THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Selasa, 01 Desember 2015

reinkarnasi pembawa maut

dah tanggal 1 desember aja nih! meski telat si ngepostingnya, aku lemes si karna lagi mens ni. nah ne ada cerpen creepy pasta lagi yang kujamin oke deh! pasti menarik de bacanya meski dah banyak si disinggung. klik gambar ya tuk menuju sumber link kopasnya. bagiku cerpen ini greget de n banyak konflik juga buat penasaran. aku juga mo bikin tema ginian ah! :=(D

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=809275279154578&id=516111181804324&set=pb.516111181804324.-2207520000.1431777954

----------REINCARNATION--------

kiriman : Akihi Takizawa

1897
Aku gadis 11 tahun yang belum memahami apa-apa ketika kapal-kapal
besar itu berlabuh di laut kami. Mereka orang-orang asing yang garang.
Mereka mengatakan kami masih mirip dengan sekumpulan kera
dibanding dengan mereka yang mengaku bermartabat. Namun perilaku
mereka sama sekali tak seperti manusia. Mereka menjajah tempat
tinggal kami.
Salah satu dari mereka menembaki ayahku yang mencoba berlari ke
rumah. Mereka membawa ibu dan kakak perempuanku. Lalu
menggembok rumah kami. Dan meninggalkan aku hanya berdua dengan adikku.
Berhari-hari kami sungguh kelaparan. Adikku terus saja menangis
dengan berisik. Aku benar-benar tak tahan. Berkali-kali aku memanggil
orang-orang yang lewat di dekat rumah kami, namun tak ada yang
berani mendekat maupun menolong kami. Lama-lama aku sungguh tak
tahan dengan laparku. Jadi aku mengambil dandang batu dari dapur.
Adikku terus menangis, maka aku membuatnya diam, kemudian
membawanya ke dapur. Aku takkan lapar lagi.
.
.
1937
Aku tinggal hanya berdua dengan kakak perempuanku. Hidup kami
sungguh sederhana. Kami mencari kayu bakar di hutan dan menjualnya
ke orang-orang di desa kami. Keberadaan kami nyaris terhiraukan.
Saat itu usiaku 12 tahun ketika terjadi huru-hara di pusat kota. Desasdesus
mengatakan, pemerintah pusat mengadakan Pembasmian Praktek
Ilmu Sihir dari kota. Beberapa orang yang diduga mempelajari ilmu sihir
akan dihukum seberat-beratnya. Mereka akan diikat dan diarak
berkeliling desa-desa. Mereka dicambuki hingga sampai ke tempat
eksekusi. Beberapa dari mereka berakhir di dalam karung yang
dihanyutkan ke sungai. Ditindih dengan batu besar. Atau didorong dari
atas tebing. Dan yang paling sering adalah membakar mereka hiduphidup.
Kegilaan itu hampir dilupakan saat usiaku hampir 13 tahun. Huru-hara
dan eksekusi nyaris tak pernah dilakukana lagi. Aku dan kakak lebih
menyukai suasana tenang dan damai. Kami bersyukur karena tak akan
ada lagi suara jeritan sepanjang jalanan desa yang terdengar begitu
memilukan. Kami berpikir hidup kami akan setenang dulu.
Namun, rupanya kami salah. Sore hari saat kami pulang dari mencari
kayu bakar, kami mendapati rumah kami hangus terbakar. Nyaris rata
dengan tanah. Gosong, dan asap mengepul ke langit sore. Kakakku berteriak pada serombongan orang-orang yang membawa obor di
sekitar rumah kami. Tetapi mereka justru menyerang kakakku. Mereka
mengatakan bahwa dua saudari penyihir telah kembali dari hutan
mereka. Aku berlari menghampiri kakakku dan mengatakan bahwa
mereka telah salah paham. Namun tak ada yang mendengarku.
Mereka merebut kayu bakar dari tanganku. Kemudian menyeret kami
berdua menuju jalanan desa. Aku melihat kakakku menangis dan
memohon ketika salah seorang rombongan mengeluarkan sebuah
cambuk.
Perih. Sangat perih. Mereka menarik rambut kepala kami hingga rontok.
Aku tak sanggup melihat kakakku, mereka mencambuk kakinya hingga
berdarah. Hingga kulihat kulitnya robek dan kuku kakinya terlepas.
Namun mereka tetap memaksanya terus berjalan. Aku memohon agar
mereka mencambukku saja.
Tempat eksekusi tampak di hadapan kami. Orang-orang mulai
memungut batu dan menghujam kami. Aku berusaha melindungi
kakakku. Namun aku sendiri sekarat. Aku ambruk ke tanah dan tak bisa
bangun lagi.
Dentang lonceng berbunyi sebelum aku hilang kesadaran.
.
.
1976
Hari ulang tahunku bertepatan dengan Hari Natal. Tengah malam nanti
aku akan berumur 13 tahun. Keluargaku selalu memberi kejutan tiap kali
aku berulang tahun. Biasanya mereka akan membangunkanku tepat
tengah malam dengan mengenakan pakaian serba merah-hijau serta kue tart penuh lilin yang menyala. Kemudian kami akan berkumpul di ruang
keluarga dan merayakannya. Mereka akan bernyanyi dan memenuhi
kursiku dengan hadiah-hadiah. Tepat pukul satu, kami akan berdoa
bersama. Ibu selalu memimpin doa untuk kami.
Aku tidur pukul sepuluh. Jane, Kakak perempuanku yang memakai kursi
roda sejak kecil menyuruhku untuk tidak terlalu memikirkan kejutan
yang akan mereka berikan padaku tengah malam nanti. Tapi aku tak
bisa, tentu saja. Aku terlalu bersemangat. Jadi aku diam-diam menyetel
alarmku tepat satu menit sebelum tengah malam. Kemudian berusaha
tidur.
Alarmku berbunyi nyaring. Membuatku segera membuka mata dan
bergegas bangun. Aku menoleh pada pintu kamarku. Dari celah di bawah
pintu aku bisa melihat lampu di ruang sebelah menyala. Keluargaku
akan segera masuk. Apa aku harus pura-pura tidur? Entahlah, yang jelas
aku menunggu agak lama. Jam dinding berdetak seiring degup
jantungku yang berpacu.
Cukup lama. Aku melirik jam dinding. Tengah malam sudah lewat 15
menit. Apa mereka belum selesai menyiapkan pestanya? Padahal aku
benar-benar sudah tak sabar. Namun waktu berlalu dan 15 menit
berikutnya terlewatkan. Mereka terlambat setengah jam. Apakah mereka
bersenang-senang tanpaku? Aku mulai kecewa, jadi aku turun dari
ranjangku untuk mengecek. Aku membuka pintu sedikit dan berniat
untuk mengintip, tepat ketika sekelebat bayangan melewati depan pintu
kamarku. Sosok itu memakai kostum santa. Aku berpikir mungkin itu
ayah. Tetapi ayah hanya lewat, lantas berlalu menuju ruang tengah.
Mereka benar-benar memulainya tanpa aku. Aku benar-benar kesal. Jadi
cepat-cepat aku keluar dari kamarku, menuju ruang tengah. Aku hampir
saja meneriakkan protesku, ketika di saat yang sama pemandangan
mengerikan itu tertangkap mataku. Darah membanjiri lantai, kado-kado natal berserakan. Ibuku terbaring penuh lumuran darah di samping
koridor. Ada kue tart besar tumpah di sampingnya. Ayahku merosot dari
kursi roda Jane dan terlungkup di lantai. Ia berusaha melindungi Jane
dari sesuatu, namun Jane juga nampak sudah tak bernapas. Keluargaku
baru saja dibantai. Aku menjerit sejadi-jadinya. Tepat ketika sosok lelaki
dengan kostum santa muncul dari koridor. Ia berlari ke arahku dengan
sebilah kapak.
.
.
1997
Aku lahir dengan tanda lahir yang sungguh mengganggu. Sebuah tanda
menyerupai bekas luka yang melewati pelipisku dan memanjang ke
rahang.
Orang-orang bilang bahwa tanda lahir adalah sesuatu yang kaubawa
dari kehidupan sebelumnya. Apa itu artinya aku pernah hidup sebelum
ini? Lalu seseorang membuatku memiliki luka berbekas yang akhirnya
kubawa hingga aku terlahir kembali? Entahlah, aku tak begitu
memercayai takhayul.
Bagaimanapun, Ibuku baru akan mengijinkanku untuk memperbaiki
wajahku dengan operasi plastik setelah usiaku 17 tahun. Sayangnya
sekarang aku masih 14 tahun. Masih cukup lama. Cukup lama untuk
menanggung tanda lahir memalukan ini.
Aku lahir tepat satu hari sesudah Natal, namun entah mengapa aku
benci bunyi lonceng. Semacam trauma, aku tak begitu memahami
penyebabnya. Dentang lonceng selalu membuat kepalaku pening. Aku siswi sekolah menengah di pusat kota. Sekolahku cukup jauh dari
rumahku yang terletak di pinggiran kota, dekat sungai. Sore itu aku
menunggu di halte dekat sekolah setelah memberitahu ibuku bahwa
aku akan pulang terlambat. Aku sedang duduk di kursi halte ketika
seseorang menghampiriku. Aku mendongak dan mendapati John berdiri
di hadapanku. Ia menyapaku sambil tersenyum. Dia adalah kakak
kelasku. Lelaki yang baik. Aku menganggapnya sebagai kakak kandungku
sendiri. Sebab aku anak tunggal, dan memiliki seorang kakak maupun
adik adalah keingananku sejak lama. Sayangnya sejak ayah meninggal di
tanah perang, ibu tak pernah memutuskan untuk menikah lagi.
John beberapa kali menemaniku menunggu bus. Meski hanya sekedar
mengobrol singkat, namun ia dengan senang hati meluangkan waktunya
untukku. Kami memiliki hobi yang sama. Mendengarkan musik. Ia
mengaku suka Ludwig VAN Beethoven dan The Beatles. Meski aku
menyukai musik yang lebih modern, tapi aku tak keberatan untuk
mendengarkan lagu lawas dari mp3-nya.
John selalu membuatku kagum. Ia satu-satunya orang yang tak pernah
menanyakan tanda lahir aneh di wajahku ini. Dia tak pernah membedabedakan
orang lain.
Sayangnya hari ini, belum lima menit bercakap dengannya, deru bus
sudah terdengar mendekati halte. Jadi aku bersiap pamit padanya. John
tersenyum sambil melambaikan tangannya padaku. Aku terus
memperhatikannya dari jendela bus yang melaju menjauhi halte. 

Aku baru berbalik setelah agak jauh. Mencoba nyaman dengan kursiku.
Dan beberapa detik berlalu, tiba-tiba terdengar suara siulan yang disusul
dentum keras dari arah belakang. Lalu rentetan ledakan yang
memekakkan telinga. Satu ledakan terakhir terdengar paling keras. Dan api serta-merta berkobar secepat peluru. Tak ada yang sempat
melarikan diri.
Aku bangun di rumah sakit satu minggu setelah kecelakaan itu. Ibuku
senang melihat aku siuman. Ia mengatakan semua telah baik-baik saja.
Hanya saja dokter memberitahu bahwa aku mengalami benturan keras
di kepala, dan aku akan kesulitan mengingat beberapa hal.
Sore hari, ketika Ibu keluar untuk membeli makanan, seorang lelaki yang
tak asing datang menjengukku.
“Apa aku mengenalmu?”
Ia diam, menghampiriku sambil tersenyum ganjil.
“Maaf, apa kau anggota keluargaku? Aku tak bisa ingat beberapa hal
karena…”
“Oh! Ya , tentu saja ,kak. Aku adalah adikmu.” Kini ia berdiri tepat di
samping ranjangku.
Aku mengingat-ingat apakah aku memiliki adik yang tampak lebih tua
dariku.
“Sudah ingat?” Tanyanya, mempertahankan senyumnya. Dan aku hanya
menggeleng.
“Atau lebih tepatnya aku dulu adalah adikmu.” Ia memberitahuku,
tatapannya kian tajam. “Dulu namaku Ju. Tahun 1897. Aku bocah kecil
yang kaubunuh karena kau kelaparan.”
“Apa?! Kau bicara a…”
“Lalu aku lahir kembali. Sebagai Jonathan Mir. Pada 1937 aku adalah
profokator yang mengatakan pada pemerintah bahwa dua saudari
pencari kayu bakar harus dieksekusi. Akulah yang mengeluarkan cambuk
untuk kakakmu ,kau ingat?!”
Kepalaku tiba-tiba sakit.
“Dan pada 1976 namaku Jack. Apakah kau ingat Paman Santa Klaus
yang membawa kapak?” Ia menahan dengusan tawanya. Sementara
kepalaku kian berdenyut-denyut.
“Aku sadar aku benar-benar memiliki kemampuan untuk dilahirkan
kembali. Dan semakin berjalannya waktu, aku semakin baik saja.”
“Siapa kau sebenarnya?” Aku menahan kepalaku seolah agar tempurung
ini tak pecah.
“Aku? Kali ini namaku John. Kakak kelas yang kau kagumi. Sekaligus
yang menembak ban bus yang kau tumpangi petang itu..” Kini ia
tertawa lepas.
“Apa?! Jadi.. Kau pelakunya! Kau yang mencoba membunuhku!”
“Itu karena kau memakanku ,kak.”
“Omong kosong!”
“Uh.. lihat, tampaknya kau belum mati.” Ia mengulurkan lengannya ke
arahku. “Kali ini kupastikan kematian keempatmu tepat di depan
mataku sendiri!”
Lelaki ini mencengkeram sekeliling leherku dengan erat. Aku tak sempat
berteriak untuk minta tolong. Ia menekan leherku hingga aku tersedak.
Semakin erat, dan kian erat. Tak ada oksigen. Dadaku seolah terbakar. “Sampai jumpa lagi.” Bisiknya, sebelum tempatku menjadi redup dan
gelap.
.
.
2015
Aku mungkin sedang bosan saat ini. Jadi aku membuka sebuah situs
dan mencari kisah-kisah seram yang mungkin menarik untuk kubaca.
Sebuah naskah berjudul ‘Reincarnation’ telah menarik perhatianku
beberapa menit yang lalu, dan aku yakin sudah hampir selesai
membacanya. Aku terlalu larut hingga tak mempedulikan orang-orang di
sekitarku.
Hingga aku menyadari sesuatu.
Ya! Sesuatu.
Sayangnya aku lupa apa itu.
Apa aku pernah mengalami lupa ingatan sebelumnya? Entahlah. Sungguh
aneh.
End.
 
http://animanga-oushiza.blogspot.co.id/2015/10/penyakit-kutukan-di-balik-angka.html
 
=angger

0 komentar: