THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Jumat, 20 Maret 2015

KELAS THRILLER (100 Kisah_Kisah keempat): RED BREAKFAST

“Hosh-hosh…”

Kedua gadis cantik itu tampak aktif berjoging ria pagi-pagi, hingga tak sadar sudah berada di mana.

“Miyu, berhenti dulu sebentar!” pekik Eza, si gadis berkepang dua itu.

Gadis berkuncir yang dipanggil Miyu itu menolehinya. “Ada apa?”

“Ngrh… kamu tak merasa ada yang aneh dengan tempat ini?”

Miyu menatap ke sekitarnya dan merenung. “Iya juga, ya? Saking asyiknya joging kita jadi kesasar di tempat tak jelas ini.”

Eza memandangi hutan tempat mereka berada sekarang. “Kenapa kita bisa terdampar ke sini, ya? Terus, kamu merasa ada yang aneh tidak? Coba lihat sekelilingmu dengan seksama.”

Mata Miyu kemudian terbelalak. “Eh, bukankah kita sudah melintasi tempat ini? Kok sepertinya kita hanya keliling-keliling saja, padahal kita kan bergerak maju?”

“Itu dia masalahnya. Sepertinya kita tersesat, deh!” keluh Eza.

“Kok bisa-bisanya ya kita joging sampai ke sini? Hutan ini mengundang perhatian, sih!”

“Iya, di sini memang sangat indah!”

Miyu lalu mengambil ponselnya. “Aku akan menelpon bantuan – grrr! Astaga! Tak ada sinyal!”

“Di ponselku juga! Bagaimana ini?” Eza menatap Miyu tegang.

“Ck! Semua ini membuatku haus!” Miyu membuka botol airnya dan tersadar seketika karena airnya tinggal sedikit. “Duh, airnya tinggal sedikit lagi!”

“Punyaku malah sudah habis. Duh, aku laper! Tadi di rumah hanya sempat minum susu doang,” gerutu Eza.

“Aku malah tak sarapan apa-apa.” Mata Miyu lalu terbelalak begitu melihat sesuatu di kejauhan sana. “Hei! Di sana ada rumah. Mungkin si Tuan Rumah bisa menolong kita yang tersesat ini!”

“Ng?” Eza mengernyitkan kening. “Loh, perasaan waktu kita lewat tadi, di situ tak ada rumah deh.”

“Ah, sudahlah. Itu hanya perasaanmu saja. Sekarang kita ke rumah itu dan meminta bantuan. Kita bisa meminjam telepon mereka agar ada yang bisa menjemput kita di sini. Yuk!” Tanpa memedulikan firasat buruk Eza, Miyu segera menarik tangan Eza ke rumah mungil di tengah hutan itu.

*

“Spada! Permisi!” pekik keduanya berbarengan sambil mengetuk-ngetuk pintunya.

“Ng? Kok nggak ada yang bukain, sih? Jangan-jangan tak ada orangnya,” gerutu Eza mulai putus asa. “Kita kan sudah lama ketuk-ketuk.”

“Habis, mau gimana lagi dong? Kita kan dalam masalah.”

Krit… Tiba-tiba saja pintunya terayun terbuka.

“Hei! Pintunya terbuka sendiri?” Tanpa ragu-ragu, Miyu melongokkan kepalanya masuk.

“Eh, nih rumah orang tahu,” tegur Eza.

“Tapi kita membutuhkan bantuannya. Lagian kan kita ini bukan maling.” Miyu secara perlahan memasuki rumah itu. “Permisi? Apa ada orang? Kami butuh bantuan. Kami tersesat…”

Eza mengikuti Miyu memasuki rumah yang dicat meriah itu. Meski itu hanya rumah mungil, tapi suasananya terasa sangat nyaman, apalagi begitu mata Eza terpaku pada apa yang ada di sebuah meja makan sana.

“Hei! Ada banyak kue-kue di sana!” pekik Eza sumringah. “Aku lapar sekali!” Gadis berkepang dua itu langsung mendekati meja makan dan duduk di kursinya.

“Huah!” Miyu pun turut sumringah. “Kebetulan sekali, aku belum sarapan.” Tanpa ragu-ragu ia juga duduk di kursi meja makannya. “Eh? Tapi apa nggak apa-apa, nih? Ini kan kue punya Tuan Rumah.”

“Tapi apa dia bisa menghabiskan sebanyak ini?” Eza malah sudah melahap sepotong kue cake. “Kalau mau menunggu pertolongan datang, kita bisa mati kelaparan dan kehausan! Mendingan kita isi tenaga dulu, baru cari jalan keluarnya lagi. Mumpung ada kue. Masuk akal, bukan?”

Miyu membenarkan sambil menjilati sisa krim di jarinya. “Ya, kita memang harus saling membantu. Termasuk membantu Tuan Rumahnya menghabiskan kue-kue ini. Hihi!”

“Ya, benar! Salahnya Tuan Rumahnya juga malah keluyuran entah ke mana, pintunya tak dikunci lagi…”

Dan keduanya pun tampak asyik melahap kue-kue cake lezat itu sambil bercanda-ria. Kue-kue itu tampak begitu enak dan manis. Tak lupa, mereka juga menuangkan susu ke gelas-gelas mereka. Keduanya tampak seperti tengah berada di surga yang terletak di hutan terpencil.

Kret…  Saking asyiknya menikmati kue, mereka sampai-sampai tak menyadari sepasang kaki seorang pria tengah melangkah gontai mendekati mereka dari arah pintu yang mereka masuki tadinya – sambil menyeret-nyeret sebuah kapak!

Kedua gadis yang mulutnya belepotan krim kue itu belum menyadari datangnya bahaya. Begitu sadar, mereka kemudian mengalihkan perhatiannya pada pria tadi. Mereka segera berdiri dari kursi masing-masing dan melangkah mundur.

“Maaf! Maaf ya, Pak. Kami masuk tanpa izin,” kata Eza ketakutan. “Pintunya tak terkunci.”

“Maaf, Pak! Habis, tadinya kami cari-cari Bapak tapi nggak ada. Kami… kami hanya mau minta tolong.”

“Minta tolong apa?” terdengar suara berat si Pemilik Rumah sambil mendekati Eza – yang paling dekat dengannya dari arah pintu.

Eza menganggukinya. “Iya! Terus kami melihat kue-kue tadi dan melahapnya karena belum sarapan, plus kami juga tersesat. Kami mohon maaf, Pak! Tapi kami janji bakal mengganti kue-kue yang kami mak –“

“Kalian mau menggantinya?! Tapi kalian harus menggantinya dengan ini!” raung pria itu.

Grek!!! Belum sempat Eza menyelesaikan kalimat terakhirnya, kapak di genggaman pria itu langsung meluncur begitu saja – menebas leher Eza. Kedua ujung kepangannya di sekitar leher turut terpotong dan berserakan di lantai sedangkan kepala Eza menggelinding di meja makan dengan mata yang masih sempat berkedip-kedip terkejut sampai akhirnya terbuka untuk selama-lamanya.

“Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!!!!” Miyu menjerit-jerit histeris melihat kematian tragis sahabatnya itu. Kue-kue di meja makan pun dihujani darah yang merembes dari tebasan pangkal leher Eza.

Miyu bergegas melarikan diri, keluar dari neraka itu. Namun si psikopat segera menarik rambutnya masuk. Miyu berusaha untuk meloloskan diri, meronta, menendang-nendang hingga pada akhirnya tak berdaya lagi dan…


https://www.facebook.com/groups/CNTRO/823964760984629/?notif_t=group_comment#!/notes/cerpenistnovelist-thriller-romantic-religi/kelas-thriller-100-kisah_kisah-keempat-red-breakfast/827548573959581


“Eh, malah jadi laper.” Miyung mengelus-elus perutnya. “Ntar aku lanjutin lagi ya setelah kenyang. Aku ke kantin sebentar ya – jajan.” Si Wakil Ketua Kelas Malam itu pun melangkah keluar kelas menuju kantin – yang memang masih buka di jam-jam segini.

“Huuuu! Gimana sih Miyung? Lagi seru-serunya malah kelaparan!” omel Chika disambut anggukan oleh kawan-kawan lainnya.

“Iya, nih! Semoga ia makannya tak kelamaan, deh!” keluh Ryu.

“Anggap aja iklan. Tiga menit juga beres,” Ruci menanggapi.

Ck! Sementara ceritanya dipending, kudengar sepertinya ada yang mengintai dari luar sana. Kualihkan perhatianku sejenak keluar pintu dan melihat…

Eh, kalian! Sudah lama berada di depan pintu kelas? Ayo, masuk sini! Jangan malu-malu. Apa? Kalian bertanya kami sedang ngapain malam jumat begini di sini? Oh, begini! Kalian belum tahu kalau Permainan 100 Kisah Hantu merupakan ritual wajib di CN TRO Group School ini – tiap malam Jumat? Apa? Kalian bertanya permainan macam apa itu? Oke, akan aku jelaskan. Tapi janji ya, setelah aku jelaskan kalian bakal menjadi kontributor yang akan meniup lilin selanjutnya…

Begini, kumpulan 100 kisah menakutkan merupakan berkumpul di malam hari dengan menyalakan 100 batang lilin. Setiap satu kisah menakutkan selesai, maka nyala satu lilin harus ditiup. Kalo sudah tertiup 100 lilin, maka genaplah 100 kisah. Jika nyala lilin terakhir ditiup, maka akan terjadi hal yang menakutkan! Apakah itu? Kita lihat saja nanti. Oke, makanya tetap duduk di sini ya bersama kami sampai cerita ke-100…

Kalian setuju? Oke, kalau begitu silahkan masuk! Toh, kalian belum telat-telat amat kok mendengar ceritanya si Miyung soalnya ceritanya kepotong, biar kalian tambah penasaran hehe. Untung saja kan ia menceritakan bagiannya tak sampai habis.

Eh, itu dia anaknya masuk lagi. Buruan ambil tempat di dekat saya!


***


“Sarapan, Cantik!” terdengar suara berat si Psikopat sambil membuka tutup kepala Miyu. “Kau pasti sudah lapar berat, kan?”

Miyu terisak-isak. Matanya sembab sekali saking takutnya. “Hiks-hiks!” Dia tengah terduduk di sebuah kursi tempatnya tadi duduk di hadapan meja makan – tapi kali ini dalam posisi tangan dan kaki yang terikat!

Di hadapannya masih terhampar kue-kue cake yang tadi. Hanya saja bedanya, di kue-kue itu terdapat banyak bercak-bercak darah yang menyatu dengan krim kue. Sungguh menjijikkan dan bau amisnya menyatu dengan aroma harum kue lezat itu.

“Kau pasti kehausan kan, Sayang?” Si Psikopat mengelus-elus rambut Miyu. “Ini, mula-mula aku punya minuman spesial untukmu. Diminum, ya!”

Miyu kemudian teringat rasa dahaganya yang seperti saat joging tadi pagi. Sekarang hari sudah gelap, tepatnya pada dini hari.

“Tak kalah enak loh dengan susu yang kalian nikmati tadi pagi. Aku sudah capek-capek membuatkannya khusus untukmu.” Psikopat itu lantas menyodorkan segelas susu yang anehnya berwarna kemerahan – hingga terkesan berwarna pink. Tapi itu bukan susu strawberi!

Begitu melihat isinya, Miyu jadi merasa mual dan ingin menangis sekeras-kerasnya. Di gelas itu memang isinya susu, hanya saja warnanya menjadi merah muda seperti itu karena ada sepasang bola mata yang dibelah-belah secara mentah. “Huek!”

“Ayo diminum! Kalau tidak, nasibmu akan sama seperti temanmu barusan!” gertak si Psikopat sambil meminumkan susu kemerahan itu padanya. “Bagaimana? Masih mau bernegosiasi denganku? Aku sudah cukup berbaik hati padamu, bukan?”

Mau tak mau – sambil menahan jijik, Miyu pun meneguk cairan menjijikkan tadi dengan berlinangan air mata. Meski harus curang dengan membiarkan sebagian cairan itu tak membasahi kerongkongannya tapi membasahi bajunya.

“Ck-ck-ck! Minum dengan benar. Kau ini sungguh tak menghargai jerih-payahku, ya? Kau tak suka, ya?” Dengan kapaknya, si Psikopat lalu meletakkan sepotong kue di atasnya untuk menyuapi Miyu. “Aha! Kalau yang ini, kamu pasti suka!”

Miyu menggelengkan kepala melihat krim kuenya yang bercampur darah amis. “Ampuuun…”

“Kenapa? Bukankah tadi pagi kau begitu menikmatinya? Kok sekarang nggak mau?”

“Aku sudah kenyang,” rintih Miyu, meski sebenarnya dia lapar setengah mati. Tapi mana mau dia mencicipi kue berdarah itu?

“Ck! Aku sudah berbaik hati, malah kamu tolak. Kerja samalah sedikit. Bukankah kamu membutuhkan bantuanku? Sekarang Tuan Rumah ajak makan, mana sopan kau menolaknya? Ayo, cepat! Buka mulutmu!”

Miyu menelengkan kepalanya – jauh-jauh dari kue itu.

“Sekarang aku minta kau menghabiskan semua kue ini karena temanmu tadi sudah membuatnya sekotor ini hingga aku tak mungkin mau memakannya lagi. Cepat buka mulutmu atau kau juga akan berakhir di kulkas bersama temanmu,” ancam si Psikopat. “Mau?”

Akhirnya Miyu membuka mulutnya dan memakan kue mengerikan itu.

“Nah, begitu dong. Kamu benar-benar tamu yang baik. Lain kali, aku pasti akan mengundangmu makan-makan di sini…” Si Psikopat terus menyuapi Miyu kue-kue berdarah tersebut satu per satu…

Miyu hanya bisa melahap kue-kue yang tadinya enak itu – tanpa mengunyahnya terlebih dahulu alias langsung ditelan. Karena mana mau dia merasakan kue mengerikan yang bercampur darah temannya itu di lidahnya? Ia sungguh tak tega!

“Hoek!” Tak lama kemudian, Miyu mulai merasa mual-mual dengan perut yang mengembung.

“Ayo, masih banyak loh yang tersisa!” Sementara itu, si Psikopat masih terus menyuapinya pakai ‘sendok’ kapaknya. “Ayo, habiskan semuanya. Kulkasku hanya satu dan tak bisa memasukkan semua kue-kue itu karena tubuh temanmu sudah memenuhi kulkasku…”

Miyu menggelengkan kepalanya. Perutnya membuncit. Dia sudah sangat kekenyangan sekarang!

“Cepatlah! Jangan buat kesabaranku habis!”

Akhirnya Miyu mau bersusah-payah membuka mulutnya lagi dan memakan kue-kue berdarah itu dengan perut yang semakin membuncit, terus menggembung, dan akhirnya, “HOOOOEEEEEKKKK!!!” Dia pun muntah-muntah hebat, memuntahkan kue-kue mengerikan yang ditelannya dengan susah payah.

“Wah, sepertinya aku harus menyuruhmu untuk mengulangi makan hal yang sama, dengan jumlah yang sama dengan kue yang kaumuntahkan barusan…”

Miyu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sudah cukup… ampun,” rintihnya mengiba-iba.

“Eits, tidak bisa! Ini sudah menjadi aturan main di rumahku bagi para tamu yang tak diundang. Hm, nanti akan kugantikan dengan daging temanmu saja ya? Sekarang lanjut!” si Psikopat lanjut menyuapinya. “Ayo, tugasmu masih belum selesai. Semangat dong, jangan kayak anak kecil yang susah disuruh makan begitu. Tinggal sedikit lagi, nih!”

Miyu merasa sudah tak sanggup lagi menelannya.

“Ayo, berjuanglah! Aku yakin di sana masih ada tempat. Kalau kamu tak mau makan, kau terpaksa harus meluangkan waktumu untuk menyantap daging temanmu sendiri. Bagaimana?”

Miyu terpaksa membuka mulutnya untuk kesekian kalinya. Tapi saking mualnya, mulutnya jadi terasa berat untuk terbuka lagi.

Si Psikopat berusaha meneroboskan kue itu masuk hingga hancur di depan mulut Miyu. “ARGH! KAU SUNGGUH MEMBUATKU KESAAAAAAAAAAAAAALLL!!!” raung si Psikopat sambil mengayunkan kapaknya tanpa ragu ke leher Miyu…

“KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!” Sekarang, baru mulut Miyu mau terbuka lebar dan…

GREK!

*

Ting-tong!

Bud membuka pintu rumahnya dan melihat teman-temannya datang berkunjung. “Halo, semua!” sapanya riang.

Mereka kemudian saling bercipika-cipiki sebelum akhirnya memasuki rumah sederhana itu.

“Wah, rumahmu nyaman juga. Tak nyangka ya kamu betah juga tinggal di rumah tengah hutan begini. Apa kamu tak takut?”

“Haha, biasa sajalah!”

“Iya. Di sini kan susah mendapatkan persediaan makanan. Bagaimana caramu mendapatkan kebutuhan nutrisimu sehari-hari?”

“Iya, sih. Memang sulit karena minimarket di sekitar sini sangat jauh, jadinya aku harus meluangkan waktu untuk ke kota membeli bahan makanan, itu pun tak bisa setiap hari. Sisanya sih aku habiskan untuk berburu rusa agar bisa dibuat kavier. Eh, aku ambilkan dulu ya hidangannya.”

“Bud? Kenapa undangan makan-makan kemarin dibatalkan?” tanya seorang temannya mencegat sebelum ia melangkah ke dalam. “Padahal aku sudah di jalan, loh!”

“Ngrh… itu…” Bud tampak bingung mau ngomong apa. “Hidangan yang kemarin itu rusak dimakan tikus, jadinya aku harus mengganti bahannya, deh. Tikus sialan! Padahal aku sudah susah-payah loh capek-capek ke kota hanya untuk membeli semuanya, eh malah disantap tikus-tikus jahanam itu. Kalian tentunya tak mau kan makan kue cake bekas tikus?”

Teman-temannya kemudian mengangguk-angguk. “Oh, begitu. Kasihan! Malah jadi jatah tikus, padahal kita-kita juga mau mencoba mencicipinya hihi.”

“Tenang, tikus-tikusnya sudah aku bereskan. Nah, sebagai gantinya aku punya masakan istimewa buat kalian semua. Ini aku sendiri loh yang buat. Menunya sudah aku ganti. Tak apa, kan?” Tak lama Bud lalu membawakan aneka menu daging ke meja makan.

“Wah, asyik ini. Pasti lezat!”

Tak lama, mereka pun asyik menyantap hidangan tersebut hingga…

“Eh, Bud,” salah seorang temannya menegur. “Kok ada anting sih di daging ini?” Temannya itu lalu mengangkat sebuah anting emas.

Bud ternganga dan langsung merampas anting itu – seolah ada yang dirahasiakannya. “Ng… ini… ini anting saya!”

“Hah? Sejak kapan kamu pake anting?”

“Maksudnya… maksudnya anting ini hendak kuberikan pada pacar saya, tapi malah jatuh ke masakan,” Bud segera memberikan serentetan alasan. “Akunya juga sih yang salah, sudah membawa-bawa anting ke dapur segala sementara aku sedang memasak…”

Teman-temannya pun kembali menikmati hidangan yang ada.

“Aku ke dalam dulu ya, mengembalikan anting ini ke tempatnya.”

Bud buru-buru ke dalam untuk mengembalikan anting itu pada tempatnya – dengan membuka kulkasnya. Iya, membuka kulkasnya dan…

Dua buah kepala – yang satu dengan mulut terlongo lebar dan yang satunya lagi kedua bola matanya sudah hilang – yang tergeletak di piring lebar menyapanya dari dalam sana. Bud meletakkan anting itu ke piring.

“Nih, aku kembalikan! Sori, aku tak tahu ini punya siapa, tapi…” Bud lalu mendesis dengan telunjuk di bibir, “ssssstttt, kalian jangan bilang siapa-siapa ya kalau kalian ada di sini!” bisiknya.

Drep. Bud pun segera menutup pintu kulkasnya, sebelum teman-temannya menjerit jika harus melihat isinya…


***


“Fuh! RED BREAKFAST selesai,” Miyung mengakhiri cerita thrillernya sambil meniup lilin keempat. Miyung kemudian lanjut melahap kue cake-nya dengan santai lalu meminum susu kotaknya. Tak lama ia lalu memandang sekelilingnya begitu sadar kawanannya tampak terpaku melihatnya makan. “Ng? Kenapa? Kalian juga mau?”

Krik-krik-krik…

Bagaimana dengan kalian? Apakah kalian masih bernafsu makan kue cake dan minum susu?

 ========================================================================

-          (nb: Kalian tertarik membagi cerita horor kalian di ritual malam jumat ini? Apakah kalian mau menjadi peniup lilin yang KELIMA? Silahkan tuangkan imajinasi horor-mu dalam bentuk inbox beserta biodata kepada saya!)

0 komentar: