THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Rabu, 18 Maret 2015

KELAS THRILLER (Kelas Malam - second lessons): TEROR PENYAKIT (Izinkan Aku Menularkan Penyakitku!)

“Hatching… ta!”

Aku tiba di CN-TRO Group School sambil bersin-bersin. Meski penyakitku belum sembuh 100 persen, namun aku masih tetap antusias mengisi Kelas Malam pekan ini, yang rutin berlangsung setiap hari Senin, pukul 2 siang hingga jam 5 sore.

“Eh, itu Sensei baru ya?” tanya para siswa di sekelilingku. Yup! Kalian benar. Aku sensei yang baru 1 kali membawakan materi di Kelas Malam minggu lalu: Chikako Oushiza (Chika), 27 tahun.

Tapi kok tak ada yang bertanya kenapa aku bisa jatuh sakit seperti ini? Oke, aku curhat saja langsung tentang penyakitku! Selama bulan Februari kemarin, aku tengah memeriksa tugas para muridku di Dunia Lain sono. Tugasnya berupa cerpen bertema ‘Teror Penyakit’ dengan genre horor thriller.  Kupikir temanya yang lain daripada yang lain bakal lebih seru tentunya memeriksa karya mereka. Namun ternyata tema yang menantang itu membuatku drop. Kenapa? Soalnya yang kirim naskah sesuai genre horor thriller itu hanya bisa dihitung jari, sedangkan sisanya kebanyakan drama sedih, komedi juga fantasi!

Bagaimana aku tak stres? Sekian banyak naskah yang kuperiksa ternyata sebagian besarnya jauh dari genre horor thriller. Salahku juga karna tak memberi pengarahan sebelumnya (ini jadi pelajaran untukku juga). Saking stresnya, aku pun jatuh sakit berhari-hari…

Hiks! Oke, intinya aku yang menyuruh mereka membuat cerpen horor thriller teror penyakit, efeknya malah aku sendiri yang diteror oleh penyakit konsepku sendiri. Tragis…

Krit! Baru saja hendak kulangkahkan kakiku ke Kelas Malam, tiba-tiba saja ada seseorang yang memanggilku, “Sensei!”

Kumenoleh dan melihat seorang gadis berwajah pucat menatapku lesu.

“Hei, kamu tak masuk kelas?” tegurku. Ia menggelengkan kepala. “Kenapa?”

“Hari ini aku izin tak mengikuti kelas, Sensei. Aku lagi sakit,” katanya sendu.

“Oh, begitu. Ya sudah, kamu pulang saja langsung ke rumah,” responku iba. “Tapi memangnya kamu sakit apa?”

Mata cekungnya membuatku merinding. “Sensei yakin mau tahu aku sakit apa?”

Tunggu, tunggu dulu! Ini pertanyaan atau ancaman?! Anak ini mulai mengerikan, tapi aku mengangguk saja meski ragu.

“Sini, mendekatlah! Akan kuceritakan perihal penyakit langkaku ini…”

*

Krit!

Akhirnya berhasil juga kakiku melangkah masuk ke kelas thriller ini. Semoga anak-anak merindukan kehadiranku (plak!). Namun, begitu melihat mereka baik-baik, kumenghela napas ‘bunuh diri’.

“Eh… ini, kenapa tak ada yang mau duduk di kursi paling depan?” Krik krik krik…

Sepertinya semua datang lebih awal bukannya untuk berebutan kursi paling depan, tapi berebutan kursi paling belakang! Oh, sebegitu angkernya kah aku di mata kalian? Hiks!

“Tapi tenang saja, aku takkan menunjuk siapa-siapa untuk maju hari ini karena aku sudah punya kisah thriller yang akan kubagikan pada kalian. Untuk sementara, kalian boleh bernapas lega…”

Fiuh! Ya-ya, aku bisa mendengar deruan napas bahagia kalian, tapi tidak untuk minggu depan!

“Ini cerita dari teman kalian: IMAI YASUE. Kalian pernah mendengar kata PANDEMIK?” (Krik-krik-krik).

“Baiklah. Sepertinya perlu kujelaskan pada kalian…” (tuk-tuk-tuk, sambil menulis kata: PAN-DE-MIK).

“Pandemik adalah penyakit menular yang menyebar luas dan kisah ini merupakan contoh yang pas untuk tugas cerpen horor thriller teror penyakit yang bagus untuk disimak…”


https://www.facebook.com/groups/CNTRO/?ref=browser



IZINKAN AKU MENULARKAN PENYAKITKU!

Sensei memasuki kelas Ena dan kawan-kawannya di kelas 5 dengan wajah lesu. Ia yang tampaknya tengah sakit, kemudian menyampaikan sesuatu yang mencengangkan pada seisi kelas, “dengarkan, anak-anak! Ada info penting untuk kalian semua. Saat ini terjadi penyebaran penyakit misterius dan untuk mencegah penyebarannya, kalian tak boleh keluar dari kelas dulu. Mengerti?”

“Sensei, penyakitnya seperti apa?” tanya Ena penasaran.

“Penyakitnya…” Tak lama kemudian, kulit tangan Sensei tampak bergelombang kemudian menjalari wajahnya dan… “Penyakitnya seperti ini!”

Blar!

“Kyaaaaaaaa!!! Sensei meledak!”

Jerit panik seketika bergemuruh di kelas Ena setelah menyaksikan tubuh sensei mereka tercabik-cabik dan meledak di depan mata mereka. Ena menyuruh teman-temannya untuk tenang, agar bisa menyimak baik-baik berita di TV kelas mereka yang sedang menyala.

“Pengumuman dari pemerintah, seekor tikus yang dijangkiti virus khusus telah kabur dari lab. Virus menyebar dengan sangat cepat dari tikus ke tikus lainnya. Kalau manusia terjangkit virus ini, maka tubuhnya akan meledak 15-30 menit kemudian, dan tewas…”

Teman-teman lainnya pun mencari cara untuk menyelamatkan diri masing-masing agar tak tertular. Ada yang mengasingkan diri, bahkan ada juga yang mencari solusinya di internet ponselnya.

“Berita tentang penularan penyakit misterius. Penting! Virus menular melalui cairan tubuh. Kalau ditularkan ke orang lain sebelum meledak, korban akan selamat!” Kaorin, gadis cantik itu membaca info di internet itu sambil berlinangan air mata, soalnya… karena ia telah terinfeksi cairan tubuh senseinya yang meledak tadi karena duduk di kursi paling depan!

Kulitnya mulai bergelembung, kemudian ia pun menangis tergugu sambil menutup wajahnya hingga menarik perhatian pacarnya. “Kamu kenapa, Sayang? Kamu takut? Tenang, ada aku di sini. Jangan menangis, ya. Aku akan selalu melindungimu. Apa pun yang kauminta, pasti akan kuturuti. Aku akan berkoban demi kamu!” hibur cowok itu sambil menyeka AIR MATA Kaorin!

“Oh, begitu ya?” Kaorin lalu membuka wajahnya dan tersenyum penuh racun. “Makasih ya, Sayang. Karena kau mau menggantikan aku untuk… MATI!”

“Hah?” Mulanya pacarnya tadi tak mengerti apa maksudnya. Namun setelah melihat kulit tangannya kemudian bergelombang…

“Sembuh! Berhasil! Ternyata info di internet itu benar. Penyakitnya bisa sembuh kalau kita menularkannya ke orang lain!” pekik ceria gadis licik itu.

Sementara itu, satu per satu… blar! Blar! Blar!

“Ugh! Sudah waktunya meledak…,” lirih salah seorang anak perempuan begitu melihat teman-temannya yang duduk di kursi paling depan tadi dikenai hujan cairan tubuh senseinya – meledak semua! “Aku tadi juga kena…”

Ia kemudian berlari ke teman-teman lainnya. “Tolong! Tolong gantikan aku mati! Tolong izinkan aku menularikan penyakitku ini pada kalian! Aku mohon!” pekiknya panik, sementara itu tentu saja teman-teman lainnya segera kabur, menjauhi sentuhan apa pun darinya terutama cairan tubuhnya.

Blar! Namun sebelum berhasil menularkan penyakitnya, tubuh anak perempuan malang tersebut keburu meledak.

Ena ikut melarikan diri. Untung saja ia ditolong oleh Keita, sang ketua kelas. Sepasang kekasih itu pun bersembunyi di lab sains dalam keadaan sehat-sehat saja, belum tertulari. Hanya ada mereka berdua di sana.

“Kenapa jadi begini? Inikah sifat asli teman-temanku yang ternyata hanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri dengan mengorbankan orang lain? Hiks!” isak Ena pilu melihat keadaan kacau-balau di luar sana.

“Kamu tenang saja, aku sudah mengantongi kunci-kunci sekolahan ini untuk jaga-jaga. Kita harus keluar hati-hati dari sekolah ini. Jangan sampai kena pegang siapa pun. Kamu siap?” Keita mengintruksinya sambil melihat sekeliling. Ia membuka pintunya secara perlahan. Krit…

Namun begitu tiba di tangga, teman-teman lainnya dengan wajah bergelembung siap menulari mereka. Keita dan Ena segera melarikan diri secepatnya masuk ke lab Sains kembali.

“Kei, cepat kunci pintunya!” seru Ena panik.

“Iya! Iya! Duh, kuncinya? Kuncinya yang mana ya?” Buru-buru Keita mencopot-pasang kunci yang cocok dengan lubang kunci pintu lab itu. Tangannya sudah mulai gemetaran saking tegangnya.

Klik! Dan akhirnya pintu tersebut terkunci juga tepat pada saat… blar! Blar! Blar! Tubuh teman-temannya yang di luar sana pun meledak-ledak. Untunglah semuanya tepat waktu meski mereka harus menyaksikan pemandangan menggenaskan itu dari balik kaca jendela pintunya.

Fiuh, mereka pun selamat! Keduanya tampak lega sekali…

“Uhuk-uhuk!” Ena terbatuk-batuk sambil menutup mulutnya.

“Kau tak apa-apa? Capek, ya?” tanya Keita perhatian.

“Iya, nih. Mungkin karena daritadi berlari-larian terus,” ulas Ena dengan tanpa sengaja melihat tangannya yang… bergelembung halus! ‘A… aku… tertular?!’ batinnya memekik tak percaya.

Baru saja Keita ingin menghela peluh di kening Ena, gadis itu langsung menepisnya. “Jangan sentuh aku!” serunya kemudian berlari menjauh ke jendela.

Keita terbengong-bengong akan reaksi itu. “Ke… kenapa?!”

“Pokoknya jangan mendekat! Aku benci sama kamu!”

“Hah? Ta… tapi kenapa tiba-tiba begini? Kau sedang bercanda, bukan?!”

Ena tetap memperlihatkan wajah sok bencinya. Air matanya berderai-derai. “Pokoknya mulai sekarang kita putus. Aku mau kita putus!”

“Ena?! Kamu kenapa, sih?!” Keita sangat kebingungan. “Na, jauhi jendela itu. Bahaya, tahu! Kamu bisa jatuh!”

“Kamu tak usah pedulikan aku lagi!” jerit Ena bersimbah air mata. Namun Keita mencoba untuk mendekat. “Jangan mendekat aku bilang! Dengar nggak, sih?! Kalau kau mendekat selangkah lagi, aku akan bunuh diri dengan melompat dari sini!” ancam Ena.

“Ena! Pliz, jangan lakukan itu! Oke, aku takkan mendekat lagi, tapi kau mau turun, kan? Kau tak jadi bunuh diri, kan?” Keita mulai putus asa. “Oke kalau kau mau kita putus dan itu bisa membuatmu bahagia, tapi tolong jelaskan apa alasannya?!”

Ena menggelengkan kepala. “Tidak. Tak ada alasannya…” Ena malah semakin menjorokkan tubuhnya ke ambang jendela. “Meski pun begitu…”

“Ena!!!”

Ena kemudian menatap Keita sendu. “Keita, lupakanlah aku. Yang perlu kau ketahui hanyalah satu: aku juga tertular dan aku tak ingin menularimu seperti mereka. Biarlah aku mati sebagai manusia yang tidak egois. Selamat tinggal, Keita!”

Baru saja Ena nekat untuk lompat, namun Keita bergegas mendekapnya tanpa mempedulikan kalimat Ena. Ena terbengong-bengong. “Ke… Keita?”

“Sekarang giliranmu yang mendengarkan aku. Kalau kamu tak selamat, tak ada artinya bagiku karena yang ingin kutolong hanyalah kamu!” sahut Keita tulus sambil menghela air mata suci Ena. “Kalau kau harus mati sendirian, biarlah aku juga ikut mati. Kalau berdua, aku takkan takut!”

Mereka kemudian saling mendekap sambil menunggu detik-detik terakhir mereka. Tik-tok 15 menit lagi… tik-tok 8 menit… tik-tok 3 menit lagi dan… teng teng teng!

Keduanya saling melepas pelukan sambil terbengong-bengong.

“Ki… kita selamat?” sahut Ena tak percaya.

“Aku pernah dengar, dalam penyebaran virus apa pun itu, ada kemungkinan 0,1 persen manusia dapat ditolong…”

“Ya, mungkin kita yang tergolong 0,1 persen itu…”


***


Blar!

Woi, melamun saja! (sambil meletuskan sebuah kantong plastik berisi udara). Bagaimana cerita teror penyakit di atas? Menegangkan sekali, bukan?! Aku saja sampai menahan napas menceritakan kisah ini untuk kalian semua.

Bagaimana? Ada pendapat? Komentar? Kritik dan saran? Menurut Sensei sih cerita teman kalian ini sangat romantis pada endingnya. Di kisah tersebut, di suasana genting bisa dilihat sifat asli teman-teman kalian. Bisa dilihat siapa kekasih dan teman yang baik dan buruk. Juga seberapa parahnya tingkat keegoisan manusia…

Sekarang pertanyaan Sensei adalah: bagaimana reaksi kalian jika dihadapkan oleh teror penyakit seperti kisah tersebut? Langkah-langkah apa sajakah yang akan kalian lakukan? Apakah kalian akan seperti Kaorin atau Ena? Ataukah… hatching!

“Waaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!!!!” (Murid-murid Kelas Malam kemudian berhamburan keluar kelas, berdesakan dengan berusaha saling mendahului, tak peduli tengah tergencet habis-habisan di ambang pintu dan isi kelas pun kosong melompong!)

Mungkin begitulah reaksi kalian tanpa harus menjawab pertanyaanku terlebih dahulu. Ya, setidaknya masih ada respon yang signifikan dan progresif di kelas ini, hehehe…  T.T

=======================================================================

(nb: Siapa yang mau menjadi murid selanjutnya yang mau dikupas KISAH NYATA thriller-nya di Kelas Malam pertemuan KETIGA? Kirimkan ke inbox saya beserta dengan biodata kalian)

0 komentar: