Jam 2 siang yang berapi-api. Maksudku, bukan semangatku yang
berapi-api kini melainkan…
Kumasuki pekarangan CN TRO Group School dengan langkah
thriller-ku. Bak seorang pembunuh bayaran, kumelangkah melintasi koridor nan
ramai secara perlahan seperti adegan film yang diperlambat. Oke, musik!
(Nb: Dilarang keras meniru adegan berbahaya yang diperlambat ini –
demi menjaga sisi dramatis dan seninya, kalau ikut nyanyi lagunya baru boleh!
Song pengiring adegan by: Noah.)
“Tak pernah kuberpikir aku sebodoh ini…”
Kusodok sebuah buku yang tengah dipelajari seorang siswa berambut
cepak, hingga terpental. Siswa tersebut melongo kebingungan…
“… aku hidup untukmu, aku mati tanpamu…”
Kulepas kacamata seorang pemuda culun dan melemparnya mengangkasa.
Biarkan saja ia sibuk meraba-raba jalan ke pintu kelasnya…
“Tak pernah kuberpikir aku segila ini…”
Kusobek-sobek kertas ujian seorang pemuda bertopi cup yang kutemui
dekat WC. Aku tak peduli berapa nilainya di kertas itu. Tapi sepertinya sih bagus
karena ia tampak sedih begitu…
“… aku hidup UNTUKMU, aku mati TANPAMU!!!”
Dan adegan thriller terakhirku, menampar seorang pemuda yang
benar-benar mirip dengannya begitu dekat dengan pintu kelas. Iya, mirip dengan
orang yang selalu menyakiti perasaanku itu!
Plak!
Pemuda itu kemudian lari kocar-kacir, tanpa harus tahu apa
kesalahannya sambil memegang pipinya…
(Video klip thriller versi khayalan siang bolong -- dengan adegan
dramatis yang diperlambat berakhir.)
Apa? Kalian pikir aku akan benar-benar melakukannya?! Kep-Sek bisa
memecatku, dan kucing dan anjingku makan apa, coba?!
Apa?! Kalian juga pikir aku
tega mengganti video klip original Noah dengan adegan di atas? Apalagi
mengganti sosok Ariel Noah dengan pria yang sudah memutuskan cintaku itu?!
Terlalu kalian!
*
Brak!
Kubanting pintu Kelas Malam dan mendeliki murid-murid lelaki di
antara mereka, siapa tahu saja ada lagi yang mirip dengannya!
Kalian boleh bernapas lega dan selamat dari sweeping-ku kali ini.
Tapi tidak untuk yang satu ini!
Brak!
“Kalau tak ada lagi yang mau mempresentasekan cerpen thrillernya
siang bolong begini, maka kali ini semua anak laki-laki di kelas ini keluar
saja!” gertakku.
Kalian tampak berbisik satu sama lainnya. Wajah kalian menegang.
Kutersenyum penuh racun.
“Say, aku tak mau kau keluar dari kelas ini. Kita kan harus selalu
sama-sama di setiap saat, termasuk belajar di kelas yang mencekik ini,” ujar
salah seorang gadis yang lahir tanggal 25 Juni itu pada pacarnya.
(Iya, setelah kucek di daftar absensi, dia memang tak menuliskan
tahunnya sih…)
“Aku akan berkorban untukmu dan maju sebagai kontributor di
pertemuan ketiga yang mencekam ini.
Doakan aku ya, Say!” Gadis itu kemudian melangkah maju.
“Hati-hati, Sri! Aku juga tak mau berpisah denganmu,” sahut pacarnya
sebelum melepas tangan gadis yang bernama Sri itu pergi ke depan kelas
thriller. (Adegan ini semakin membuatku fraktur hepatika saja!)
Dan dengan wajah penuh ketegangan, Sri pun berdehem. “Ehem!
Teman-teman, mohon kritik dan sarannya ya. Saya baru belajar nulis thriller,
nih. Alias newbie! Dan ini adalah kisah saya tentang cinta…”
Deg!
ATAS NAMA CINTA
Sungguh betapa mengenaskannya ia dibunuh dan betapa teganya yang
membunuh itu meninggalkan tubuh Andini terpotong dalam beberapa bagian lalu
dimasukannya ke dalam koper berwarna merah jambu. Satu yang sampai sekarang
masih tidak kumengerti, kenapa kedua mata Andini hilang? Ini ada apa? Bahkan
pihak kepolisian pun sampai sekarang masih berusaha untuk mengungkapnya dan
mencari tahu siapa pelaku atas semua ini. Dari dugaan sementara bahwa pelaku
memiliki kelainan jiwa.
“Maaf Pak, kami menemukan ini.” Salah seorang dari polisi itu
menghampiriku yang tengah terdiam di sudut ruangan kepolisian, masih menunggu
informasi yang utuh tentang kasus kematian kekasihku itu. Ia menyerahkan sebuah
kertas.
“Betapa besar aku mencintaimu. Mataku selalu tidak pernah
berpaling dari lekatnya elokmu. Maaf, aku membunuhmu karena aku tidak ingin kau
dimiliki pria lain. Sebagai kenangan izinkan kusimpan kedua mata elokmu,
Andini.”
Bedebah! Pria mana pula yang berani melakukan hal seburuk ini? Dua
hari lagi pesta pernikahan aku dan Andini akan digelar, tapi kenapa semua jadi
seperti ini? Ah, pusing kepalaku memikirkan semua ini, air mata pun telah
kering rasanya.
“Kami tetap berusaha untuk terus menggali kasus ini, Pak,” tukas
polisi itu kemudian berlalu.
##########
“Baru pulang, Fin?” sapa John—kakakku, saat mengetahui
kepulanganku dengan tatapan yang masih terpaku pada koran yang sedang
dibacanya.
“Iya,” jawabku singkat seraya menghempaskan badan ke sofa untuk
melepas penat yang sejak tadi merasuk dalam diri.
“Bagaimana kasusnya?” ucapnya kembali.
“Entahlah, sampai sekarang pun polisi belum berhasil
mengungkapnya,”
“Itu salah satu kekuatan cinta, hingga sang pelaku pandai menutup
jejak. Jika cinta terlalu lama terpendam iya seperti itu jadinya.”
John lalu melangkah pergi dan meninggalkanku sendiri. Aneh, selalu
itu saja yang dia ucapkan. Apa tidak ada kata-kata lain? Aku tahu orang yang
membunuh itu pasti mempunyai rasa terpendam pada Andini lalu cemburu padaku
apalagi ketika undangan pernikahan telah disebarkan. Tapi, apa dia tidak bisa
memberi saran lain pada adiknya yang sekarang tengah dirundung kepiluan ini?
Ah, sudahlah. Mungkin dia sedang bertengkar dengan pacarnya.
Akhir-akhir ini memang dia agak sensitif sekali. Aku mulai beranjak ke dalam
kamar tapi telingaku menangkap suara tangis yang samar dan itu terdengar dari
dalam kamar kakakku. Berkali-kali tertangkap kata Andini yang diucap berulang
kali.
Seketika kubuka pintu kamarnya dan menemukan dia tengah berdiri di
kusen jendela dengan menggenggam sebuah toples kecil ditangannya.
Aku heran dengan apa yang tengah kulihat, “Apa yang sedang kau
lakukan?” ucapku seraya menghampirinya. Sepertinya ia ingin melakukan bunuh
diri. Bagaimana tidak, dia berdiri di jendela yang tingginya tujuh lantai ini,
“Cepat turun dari situ!”
“Untuk apa kau kemari?” jawabnya sinis.
“Sejak tadi aku mendengar kau menyebut nama Andini. Sebenarnya ada
apa ini?!” Mataku tertarik akan toples kaca yang berada dalam genggamannya,
sepasang bola kecil dengan darah kering di sekitarnya. Iris mata berwarna
coklat terang itu! Aku tahu itu milik Andini.
“Kau?” tanyaku serak.
“Kau terlambat mengungkap kasus semudah ini, Fin. Aku sengaja
memancingmu malam ini, agar kau bisa dengan mudah mengetahuinya,” ucapnya
dengan riang.
Sungguh kepalaku terasa berputar. Sejak kapan semua ini terjadi?
Apa yang dia lakukan dibelakangku? Benar-benar diluar dugaan.
“Wanita itu tidak pernah baik untukmu. Buktinya dia rela menjalin
hubungan tersembunyi denganku hanya karena uangku yang lebih banyak dari pada
kau. Aku terpaksa membunuhnya karena dia tega mencampakanku lalu menerima
lamaranmu!”
“Tapi bukan begini caranya! Kau keterlaluan!”
Tawanya mulai menggema, serasa bahagia sekali dia melakukan hal
itu. Betapa pandainya dia menyamarkan ekspresi berduka saat pertama kali
mendengar kabar kematian Andini.
“Kau harusnya berterimakasih padaku. Karena wanita hina itu mati
dan tidak jadi istrimu. Dan sekarang aku dan Andini akan menjadi pasangan
bahagia di surga.”
Senyumnya kembali mengembang, mulai didekap erat toples itu dan
menghempaskan tubuhnya keluar jendela. Secepat mungkin aku berusaha meraihnya
namun nihil, hanya dapat kumenatap pada aspal di bawah sana yang kini telah
memerah.
***
“Gitu doang? Sudah cukup kisah cintanya, Rihan Al Sri Rohani?!”
tanyaku sinis sambil menyebut nama lengkapnya dan memberi penilaian di absensi.
Gadis asal Jakarta Utara itu tak buang-buang waktu untuk segera kembali
ke bangkunya, di sebelah pacarnya.
“Terima kasih, Sayang! Kau telah menyelamatkanku…,” bisik cowok
itu romantis. Alah!
Hm, lihat saja. Minggu depan cowok itu yang akan kusuruh naik ke
podium. Kalau ia tahu, pasti minggu depan ia tak bakalan masuk kelas dan
bersembunyi di WC terus, hehe!
Ah, sudahlah! Langsung saja!
“Bagaimana menurut kalian atas kisah cinta di atas? Apakah sudah
cukup menegangkan?”
Apa? Sepertinya kudengar ada suara! Krik-krik-krik… oh, rupanya
suara jangkrik…
“Menurut Sensei sih ceritanya Sri sudah cukup bagus dan aku begitu
mengapresiasinya. Namun sayangnya sih, masih begitu singkat. Pelakunya saja
masih mudah ketebak, meski endingnya sih masih berusaha menipu pembaca. Karena
yang aku pikir, si pelaku akan ikut membunuh karakter utamanya dan terjadi
pergulatan seru di antara mereka…
Saran Sensei, bagusnya cerpenmu ini dijadikan novel detektif saja
seperti novel-novel thriller-nya sister Sensei – Vasca Vannisa. Kalau masih
dalam bentuk cerpen sih, tidak begitu menegangkan karena terlalu singkat.
Pelakunya terlalu cepat ketemu. Tapi kalau ada twist dalam cerpen tersebut
dengan dijadikan novel, beberapa karakter tambahan di dalamnya bisa dijadikan
suspeknya. Pasti ceritanya akan lebih seru dan hidup. Juga bisa membuat pembaca
menerka-nerka…”
Sri mengangguk-angguk sambil mencatat komentarku barusan.
“Bagaimana? Apa ada pendapat lain?” Krik-krik-krik. “Oh ya, Sri. Tugas
spesial buat kamu. Cerpenmu ntar dibuat jadi novel ya 100 halaman. Kumpul
minggu depan!”
Gubrak!
Apakah kau akan menyesali pengorbanan atas nama cintamu ini?!
======================================================================
-
(nb: Siapa yang mau menjadi
murid selanjutnya yang mau dikupas KISAH NYATA thriller-nya di Kelas Malam
pertemuan KEEMPAT? Kirimkan ke inbox saya beserta dengan biodata kalian)
0 komentar:
Posting Komentar