episod yang ini keren, loh! penuh keharuan dan pengorbanan. ceile! pasang badan, suit-suit. klik gambar menuju episodnya. klik dan met watching ya...
“Toka-Chan?”
Toka mana, sih? Kok daritadi
nggak kelihatan? Sekian lama kumencarinya, akhirnya kumendapatinya juga di
sebuah ruangan. “Kau dari mana saja, sih? Apa ada yang bisa kubantu?”
Sebenarnya aku mencemaskannya yang suka bepergian tanpa izin itu. Aku takut
kalau dia—
“Bukan urusanmu,” tandasnya
tandus seperti biasa sambil memasukkan barangnya ke loker. Ia kemudian keluar
menuju kamar Hinami.
“Toka, katakan saja kalau ada
yang bisa kulakukan buat kalian. Aku ingin bisa berguna bagi kalian,”
kumeyakinkannya.
“Nggak usah,” katanya dingin sambil
terhenti di sampingku. “Untuk saat ini, kau belum perlu melakukan apa-apa.”
Kemudian ia memasuki kamar
Hinami. “Eh? Hinami mana?”
(Di taman bermain…)
“Hinami! Hinami!”
Malam itu, kami berdua
mencari-cari anak itu di sana. Tapi aku tak menemukannya di bagian sini, di
bagian Toka juga. “Toka? Bagaimana? Ketemu belum?” tanyaku begitu
menghampirinya.
“Belum! Bagaimana denganmu?!”
Aku pun menggeleng sama
sepertinya. “Jangan-jangan dia ada di—“
(Di saluran pembuangan air…)
“Tempat apa ini? Tapi kenapa ia
ke tempat ini?” tanya Toka.
Kutermenung sedih. “Ini tempat di
mana ibunya—“ Kutak sanggup meneruskannya karena tak tega mengingat kepahitan
itu.
Toka yang bisa langsung mengerti,
mengepalkan tangannya geram. Aku tahu ia pun bisa merasakan kepedihan yang
sama. “Aku akan mencarinya di sekitar sini!”
Aku pun melakukannya di tempat
yang berbeda—terpisah dengannya. Kupanggil-panggil nama Hinami. Tapi kenapa
juga ia ke sini? Kan bahaya! Hosh-hosh. Di mana sih dia? Aku sampai kewalahan.
“Mamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!”
suara jerit histeris itu membuatku tersadar.
“Itu suara Hinami!” Bergegas
kumenuju suara itu dan melihat Toka juga sedang berlari kencang menuju ke sana.
“Toka-Chan.”
Namun tiba-tiba saja, kulihat
seseorang bergerak cepat mengejar Toka. “Pria itu!” Kuterbelalak begitu
melihatnya—si merpati (investigator ghoul CCG—Amon). “Gawat! Aku harus segera
membloknya. Jangan sampai Toka kenapa-napa!”
Tapi kenapa pria itu ada di sini?
Jangan-jangan ini jebakan untuk menangkap Toka melalui umpan Hinami. Mereka
pasti tahu penciuman Hinami yang tajam (pasti ada sesuatu di sana) dan betapa
care-nya Toka pada bocah itu. Begitu suara Hinami pecah, Toka pun secara
otomatis menuju tempat jebakan itu. Tapi aku takkan biarkan orang ini
mendapatkannya!
Aku pun bergerak cepat memanjat
pagar dan berlari kencang memblok pria itu dan…
Srek! Langsung saja kumemblok
langkah pria itu—tepat di hadapannya dengan memunggunginya. Tak semudah itu dan
aku akan melindungi Toka juga Hinami.
“Kau… kau siapa? Apa kau teman si
kelinci itu?” Akhirnya ia terhenti juga karenaku.
Zzzzzzzzzzzz… hujan pun turun
dengan derasnya. (menambah dramatis pertarungan out door saja).
Secara perlahan, kumembalikkan
badan dan menurunkan tudung jaketku. Ia hanya bisa melihat wajahku yang
mengenakan topeng mask kakuja (eh, cepatnya pake topeng!). Lawanmu adalah aku!
“Eh? Tolong kamu menyingkirlah.
Aku tak punya banyak waktu yang harus kusia-siakan denganmu. Aku harus segera
menangkap kelinci itu!” teguhnya.
“Kau tak boleh ke mana-mana!”
pekikku di tengah hujan deras itu. “Hadapi aku dulu. Akulah lawanmu!”
Pertarungan pun tak terelakkan.
Dengan kemampuan bela diri apa adanya, kuberusaha membuang-buang waktunya
dengan tenaga manusia biasaku ini dan… bruk.
“Jangan main-main! Aku tak punya
urusan sama kamu!”
Tenaga kuatnya lalu membantingku
hingga terbaring. Wajahku tersiram air hujan yang semakin membahana. Duh! Dia
bukan lawan yang main-main tentunya. Tapi aku juga tak main-main!
“Aku harus membantai kelinci itu.
Kenapa kamu menghalangiku?”
Kumemejamkan mata
kesakitan—meringis-ringis. Tidak! Ini tak boleh terjadi. Aku takkan biarkan
pria ini membunuh Toka. Akan tekad itu, kemudian kubuka mata ghoul-ku dengan
pandangan mengancam.
“Kau ghoul juga?!” Ia kemudian
mengeluarkan senjata andalannya. Wow! “Aku takkan biarkan siapa pun
menghalangiku karena kelinci itu sudah membunuh temanku! Rasakan serangan
quinque-ku ini!”
Ini pertarunganku dengannya dan
aku akan melawannya di sini! Kuberusaha melawannya semampuku—dengan gerakan
lumayan. Duagh! Tapi serangannya kemudian membuatku terjatuh ke saluran
pembuangan air itu dalam keadaan tersungkur. Arrrrghhh! Byur…
Aduh! Tak lama, ia menyusuliku
dengan menuruni tangga. “Sebenarnya sudah lama aku ingin menanyakan sesuatu
pada kalian,” katanya kalem dan dingin. Ia lalu menodongku dengan quinque-nya.
“Kalian yang tanpa berdosa membunuh dan menelan orang. Tak ada ampun buat
kalian! Kalian memang jahat! Kalian sudah membuat anak-anak kecil menjadi yatim
piatu karena orangtuanya kalian makan. Kalian pasti tak tahu betapa kesepiannya
mereka. Apa salah mereka?”
Kemudian kuteringat Hinami.
Hinami juga kan sama! Ia kehilangan orangtuanya karena kalian.
“Dan lagi, apa salahnya temanku?
Apa karena ia seorang investigator ghoul, makanya si kelinci itu membunuhnya?
Apa karena ia manusia? Jangan bercanda. Kau tak akan pernah mengerti, karena
kau ghoul!”
Kuterbelalak. Jadi… jadi Toka—
“Kalian tak bisa merasakan
perihnya kehilangan itu, kan? Seharusnya kalian tak ada di dunia ini! Kalian
ini sudah merusak dan menghancurkan dunia saja.”
Sekarang ia malah menggencetku
leherku dengan quinque-nya. Sepertinya malah aku yang kena sasaran, padahal
sebelumnya bukankah aku juga sama seperti mereka?
“Kau salah. Tak hanya ghoul yang
merusak dunia ini, tapi juga kalian.”
“Grmbl! Bicara apa kau ini?!”
Ia malah melampiaskan amarahnya
padaku yang setengah ghoul ini! Silakan… silakan aja bantai aku…
Mungkin dengan cara ini, aku bisa
membuatmu mengerti bagaimana perasaan ghoul! Aku ingin bisa membuatmu mengerti,
agar ghoul dan manusia tak saling mendendam lagi…
Berkali-kali aku harus jatuh-bangun
karena serangannya. “Tapi tak semua ghoul seperti itu! Beberapa memang ada yang
mengambil jalan yang buruk, tapi tak semuanya. Begitu pun dengan Ryoko. Apa
salahnya hingga ia harus dibantai? Kasihan anaknya yang masih kecil. Bagaimana pun
juga, kami juga ingin hidup sama seperti kalian. Apa salahnya?”
Kuberusaha membuka jalan
pikirannya. Sama saja, kan? Tapi… tapi… nuraniku— kulentangkan tubuhku
membiarkan hujan deras membasahi wajahku. Hatiku teriris juga rasanya
mengetahui apa yang dilakukan Toka yang pendendam. Ia sudah membunuh orang yang
tak bersalah! Tak seharusnya teman pria ini dibantai—Toka sudah melakukan
kesalahan fatal. Naluri remajanya sudah membuatnya tak pikir panjang menghabisi
orang. Orang itu tak bersalah—bukan ia pembunuh orangtua Hinami. Sama saja
seperti Ryoko—ia juga tak bersalah karena tak semua ghoul bunuh orang.
Dan aku… aku adalah manusia. Aku
juga adalah ghoul. Aku bisa mengerti perasaan mereka semua. Aku bisa mengerti
perasaan manusia dan bagaimana perasaan ghoul juga! Aku berada di dua dunia
yang saling bertentangan tersebut. Tapi sama halnya seperti manusia, ghoul juga
berhak untuk hidup—selama mereka masih menjaga hubungan baik dengan manusia
seperti halnya kami di Anteiku. Kami tak membunuh manusia. Apakah salah ghoul
seperti mereka untuk melangsungkan hidupnya? Kalau pun harus memakan daging
mayat, apa boleh buat? Aku sudah pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi bagian
dari mereka dan merasakan menu kontroversial tersebut. Manusia tak akan bisa
mengerti itu!
Setelah merenungkannya, kemudian
kubangkit meski tertatih. Yang penting aku sudah memberikannya pengertian
seperti apa ghoul itu dan aku juga sudah memberikan pengertian pada Toka
seperti apa manusia itu. Hanya aku yang bisa memahami keduanya. Jadi sekarang…
biarlah… biarlah…
Amon berlari menyerangku kembali.
Duak! Mungkin aku terlihat lemah karena tak melakukan perlawanan apa-apa. Tapi
aku bermaksud biarlah dia puas menghajarku demi melampiaskan kekesalannya pada
Toka. Biarlah aku saja yang menerimanya! Dengan begini, Toka aman, kan?
Duak! Sekali lagi, kubangkit
sambil merentangkan tangan. Kalau ia masih belum merasa puas, biar dia lakukan
beberapa kali pun aku akan sanggup menahannya demi Toka. Toka memang sudah
melakukan kejahatan tanpa tahu siapa saja yang paling terlibat akan kematian
orangtuanya Hinami. Semuanya dilabrak karena dia pasti lagi emosi. Dia hanya
khilaf karena sangat sedih dan aku bisa mendalami perasaannya itu. Jadi, sekali
lagi, biarlah aku yang menerima hukumannya!
Kukepalkan tanganku kemudian
bangkit lagi dan merentangkan tangan… bangkit! Ayo, bangkit!
Duak! Aku takkan melawan sedikit
pun. Kalau belum puas, silakan saja. Lampiaskan saja padaku. Aku tahu kalian
berdua pasti merasakan kepahitan yang sama akan kehilangan teman. Teruskan saja
padaku. Aku akan terus pasang badan di sini dan menerima sakitnya. Kasihan Toka
dan kasihan juga kamu. Aku takkan biarkan kalian saling menghancurkan karena
merasakan kesedihan yang sama beratnya.
Aku hanya ingin meringankan beban
kalian berdua! Kalau masih belum puas, lakukanlah lagi, lagi dan lagi sampai
kemarahanmu pada Toka bisa terobati. Sampai kau bisa mengerti perasaan kami. Sampai
sakit hatimu terpecahkan, mungkin dengan melampiaskannya padaku bisa membuatmu
berubah pikiran untuk tidak membalas Toka lagi karena sudah ada yang
menggantikannya—tubuhku.
Tapi bagaimana caranya membuatmu
mengerti? Dengan pasang badan saja tak cukup, meski sudah babak belur. Aku
mulai putus asa kalau terus-terusan digodam seperti ini. Tapi aku tak mau
menyakiti orang…
“Cukup sudah!” ia memekik sambil
melayangkan serangan penutupnya. Hatinya mungkin telah letih membantai orang
yang tak terlibat. Kali ini pukulannya lebih serius daripada yang tadi! Duagh!
Bruk. Akhirnya tibalah di titik
ketidaksanggupanku lagi. Aku hanya bisa terjerembab di tengah hujan deras
digodamnya. Ia memastikan ketidakberdayaanku itu. “Kau sudah membuang-buang
waktuku. Memangnya apa sih yang kamu pikirkan?” kemudian ia lanjut melangkah ke
tempat penjebakan itu. Namun—
Tep. Sebisa mungkin—dengan tenaga
terakhirku ini—kutahan kakinya meski sudah babak belur. Tidak bisa! Tolong
jangan sakiti Toka. Jangan ke sana. Aku saja… aku saja yang terima dendammu…
aku saja yang terima amarah sakit hatimu yang sangat besar pada Toka. Meski aku
tahu, separah apa pun kamu menghukumku, takkan bisa menghapus rasa sakit
kehilangan itu karena bukan dilakukan pada orangnya langsung. Mungkin kau hanya
menganggap aku hanya pasang badan dan kau tak tahu sebenarnya secara tak
langsung aku telah menerima hukuman darimu. Ya, aku anggap ini sebagai
“hukuman”, tapi kau tak menyadarinya!
“Ugh! Bocah ini!” Kesal karena
kakinya kutahan dan mengulur-ulur waktunya, ia langsung menutup serangannya
dengan godam terakhirnya. Duagh! Ia melayangkan quinque-nya di kepalaku.
“Mengganggu saja! Ck!”
Zzzzzzzz. Tak bisa lagi
kumenahannya untuk pergi. Kuterjerembab di kolam darahku sendiri. Padahal aku
sudah sengaja menerima godam-godamnya hingga tampak lemah di matanya. Aku tak
melakukan perlawanan sedikit pun dan memasrahkannya.
Kepalaku berdarah dan mataku jadi
redup saking hancurnya. Tapi… tapi haruskah kumenyerah sampai di sini? Sia-sia
sudahlah pasang badanku kalau begitu. Selama tubuhku masih sanggup, aku takkan
melepaskan pria itu! Akhirnya kubuka risleting kertakan gigi topeng di mulutku
yang berlumuran darah setelah digodamnya habis-habisan. Gigiku pun
mengertak-ngertak geram. Ya, tak bisa! Aku tak bisa menyerahkan nyawa Toka
begitu saja padanya. Aku harus bangkit! Ya, terpaksa aku harus melakukan ini.
Hanya tinggal ini caranya kumenghentikannya.
Hei, kau yang ada di dalam
tubuhku! Dengan ini aku membangkitkanmu. Untuk kali ini saja kumelakukan cara
ini dengan berat hati…
“Kau lapar kan, Rize? Tolong
bantu aku!” Mata ghoul ku pun berbinar garang. Maafkan aku karena aku harus
melakukan ini!
“Hiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaatttt! Sudah
kubilang kau tak bisa ke mana-mana!” raungku sambil berlari menyerangnya.
Amon terkejut begitu kusergap ia
bagai binatang buas dari belakang. Ia tak menyangka jika aku akan menyerangnya.
Duak! Ia sempat menggodam tubuhku, tapi kutahan dan kembali menguatkan diri
berlari ke arahnya dengan buasnya dan… dan menggigit bahunya. Krauk!
Ia tampak syok karena bahunya
kugigit dengan lahapnya. Tapi… tapi nuraniku justru berdarah-darah. Aku harus
melakukan ini dengan sangat berat hati. Aku terpaksa untuk menghentikanmu
dengan cara kasar seperti ini. Hal yang sebenarnya tak ingin kulakukan ini
akhirnya kulakukan juga di saat mendesak seperti ini. Tolong maafkan aku,
jangan salahkan aku karena sudah menyerangmu seperti ghoul sungguhan. Maafkan
aku sudah sangat kasar padamu!
Darahnya yang lezat tak membuatku
bergairah. Rasanya ingin menangis saja karena sudah berprilaku sebagaimana
ghoul pada umumnya. Terpaksa kumengesampingkan sisi manusiaku demi Toka. Hanya
demi Toka dan Hinami di sana.
Tak lama, kulepaskan dia. Kuharap
dengan begini bisa melumpuhkannya. Kurasa ini sudah cukup memberinya pelajaran
kalau aku tak main-main pasang badan di sini membloknya. Meskipun sudah
merasakan darah segar yang lezat, tapi aku merasa sangat menyesalinya.
Terpaksa!
Pertarungan kembali bergema
antara aku dan investigator ghoul kece itu. Kagune-ku pun mulai menyembul.
Satu… dua… itu cukup untuk menepis serangan-serangan godamnya meski sesekali
aku harus terkena godamnya. Tapi kagune yang kugunakan ini sangat lincah
menepis godamnya.
“Kau mengincar quinque-ku, ya?”
Tak lama, kuberhasil membuat
quinque-nya pun terlontar ke atas. Kurasa sudah cukup dengan menjauhkan senjata
menyakitkan yang sudah beberapa kali menggebukiku itu.
“Ck! Tanpa quinque, aku tak bisa
berbuat apa-apa lagi,” gerutunya dengan lengan yang berdarah-darah karenaku.
Namun… namun di lain hal… aku tak
sanggup lagi mengendalikan rasa buasku! Gawat… gawat ini! Bagaimana ini?!
Kujatuh meringkuk sambil menahan
kekuatanku habis-habisan. Tidak. Tidaaaaaaaaak! Aku harus bisa meredamnya
kembali dalam tubuhku. Aku tak boleh membiarkan Rize berulah dan mengambil alih
kesadaranku ini.
“Kumohon! Kumohon tolong pergilah
dari sini!” kumemekik padanya sebelum terjadi malapetaka yang tak bisa
dihindari lagi. Terpaksa kumengusirnya demi keselamatannya sendiri. “Tolong
jauhi aku! Jangan sampai kau kenapa-napa dan berakhir di sini.”
Ia terbengong-bengong. “Aku? Lari
dari ghoul? Tidak bisa! Aku harus melawanmu sampai hancur sekali pun. Kau harus
dibantai! Sampai harus mengorbankan tangan dan kakiku sekali pun, aku tak akan
beranjak dari sini.”
Duh! Ia sama sekali tak mengerti
bagaimana rasanya disergap Rize yang kelaparan waktu itu. Aku sudah
memperingatinya. Bagaimana ini? Bagaimana menyingkirkan sisi ghoul ini dan
membuka kembali naluri manusiaku?!
Tenaga Kagune-ku semakin
membesar. Orang itu dalam bahaya, tapi ia sama sekali tak mau memahaminya!
Ia malah lanjut menyerangku, tapi
kaguneku berhasil membuatnya terlontar jauh dengan tenaga ghoul-nya. Luka di
lengannya semakin melebar. Ia memegangi lengannya kemudian memandangiku geram.
“Sial! Lukaku…”
“Tolong dengarkan aku! Tolong
pergilah dari sini. Tolong jangan biarkan aku jadi pembunuh,” kumemelas padanya
dengan beruraian air mata. Akhirnya ia mau juga mendengarkanku dengan menahan
luka parahnya begitu sadar siapa diriku saat ini—berbahaya! Tentunya ia tak mau
terluka lebih parah lagi, kan? Keputusan yang tepat! Seharusnya kau melakukannya
daritadi…
Tapi aku lapar. Aku lapar. Aku
lapar! Rasanya nyesal juga sudah memancing kekuatan ghoul Rize. Tapi aku harus
bagaimana lagi? Sekarang aku harus bagaimana?!
Arrrrrrrrrrrrrrggggggggggggghhhhhh!!!
Akhirnya Amon mau juga cabut
setelah melihat betapa seriusnya bahaya dariku. Ia tertatih-tatih menjauh untuk
menyelamatkan dirinya. Fiuh, untunglah. Tapi aku sudah tak bisa mengendalikan
diri lagi! Cepat… tolong cepat menjauh dariku…
Oh Tuhan, tolong! Bagaimana ini?
Aku sudah tak tahan lagi. (kemudian gelap. Blank! Rize yang kelaparan menang).
Setelah kusuruh pergi, kembali
lagi kumencari-carinya begitu sisi ghoul-ku meruncing. Huft, aku lapar banget!
Aku mau makan daging manusia… daging… daging. Kucari-cari lagi ia pergi ke
mana, ya? Kuendus-endus. Rasa lapar yang menggenaskan mendukungku untuk segera
berdiri dengan bertopang pada pagar kawat. Lesu. Kurasa Amon tak akan aman lagi
dariku. Ia harus menjadi santapanku! Hanya saja masalahnya, ke mana ia lari?
Aku harus mendapatkannya. Aku
sudah sangat lapar! Lapar lapar! Mangsaku ada di mana kini?
Kumelepaskan topengku saking
hilang akalnya. Mata ghoul-ku bersinar jahat. Kutertawa iblis sambil mendongak
ke langit-langit malam kayak orang gila saking lapar. Aku lapar sekali!
Apakah keputusanku membangkitkan
Rize dalam diriku itu keputusan yang salah? Dan sekarang, aku tak bisa merebut
masuk ke akal manusiaku sendiri—di tubuhku sendiri. Aku tak berdaya dalam
tubuhku sendiri karena sudah menawarkan Rize makanan—yang sebenarnya kuniatkan
hanya untuk menghentikan Amon saja setelah tak punya pilihan lain lagi. Aku
sama sekali tak bermaksud menyantapnya (tentu saja!). Tapi beginilah jadinya.
Aku tak nyangka jika aku tak bisa mengendalikan rasa lapar si Rize itu. Amon
bisa dalam bahaya! Gawat!
Tiba-tiba saja kumelihat seseorang
bertopeng di belakangku. Orang itu berdiri tenang. “Eh? Siapa itu? Tak tahukah
kamu kalau aku lagi sangat lapar?!” suara gabungan antara suaraku dan suara
Rize memecah keheningan malam.
Langsung saja—tanpa ragu-ragu
lagi—kusergap ia dan kutusuk perutnya dengan kagune-ku saking laparnya. Zret.
Asik, akhirnya bisa makan juga. Namun…
“Aku bisa mengerti kenapa Pak
Yoshi sangat tertarik padamu.” Orang itu lalu membuka topengnya dengan tenang.
“Kau lapar? Kau tak bisa mengendalikan kagune-mu, bukan?”
Kumelebarkan mata dan tersadar
seketika. “Yo-Yomo?!”
Padahal aku sudah melubangi
perutnya dan bibirnya berdarah, tapi ia masih tenang-tenang saja menanggapiku.
Ia tak marah padaku saking maklumnya. Tak ada ekspresi sedikit pun bahkan
kesakitan pun disembunyikannya di balik wajah cool-nya itu. Aku menyesal sudah
menyerangnya. Untung saja ia tak kenapa-napa.
Maafkan aku! Ya ampun, aku tak
menyangka akan menyerang temanku sendiri. Kalau saja ia tak membuka topengnya,
bisa-bisa aku melakukan sesuatu yang… ah aku tak bisa membayangkannya sampai di
situ.
Ia kemudian memberikan sebuah
bungkusan padaku. “Makanlah!”
Bungkusan seperti biasa yang
kuterima dulu. Fiuh, akhirnya perut ini bisa terisi juga dan Yomo tak
kenapa-napa karena olengku itu. Untung saja Yomo datang di waktu yang tepat.
Fiuh!
Kemudian kagune-ku pun redup
juga. Ya, sekarang aku hanya bisa menikmati makanan seperti ini. Amon selamat
berkat kedatangan Yomo. Seharusnya Amon bisa mengerti itu…
“Ayo kita pulang, Ken.”
(Di tempat penjebakan…)
“Hinami?” sapaku begitu aku dan
Yomo ke tempat itu. Rupanya di tempat itu terjadi pula pertarungan mematikan.
Seharusnya aku bersyukur karena pertarungan di sini sepertinya lebih berat.
Toka kan ghoul level atas, tak sepertiku yang setengah-setengah.
Iya juga ya? Untung lawanku masih
orang yang memilik hati nurani, tak seperti orang yang sudah membunuh kedua
orangtua Hinami tanpa ragu itu. Sepertinya Toka luka berat melawan orang sadis
itu. Luka-luka dan deritaku ini tidaklah seberapa. Tak rugi aku sudah pasang
badan demi dirinya.
Tapi… di akhir pertarungan itu,
si tua bangka itu mati dengan lengan putus. Lagi-lagi si Amon harus kehilangan
temannya. Bagaimana kalau ia sampai mengetahui hal ini? Toka dalam bahaya lagi!
Dia sudah menjadi ghoul yang sangat diincar di sini…
(Di jalan…)
Kami pulang berempat. Yomo tengah
menggendong Hinami yang sudah lelah dan mengantuk. Semuanya dalam keadaan
luka-luka karena pertarungan itu dan perutku pun sudah terisi.
“Apakah ghoul sepertiku tak boleh
hidup?” Hinami bertanya dengan polosnya. Dasar anak-anak! “Oshiete…”
“Hinami,” kutegur dia halus. “Kurasa
ibumu waktu itu ingin kau melanjutkan kehidupanmu. Dengan begitu, ia bisa
tenang di alam sana, kan?” kumenenangkannya. Aku hanya ingin menyenangkan hati
anak malang itu. Buktinya kagune-nya muncul, kan?
Siapa bilang ghoul tak pantas berada
di dunia ini? Merekanya saja yang tak mengerti itu. Manusia dan ghoul sama-sama
berhak untuk hidup selama mereka tak membahayakan satu sama lainnya. Aku bisa
mengerti kedua alam itu karena aku adalah manusia, tapi juga ghoul…
0 komentar:
Posting Komentar