Selamat datang di Kelas Malam, Chika dan kawan-kawan!
Aku sudah menanti kedatangan kalian di kelas ini dengan sebuah ritual
yang selalu kalian lakukan setiap malam Jumat (pukul setengah 7 petang hingga
pukul setengah 10 malam): permainan seratus kisah hantu! Yang lain pernah
mendengar permainan macam apa itu sebelumnya? Kalau belum, bergabunglah bersama
kami di kelas ini untuk memenuhi rasa ingin tahu kalian…
Aku senang jika kalian mau memenuhi undanganku dan aku akan menyambut
kalian dengan hangat. Jadi jangan takut untuk ikut duduk bersama yang lainnya
di kelas ini…
Krit! Tuh anaknya sudah datang. Meski pun pintu kelas sudah terbuka
lebar, namun Chika dan kawan-kawan masih ragu untuk memasukinya. Ayo, silahkan
masuk! Padahal aku sudah capek-capek loh menyalakan 100 lilin untuk ritual
malam jumat ini di tengah-tengah kelas. Banyak sekali, bukan? Padahal tidak
sedang mati lampu. Tapi namanya juga permainan 100 kisah hantu. Yang lainnya
juga, ayo silahkan masuk. Nanti akan kujelaskan aturan mainnya!
Chika dan kawan-kawannya kemudian duduk mengitari 100 lilin yang
menyala-nyala itu dengan wajah tegang. Aku menunggu Chika membuka permainan 100
kisah hantu ini. Biarkanlah gadis tomboi yang menjabat sebagai ketua Kelas
Malam itu yang menjelaskannya.
“Sebelum permainan 100 kisah hantu ini saya buka, saya akan menjelaskan
aturan mainnya terlebih dahulu,” kata gadis berusia 13 tahun yang selalu
mengenakan tudung jaket hoodie ini. “Di
permainan ini, masing-masing peserta harus menceritakan kisah horornya. Setelah
bercerita, diwajibkan meniup satu buah lilin yang menyala. Dan jika lilin
terakhir dipadamkan -- ”
“Wah, bakal semakin gelap nih!” seru Miyung, wakil ketua kelas -- antusias.
“Terus apa yang akan terjadi jika lilin yang ke-seratus dipadamkan?”
Chika menarik nafas panjang. “Kita lihat saja nanti. Saya tak akan membeberkannya
di awal permainan, takutnya para pesertanya kabur lagi!”
Nah, kalian dengar sendiri bukan penjelasan Chika. Aku yakin kalian
tertarik untuk ikutan. Ayo, sini merapat…
“Oke. Kita mulai saja.” Chika memulai permainan. “Rupanya malam ini
adalah malam keberuntungan saya sebagai ketua kelas di sini untuk meniup lilin
yang pertama.”
Teman-teman lainnya menahan napas, tegang menanti kisah yang akan
dibawakan Chika – yang terkenal sebagai pakar thriller itu . Kalau kalian
bagaimana?
“Kalian pernah mendengar tentang aborsi, bukan?” Wajah kawan-kawan
Chika semakin menegang dalam kekelaman. “Baiklah. Aborsi adalah terhentinya
kehamilan sebelum 28 minggu alias keguguran. Aborsi dibagi atas beberapa macam.
Yang pertama, abortus habitualis yaitu abortus yang berturut-turut 3 kali atau
lebih. Selanjutnya abortus -- ”
Pliz deh, Chika! Tujuan kita ke sini bukan untuk mendalami Biologi. Ini
Kelas Malam, bukan Kelas Sains! Langsung saja kenapa? Lihat wajah
teman-temanmu. Ntar pesertanya pada ngantuk lagi. Ingat, sudah jam berapa ini.
Aku sudah capek-capek menyediakan lilin untuk kalian dan ini baru permulaannya
saja. Kalau ritual ini tak tamat sampai 100 kisah, aku tak akan… aku --
“PERMAINAN 100 KISAH HANTU DIMULAI!!!”
KEMBALI KE RAHIMKU!
“Oek! Oek!”
Tiba-tiba
saja terdengar sayup-sayup suara tangisan bayi. Bulu kudukku merinding. Suara
itu antara ada dan tiada. Kadang lenyap, kadang jelas.
Oh, tidak! Apakah aku melahirkan?! Tapi
bukankah--
Suara
tangisan bayi itu mendekat ke pembaringanku! Suaranya terdengar dekat sekali
denganku! Hiii, bagaimana ini? Aku takut kalau bayinya benar-benar lahir. Namun
akhirnya aku bisa bernafas lega begitu lama-kelamaan suara bayi itu meredup dan
akhirnya tak terdengar sama sekali. Fiuh, mungkin bayinya sudah dimatikan!
Baguslah kalau begitu…
Suara
bayi itu memang terhenti sama sekali. Nah, sekarang aku baru bisa memejamkan
mata dengan tenang. Rasanya lelah sekali sudah mengeluarkan beban di perut ini.
Akhirnya!
Kurenungkan.
Bagian tubuh kandunganku pasti terlihat jelas di usia kandungan kini.
Kubayangkan jantungnya yang sudah bisa berdetak, tangannya yang sudah bisa
menggenggam, dan setahuku pada usia kandungan ini si janin sudah bisa merasakan
sakit karena jaringan syarafnya sudah terbentuk sempurna.
Kuteringat
pula prosedur yang kualami tadinya. Prosedur yang mengharuskan membunuh si
janin sebelum dikeluarkan, melalui suntikan saline
yang langsung dimasukkan ke ketuban. Cairan ini membakar kulit si bayi,
menyesakkan pernapasannya dan akhirnya… mati!
ABORSI! Itulah yang kulakukan sekarang ini dan
aku lega akhirnya janin itu berakhir di sini…
Namun
tunggu, tunggu dulu! Apa itu di bawah sana? Kenapa ada seonggok tangan mungil
mendarat ke tepian bawah ranjangku ini? Napasku kembali tersenggal-senggal.
Loh, bukankah suara bayi itu sudah jauh menghilang? Tapi apa yang sedang
kulihat sekarang ini? Secara perlahan, tangan mungil itu seolah menarik
tubuhnya ke atas dan…
Aku syok
begitu melihat kepala bayi yang sedang memelototiku di bagian kaki
pembaringanku. Kepala mungil itu tampak gosong terbakar. Wajahnya tampak
seperti bola arang kehitaman dan tak jelas letak hidung, mata, bibir, maupun
telinganya. Yang kentara hanyalah bola matanya yang mengintip mendelikiku
menyeramkan. Aku takut sekali!
Tidak! Mungkin ini hanya efek lelahku saja
setelah mempercayakan pekerjaan terkutuk itu pada si ibu-ibu yang mau saja kubayar
dengan sekotak cerutu. Pasti aku hanya berhalusinasi karena saking lelahnya
menjalani semua prosedur menyakitkan ini. Pasti ini semua karena aku sedang
dalam kondisi setengah sadar. Iya, kan?!
Tapi…
tapi apa yang basah di bagian sekitar bokongku ini? Rasanya basah sekali!
Sampai-sampai membuatku kalah mempertahankan terbukanya mata ini lebih lama
lagi. Banjir. Seperti itulah rasanya sekarang. Rembesannya pun malah semakin
deras.
Di
tengah-tengah kesadaranku itu, kulihat seorang wanita yang mengenakan masker
mendekatkan seonggok kain padaku. Wajahnya tersenyum ramah. Bukan, bukannya
seonggok kain biasa. Tapi di dalamnya ada…
“Selamat ya, Bu! Anak anda laki-laki.”
Kutergagap.
“Hah?!”
“Kira-kira mau diberi nama siapa, Bu?”
“Loh?
Loh, bukannya aku sudah membayarmu untuk--”
“Anda
pasti sudah tak sabar lagi kan mau menyusui dan menggendongnya? Nah ini,
silahkan!” Wanita itu lalu meletakkan bungkusan bayi itu di dekat lenganku.
Namun
tentu saja aku tak bisa meresponnya karena aku sama sekali tak bisa bergerak!
Kumembelalakkan mata begitu melihat dengan jelas isinya...
“Tolong!
Tolong singkirkan bayi ini dariku!” Ingin rasanya kumeneriakkannya, namun
sepertinya aku tak mampu menyuarakannya. Tenagaku terbatas!
Kulirik
lagi seonggok daging berusia 6 bulan dalam kondisi yang tak beraturan di atas
balutan kain pocong itu. Tubuhnya gosong, kepalanya yang terpisah dari badannya
kehitaman seperti hangus terbakar, lengan dan kakinya seperti lengan dan kaki
boneka yang copot serta tali pusar yang masih terpasang utuh. Jenis kelaminnya
masih dapat kulihat dengan baik. Wanita itu benar…
Terakhir
yang kulihat adalah lensa matanya yang kemudian bergulir jatuh begitu saja
karena masih terlalu lembut untuk menyatu dengan bola matanya. Lensa mata
keabu-abuan itu bergulir jatuh di pipinya yang retak-retak seolah menangisi
nasibnya, sebagai pengganti air matanya. Tubuhnya sudah tak berbentuk sempurna lagi
karena copot sana-sini seperti boneka rusak.
Aku
sadar apa yang telah kulakukan! Lensa mata berwarna abu-abu itu seolah
memandangiku, ingin menelanku dengan berbagai tanyanya. Ia sudah tak punya
mulut yang utuh untuk berbahasa apa-apa lagi. Hanya lensa mata itulah yang
tersisa darinya, indera yang mampu berkomunikasi melalui sorotannya.
Kenapa, Ibu? Kenapa?!
Oh!
Maafkan Ibu, Nak! Maafkan Ibu! Semua ini salah pria bajingan itu! Dialah yang
harus bertanggung jawab atas semua ini. Ibu terpaksa melakukannya, Nak! Ibu tak
punya pilihan lain jika masih harus bersamanya! Ibu juga masih belum siap
menjadi seorang ibu untukmu.
Kalau
kau mau dendam karena tak diberi kesempatan menghirup udara, dendamlah pada
pria itu. Dendamlah pada pria itu, Nak! Dialah yang memaksa Ibu untuk melakukan
semua ini. Ia mengancam akan memutuskan hubungan dengan Ibu kalau saja Ibu tak
mau melakukan seperti apa yang dia mau…
Tapi
sepertinya bayi yang sudah mengenakan kain kafan itu tak mau tahu. Ia meringis dalam
kesunyian dan menggeram menyeramkan. Aku ingin lari dan menghindar, namun
terlambat karena tubuhku sudah lumpuh total. Mahluk ganjil itu lalu menyergap
perutku seperti binatang buas menempel di sana.
A… apa? Apa yang kauinginkan?!
Ia
kemudian menggeram-geram tak karuan seolah hendak berkomunikasi denganku,
sebanyak 3 kalimat. Kuterkesiap begitu menyadari apa maksud dari tata bahasanya
barusan, meskipun tak sepatah kata pun yang kumengerti darinya. Tapi aku bisa
memahaminya dengan kontak batin. Bukankah ia darah dagingku juga hingga aku
bisa mengerti apa maunya?
Dan langkah
terakhir darinya setelah geraman terakhirnya, ia lalu seolah ingin… masuk
kembali ke dunia di mana ia belum waktunya untuk keluar dari sana!
***
“Kisah pertama selesai. Fup!” Chika meniup lilin bagiannya begitu usai
bercerita. Fiuh, aku turut lega! Akhirnya lilin pertama padam juga. Sekarang
tinggal 99 lilin dan aku akan--
“Wah, bagus! Bikin deg-degan,” komentar Miyung. “Tapi dari segi judulnya, sudah bisa ditebak
ending ceritanya. Kenapa tak dibuat twist endingnya bagaimana, yang mengecoh
pembaca gitu. Kenapa judulnya bukan ‘Bayi Aborsiku’ atau apa?”
“Makasih masukannya, Miyung. Tapi aku lebih menyukai judul yang menarik
perhatian pembaca,” Chika berargumen. Ia lalu menatap teman-teman lainnya. “Kalau
yang lainnya bagaimana? Sependapat dengan Miyung atau bagaimana? Apa ada
pendapat lain?”
“…………………………………………………………”
=======================================================================
(nb: Kalian tertarik membagi cerita horor kalian di ritual malam jumat ini?
Apakah kalian mau menjadi peniup lilin yang KEDUA? Silahkan inbox kisah
thriller kalian beserta biodata kepada saya!)
0 komentar:
Posting Komentar