” tanyaku begitu menghampirinya.
“Belum! Bagaimana denganmu?!”
Aku pun menggeleng sama sepertinya. “Jangan-jangan dia ada di—“
(Di saluran pembuangan air…)
“Tempat apa ini? Tapi kenapa ia ke tempat ini?” tanya Toka.
Kutermenung sedih. “Ini tempat di mana ibunya—“ Kutak sanggup meneruskannya karena tak tega mengingat kepahitan itu.
Toka yang bisa langsung mengerti, mengepalkan tangannya geram. Aku tahu ia pun bisa merasakan kepedihan yang sama. “Aku akan mencarinya di sekitar sini!”
Aku pun melakukannya di tempat yang berbeda—terpisah dengannya. Kupanggil-panggil nama Hinami. Tapi kenapa juga ia ke sini? Kan bahaya! Hosh-hosh. Di mana sih dia? Aku sampai kewalahan.
“Mamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!” suara jerit histeris itu membuatku tersadar.
“Itu suara Hinami!” Bergegas kumenuju suara itu dan melihat Toka juga sedang berlari kencang menuju ke sana. “Toka-Chan.”
Namun tiba-tiba saja, kulihat seseorang bergerak cepat mengejar Toka. “Pria itu!” Kuterbelalak begitu melihatnya—si merpati (investigator ghoul CCG—Amon). “Gawat! Aku harus segera membloknya. Jangan sampai Toka kenapa-napa!”
Tapi kenapa pria itu ada di sini? Jangan-jangan ini jebakan untuk menangkap Toka melalui umpan Hinami. Mereka pasti tahu penciuman Hinami yang tajam (pasti ada sesuatu di sana) dan betapa care-nya Toka pada bocah itu. Begitu suara Hinami pecah, Toka pun secara otomatis menuju tempat jebakan itu. Tapi aku takkan biarkan orang ini mendapatkannya!
Aku pun bergerak cepat memanjat pagar dan berlari kencang memblok pria itu dan…
Srek! Langsung saja kumemblok langkah pria itu—tepat di hadapannya dengan memunggunginya. Tak semudah itu dan aku akan melindungi Toka juga Hinami.
“Kau… kau siapa? Apa kau teman si kelinci itu?” Akhirnya ia terhenti juga karenaku.
Zzzzzzzzzzzz… hujan pun turun dengan derasnya. (menambah dramatis pertarungan out door saja).
Secara perlahan, kumembalikkan badan dan menurunkan tudung jaketku. Ia hanya bisa melihat wajahku yang mengenakan topeng mask kakuja (eh, cepatnya pake topeng!). Lawanmu adalah aku!
“Eh? Tolong kamu menyingkirlah. Aku tak punya banyak waktu yang harus kusia-siakan denganmu. Aku harus segera menangkap kelinci itu!” teguhnya.
“Kau tak boleh ke mana-mana!” pekikku di tengah hujan deras itu. “Hadapi aku dulu. Akulah lawanmu!”
Pertarungan pun tak terelakkan. Dengan kemampuan bela diri apa adanya, kuberusaha membuang-buang waktunya dengan tenaga manusia biasaku ini dan… bruk.
“Jangan main-main! Aku tak punya urusan sama kamu!”
Tenaga kuatnya lalu membantingku hingga terbaring. Wajahku tersiram air hujan yang semakin membahana. Duh! Dia bukan lawan yang main-main tentunya. Tapi aku juga tak main-main!
“Aku harus membantai kelinci itu. Kenapa kamu menghalangiku?”
Kumemejamkan mata kesakitan—meringis-ringis. Tidak! Ini tak boleh terjadi. Aku takkan biarkan pria ini membunuh Toka. Akan tekad itu, kemudian kubuka mata ghoul-ku dengan pandangan mengancam.
“Kau ghoul juga?!” Ia kemudian mengeluarkan senjata andalannya. Wow! “Aku takkan biarkan siapa pun menghalangiku karena kelinci itu sudah membunuh temanku! Rasakan serangan quinque-ku ini!”
Ini pertarunganku dengannya dan aku akan melawannya di sini! Kuberusaha melawannya semampuku—dengan gerakan lumayan. Duagh! Tapi serangannya kemudian membuatku terjatuh ke saluran pembuangan air itu dalam keadaan tersungkur. Arrrrghhh! Byur…
Aduh! Tak lama, ia menyusuliku dengan menuruni tangga. “Sebenarnya sudah lama aku ingin menanyakan sesuatu pada kalian,” katanya kalem dan dingin. Ia lalu menodongku dengan quinque-nya. “Kalian yang tanpa berdosa membunuh dan menelan orang. Tak ada ampun buat kalian! Kalian memang jahat! Kalian sudah membuat anak-anak kecil menjadi yatim piatu karena orangtuanya kalian makan. Kalian pasti tak tahu betapa kesepiannya mereka. Apa salah mereka?”
Kemudian kuteringat Hinami. Hinami juga kan sama! Ia kehilangan orangtuanya karena kalian.
“Dan lagi, apa salahnya temanku? Apa karena ia seorang investigator ghoul, makanya si kelinci itu membunuhnya? Apa karena ia manusia? Jangan bercanda. Kau tak akan pernah mengerti, karena kau ghoul!”
Kuterbelalak. Jadi… jadi Toka—
“Kalian tak bisa merasakan perihnya kehilangan itu, kan? Seharusnya kalian tak ada di dunia ini! Kalian ini sudah merusak dan menghancurkan dunia saja.”
Sekarang ia malah menggencetku leherku dengan quinque-nya. Sepertinya malah aku yang kena sasaran, padahal sebelumnya bukankah aku juga sama seperti mereka?
“Kau salah. Tak hanya ghoul yang merusak dunia ini, tapi juga kalian.”
“Grmbl! Bicara apa kau ini?!”
Ia malah melampiaskan amarahnya padaku yang setengah ghoul ini! Silakan… silakan aja bantai aku…
Mungkin dengan cara ini, aku bisa membuatmu mengerti bagaimana perasaan ghoul! Aku ingin bisa membuatmu mengerti, agar ghoul dan manusia tak saling mendendam lagi…
Berkali-kali aku harus jatuh-bangun karena serangannya. “Tapi tak semua ghoul seperti itu! Beberapa memang ada yang mengambil jalan yang buruk, tapi tak semuanya. Begitu pun dengan Ryoko. Apa salahnya hingga ia harus dibantai? Kasihan anaknya yang masih kecil. Bagaimana pun juga, kami juga ingin hidup sama seperti kalian. Apa salahnya?”
Kuberusaha membuka jalan pikirannya. Sama saja, kan? Tapi… tapi… nuraniku— kulentangkan tubuhku membiarkan hujan deras membasahi wajahku. Hatiku teriris juga rasanya mengetahui apa yang dilakukan Toka yang pendendam. Ia sudah membunuh orang yang tak bersalah! Tak seharusnya teman pria ini dibantai—Toka sudah melakukan kesalahan fatal. Naluri remajanya sudah membuatnya tak pikir panjang menghabisi orang. Orang itu tak bersalah—bukan ia pembunuh orangtua Hinami. Sama saja seperti Ryoko—ia juga tak bersalah karena tak semua ghoul bunuh orang.
Dan aku… aku adalah manusia. Aku juga adalah ghoul. Aku bisa mengerti perasaan mereka semua. Aku bisa mengerti perasaan manusia dan bagaimana perasaan ghoul juga! Aku berada di dua dunia yang saling bertentangan tersebut. Tapi sama halnya seperti manusia, ghoul juga berhak untuk hidup—selama mereka masih menjaga hubungan baik dengan manusia seperti halnya kami di Anteiku. Kami tak membunuh manusia. Apakah salah ghoul seperti mereka untuk melangsungkan hidupnya? Kalau pun harus memakan daging mayat, apa boleh buat? Aku sudah pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi bagian dari mereka dan merasakan menu kontroversial tersebut. Manusia tak akan bisa mengerti itu!
Setelah merenungkannya, kemudian kubangkit meski tertatih. Yang penting aku sudah memberikannya pengertian seperti apa ghoul itu dan aku juga sudah memberikan pengertian pada Toka seperti apa manusia itu. Hanya aku yang bisa memahami keduanya. Jadi sekarang… biarlah… biarlah…
Amon berlari menyerangku kembali. Duak! Mungkin aku terlihat lemah karena tak melakukan perlawanan apa-apa. Tapi aku bermaksud biarlah dia puas menghajarku demi melampiaskan kekesalannya pada Toka. Biarlah aku saja yang menerimanya! Dengan begini, Toka aman, kan?
Duak! Sekali lagi, kubangkit sambil merentangkan tangan. Kalau ia masih belum merasa puas, biar dia lakukan beberapa kali pun aku akan sanggup menahannya demi Toka. Toka memang sudah melakukan kejahatan tanpa tahu siapa saja yang paling terlibat akan kematian orangtuanya Hinami. Semuanya dilabrak karena dia pasti lagi emosi. Dia hanya khilaf karena sangat sedih dan aku bisa mendalami perasaannya itu. Jadi, sekali lagi, biarlah aku yang menerima hukumannya!
Kukepalkan tanganku kemudian bangkit lagi dan merentangkan tangan… bangkit! Ayo, bangkit!
Duak! Aku takkan melawan sedikit pun. Kalau belum puas, silakan saja. Lampiaskan saja padaku. Aku tahu kalian berdua pasti merasakan kepahitan yang sama akan kehilangan teman. Teruskan saja padaku. Aku akan terus pasang badan di sini dan menerima sakitnya. Kasihan Toka dan kasihan juga kamu. Aku takkan biarkan kalian saling menghancurkan karena merasakan kesedihan yang sama beratnya.
Aku hanya ingin meringankan beban kalian berdua! Kalau masih belum puas, lakukanlah lagi, lagi dan lagi sampai kemarahanmu pada Toka bisa terobati. Sampai kau bisa mengerti perasaan kami. Sampai sakit hatimu terpecahkan, mungkin dengan melampiaskannya padaku bisa membuatmu berubah pikiran untuk tidak membalas Toka lagi karena sudah ada yang menggantikannya—tubuhku.
Tapi bagaimana caranya membuatmu mengerti? Dengan pasang badan saja tak cukup, meski sudah babak belur. Aku mulai putus asa kalau terus-terusan digodam seperti ini. Tapi aku tak mau menyakiti orang…
“Cukup sudah!” ia memekik sambil melayangkan serangan penutupnya. Hatinya mungkin telah letih membantai orang yang tak terlibat. Kali ini pukulannya lebih serius daripada yang tadi! Duagh!
Bruk. Akhirnya tibalah di titik ketidaksanggupanku lagi. Aku hanya bisa terjerembab di tengah hujan deras digodamnya. Ia memastikan ketidakberdayaanku itu. “Kau sudah membuang-buang waktuku. Memangnya apa sih yang kamu pikirkan?” kemudian ia lanjut melangkah ke tempat penjebakan itu. Namun—
Tep. Sebisa mungkin—dengan tenaga terakhirku ini—kutahan kakinya meski sudah babak belur. Tidak bisa! Tolong jangan sakiti Toka. Jangan ke sana. Aku saja… aku saja yang terima dendammu… aku saja yang terima amarah sakit hatimu yang sangat besar pada Toka. Meski aku tahu, separah apa pun kamu menghukumku, takkan bisa menghapus rasa sakit kehilangan itu karena bukan dilakukan pada orangnya langsung. Mungkin kau hanya menganggap aku hanya pasang badan dan kau tak tahu sebenarnya secara tak langsung aku telah menerima hukuman darimu. Ya, aku anggap ini sebagai “hukuman”, tapi kau tak menyadarinya!
“Ugh! Bocah ini!” Kesal karena kakinya kutahan dan mengulur-ulur waktunya, ia langsung menutup serangannya dengan godam terakhirnya. Duagh! Ia melayangkan quinque-nya di kepalaku. “Mengganggu saja! Ck!”
Zzzzzzzz. Tak bisa lagi kumenahannya untuk pergi. Kuterjerembab di kolam darahku sendiri. Padahal aku sudah sengaja menerima godam-godamnya hingga tampak lemah di matanya. Aku tak melakukan perlawanan sedikit pun dan memasrahkannya.
Kepalaku berdarah dan mataku jadi redup saking hancurnya. Tapi… tapi haruskah kumenyerah sampai di sini? Sia-sia sudahlah pasang badanku kalau begitu. Selama tubuhku masih sanggup, aku takkan melepaskan pria itu! Akhirnya kubuka risleting kertakan gigi topeng di mulutku yang berlumuran darah setelah digodamnya habis-habisan. Gigiku pun mengertak-ngertak geram. Ya, tak bisa! Aku tak bisa menyerahkan nyawa Toka begitu saja padanya. Aku harus bangkit! Ya, terpaksa aku harus melakukan ini. Hanya tinggal ini caranya kumenghentikannya.
Hei, kau yang ada di dalam tubuhku! Dengan ini aku membangkitkanmu. Untuk kali ini saja kumelakukan cara ini dengan berat hati…
“Kau lapar kan, Rize? Tolong bantu aku!” Mata ghoul ku pun berbinar garang. Maafkan aku karena aku harus melakukan ini!
“Hiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaatttt! Sudah kubilang kau tak bisa ke mana-mana!” raungku sambil berlari menyerangnya.
Amon terkejut begitu kusergap ia bagai binatang buas dari belakang. Ia tak menyangka jika aku akan menyerangnya. Duak! Ia sempat menggodam tubuhku, tapi kutahan dan kembali menguatkan diri berlari ke arahnya dengan buasnya dan… dan menggigit bahunya. Krauk!
Ia tampak syok karena bahunya kugigit dengan lahapnya. Tapi… tapi nuraniku justru berdarah-darah. Aku harus melakukan ini dengan sangat berat hati. Aku terpaksa untuk menghentikanmu dengan cara kasar seperti ini. Hal yang sebenarnya tak ingin kulakukan ini akhirnya kulakukan juga di saat mendesak seperti ini. Tolong maafkan aku, jangan salahkan aku karena sudah menyerangmu seperti ghoul sungguhan. Maafkan aku sudah sangat kasar padamu!
Darahnya yang lezat tak membuatku bergairah. Rasanya ingin menangis saja karena sudah berprilaku sebagaimana ghoul pada umumnya. Terpaksa kumengesampingkan sisi manusiaku demi Toka. Hanya demi Toka dan Hinami di sana.
Tak lama, kulepaskan dia. Kuharap dengan begini bisa melumpuhkannya. Kurasa ini sudah cukup memberinya pelajaran kalau aku tak main-main pasang badan di sini membloknya. Meskipun sudah merasakan darah segar yang lezat, tapi aku merasa sangat menyesalinya. Terpaksa!
Pertarungan kembali bergema antara aku dan investigator ghoul kece itu. Kagune-ku pun mulai menyembul. Satu… dua… itu cukup untuk menepis serangan-serangan godamnya meski sesekali aku harus terkena godamnya. Tapi kagune yang kugunakan ini sangat lincah menepis godamnya.
“Kau mengincar quinque-ku, ya?”
Tak lama, kuberhasil membuat quinque-nya pun terlontar ke atas. Kurasa sudah cukup dengan menjauhkan senjata menyakitkan yang sudah beberapa kali menggebukiku itu.
“Ck! Tanpa quinque, aku tak bisa berbuat apa-apa lagi,” gerutunya dengan lengan yang berdarah-darah karenaku.
Namun… namun di lain hal… aku tak sanggup lagi mengendalikan rasa buasku! Gawat… gawat ini! Bagaimana ini?!
Kujatuh meringkuk sambil menahan kekuatanku habis-habisan. Tidak. Tidaaaaaaaaak! Aku harus bisa meredamnya kembali dalam tubuhku. Aku tak boleh membiarkan Rize berulah dan mengambil alih kesadaranku ini.
“Kumohon! Kumohon tolong pergilah dari sini!” kumemekik padanya sebelum terjadi malapetaka yang tak bisa dihindari lagi. Terpaksa kumengusirnya demi keselamatannya sendiri. “Tolong jauhi aku! Jangan sampai kau kenapa-napa dan berakhir di sini.”
Ia terbengong-bengong. “Aku? Lari dari ghoul? Tidak bisa! Aku harus melawanmu sampai hancur sekali pun. Kau harus dibantai! Sampai harus mengorbankan tangan dan kakiku sekali pun, aku tak akan beranjak dari sini.”
Duh! Ia sama sekali tak mengerti bagaimana rasanya disergap Rize yang kelaparan waktu itu. Aku sudah memperingatinya. Bagaimana ini? Bagaimana menyingkirkan sisi ghoul ini dan membuka kembali naluri manusiaku?!
Tenaga Kagune-ku semakin membesar. Orang itu dalam bahaya, tapi ia sama sekali tak mau memahaminya!
Ia malah lanjut menyerangku, tapi kaguneku berhasil membuatnya terlontar jauh dengan tenaga ghoul-nya. Luka di lengannya semakin melebar. Ia memegangi lengannya kemudian memandangiku geram. “Sial! Lukaku…”
“Tolong dengarkan aku! Tolong pergilah dari sini. Tolong jangan biarkan aku jadi pembunuh,” kumemelas padanya dengan beruraian air mata. Akhirnya ia mau juga mendengarkanku dengan menahan luka parahnya begitu sadar siapa diriku saat ini—berbahaya! Tentunya ia tak mau terluka lebih parah lagi, kan? Keputusan yang tepat! Seharusnya kau melakukannya daritadi…
Tapi aku lapar. Aku lapar. Aku lapar! Rasanya nyesal juga sudah memancing kekuatan ghoul Rize. Tapi aku harus bagaimana lagi? Sekarang aku harus bagaimana?! Arrrrrrrrrrrrrrggggggggggggghhhhhh!!!
Akhirnya Amon mau juga cabut setelah melihat betapa seriusnya bahaya dariku. Ia tertatih-tatih menjauh untuk menyelamatkan dirinya. Fiuh, untunglah. Tapi aku sudah tak bisa mengendalikan diri lagi! Cepat… tolong cepat menjauh dariku…
Oh Tuhan, tolong! Bagaimana ini? Aku sudah tak tahan lagi. (kemudian gelap. Blank! Rize yang kelaparan menang).
Setelah kusuruh pergi, kembali lagi kumencari-carinya begitu sisi ghoul-ku meruncing. Huft, aku lapar banget! Aku mau makan daging manusia… daging… daging. Kucari-cari lagi ia pergi ke mana, ya? Kuendus-endus. Rasa lapar yang menggenaskan mendukungku untuk segera berdiri dengan bertopang pada pagar kawat. Lesu. Kurasa Amon tak akan aman lagi dariku. Ia harus menjadi santapanku! Hanya saja masalahnya, ke mana ia lari?
Aku harus mendapatkannya. Aku sudah sangat lapar! Lapar lapar! Mangsaku ada di mana kini?
Kumelepaskan topengku saking hilang akalnya. Mata ghoul-ku bersinar jahat. Kutertawa iblis sambil mendongak ke langit-langit malam kayak orang gila saking lapar. Aku lapar sekali!
Apakah keputusanku membangkitkan Rize dalam diriku itu keputusan yang salah? Dan sekarang, aku tak bisa merebut masuk ke akal manusiaku sendiri—di tubuhku sendiri. Aku tak berdaya dalam tubuhku sendiri karena sudah menawarkan Rize makanan—yang sebenarnya kuniatkan hanya untuk menghentikan Amon saja setelah tak punya pilihan lain lagi. Aku sama sekali tak bermaksud menyantapnya (tentu saja!). Tapi beginilah jadinya. Aku tak nyangka jika aku tak bisa mengendalikan rasa lapar si Rize itu. Amon bisa dalam bahaya! Gawat!
Tiba-tiba saja kumelihat seseorang bertopeng di belakangku. Orang itu berdiri tenang. “Eh? Siapa itu? Tak tahukah kamu kalau aku lagi sangat lapar?!” suara gabungan antara suaraku dan suara Rize memecah keheningan malam.
Langsung saja—tanpa ragu-ragu lagi—kusergap ia dan kutusuk perutnya dengan kagune-ku saking laparnya. Zret. Asik, akhirnya bisa makan juga. Namun…
“Aku bisa mengerti kenapa Pak Yoshi sangat tertarik padamu.” Orang itu lalu membuka topengnya dengan tenang. “Kau lapar? Kau tak bisa mengendalikan kagune-mu, bukan?”
Kumelebarkan mata dan tersadar seketika. “Yo-Yomo?!”
Padahal aku sudah melubangi perutnya dan bibirnya berdarah, tapi ia masih tenang-tenang saja menanggapiku. Ia tak marah padaku saking maklumnya. Tak ada ekspresi sedikit pun bahkan kesakitan pun disembunyikannya di balik wajah cool-nya itu. Aku menyesal sudah menyerangnya. Untung saja ia tak kenapa-napa.
Maafkan aku! Ya ampun, aku tak menyangka akan menyerang temanku sendiri. Kalau saja ia tak membuka topengnya, bisa-bisa aku melakukan sesuatu yang… ah aku tak bisa membayangkannya sampai di situ.
Ia kemudian memberikan sebuah bungkusan padaku. “Makanlah!”
Bungkusan seperti biasa yang kuterima dulu. Fiuh, akhirnya perut ini bisa terisi juga dan Yomo tak kenapa-napa karena olengku itu. Untung saja Yomo datang di waktu yang tepat. Fiuh!
Kemudian kagune-ku pun redup juga. Ya, sekarang aku hanya bisa menikmati makanan seperti ini. Amon selamat berkat kedatangan Yomo. Seharusnya Amon bisa mengerti itu…
“Ayo kita pulang, Ken.”
(Di tempat penjebakan…)
“Hinami?” sapaku begitu aku dan Yomo ke tempat itu. Rupanya di tempat itu terjadi pula pertarungan mematikan. Seharusnya aku bersyukur karena pertarungan di sini sepertinya lebih berat. Toka kan ghoul level atas, tak sepertiku yang setengah-setengah.
Iya juga ya? Untung lawanku masih orang yang memilik hati nurani, tak seperti orang yang sudah membunuh kedua orangtua Hinami tanpa ragu itu. Sepertinya Toka luka berat melawan orang sadis itu. Luka-luka dan deritaku ini tidaklah seberapa. Tak rugi aku sudah pasang badan demi dirinya.
Tapi… di akhir pertarungan itu, si tua bangka itu mati dengan lengan putus. Lagi-lagi si Amon harus kehilangan temannya. Bagaimana kalau ia sampai mengetahui hal ini? Toka dalam bahaya lagi! Dia sudah menjadi ghoul yang sangat diincar di sini…
(Di jalan…)
Kami pulang berempat. Yomo tengah menggendong Hinami yang sudah lelah dan mengantuk. Semuanya dalam keadaan luka-luka karena pertarungan itu dan perutku pun sudah terisi.
“Apakah ghoul sepertiku tak boleh hidup?” Hinami bertanya dengan polosnya. Dasar anak-anak! “Oshiete…”
“Hinami,” kutegur dia halus. “Kurasa ibumu waktu itu ingin kau melanjutkan kehidupanmu. Dengan begitu, ia bisa tenang di alam sana, kan?” kumenenangkannya. Aku hanya ingin menyenangkan hati anak malang itu. Buktinya kagune-nya muncul, kan?
Siapa bilang ghoul tak pantas berada di dunia ini? Merekanya saja yang tak mengerti itu. Manusia dan ghoul sama-sama berhak untuk hidup selama mereka tak membahayakan satu sama lainnya. Aku bisa mengerti kedua alam itu karena aku adalah manusia, tapi juga ghoul…



0 komentar: