di episod ini, ghoulnya lagi banyak yang sakit, hiks! klik gambar ini menuju sumber link videonya. hm gorenya ada sih meski ga sadis-sadis amat menurutku...
“Tolooooooooooooong!” Aku diseret
untuk dicicipi para ghoul bertopeng yang menyambutnya suka cita itu. Mereka
sangat penasaran akan cita rasa dagingku yang aku sendiri tentu saja tak tahu
bagaimana rasanya!
Tiba-tiba saja Shu datang
menghentikan kebrutalan itu. Entah mengapa aku malah lega. “Shu, tolong aku.
Untunglah kau datang,” senyumku kepanikan setengah gila. Tapi kenapa juga ya
aku masih belum sadar kalau ghoul nyentrik itu sangat mengincar dagingku lebih
daripada yang lainnya?!
“Arrrrrrrrrrggggggghhhhhhhh!”
Kutersentak dan terbangun dengan napas amburadul. Kupandangi sekitarku.
Mimpikah ini atau—
(Di kafe pagi-pagi…)
Entah mengapa aku bisa berada di
rumah ya waktu itu? Yang penting kan aku selamat dari kejadian naas itu. Huft!
Apa sih istimewanya daging cowo culun sepertiku ini? Perasaan dari kemarin
diincar ghoul terus! Tak lihat apa kalau aku tuh kurus banget?!
“Eh, Toka mana, Pak?” kutanyakan
keberadaan gadis galak itu karena seharian tak nongol.
“Dia lagi sakit. Kalau kamu mau
nengok, dia tinggal di atas kok,” jawab Pak Yoshi sambil nunjuk ke
langit-langit.
Tanpa mau membuang waktu,
bergegas kutengok dia ke kosnya. Ada namanya tertera di sana. Tok tok tok.
Bertepatan dengan itu, Ibu Hinami tampak hendak bepergian dan aku pun masuk. Di
dalam sana, ada Hinami yang sedang asik menggambar.
Toka menyambutku ketus (biasa!).
“Ngapain lu ke sini?” Ia tampak santai-santai saja tak seperti lagi sakit. Begini
memang kalau ghoul “sakit”.
“Aku dengar kamu lagi sakit.
Makanya aku sengaja datang ke sini untuk menengokmu. Kamu sakit apa?” tanyaku
care.
“Hm, datang-datang jenguk orang
sakit tapi gak bawa apa-apa?”
Gubrak! Kugelagapan disindirnya
sesadis itu. Uh! Aku tak sempat memikirkannya, soalnya dia itu kan ghoul. Masa
aku bawa buah tangan daging manusia?!
Hinami kemudian membuyarkan
kecanggungan itu dengan menanyakan tulisan padaku. Kuajari dia penuh arti
dengan senang hati. Kasihan kan dia hanya bisa belajar di rumah saja, hiks!
Toka menghela napas melihatnya.
“Aku mau minum kopi dulu, ah!”
“Eh, biar kubuatin,” kumenawarkan
diri. “Kamu kan masih sakit,” tegurku lemah lembut.
“Kamu sedang ngajar Hinami. Gak
usahlah,” tolaknya. Tiba-tiba saja sahabatnya datang. “Yoriko?!”
“Kamu nggak datang tadi ke
sekolah. Kamu lagi sakit, ya?” tanyanya prihatin. “Nih aku bawain kamu masakan
buatanku.”
Toka menerimanya canggung—merasa
berterima kasih meskipun mendapat makanan manusia. Tapi mana bisa ia
menyantapnya? Melihatku ada di dalam, ia kepanikan dan segera pulang. Jadi
canggung juga. Di dalam kan juga ada Hinami. Kenapa ia bisa berpikiran
macam-macam seperti itu?
Tapi sahabatnya itu begitu
perhatian pada Toka—mengingatkanku pada Hide saja yang selalu perhatian padaku.
Teman macam itu memang mahal dan patut dilindungi habis-habisan!
“Eh, kau akan memakannya?”
tanyaku begitu Toka membawa makanan itu ke dapur dengan wajah tegang.
“Tentu saja aku akan memakannya!”
pekiknya stres. “Ini kan buatan sahabatku yang sudah berbaik hati mau
membuatkannya untukku. Ia memang selalu membagi masakannya denganku di sekolah.
Tapi…”
Kemudian kutersadar mengapa Toka
bisa sampai sakit seperti ini…
(Di jalan…)
“Huh! Lama-lama si Yomo bisa
mematahkan lenganku kalau begini terus,” keluhku sambil mengelus lenganku.
Biasalah, aku disuruhnya berlatih dengannya. Tinjuku kan jadi sakit diayunkan
terus. Pegal lagi. Ia melatihku tidak main-main dan serius. Melatih pukulan pun
entah harus berapa banyak lagi.
Bug bug bugh… tiba-tiba saja
terdengar suara gebukan di gang sepi itu. Kusempatkan diri untuk mengintip dan
melihat… eh itu kan Nishi! Ia tengah digebukin 2 orang tanpa ampun. Kasihan dia
terkapar seperti itu, tapi masih saja terus dihantam. Eh…
Ah, untuk apa aku peduli padanya?!
Setelah apa yang dia lakukan padaku dan Hide, mana sudi aku menolong ghoul
jahat itu? Ia sudah membahayakanku dan Hide. Itu terlalu menyakitkan untuk
dikenang. Lebih baik aku cabut saja, tapi…
Bug bug bug… “Rasain kamu!
Sakit?! Mampus lu!”
Tak tega juga ya mendengarnya
disiksa seperti itu. Ya, meskipun dia itu jahat!
“Anu… permisi,” sapaku sopan
sambil menghampiri mereka. Mereka pun menghentikan penganiayaannya pada
Nishi—mengira ada orang mau nanya alamat di tengah penyerangan mereka (haha!).
“Kaneki… Ken,” sahut Nishi lemah.
Ia tampak sangat berbeda kali ini, tak berdaya, tak seperti kemarin itu
songongnya minta ampun!
“Ng… kalian nggak merasa
keterlaluan ya? Kan kasihan dia,” tegurku lembut. Jadi canggung juga sih
rasanya menegur berandalan. Tapi aku merasa harus menghentikannya karena
kasihan. Ia kan baru saja luka-luka parah setelah pertarungan itu. Itu sudah
terlalu keras!
“Siapa lo? Kami ini mau makan
dia! Kenapa? Kamu juga mau?”
Kutersadar, rupanya mereka adalah
ghoul juga! Ghoul kanibal! Mata mereka lalu berubah menjadi mata ghoul. Tanpa
ragu-ragu, mereka menyerangku. Kuberusaha menghindar selincah mungkin. Bugh!
Duh serangan mereka sampai membuat pintu besi ruko remuk segala lagi. Untung
saja ya aku bisa menghindar dengan baik. Lumayanlah!
Kupasang kuda-kuda pertahananku
dengan kedua lengan. Eh, tapi apa aku bisa ya? Aku tak terbiasa berkelahi
soalnya—itu kan bukan karakterku. Tapi ini mendesak. Eh, aku tak nyangka jika
aku bisa memukul mundur mereka juga. Duak!
Ng? Kupandangi tinjuku. Aku tak
nyangka kekuatannya bisa sebesar itu. Padahal aku hanya mengerahkan tenaga
seadanya. Tapi ghoulnya tepar begitu. Rupanya latihan yang kujalani berguna
juga ya dengan melatih kekuatan pukulan, ya meski hampir membuat lenganku
patah-patah saking seringnya.
Terima kasih, Yomo! Ternyata
latihannya bisa kugunakan untuk membantu… musuh?!
(Di rumah Nishi…)
“Di sini ya rumahmu?” Sambil
memapahnya yang terpincang-pincang, kubantu ia masuk ke kosnya.
“Nishi!” pekik Kimi—pacarnya yang
langsung kepanikan membuka pintu. “Kamu nggak apa-apa?”
Kimi membantu Nishi duduk. Nishi
tampak lemah dan lunglai. Kasihan juga sih melihatnya luka-luka seberat itu.
“Eh, cowok ini kan—“ Kimi
menatapku waspada.
“Nggak apa. Ia lah yang
menolongku waktu dikeroyok preman ghoul,” Nishi bereaksi dengan suara lemas.
(Di taman…)
“Nishi sakit dan aku tak tahu
harus berbuat apa untuk menolongnya!” galau Kimi. “Aku tak mungkin…”
Kasihan juga, sih! Apa yang bisa
kubantu untuk mereka, ya? Tapi tentu saja aku tak bisa membantu Nishi dalam
“hal” itu. Mana tega aku melakukannya?!
Tapi setelah kupikir-pikir, Kimi
yang tahu Nishi itu ghoul masih setia menjadi pacarnya. Beraninya ia! Bagaimana
kalau ia sampai dimakan? Apakah itu akan terjadi?
“Ng, aku akan membantu Nishi.
Kamu tenang saja, ya. Semuanya akan baik-baik saja! Percayalah padaku.”
Kuberusaha menenangkan Kimi. Tapi bagaimana caranya ya aku membantu Nishi?
(Di jalan malam-malam…)
Apa yang bisa kulakukan untuk
Nishi agar Kimi bisa tenang dan tak galau lagi? Di sepanjang jalan
kumemikirkannya. Huft! Aku tak nyangka sudah membuat Nishi sangat menderita
setelah pertarungan brutal itu. Sori, habis mana bisa aku membiarkanmu memakan
sahabatku?!
Meskipun ia musuhku, tapi tetap
saja ku kasihan padanya! Aku sudah mencabik-cabik perutnya waktu itu. Ya,
kedengarannya itu menyakitkan dan aku tak tahu seperti apa penderitaannya
mengalami luka fatal seperti itu. Ngenes juga, ya? Brutal juga ya aku waktu
itu? Tak nyangka!
Aku jadi merasa bersalah juga.
Mungkin aku sudah terlalu keras padanya. Setelah kumerenung, ia sudah 2 kali
kehilangan mangsanya saat bertemu denganku. Apa ia sudah makan? Karena kulihat
ia sangat lemas. Aku masih lebih beruntung setelah kelaparan setengah mati, Pak
Yoshi memberiku makan diam-diam saatku pingsan kemarin dulu itu. Tapi dia?
Duh, jadi serba salah juga nih!
Akulah yang sudah membuatnya kelaparan seperti itu dan aku tahu persis betapa
nelangsanya rasa lapar itu. Aku sudah pernah mengalaminya kemarin dulu. Tapi
aku sudah melakukan hal yang semestinya! Ah, yang lalu biarlah berlalu.
Sebaiknya aku berpikir bagaimana agar aku bisa menebus “kesalahan”-ku ini…
(Di rumah…)
Sepi banget, ya? Kumelangkah di
kafe gelap yang sudah tutup itu dan menemukan sepucuk surat beserta mawar di
depen pintu kaca. Ng? Perasaanku jadi tak enak nih. Aku kenal betul siapa yang
suka kirim beginian dengan cara khas seperti ini.
Kubuka surat itu. “Kaneki, aku
undang kamu buat makan bareng denganku di ***. Menunya gadis cantik yang
ngobrol denganmu di taman tadi, loh!”
Kujatuhkan surat itu gemetaran.
Apa?! Kimi diculik?! Nishi…
“Kaneki!” pekik Nishi dari pintu
depan. Bergegas kubukakan pintu untuknya dan melihat mantan ghoul sadis itu
merayap lemah ke pintu rumahku. Ia tampak lemas memang, tapi berusaha sekuat
tenaga datang kemari hanya untuk meminta bantuanku. Rupanya ia sudah tahu Kimi
diculik!
“Kamu tenang saja, ya! Ghoul itu
mengincar diriku. Tak akan terjadi apa-apa dengan pacarmu itu,” kumenenangkannya
dengan halus. “Dari kemarin, dia memang sudah mau memakanku. Pacarmu hanya
dijadikannya umpan saja. Akan segera kubawa pulang pacarmu itu.”
“Aku ikut!” pekik Nishi cemas.
“Jangan! Kamu kan masih sakit
(gara-gara seranganku) dan harus banyak istirahat. Oke?” cegahku.
“Nggak! Kalau menyangkut nyawa
Kimi, aku harus bertarung demi dirinya. Bawalah aku bersamamu!”
Setelah itu, aku tak bisa
menahannya lagi. Kutertegun. Sebagai ghoul, ia sangat mencintai anak cucu Adam
itu. Apa cinta ghoul dan manusia bisa bersatu?
(Di Misa Hitam…)
“Shu!” Maka kami berdua datang
menerobos tempat itu meskipun Nishi tampak susah-payah.
“Kaneki, lihat ini!” Shu
menyambutku norak. “Aku sudah menyiapkan hidangan spesial untukmu.” Kami lalu
melihat Kimi di sebuah altar berbaring memunggungi kami. “Aku ingin kau
memakannya, soalnya aku ingin memakanmu yang lagi makan. Pasti rasanya lebih
menggairahkan!”
Entah darimana ia bisa berpikir
seajaib itu. Mana mungkin aku memakan manusia hidup-hidup? Lagipula ia itu kan
pacar mus… maksudku pacarnya Nishi.
Sebaiknya aku segera
menyelesaikan masalah ini. Kumaju duluan menyerangnya penuh percaya diri dan
membiarkan Nishi di tempat karena ia kan masih butuh bed rest.
“Ah? Yang ini namanya pukulan?
Seperti bayi saja!” cemoohnya dengan kemampuan menghindarnya yang lincah. “Ini
tendangan? Kau sebaiknya jadi bayi saja…”
Aku tak memedulikan cemoohannya
dan terus menyerang secara beruntutan. Ini kan hasil latihanku selama ini yang
boleh juga, kan? Ia tak boleh menumbangkan percaya diriku begitu saja!
Tapi di lain kesempatan, ia malah
menjatuhkanku dengan mudah. “Ini baru yang namanya pukulan dan tendangan!”
Bruk. Kutersungkur ke sisi
ruangan. Duuuh! Nishi malah maju susah payah. Kekuatan cintanya mampu
mengalahkan rasa sakitnya selama ini, namun dengan mudah ghoul sakit itu
dikalahkan Shu. Belum ada yang bisa mengalahkannya. Kuterjun lagi menyerangnya,
namun saat serangannya membahayakanku, Toka datang melindungiku dan dengan
kemampuan bela dirinya ia pun bertarung melawan Shu.
“Oh, kau tak berubah ya sejak kau
berusia 14 tahun itu dan aku 18. Matamu itu sangatlah tajam dan dingin. Waktu
itu aku memang kalah, tapi sekarang kemampuan kita sebanding!” sambil
bertarung, Shu masih saja terus mengoceh meskipun Toka tak memedulikannya.
Kumembantu pertarungan mereka,
tapi dengan mudahnya Shu meninju lenganku hingga patah. Argh! Sepertinya aku
masih kelas awam di pertarungan ghoul ini.
Namun—jreb. Toka terkena serangan
fatalnya dan terkapar. Duh, masih belum ada yang bisa mengalahkan ghoul
berselera tinggi itu. Semuanya berhasil ditumbangkannya. Tapi yang jadi
masalahnya, setelah ia berhasil menumbangkan musuh-musuhnya, perhatiannya
tertuju penuh gairah padaku!
Belum sempat kumenghindar atau
melawan, ia langsung menghajarku membabi-buta hingga berlumuran darah (sensor
kabut hitam). Belum puas menghajarku, ia melumuri tangan lentiknya dengan
muntahan darahku kemudian mengendusnya. Ia tampak menikmati itu.
“Astaga! Bau darahmu
membangkitkan gairah lidahku yang penuh harmoni ini. Lezat. Harum. Nikmat
sekali. Padahal ini baru darahnya saja, bagaimana dengan dagingmu?!” Ia
berpuitis lagi dengan alaynya. Nyentrik sekali ekspresi selera tingginya itu.
“Ya ampun, mantap! Bersiaplah Kaneki-ku. Ntar lagi kau bakalan masuk ke sebuah
tempat yang penuh cita rasa tinggi.”
Kemudian ia menghampiri Kimi yang
tak sadarkan diri dan berniat menjadikannya pembuka mulut. Disibaknya bahu
Kimi, tapi terdapat bekas luka mengerikan di sana. “Luka jelek apa ini?”
Nishi bangkit secara susah payah.
Jangan-jangan luka itu—
Mungkin Nishi tak sejahat dugaanku
sebelumnya. Mungkin yang dulu itu hanya kesan pertama yang buruk di saat ia
tengah kelaparan berat, makanya ia jadi buas seperti kemarin. Aku tak tahu
latar belakangnya bagaimana, masa kecilnya bagaimana, bagaimana rasa cintanya
pada manusia bernama Kimi itu. Tapi apa benar karena ulahku yang membuatnya
kelaparan panjang, ia hampir saja menyantap Kimi? Kalau benar begitu, pasti
cintalah yang menyelamatkan Kimi dan Nishi lebih memilih kelaparan saja terus,
makanya sampai di situ saja luka Kimi. Keputusan yang berat…
Nishi menyerang Shu demi Kimi.
Kebuasannya terpancar, namun karena masih sakit, ia digodam habis sama Shu
(sensor negatif berdarah). Shu melakukannya dengan ringan dan gila-gilaan.
Nishi dibantainya tak berdaya. Ghoul
malang!
“Bodoh! Kau tak mengeluarkan
kagune sama sekali. Bagaimana pun juga, kagune itu alat dan bahan bakarnya ya
daging orang!”
Kumerenungkan kalimat itu. “Apa
benar itu, Toka?”
“Tsk! Aku tak bisa mengeluarkan
kaguneku karena masakan Yoriko. Aku tak nyangka dampaknya akan jadi seperti ini
di saat genting. Bagaimana kita bisa melawannya tanpa kagune?”
“Kalau begitu, aku punya
rencana!” Kemudian kubisikkan ia apa rencanaku itu…
“Shu!” panggil Toka yang sudah
berada di belakangku. Shu berbalik dan melihat kesiapan kami. “Kau sudah siap?”
Kumengangguk tanpa ragu dan
membiarkannya… menyibak bahuku kemudian mengisap darahku.
“Jangan dilihat, Shu!” cemooh
Toka sambil mengisap darahku.
Aku bisa merasakan aliran darah
di bahuku berpindah ke mulutnya—seperti saat berkencan tragis dengan Rize dulu.
Sesuai dugaan, Shu uring-uringan.
“Tidak! Jangan! Jangan makan Kaneki-ku! Ia itu milikku dan tak boleh ada yang
menikmati cita rasanya selain aku!” histerisnya norak—sangat berkarakter khas.
Setelah merasa cukup, Toka
melepaskan gigitannya. Kujatuh bersimpuh sambil memegangi pundakku yang
berlumuran darah segar. Aduh duh… meski pun kesakitan, aku berani mengorbankan
diri mengambil ide itu dan sudah siap mental menerimanya.
Yang penting sekarang, Toka sudah
bisa mengeluarkan… kagunenya!