Malam itu Anya dan Lili terpaksa lembur. Ada dua pasien
yang luka parah dan harus masuk UGD. Sungguh hari yang sibuk dan melelahkan!
Ya. Anya dan Lili bekerja sebagai perawat di sebuah rumah
sakit. Anya memandangi kedua pasien yang baru masuk itu. Lantas pandangannya
terpaku pada salah seorang di antara mereka.
“Shue?” lirihnya tak percaya. Ia mendekat untuk menangani
sosok yang dikenalinya itu. Matanya terlihat berkaca-kaca melihat keadaan
pasien itu. Luka panah menghiasi bahu dan lengannya. “A-apa yang terjadi
padamu?”
Shue bergeming. Matanya terpejam rapat. Kondisinya
benar-benar mengkhawatirkan. Ia tampak menyedihkan tak sekuat karang lagi seperti
saat ia memanah. Panah yang membekas di tubuhnya tampaknya mengkhianatinya.
Sambil menahan haru, Anya pun memulai aksinya sambil terus
mendoakan keselamatan jiwa Shue.
“Dasar badut pengkhianat … aku benci badut itu,” lirih Shue
setengah sadar sambil mengerang-ngerang kesakitan. “Benci…”
…
Tampak hiruk-pikuk mewarnai tenda
sirkus itu. Jerit-panik di mana-mana! Orang-orang pada berlarian menyelamatkan
diri. Ya! Grup sirkus itu tengah diserang segerombolan perampok bercadar di
tengah-tengah pertunjukan memanah. Mereka juga menghancurkan pernak-pernik
sirkus bahkan berani melukai orang.
Dengan gagah berani Shue maju dan
berusaha membidik para penjahat itu dengan panahnya. Namun…
Zeb! Belum sempat ia memanah, sebatang
panah kemudian menancap di bahu kanannya dari belakang.
“Arrrrrgggggggghhhhhhhhh!” Shue
tersungkur. Ia melayangkan pandangannya ke belakang untuk mencari-cari
pelakunya. Dengan tangan yang bergetar karena sakit, Shue berusaha meraih-raih
panahnya. “Sial!”
Zeb! Kali ini panah jatuh menancap
di lengan kirinya. Shue menjerit kesakitan sejadi-jadinya. Kini ia sudah tak
berdaya lagi melawan.
Melihat itu, ketua sirkus mereka,
Pak Lukman menjerit. “Shue!” Baru saja ia hendak melangkah menyelamatkan Shue,
Ron dan Gani mencegahnya.
“Jangan, Ketua! Bahaya!” seru Ron.
“Ini pasti jebakan musuh! Mereka mendesak kita untuk menghampiri Shue agar
mereka bisa menghabisi kita!”
“Iya!” Gani meyakinkan.
“Percayalah! Shue hanya dijadikan umpan! Lebih baik kita segera pergi dari
sini, demi keselamatan Ketua!”
“Jadi kalian menyuruhku diam saja
melihat Shue dipanahi?!” raung Pak Lukman geram.
“Mau bagaimana lagi?! Ketua, Shue
pasti bisa menghadapinya!” Ron meyakinkan Pak Lukman sekali lagi.
Pak Lukman merenung. Ia melihat Shue
terbaring lemah. Darah menggenangi tempatnya terkapar. Napasnya memburu.
Keadaannya benar-benar parah. Panah itu benar-benar menguncinya. Tanpa memedulikan
rasa sakit, Shue berusaha mencabut panah dari tubuhnya.
Trak! Ia hanya berhasil mematahkan
tangkai panah yang bersarang di bahunya. Dengan susah payah ia lalu mencabut
panah di lengannya. Darah yang menyerupai kelopak bunga mawar pun bertebaran.
Sempoyongan ia berjalan lalu
menikam bahu salah seorang dari mereka—yang sedang merusak barang—dengan panah dari
tubuhnya. Namun ia tak menyadari seorang pemanah sedang membidiknya dari
belakang. Kewaspadaannya menurun!
Pak Lukman yang menyadarinya
langsung memperingatkannya. “Shue!” panggilnya. Tapi Shue tak mendengarnya.
“Kita harus menolongnya!”
“Jangan, Ketua! Jangan!” cegat Ron.
“Lebih baik kita segera pergi dari sini dan mencari tempat yang aman!” Gani
mengiyakan sohibnya itu.
“Teman macam apa kalian ini?!
Daritadi kalian menyuruh saya untuk diam saja melihat Shue dipanahi!” bentak
Pak Lukman berontak. “Apa kalian akan diam saja melihat saudara kalian
dibunuh?!”
Ron dan Gani membisu, tak tahu
harus menjawab apa. Mereka tak mampu berkata apa-apa untuk mencegahnya dan
hanya mampu melihat Pak Lukman berlari ke arah Shue.
Shue masih sempat menoleh ke
belakang. Ia terbelalak begitu melihat orang itu, namun tak sempat menghindar
begitu panah kembali menghujam ke arah punggungnya.
Zeb! Tanpa tanggung-tanggung lagi,
anak panah yang meluncur itu menancap ke punggung Pak Lukman yang melindungi Shue.
Shue menjerit histeris melihat keadaan Pak Lukman. Pak Lukman pun roboh.
“Ketuaaaa!!” Shue langsung mendekap
tubuh Pak Lukman yang tak sadarkan diri.
Ron dan Gani cengengesan. “Cih!
Beruntung banget sih dia!” keluh Ron.
Insiden itu berakhir seketika. Para
penjahat itu kabur begitu polisi menyerbu. Sayangnya, mereka lolos dengan
gesitnya. Shue dan Pak Lukman pun dibawa ke rumah sakit.
Gani menepuk pundak Ron. “Kali ini
ia memang lolos. Tapi kita masih bisa mencobanya di rumah sakit, kan? Ia pasti
lagi tak berdaya.”
Ron tersenyum menyeringai. “Iya
juga, ya. Kali ini kamu pasti mampus, Shue—the Eyepatch,” sahutnya bengis.
…
Anya terkantuk-kantuk. Kepalanya oleng-oleng. Sudah dua
hari ini ia menjaga Shue di rumah sakit. Shue masih saja belum sadarkan diri.
Selama ini ia selalu setia berada di sisi Shue siang malam untuk memantau
perkembangannya. Tapi hingga saat ini, belum ada peningkatan yang berarti.
Tiba-tiba saja Shue merintih. Suara itu membuat Anya
terjaga. Ia mendekati Shue. Matanya masih terpejam. Rupanya ia mengigau.
“Ketua … Ketua…”
Anya menyentuh kening Shue. Ia lalu menyeka keringat
dinginnya dengan handuk. Shue kembali tenang. Anya menatapnya iba. Kini mata tajam
itu redup. Pemanah tangguh itu tergeletak tak berdaya di rumah sakit. Anya
dengan setia menjaganya sambil terus mendoakan pemuda yang disukainya itu.
“Ya Allah, kumohon tolong sadarkanlah Shue. Semoga saja ia
segera siuman,” harapnya.
***
hay, mau tahu cerita horor yang ga bikin ngebosenin? nih ada di aplikasi NOVELME, tinggal didonlod dulu aplikasinya dan search novel UMURKU 13 TAHUN DAN KAMU? tentu saja ga ngebosenin karna berupa kumcer, yuk mampir, dijamin seru dan menegangkan. makasih :=(D