“Hosh-hosh…”
Kedua gadis
cantik itu tampak aktif berjoging ria pagi-pagi, hingga tak sadar sudah berada
di mana.
“Miyu, berhenti
dulu sebentar!” pekik Eza, si gadis berkepang dua itu.
Gadis berkuncir
yang dipanggil Miyu itu menolehinya. “Ada apa?”
“Ngrh… kamu tak
merasa ada yang aneh dengan tempat ini?”
Miyu menatap ke
sekitarnya dan merenung. “Iya juga, ya? Saking asyiknya joging kita jadi
kesasar di tempat tak jelas ini.”
Eza memandangi
hutan tempat mereka berada sekarang. “Kenapa kita bisa terdampar ke sini, ya?
Terus, kamu merasa ada yang aneh tidak? Coba lihat sekelilingmu dengan
seksama.”
Mata Miyu
kemudian terbelalak. “Eh, bukankah kita sudah melintasi tempat ini? Kok
sepertinya kita hanya keliling-keliling saja, padahal kita kan bergerak maju?”
“Itu dia
masalahnya. Sepertinya kita tersesat, deh!” keluh Eza.
“Kok
bisa-bisanya ya kita joging sampai ke sini? Hutan ini mengundang perhatian,
sih!”
“Iya, di sini
memang sangat indah!”
Miyu lalu
mengambil ponselnya. “Aku akan menelpon bantuan – grrr! Astaga! Tak ada
sinyal!”
“Di ponselku
juga! Bagaimana ini?” Eza menatap Miyu tegang.
“Ck! Semua ini
membuatku haus!” Miyu membuka botol airnya dan tersadar seketika karena airnya
tinggal sedikit. “Duh, airnya tinggal sedikit lagi!”
“Punyaku malah
sudah habis. Duh, aku laper! Tadi di rumah hanya sempat minum susu doang,”
gerutu Eza.
“Aku malah tak
sarapan apa-apa.” Mata Miyu lalu terbelalak begitu melihat sesuatu di kejauhan
sana. “Hei! Di sana ada rumah. Mungkin si Tuan Rumah bisa menolong kita yang
tersesat ini!”
“Ng?” Eza mengernyitkan
kening. “Loh, perasaan waktu kita lewat tadi, di situ tak ada rumah deh.”
“Ah, sudahlah.
Itu hanya perasaanmu saja. Sekarang kita ke rumah itu dan meminta bantuan. Kita
bisa meminjam telepon mereka agar ada yang bisa menjemput kita di sini. Yuk!”
Tanpa memedulikan firasat buruk Eza, Miyu segera menarik tangan Eza ke rumah
mungil di tengah hutan itu.
*
“Spada!
Permisi!” pekik keduanya berbarengan sambil mengetuk-ngetuk pintunya.
“Ng? Kok nggak
ada yang bukain, sih? Jangan-jangan tak ada orangnya,” gerutu Eza mulai putus
asa. “Kita kan sudah lama ketuk-ketuk.”
“Habis, mau
gimana lagi dong? Kita kan dalam masalah.”
Krit… Tiba-tiba
saja pintunya terayun terbuka.
“Hei! Pintunya
terbuka sendiri?” Tanpa ragu-ragu, Miyu melongokkan kepalanya masuk.
“Eh, nih rumah
orang tahu,” tegur Eza.
“Tapi kita
membutuhkan bantuannya. Lagian kan kita ini bukan maling.” Miyu secara perlahan
memasuki rumah itu. “Permisi? Apa ada orang? Kami butuh bantuan. Kami
tersesat…”
Eza mengikuti
Miyu memasuki rumah yang dicat meriah itu. Meski itu hanya rumah mungil, tapi
suasananya terasa sangat nyaman, apalagi begitu mata Eza terpaku pada apa yang
ada di sebuah meja makan sana.
“Hei! Ada
banyak kue-kue di sana!” pekik Eza sumringah. “Aku lapar sekali!” Gadis
berkepang dua itu langsung mendekati meja makan dan duduk di kursinya.
“Huah!” Miyu
pun turut sumringah. “Kebetulan sekali, aku belum sarapan.” Tanpa ragu-ragu ia
juga duduk di kursi meja makannya. “Eh? Tapi apa nggak apa-apa, nih? Ini kan
kue punya Tuan Rumah.”
“Tapi apa dia
bisa menghabiskan sebanyak ini?” Eza malah sudah melahap sepotong kue cake.
“Kalau mau menunggu pertolongan datang, kita bisa mati kelaparan dan kehausan! Mendingan
kita isi tenaga dulu, baru cari jalan keluarnya lagi. Mumpung ada kue. Masuk akal,
bukan?”
Miyu
membenarkan sambil menjilati sisa krim di jarinya. “Ya, kita memang harus
saling membantu. Termasuk membantu Tuan Rumahnya menghabiskan kue-kue ini.
Hihi!”
“Ya, benar!
Salahnya Tuan Rumahnya juga malah keluyuran entah ke mana, pintunya tak dikunci
lagi…”
Dan keduanya
pun tampak asyik melahap kue-kue cake lezat itu sambil bercanda-ria. Kue-kue
itu tampak begitu enak dan manis. Tak lupa, mereka juga menuangkan susu ke
gelas-gelas mereka. Keduanya tampak seperti tengah berada di surga yang
terletak di hutan terpencil.
Kret… Saking asyiknya menikmati kue, mereka
sampai-sampai tak menyadari sepasang kaki seorang pria tengah melangkah gontai
mendekati mereka dari arah pintu yang mereka masuki tadinya – sambil
menyeret-nyeret sebuah kapak!
Kedua gadis
yang mulutnya belepotan krim kue itu belum menyadari datangnya bahaya. Begitu sadar,
mereka kemudian mengalihkan perhatiannya pada pria tadi. Mereka segera berdiri
dari kursi masing-masing dan melangkah mundur.
“Maaf! Maaf ya,
Pak. Kami masuk tanpa izin,” kata Eza ketakutan. “Pintunya tak terkunci.”
“Maaf, Pak!
Habis, tadinya kami cari-cari Bapak tapi nggak ada. Kami… kami hanya mau minta
tolong.”
“Minta tolong
apa?” terdengar suara berat si Pemilik Rumah sambil mendekati Eza – yang paling
dekat dengannya dari arah pintu.
Eza
menganggukinya. “Iya! Terus kami melihat kue-kue tadi dan melahapnya karena
belum sarapan, plus kami juga tersesat. Kami mohon maaf, Pak! Tapi kami janji
bakal mengganti kue-kue yang kami mak –“
“Kalian mau
menggantinya?! Tapi kalian harus menggantinya dengan ini!” raung pria itu.
Grek!!! Belum
sempat Eza menyelesaikan kalimat terakhirnya, kapak di genggaman pria itu
langsung meluncur begitu saja – menebas leher Eza. Kedua ujung kepangannya di
sekitar leher turut terpotong dan berserakan di lantai sedangkan kepala Eza
menggelinding di meja makan dengan mata yang masih sempat berkedip-kedip
terkejut sampai akhirnya terbuka untuk selama-lamanya.
“Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!!!!”
Miyu menjerit-jerit histeris melihat kematian tragis sahabatnya itu. Kue-kue di
meja makan pun dihujani darah yang merembes dari tebasan pangkal leher Eza.
Miyu bergegas
melarikan diri, keluar dari neraka itu. Namun si psikopat segera menarik
rambutnya masuk. Miyu berusaha untuk meloloskan diri, meronta, menendang-nendang
hingga pada akhirnya tak berdaya lagi dan…
“Eh, malah jadi
laper.” Miyung mengelus-elus perutnya. “Ntar aku lanjutin lagi ya setelah
kenyang. Aku ke kantin sebentar ya – jajan.” Si Wakil Ketua Kelas Malam itu pun
melangkah keluar kelas menuju kantin – yang memang masih buka di jam-jam
segini.
“Huuuu! Gimana
sih Miyung? Lagi seru-serunya malah kelaparan!” omel Chika disambut anggukan
oleh kawan-kawan lainnya.
“Iya, nih!
Semoga ia makannya tak kelamaan, deh!” keluh Ryu.
“Anggap aja
iklan. Tiga menit juga beres,” Ruci menanggapi.
Ck! Sementara
ceritanya dipending, kudengar sepertinya ada yang mengintai dari luar sana.
Kualihkan perhatianku sejenak keluar pintu dan melihat…
Eh, kalian!
Sudah lama berada di depan pintu kelas? Ayo, masuk sini! Jangan malu-malu. Apa?
Kalian bertanya kami sedang ngapain malam jumat begini di sini? Oh, begini!
Kalian belum tahu kalau Permainan 100 Kisah Hantu merupakan ritual wajib di CN
TRO Group School ini – tiap malam Jumat? Apa? Kalian bertanya permainan macam apa
itu? Oke, akan aku jelaskan. Tapi janji ya, setelah aku jelaskan kalian bakal
menjadi kontributor yang akan meniup lilin selanjutnya…
Begini, kumpulan
100 kisah menakutkan merupakan berkumpul di malam hari dengan menyalakan 100
batang lilin. Setiap satu kisah menakutkan selesai, maka nyala satu lilin harus
ditiup. Kalo sudah tertiup 100 lilin, maka genaplah 100 kisah. Jika nyala lilin
terakhir ditiup, maka akan terjadi hal yang menakutkan! Apakah itu? Kita lihat
saja nanti. Oke, makanya tetap duduk di sini ya bersama kami sampai cerita
ke-100…
Kalian setuju?
Oke, kalau begitu silahkan masuk! Toh, kalian belum telat-telat amat kok mendengar
ceritanya si Miyung soalnya ceritanya kepotong, biar kalian tambah penasaran
hehe. Untung saja kan ia menceritakan bagiannya tak sampai habis.
Eh, itu dia anaknya
masuk lagi. Buruan ambil tempat di dekat saya!
***
“Sarapan, Cantik!”
terdengar suara berat si Psikopat sambil membuka tutup kepala Miyu. “Kau pasti
sudah lapar berat, kan?”
Miyu
terisak-isak. Matanya sembab sekali saking takutnya. “Hiks-hiks!” Dia tengah
terduduk di sebuah kursi tempatnya tadi duduk di hadapan meja makan – tapi kali
ini dalam posisi tangan dan kaki yang terikat!
Di hadapannya
masih terhampar kue-kue cake yang tadi. Hanya saja bedanya, di kue-kue itu
terdapat banyak bercak-bercak darah yang menyatu dengan krim kue. Sungguh
menjijikkan dan bau amisnya menyatu dengan aroma harum kue lezat itu.
“Kau pasti
kehausan kan, Sayang?” Si Psikopat mengelus-elus rambut Miyu. “Ini, mula-mula aku
punya minuman spesial untukmu. Diminum, ya!”
Miyu kemudian
teringat rasa dahaganya yang seperti saat joging tadi pagi. Sekarang hari sudah
gelap, tepatnya pada dini hari.
“Tak kalah enak
loh dengan susu yang kalian nikmati tadi pagi. Aku sudah capek-capek
membuatkannya khusus untukmu.” Psikopat itu lantas menyodorkan segelas susu
yang anehnya berwarna kemerahan – hingga terkesan berwarna pink. Tapi itu bukan
susu strawberi!
Begitu melihat
isinya, Miyu jadi merasa mual dan ingin menangis sekeras-kerasnya. Di gelas itu
memang isinya susu, hanya saja warnanya menjadi merah muda seperti itu karena
ada sepasang bola mata yang dibelah-belah secara mentah. “Huek!”
“Ayo diminum!
Kalau tidak, nasibmu akan sama seperti temanmu barusan!” gertak si Psikopat
sambil meminumkan susu kemerahan itu padanya. “Bagaimana? Masih mau
bernegosiasi denganku? Aku sudah cukup berbaik hati padamu, bukan?”
Mau tak mau –
sambil menahan jijik, Miyu pun meneguk cairan menjijikkan tadi dengan
berlinangan air mata. Meski harus curang dengan membiarkan sebagian cairan itu
tak membasahi kerongkongannya tapi membasahi bajunya.
“Ck-ck-ck!
Minum dengan benar. Kau ini sungguh tak menghargai jerih-payahku, ya? Kau tak
suka, ya?” Dengan kapaknya, si Psikopat lalu meletakkan sepotong kue di atasnya
untuk menyuapi Miyu. “Aha! Kalau yang ini, kamu pasti suka!”
Miyu
menggelengkan kepala melihat krim kuenya yang bercampur darah amis. “Ampuuun…”
“Kenapa?
Bukankah tadi pagi kau begitu menikmatinya? Kok sekarang nggak mau?”
“Aku sudah
kenyang,” rintih Miyu, meski sebenarnya dia lapar setengah mati. Tapi mana mau
dia mencicipi kue berdarah itu?
“Ck! Aku sudah
berbaik hati, malah kamu tolak. Kerja samalah sedikit. Bukankah kamu
membutuhkan bantuanku? Sekarang Tuan Rumah ajak makan, mana sopan kau
menolaknya? Ayo, cepat! Buka mulutmu!”
Miyu
menelengkan kepalanya – jauh-jauh dari kue itu.
“Sekarang aku
minta kau menghabiskan semua kue ini karena temanmu tadi sudah membuatnya sekotor
ini hingga aku tak mungkin mau memakannya lagi. Cepat buka mulutmu atau kau
juga akan berakhir di kulkas bersama temanmu,” ancam si Psikopat. “Mau?”
Akhirnya Miyu
membuka mulutnya dan memakan kue mengerikan itu.
“Nah, begitu
dong. Kamu benar-benar tamu yang baik. Lain kali, aku pasti akan mengundangmu
makan-makan di sini…” Si Psikopat terus menyuapi Miyu kue-kue berdarah tersebut
satu per satu…
Miyu hanya bisa
melahap kue-kue yang tadinya enak itu – tanpa mengunyahnya terlebih dahulu
alias langsung ditelan. Karena mana mau dia merasakan kue mengerikan yang
bercampur darah temannya itu di lidahnya? Ia sungguh tak tega!
“Hoek!” Tak
lama kemudian, Miyu mulai merasa mual-mual dengan perut yang mengembung.
“Ayo, masih
banyak loh yang tersisa!” Sementara itu, si Psikopat masih terus menyuapinya
pakai ‘sendok’ kapaknya. “Ayo, habiskan semuanya. Kulkasku hanya satu dan tak
bisa memasukkan semua kue-kue itu karena tubuh temanmu sudah memenuhi
kulkasku…”
Miyu
menggelengkan kepalanya. Perutnya membuncit. Dia sudah sangat kekenyangan
sekarang!
“Cepatlah!
Jangan buat kesabaranku habis!”
Akhirnya Miyu
mau bersusah-payah membuka mulutnya lagi dan memakan kue-kue berdarah itu
dengan perut yang semakin membuncit, terus menggembung, dan akhirnya,
“HOOOOEEEEEKKKK!!!” Dia pun muntah-muntah hebat, memuntahkan kue-kue mengerikan
yang ditelannya dengan susah payah.
“Wah,
sepertinya aku harus menyuruhmu untuk mengulangi makan hal yang sama, dengan
jumlah yang sama dengan kue yang kaumuntahkan barusan…”
Miyu
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sudah cukup… ampun,” rintihnya mengiba-iba.
“Eits, tidak
bisa! Ini sudah menjadi aturan main di rumahku bagi para tamu yang tak
diundang. Hm, nanti akan kugantikan dengan daging temanmu saja ya? Sekarang
lanjut!” si Psikopat lanjut menyuapinya. “Ayo, tugasmu masih belum selesai.
Semangat dong, jangan kayak anak kecil yang susah disuruh makan begitu. Tinggal
sedikit lagi, nih!”
Miyu merasa
sudah tak sanggup lagi menelannya.
“Ayo,
berjuanglah! Aku yakin di sana masih ada tempat. Kalau kamu tak mau makan, kau
terpaksa harus meluangkan waktumu untuk menyantap daging temanmu sendiri.
Bagaimana?”
Miyu terpaksa
membuka mulutnya untuk kesekian kalinya. Tapi saking mualnya, mulutnya jadi
terasa berat untuk terbuka lagi.
Si Psikopat
berusaha meneroboskan kue itu masuk hingga hancur di depan mulut Miyu. “ARGH!
KAU SUNGGUH MEMBUATKU KESAAAAAAAAAAAAAALLL!!!” raung si Psikopat sambil
mengayunkan kapaknya tanpa ragu ke leher Miyu…
“KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
Sekarang, baru mulut Miyu mau terbuka lebar dan…
GREK!
*
Ting-tong!
Bud membuka
pintu rumahnya dan melihat teman-temannya datang berkunjung. “Halo, semua!”
sapanya riang.
Mereka kemudian
saling bercipika-cipiki sebelum akhirnya memasuki rumah sederhana itu.
“Wah, rumahmu
nyaman juga. Tak nyangka ya kamu betah juga tinggal di rumah tengah hutan
begini. Apa kamu tak takut?”
“Haha, biasa
sajalah!”
“Iya. Di sini
kan susah mendapatkan persediaan makanan. Bagaimana caramu mendapatkan
kebutuhan nutrisimu sehari-hari?”
“Iya, sih. Memang
sulit karena minimarket di sekitar sini sangat jauh, jadinya aku harus
meluangkan waktu untuk ke kota membeli bahan makanan, itu pun tak bisa setiap
hari. Sisanya sih aku habiskan untuk berburu rusa agar bisa dibuat kavier. Eh,
aku ambilkan dulu ya hidangannya.”
“Bud? Kenapa
undangan makan-makan kemarin dibatalkan?” tanya seorang temannya mencegat
sebelum ia melangkah ke dalam. “Padahal aku sudah di jalan, loh!”
“Ngrh… itu…”
Bud tampak bingung mau ngomong apa. “Hidangan yang kemarin itu rusak dimakan
tikus, jadinya aku harus mengganti bahannya, deh. Tikus sialan! Padahal aku
sudah susah-payah loh capek-capek ke kota hanya untuk membeli semuanya, eh
malah disantap tikus-tikus jahanam itu. Kalian tentunya tak mau kan makan kue
cake bekas tikus?”
Teman-temannya
kemudian mengangguk-angguk. “Oh, begitu. Kasihan! Malah jadi jatah tikus,
padahal kita-kita juga mau mencoba mencicipinya hihi.”
“Tenang,
tikus-tikusnya sudah aku bereskan. Nah, sebagai gantinya aku punya masakan
istimewa buat kalian semua. Ini aku sendiri loh yang buat. Menunya sudah aku
ganti. Tak apa, kan?” Tak lama Bud lalu membawakan aneka menu daging ke meja
makan.
“Wah, asyik
ini. Pasti lezat!”
Tak lama,
mereka pun asyik menyantap hidangan tersebut hingga…
“Eh, Bud,”
salah seorang temannya menegur. “Kok ada anting sih di daging ini?” Temannya itu
lalu mengangkat sebuah anting emas.
Bud ternganga
dan langsung merampas anting itu – seolah ada yang dirahasiakannya. “Ng… ini…
ini anting saya!”
“Hah? Sejak
kapan kamu pake anting?”
“Maksudnya…
maksudnya anting ini hendak kuberikan pada pacar saya, tapi malah jatuh ke
masakan,” Bud segera memberikan serentetan alasan. “Akunya juga sih yang salah,
sudah membawa-bawa anting ke dapur segala sementara aku sedang memasak…”
Teman-temannya
pun kembali menikmati hidangan yang ada.
“Aku ke dalam
dulu ya, mengembalikan anting ini ke tempatnya.”
Bud buru-buru ke
dalam untuk mengembalikan anting itu pada tempatnya – dengan membuka kulkasnya.
Iya, membuka kulkasnya dan…
Dua buah kepala
– yang satu dengan mulut terlongo lebar dan yang satunya lagi kedua bola
matanya sudah hilang – yang tergeletak di piring lebar menyapanya dari dalam
sana. Bud meletakkan anting itu ke piring.
“Nih, aku
kembalikan! Sori, aku tak tahu ini punya siapa, tapi…” Bud lalu mendesis dengan
telunjuk di bibir, “ssssstttt, kalian jangan bilang siapa-siapa ya kalau kalian
ada di sini!” bisiknya.
Drep. Bud pun
segera menutup pintu kulkasnya, sebelum teman-temannya menjerit jika harus melihat
isinya…
***
“Fuh! RED
BREAKFAST selesai,” Miyung mengakhiri cerita thrillernya sambil meniup lilin
keempat. Miyung kemudian lanjut melahap kue cake-nya dengan santai lalu meminum
susu kotaknya. Tak lama ia lalu memandang sekelilingnya begitu sadar kawanannya
tampak terpaku melihatnya makan. “Ng? Kenapa? Kalian juga mau?”
Krik-krik-krik…
Bagaimana
dengan kalian? Apakah kalian masih bernafsu makan kue cake dan minum susu?
========================================================================
-
(nb: Kalian
tertarik membagi cerita horor kalian di ritual malam jumat ini? Apakah kalian
mau menjadi peniup lilin yang KELIMA? Silahkan tuangkan imajinasi horor-mu
dalam bentuk inbox beserta biodata kepada saya!)
0 komentar:
Posting Komentar