THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Rabu, 18 Maret 2015

KELAS THRILLER (100 Kisah_Kisah pertama): KEMBALI KE RAHIMKU!

Selamat datang di Kelas Malam, Chika dan kawan-kawan!

Aku sudah menanti kedatangan kalian di kelas ini dengan sebuah ritual yang selalu kalian lakukan setiap malam Jumat (pukul setengah 7 petang hingga pukul setengah 10 malam): permainan seratus kisah hantu! Yang lain pernah mendengar permainan macam apa itu sebelumnya? Kalau belum, bergabunglah bersama kami di kelas ini untuk memenuhi rasa ingin tahu kalian…

Aku senang jika kalian mau memenuhi undanganku dan aku akan menyambut kalian dengan hangat. Jadi jangan takut untuk ikut duduk bersama yang lainnya di kelas ini…

Krit! Tuh anaknya sudah datang. Meski pun pintu kelas sudah terbuka lebar, namun Chika dan kawan-kawan masih ragu untuk memasukinya. Ayo, silahkan masuk! Padahal aku sudah capek-capek loh menyalakan 100 lilin untuk ritual malam jumat ini di tengah-tengah kelas. Banyak sekali, bukan? Padahal tidak sedang mati lampu. Tapi namanya juga permainan 100 kisah hantu. Yang lainnya juga, ayo silahkan masuk. Nanti akan kujelaskan aturan mainnya!

Chika dan kawan-kawannya kemudian duduk mengitari 100 lilin yang menyala-nyala itu dengan wajah tegang. Aku menunggu Chika membuka permainan 100 kisah hantu ini. Biarkanlah gadis tomboi yang menjabat sebagai ketua Kelas Malam itu yang menjelaskannya.

“Sebelum permainan 100 kisah hantu ini saya buka, saya akan menjelaskan aturan mainnya terlebih dahulu,” kata gadis berusia 13 tahun yang selalu mengenakan tudung jaket hoodie ini.  “Di permainan ini, masing-masing peserta harus menceritakan kisah horornya. Setelah bercerita, diwajibkan meniup satu buah lilin yang menyala. Dan jika lilin terakhir dipadamkan -- ”

“Wah, bakal semakin gelap nih!” seru Miyung, wakil ketua kelas -- antusias. “Terus apa yang akan terjadi jika lilin yang ke-seratus dipadamkan?”

Chika menarik nafas panjang. “Kita lihat saja nanti. Saya tak akan membeberkannya di awal permainan, takutnya para pesertanya kabur lagi!”

Nah, kalian dengar sendiri bukan penjelasan Chika. Aku yakin kalian tertarik untuk ikutan. Ayo, sini merapat…

“Oke. Kita mulai saja.” Chika memulai permainan. “Rupanya malam ini adalah malam keberuntungan saya sebagai ketua kelas di sini untuk meniup lilin yang pertama.”

Teman-teman lainnya menahan napas, tegang menanti kisah yang akan dibawakan Chika – yang terkenal sebagai pakar thriller itu . Kalau kalian bagaimana?

“Kalian pernah mendengar tentang aborsi, bukan?” Wajah kawan-kawan Chika semakin menegang dalam kekelaman. “Baiklah. Aborsi adalah terhentinya kehamilan sebelum 28 minggu alias keguguran. Aborsi dibagi atas beberapa macam. Yang pertama, abortus habitualis yaitu abortus yang berturut-turut 3 kali atau lebih. Selanjutnya abortus -- ”

Pliz deh, Chika! Tujuan kita ke sini bukan untuk mendalami Biologi. Ini Kelas Malam, bukan Kelas Sains! Langsung saja kenapa? Lihat wajah teman-temanmu. Ntar pesertanya pada ngantuk lagi. Ingat, sudah jam berapa ini. Aku sudah capek-capek menyediakan lilin untuk kalian dan ini baru permulaannya saja. Kalau ritual ini tak tamat sampai 100 kisah, aku tak akan…  aku --

“PERMAINAN 100 KISAH HANTU DIMULAI!!!”


https://www.facebook.com/groups/CNTRO/?ref=browser




KEMBALI KE RAHIMKU!


“Oek! Oek!”

Tiba-tiba saja terdengar sayup-sayup suara tangisan bayi. Bulu kudukku merinding. Suara itu antara ada dan tiada. Kadang lenyap, kadang jelas.

Oh, tidak! Apakah aku melahirkan?! Tapi bukankah--

Suara tangisan bayi itu mendekat ke pembaringanku! Suaranya terdengar dekat sekali denganku! Hiii, bagaimana ini? Aku takut kalau bayinya benar-benar lahir. Namun akhirnya aku bisa bernafas lega begitu lama-kelamaan suara bayi itu meredup dan akhirnya tak terdengar sama sekali. Fiuh, mungkin bayinya sudah dimatikan!

Baguslah kalau begitu…

Suara bayi itu memang terhenti sama sekali. Nah, sekarang aku baru bisa memejamkan mata dengan tenang. Rasanya lelah sekali sudah mengeluarkan beban di perut ini. Akhirnya!

Kurenungkan. Bagian tubuh kandunganku pasti terlihat jelas di usia kandungan kini. Kubayangkan jantungnya yang sudah bisa berdetak, tangannya yang sudah bisa menggenggam, dan setahuku pada usia kandungan ini si janin sudah bisa merasakan sakit karena jaringan syarafnya sudah terbentuk sempurna.

Kuteringat pula prosedur yang kualami tadinya. Prosedur yang mengharuskan membunuh si janin sebelum dikeluarkan, melalui suntikan saline yang langsung dimasukkan ke ketuban. Cairan ini membakar kulit si bayi, menyesakkan pernapasannya dan akhirnya… mati!

ABORSI! Itulah yang kulakukan sekarang ini dan aku lega akhirnya janin itu berakhir di sini…

Namun tunggu, tunggu dulu! Apa itu di bawah sana? Kenapa ada seonggok tangan mungil mendarat ke tepian bawah ranjangku ini? Napasku kembali tersenggal-senggal. Loh, bukankah suara bayi itu sudah jauh menghilang? Tapi apa yang sedang kulihat sekarang ini? Secara perlahan, tangan mungil itu seolah menarik tubuhnya ke atas dan…

Aku syok begitu melihat kepala bayi yang sedang memelototiku di bagian kaki pembaringanku. Kepala mungil itu tampak gosong terbakar. Wajahnya tampak seperti bola arang kehitaman dan tak jelas letak hidung, mata, bibir, maupun telinganya. Yang kentara hanyalah bola matanya yang mengintip mendelikiku menyeramkan. Aku takut sekali!

Tidak! Mungkin ini hanya efek lelahku saja setelah mempercayakan pekerjaan terkutuk itu pada si ibu-ibu yang mau saja kubayar dengan sekotak cerutu. Pasti aku hanya berhalusinasi karena saking lelahnya menjalani semua prosedur menyakitkan ini. Pasti ini semua karena aku sedang dalam kondisi setengah sadar. Iya, kan?!

Tapi… tapi apa yang basah di bagian sekitar bokongku ini? Rasanya basah sekali! Sampai-sampai membuatku kalah mempertahankan terbukanya mata ini lebih lama lagi. Banjir. Seperti itulah rasanya sekarang. Rembesannya pun malah semakin deras.

Di tengah-tengah kesadaranku itu, kulihat seorang wanita yang mengenakan masker mendekatkan seonggok kain padaku. Wajahnya tersenyum ramah. Bukan, bukannya seonggok kain biasa. Tapi di dalamnya ada…

“Selamat ya, Bu! Anak anda laki-laki.”

Kutergagap. “Hah?!”

“Kira-kira mau diberi nama siapa, Bu?”

“Loh? Loh, bukannya aku sudah membayarmu untuk--”

“Anda pasti sudah tak sabar lagi kan mau menyusui dan menggendongnya? Nah ini, silahkan!” Wanita itu lalu meletakkan bungkusan bayi itu di dekat lenganku.

Namun tentu saja aku tak bisa meresponnya karena aku sama sekali tak bisa bergerak! Kumembelalakkan mata begitu melihat dengan jelas isinya...

“Tolong! Tolong singkirkan bayi ini dariku!” Ingin rasanya kumeneriakkannya, namun sepertinya aku tak mampu menyuarakannya. Tenagaku terbatas!

Kulirik lagi seonggok daging berusia 6 bulan dalam kondisi yang tak beraturan di atas balutan kain pocong itu. Tubuhnya gosong, kepalanya yang terpisah dari badannya kehitaman seperti hangus terbakar, lengan dan kakinya seperti lengan dan kaki boneka yang copot serta tali pusar yang masih terpasang utuh. Jenis kelaminnya masih dapat kulihat dengan baik. Wanita itu benar…

Terakhir yang kulihat adalah lensa matanya yang kemudian bergulir jatuh begitu saja karena masih terlalu lembut untuk menyatu dengan bola matanya. Lensa mata keabu-abuan itu bergulir jatuh di pipinya yang retak-retak seolah menangisi nasibnya, sebagai pengganti air matanya. Tubuhnya sudah tak berbentuk sempurna lagi karena copot sana-sini seperti boneka rusak.

Aku sadar apa yang telah kulakukan! Lensa mata berwarna abu-abu itu seolah memandangiku, ingin menelanku dengan berbagai tanyanya. Ia sudah tak punya mulut yang utuh untuk berbahasa apa-apa lagi. Hanya lensa mata itulah yang tersisa darinya, indera yang mampu berkomunikasi melalui sorotannya.

Kenapa, Ibu? Kenapa?!

Oh! Maafkan Ibu, Nak! Maafkan Ibu! Semua ini salah pria bajingan itu! Dialah yang harus bertanggung jawab atas semua ini. Ibu terpaksa melakukannya, Nak! Ibu tak punya pilihan lain jika masih harus bersamanya! Ibu juga masih belum siap menjadi seorang ibu untukmu.

Kalau kau mau dendam karena tak diberi kesempatan menghirup udara, dendamlah pada pria itu. Dendamlah pada pria itu, Nak! Dialah yang memaksa Ibu untuk melakukan semua ini. Ia mengancam akan memutuskan hubungan dengan Ibu kalau saja Ibu tak mau melakukan seperti apa yang dia mau…

Tapi sepertinya bayi yang sudah mengenakan kain kafan itu tak mau tahu. Ia meringis dalam kesunyian dan menggeram menyeramkan. Aku ingin lari dan menghindar, namun terlambat karena tubuhku sudah lumpuh total. Mahluk ganjil itu lalu menyergap perutku seperti binatang buas menempel di sana.

A… apa? Apa yang kauinginkan?!

Ia kemudian menggeram-geram tak karuan seolah hendak berkomunikasi denganku, sebanyak 3 kalimat. Kuterkesiap begitu menyadari apa maksud dari tata bahasanya barusan, meskipun tak sepatah kata pun yang kumengerti darinya. Tapi aku bisa memahaminya dengan kontak batin. Bukankah ia darah dagingku juga hingga aku bisa mengerti apa maunya?

Dan langkah terakhir darinya setelah geraman terakhirnya, ia lalu seolah ingin… masuk kembali ke dunia di mana ia belum waktunya untuk keluar dari sana!


***


“Kisah pertama selesai. Fup!” Chika meniup lilin bagiannya begitu usai bercerita. Fiuh, aku turut lega! Akhirnya lilin pertama padam juga. Sekarang tinggal 99 lilin dan aku akan--

“Wah, bagus! Bikin deg-degan,” komentar Miyung.  “Tapi dari segi judulnya, sudah bisa ditebak ending ceritanya. Kenapa tak dibuat twist endingnya bagaimana, yang mengecoh pembaca gitu. Kenapa judulnya bukan ‘Bayi Aborsiku’ atau apa?”

“Makasih masukannya, Miyung. Tapi aku lebih menyukai judul yang menarik perhatian pembaca,” Chika berargumen. Ia lalu menatap teman-teman lainnya. “Kalau yang lainnya bagaimana? Sependapat dengan Miyung atau bagaimana? Apa ada pendapat lain?”

“…………………………………………………………”

=======================================================================

(nb: Kalian tertarik membagi cerita horor kalian di ritual malam jumat ini? Apakah kalian mau menjadi peniup lilin yang KEDUA? Silahkan inbox kisah thriller kalian beserta biodata kepada saya!)

0 komentar: