mungkin bakal ada followers blog yang bertanya, napa gak posting info lomba menulis yang paling banyak tampilannya di blog ini, itu karena sebenarnya tiap bulan tanggal 1 tuh aku selalu adakan jadwal baru karena tak bisa dalam seharian tuh aku kerjakan semua akunku, jadi harus ganti jadwal yang penting2 saja dulu dikerjain. so, nonton dulu yok. lagi seru2nya nih. klik!
Sinopsis Ashoka Samrat episode 2.
Bindusara telah sadar dari pingsannya. Dengan tertatih-tatih dia keluar
dari gubuk dan menatap kesekelling. Tiba-tiba dia mendengar suara
seorang wanita. Bindusara menoleh, dia melihat Dupatrati sedang memberi
wejangan pada anak didiknya, para pendeta muda tentang bagaimana
mengendalikan amarah, balas dendam, memaafkan dan mencintai serta
melindungi sesama.. Bindusara mendengarkan
wejangan Dupatrati dengan wajah penuh ketertarikan. Bindusara
tersenyum. Dia teringat perjuangan Dupatrarti dan kawan-kawan saat
mengobatinya dan membuatnya sadar dari pingsan. Bindusara juga teringat
bagaimana dia di serang, terbayang kembali saat anak panah melayang dan
menancap di dadanya. Ada tatapan marah dan penuh dendam di matanya.
Terbayang kembali bagaimana musuh membantai prajuritnya dan bagaimna dia
melarikan diri hingga terjatuh ke dalam air terjun.
Dupatrati
masuk kedalam gubuk sambil membawa mangkok obat. Tapi tidak menemukan
Bindusara. Dengan was-was, Dupatrati berlari keluar dan bergegas mencari
Bindu. Dia melihat Bindu berjalan tergesa menyeberangi danau. Dupatrati
mengejarnya, "aku menunggu beberapa hari hingga kau sembuh untuk
bertanya bagaimana semua ini bisa terjadi? bagaimana kau sampai di
serang. Tapi kau pergi tanpa mengatakan sesuatu. Jika kau bertanya
padaku, maka aku tidak akan membiarkan kau pergi dari sini karena kau
belum sembuh total." Bindu menjawab, "aku harus segera kembali, dewi."
Tapi Dupatrati mencegahnya karena dia belum sembuh benar, "tidakkah kau
berpikir kalau musuh dapat menemukanmu?" Bindu menjawab, "mereka
berhasil melukaiku sekali, tapi sekarang aku akan..." Dupatrati
memotong, "kalau kekerasan di balas kekerasan, lalu bagaimana kekerasan
ini akan berakhir?" BIndu menyahut, "kalau kau berada di posisi ku, kau
akan tahu, dewi." Dupat balas berkata, "aku tidak punya musuh, tidak
terluka, tidak punya masalah, tidakkah kau ingin berada di posisi saya?"
Bindusara menatap Dupat dan merasa meragu. Dupat mengajak Bindusara
kembali kepondok dan beristirahat. Bindu teringat kebaikan Dupatratri.
Dupar berkata, "sampai kau sehat benar, keselamatanmu menjadi tanggung
jawabku. Ikutlah denganku!" Dupatrati membalikan badan hendak melangkah
peri. Tapi Bindusara menahanya dengaan bertanya, "kau siapa? Kenapa aku
merasa tidak lengkap setelah bertemu denganmu? Mengapa aku merasa setiap
kata yang kau ucapkan adalah benar? Ketika kau berbicara tentang
kedamaian aku memikirkan mengapa orang-orang menganggap anak perempuan
tidak berharga? Ketika berada di dekatku, aku merasa lengkap. Kau menyelamatkan
hidupku!" Dupat menyahut, "aku hanya menjalankan kewajibanku."
Bindusara berkata kalau kewajiban Dupat memberinya hidup baru, "aku
tidak tahu namamu, tapi bagiku kau adalah Dharma." Dupat menatap Bindu
dengan tertegun. Bidu berkata lagi, "kau memberiku kehidupan dengan
membawaku ke rumahmu. Berilah aku satu kehidupan lagi dengan memberiku
tempat dihidupmu, di hatimu.." Bindu mengulurkan tanganya meminang
Dupat. Dupat menatap Bindu dengan tegang, tak tahu harus berkata apa.
Setelah lama saling tatap dan berada dalam keraguan, akhirnta Dupatrati
membalas uluran tangan Bindusara... keduanya terlihat bahagia..
Akhirnya
Bindusara menikahi Dharmanya. Keduanya terlihat bahagia duduk
bersanding di depan altar saling mengucapkan sumpah setia. Dan di malam
perkawinan mereka, Bindusara mendatangi Dharma di kamarnya. Keduanya
dududk di pembaringan, Dharma tersipu malu saat Bindusara menyentuhnya.
Mereka saling bertatapan... "Dharma..." panggil Bindusara.
Pagi harinya, Bindusara terbangun. Dia menoleh ke samping dan tidak menemukan Dharma. Bindu terlihat berpikir sesaat, lalau seulas senyum tersungging di bibirnya. Di luar, sekelompok penunggang kuda di pimpin Mir Khorasan menghampiri pondok Dharma. Khorasan turun dari kudanya dan melangkah memasuki rumah sambil hendak mencabut pedang untuk berjaga-jaga. Tiba-tiba muncul Bindusara menghadang Mir Khorasan sambil mengayunkan tongkat. Keduanya saling bertatapan. Mir Khorasan terkejut melihat Bindu masih hidup. Dia teringat keteguhan Chanakya yang begitu yakin kalau Bindu masih hidup. Khorasan menyapa Bindu, "kau masih hidup?" Dengan sarkastis Bindu bertanya, "tidakkah kau bahagia melihat aku masih hidup?" Khorasan menjawab, "aku berjanji pada Noot untuk membawamu pulang, dan kau bertanya apakah aku bahagia atau tidak?" Bindu berkata kalau dia tidak percaya pada siapapun sekarang. Khorasan memberitahu Bindusara klau putranya tewas dalam serangan itu dan anak gadisnya menjadi janda sebelum menikah. Khorasan mengajak Bindusara pergi bersamanya karena seluruh Magadha menannti kedatangannya, "begitu jiga Noor, dia menunggu kedatanganmu!" Bindu memberitahu Khorasan kalau dia tidak bisa menikahi Noor. Khorasan kaget dan berkata kalau dirinya bisa menerima apapun, kecuali penghinaan, "kalau seperti itu, kami tidak akan membantumu melindungi Magadha. Apa yang terjadi padamu? Mengapa kau menolak menikahi Noor? Mengapa kau melanggar janjimu Samrat Bindusara?" Dharma berdiri mendengarkan pembicaraan itu terkejut, dia terlihat bingung, "Samrat Bindusara?" Tempayan yang di bawa Dharma terlepa dari tanganya dan jatuh ketanah menghasilkan suara yang berisik. Bindusara menoleh kearah Dharma.Khorasan yang kaget, segera menghunus pedangnya kearah Dharma. Dharma berjalan mendekati mereka. Khorasan bertanya, "siapa kau?" Sambil menatap Bindusara, Dharma menjawab, "Pelayan Samrat." Dengan tongkatnya, Bindusara menurunkan pedang Khorasan yang terhunus kearah Dharma. Bindusara memberitahu Khorasan kalau Dharma adalah orang yang menyelamatkan nyawanya dan dia juga adalah..
Pagi harinya, Bindusara terbangun. Dia menoleh ke samping dan tidak menemukan Dharma. Bindu terlihat berpikir sesaat, lalau seulas senyum tersungging di bibirnya. Di luar, sekelompok penunggang kuda di pimpin Mir Khorasan menghampiri pondok Dharma. Khorasan turun dari kudanya dan melangkah memasuki rumah sambil hendak mencabut pedang untuk berjaga-jaga. Tiba-tiba muncul Bindusara menghadang Mir Khorasan sambil mengayunkan tongkat. Keduanya saling bertatapan. Mir Khorasan terkejut melihat Bindu masih hidup. Dia teringat keteguhan Chanakya yang begitu yakin kalau Bindu masih hidup. Khorasan menyapa Bindu, "kau masih hidup?" Dengan sarkastis Bindu bertanya, "tidakkah kau bahagia melihat aku masih hidup?" Khorasan menjawab, "aku berjanji pada Noot untuk membawamu pulang, dan kau bertanya apakah aku bahagia atau tidak?" Bindu berkata kalau dia tidak percaya pada siapapun sekarang. Khorasan memberitahu Bindusara klau putranya tewas dalam serangan itu dan anak gadisnya menjadi janda sebelum menikah. Khorasan mengajak Bindusara pergi bersamanya karena seluruh Magadha menannti kedatangannya, "begitu jiga Noor, dia menunggu kedatanganmu!" Bindu memberitahu Khorasan kalau dia tidak bisa menikahi Noor. Khorasan kaget dan berkata kalau dirinya bisa menerima apapun, kecuali penghinaan, "kalau seperti itu, kami tidak akan membantumu melindungi Magadha. Apa yang terjadi padamu? Mengapa kau menolak menikahi Noor? Mengapa kau melanggar janjimu Samrat Bindusara?" Dharma berdiri mendengarkan pembicaraan itu terkejut, dia terlihat bingung, "Samrat Bindusara?" Tempayan yang di bawa Dharma terlepa dari tanganya dan jatuh ketanah menghasilkan suara yang berisik. Bindusara menoleh kearah Dharma.Khorasan yang kaget, segera menghunus pedangnya kearah Dharma. Dharma berjalan mendekati mereka. Khorasan bertanya, "siapa kau?" Sambil menatap Bindusara, Dharma menjawab, "Pelayan Samrat." Dengan tongkatnya, Bindusara menurunkan pedang Khorasan yang terhunus kearah Dharma. Bindusara memberitahu Khorasan kalau Dharma adalah orang yang menyelamatkan nyawanya dan dia juga adalah..
Belum selsai Bindusara menyelesaikan
kalimatnya, Dharma sudah bersimpuh di hadapan Bindu sambil menyembah,
"Samrat, saya beruntung telah melayani anda. Anda telah sembuh sekarang.
Pergilah, rakyatmu, negerimu..membutuhkan dirimu. Penuhi janji yang
telah kau buat. Aku menjaga hidupmu seperti kau menjaga Magadha.
Pergilah...!" Khorasan mengajak Bindu peri. Bindu menatap Dharma untuk
terakhir kali lalu dia peri bersama rombongan Khorasan.
Dlam
pernjalanan, Binndusara teringat bagaimana Dharma meminta Bindu
memenuhi janjinya. Bindu mengatakan kalau Dharma kini adalah istrinya
dan itu suatu kebenaran, "kau istriku, kau ratu. Tempatmu adalah di
istana." Dharma mengingatkan Bindusara kalau cinta yang membuat Bindu
mekupakan tugasnya bukanlah cinta, "cinta kita harus menjadi sebuah
keberuntungan untuk Magadha." Bindusara setuju dengan ucapan Dharma dan
berjanji kalau dirinya akan kembali begitu kewajibannya terpenuhi.
Dharma menyahut, "aku tidak membutuhkan janjimu. Aku percaya kau akan
kembali." Keduanya saling bertatapan dan tersenyum. Sebelum pergi,
Bindusara memberikan sebuah cincin pada Dharma.
Di
istana Magadha sedang verlangsung prosesi penobatan Justin menjadi Raja
Magadha. Pendeta mengumumkan kalau mulai sekarang putra raja
Chadragupta Maurya, pangeran Justin akan menjadi raja Magadha, dan semua
perintahnya harus di patuhi. Justin tersenyum licik sambil melirik
mahkota dan singgasana. lalu setelah arti selesai di lakukan, dengan
tamak dia melangkah menuju singgasana. Justin dan Helena saling
berpandangandan tersenyum bahagia. Sekelompok resi menghampiri Helena
dan menyodorkan baki yang berisi mahkota. Helena hendak memakaikan
mahkota itu ke kepala Justin ketika tiba-tiba terdengar suara Khorasan
menyuruhnya berhenti. Helena dan Justin terlihat marah dan heran, dengan
sengit Helena bertanya, "kenapa?" Khorasan tidak menjawab, dia hanya
melangkah minggir untuk memberi jalan. Dari belakangnya, muncul Samrat
Bindusara. Semua yang hadir tertegun dan senang melihatnya kcuali
Pendeta yang bersekongkol, Helena dan Justin. Bindusara berjalan dengan
gagah ke arah singgasana. Helena dan Justin saling berpandangan, helena
memberi isyarat pada Justin, Justin menganggul. Helena melirik Mahkota
di tangannya dengan tatapan kecewa. Begitu Bindusara dekat, Helena
segera meletakan mahkota di nampan dan berlari menyambut Bindusara
dengan wajah pura-pura bahagia.Dengan senyum penuh kepalsuan, Helena
berkata, "sekarang Mgadha tidak perlu apa-apa lagi. Samrat Bindusara
sudah kembali dengan selamat." Dengan kepiawaiannya menyembunyikan rasa
kecewa, Helena memimpin yang hadir mengelu-elukan Bindu. Charumitra
dengan airmata bahagia memberi hormat pada Bindusara sambil berkata,
"melihat anda baik-baik saja, saya percaya pada tuhan lagi. Saya yakin
Sushim tidak akan menjadi yatim." Bindusara tersenyum pada Charumitra
dan tersenyum penuh pengertian. Bindusara kemudian menghampiri tahtanya
dan di sambut Justin dengan wajah penuh penyesalan, "aku pikir, Magadha
kehilangan segalanya, tapi ternyata tidak..." Justin memeluk Bindu dan
menampakkan sifat licik di balik punggungnya. Bindussara melepas pelukan
Justin. Kembali terdengar suara khalayak mengelu-elukan namanya. Justin
mempersilahkan Bindusara menuju tahtanya, sementara dirinya, seperti
pahlawan kalah perang meninggalkan singgasana dengan wajah penuh
ketidakpuasan. Helena memasangkan Mahkota ke kepala Bindusara sambil
berkata, "aku tidak bisa menerima bahwa kau sudah mati. AKu percaya kau
masih hidup, dengan kembalimu, tuhan membuatku bahagia. Setelah apa yang
terjadi di Magadha, kini semua akan baik-baik saja." Justi menyambut
ucapan ibunya dengan sengit, "tapi kita harus cari tahu siapa yang
mencoba membunuh Samrat. Dia harus di beri hukuman yang berat."
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki, semua mata tertuju ke pintu
gerbang. Di sana dengan langkah pelan namun pasti, Chanakya berdiri
dengan penuh wibawa, menatap Bindusara dengan tatapan penuh kasih
sayang. Semua yang hadir berdiri memberihormat. Begitu pula Bindusara
dan anggota kerajaan. Chankya mengangkat tangan, Bindusara kembali duduk
di tahtanya. Dengan saura tegas berwibawa, Chanakya berkata, "tidak
akan terjadi apa-apa dengan membunuh preman-preman itu. Karena musuh
sebenarnya adalah dia yang menyuruh preman-preman itu membunuh samrat."
Chanakya melambaikan tanganya ke belakang, Helena dan Justin terlihat
tegang ketika salah seorang preman yang tertangkap di bawah masuk. Lalu
dengan sengit keduanya ibu anak itu bergantian menanyai preman. Ketika
Justin maju hendak memukulnya, Chanakya melarang. Chanakya menyuruh
preman memberitahu siapa yang menyrusuh dirinya membunuh Bindusara.
Preman mengatakan tidak tahu siapa dia, karena orang itu memakai kedok.
Orang itu berkata kalau dirinya akan di beri uang yang banyak kalau mau
membunuh raja. Bukan itu saja, bahkan orang itu berjanji kalau Samrat
baru di nobatkan, dia akan diangkat sebagai kepala pasukan Magadha.
Mendengar itu Justin berteriak, "diangkat menjadi kepala pasukan?
Sebelum itu terjadi aku akan membunuhmu sekarang." Justin mengangkat
pedangnya. Tapi sebelum pedang itu mengenainya, si preman sudah jatuh
tersungkur dengan wajah membiru. Dokter di panggil untuk memeriksanya.
Helena berkata kalau hidup preman itu sangat penting, "dia bisa membawa
kita pada musuh sebenar." Tapi tabib mengatakan kalau nyawa preman itu
sudah tidak tertolong lagi karena dia telah minum racun. Dan racun itu
dapat membunuh siapapun. Helena berkata kalau dia tahu racun apa itu,
"itu adalah racun yang sama yang menyebabkan tanda bitu di kepalamu
Samrat." Bindu menyentuh tanda biru di keningnya. Helena memberitahu
kalau racun itu adalah racun yang sama yang di berikan pada ibu Bindu
saat dia masih ada dalam rahimnya. Dengan heran Bindusara bertanya, "ibu
saya di beri racun?" Helena mengangguk. Chanakya mengatakan kalau itu
bukan yang sebenarnya. Helena menanyai Chanakya, "bukankah ratu durdhara
terbunuh oleh racun ini? Dan hanya dirimu saja yang membawa racun itu
masuk ke istana, achari?" Chanakya menjawab, "ya. AKu yang memberikan
racun itu. Tapi alasan sebenarnya adalah..." Helena mengejar, "kau tidak
bisa mengatakan alasan sebenarnya. Aku tidak bisa memaafkanmu untuk
itu!" Akhirnya demi memperjelas masalah, Chanakya memberitahu bindusara
kalau dirinya dulu selalu memberikan racun itu pada Raja Chandragupta
dalam jumlah kecil. Chandragupta tahu itu. Semua itu Chanakya lakukan
agar Chandraagupta kebal terhadap racun jika ada musuh yang berniat
meracuninya. Tapi entah bagaimana caranya, racun itu masuk kedalam tubuh
ibu bindusara. Sebenarnya dengan jumlah racun yang sedikit itu, nyawa
ratu bisa di selamatkan, tapi Bindusara masih ada di dalam rahimnya.
Demi menyelamatkan Bindusara, dan masa depan Magadha, maka dengan sangat
terpaksa mereka membelah perut ratu untuk mengeluarkan bindu. Mendengar
cerita itu, Bindu dengan wajah sedih bertanya pada Chanakya, "mengapa
anda tidak pernah menceritakan perihal ini ssebelumnya?" Chanakya
menjawab pertanyaan Bindu dengan rasa sesal, "jika anda anggap saya
membunuh ibumu, kalau anda berpikir begitu, maka anda boleh menghukum
ku. Saya siap di hukum mati. Saya tidak akan melawan tuduhan ini. Saya
hanya menjalankan kewajiban saya untuk Magadha. Pengorbanan dan jasa
saya untuk Magadha. Keputusan ada di tangan anda, Samrat." Justin
menimpali, "Achari benar. Apakah anda masih berpikir kalau Achari bukan
pelakunya? kami menunggu keputusan anda." Helena turut bersuara,
"kejahatan adalah kejahatan. Dan hukuman setimpal untuk siapa saja yang
melakukan kejahatan." Bindu terlihat berpikir keras dan ragu untuk
mengeluarkan keputusan. Suasana menjadi tegang. Semua menanti keputusan
Bindu. Chankya yang melihat keraguan Bindu berkata, "ketegangan ini
tidak terlihat baik untuk seorang samrat. Di negara yang kulayani seumur
hidupku, negara yang sama, jika niatku di ragukan, maka aku tidak layak
untuk Magadha. Aku akan pergi dari istana. Mungkin aku berada jauh dari
istana, tapi Magadha tidak bisa jauh dari dariku. Aku akan selalu
berdoa untuk magadha. Dan kapan saja Magadha membutuhkan aku, aku pasti
akan kembali untuk Magadha." Setelah memberi hormat, Chanakya dan
rombongan meninggalkan istana Bindusara. Helena, Justin dan pendeta
saling lirik dengan senyum licik tersungging di bibir. Charumitra
menatap prihatin kearah Bindusara yang terlihat sedih dan kecewa tapi
tak tahu harus mencegah atau membiarkan Chanakya meninggalkan istananya.
Pengumuman
segera di sebarluaskan ke seantero negeri kalau Samrat Bindusara masih
hidup dan baik-baik saja. Serta rakyat yang datang memberi informasi
tentang musuh akan mendapat hadiah. Raja Veer yang pernah mengaku
menjadi rasa Magadha dan menyebabkan Magadha berada dalam lautan api di
hajar habis-habisan oleh Khorasan dan di penggal kepalanya di hadapan
rakyat. Magadha kembali damai di bawah pemerintahan Samrat Bindusara.
Di
desa, Ayah Dharma meminta dharma mengirim kabar pada Samrat Bindusara
akan kehamilannya. Tapi Dharma menolak, "jika dia tahu bahwa saya
mengandung anaknya, dia akan meninggalkan tugasnya. Dia telah berjanji
akan datang kembali setelah melakukannya tugasnya itu." Bersamaan dengan
itu, Bindusara benar-benar melaksanakan tugasnya dengan baik. Dia
menangkapi penjahat dan musuh negara serta menciptakan kedamaian di
Magadha. Semua rakyat mengelu-elukan Samrat di manapun dia berada.
Di
halaman rumah, ayah Dharma sedang melakukan puja. Dharma berdiri di
depan pintu memperhatikan sambil mengelus perutnya yang semakin besar.
tatapan Dharma melayang jauh. Di ateringat cincin pemberian Bindusara.
Dharma menatap cincin itu dan tersenyum penuh harap.
Di
istana, Bindusara yang di cekap kerinduan pada Dharma menghibur diri
dengan minum anggur sampai jatuh tertidur. Dharma pun begitu.
Hari-harinya di lalui dengan penuh kerinduan pada Bindu. Sambil memasak
Dharma membayangkan kembali kenangan indahnya bersama Bindusara. Dia
mengelus perutnya. Tanpa sadar air mata menetes di pipinya. Jika
terdengar langkah kaki kuda lewat di jalan depan rumahnya, Dharma segera
berlari menyambut, berharap itu adalah derap kaki kuda Bindusara. Tapi
harapan hanya tinggal harapan. Bindusara tidak kunjung datang. Dharma
hanya bisa memeluk tiang pagar sambil menangis penuh rindu.
Beberapa
waktu kemudian, Bindusara memenuhi janjinya untuk menikahi Noor
Khorasan. Pesta meriahpun di gelar. Di malam perkawinan, Bindusara
mendatangi Noor di kamarnya. Saat memasuki pintu, Bindu teringat upacara
pernikahannya dengan Dharma. Tapi dengan cepat Bindu membuang jauh
pikiran itu. Bindu mendekati Noor dan duduk di pembaringan. Dia menatap
Noor yang cantik dengan penuh kekaguman. Noor melirik mesra ke arah
Bindusara dan berkata, "hatiku telah di curi oleh anda dalam kompetisi
itu. Dan hari ini saya menyerahkan tubuhku padamu." Noor merebahkan
tubuhnya. Bindusara tersenyum dan iku rebah miring di samping Noor.
Dengan lembut Bindusara menyentuh Noor. Noor malas menyentuh pundak
BIndu. Tiba-tiba Bindu teringat malam pertamanya dengan Dharma. Dengan
cepat Bindu menarik tubuhnya menjauhi Noor. Noor tersentak bangun.
Dengan kecewa Noor bertanya, "siapa dia yang membuatmu menjauhi ku?"
Bindu menjawab, "seseorang yang membuat aku sadar akan tugasku. Yang
memaksaku memenuhi janjiku pada Magadha. Aku tidak memberitahu siapapun
tentang dia. AKu tidak akan bisa mencintaimu seperti aku mencintai dia.
Maafkan aku!" Bindusara emberitahu Noor kalau dia menikahi dirinya hanya
untuk memenuhi janjinya pada Khorasan, "aku telah memberikan hati dan
tuuhku pada orang yang telah menyelamatkan aku. Setelah bertemu
dengannya aku merasa lengkap. Aku akan segera membawanya kesini. Dia
sangat baik dan kau akan senang bertemu denganya." Noor merasa cemburu
dengan menahan geram yang disembunyikannya di balik senyuman,dia
bertanya, "siapa dia? tak bolehkah aku mengetahui namanya?" Bindusara
teringat saat dia memberi nama Dupatrati dengan Dharma. Bindusara
tersenyum, "namanya Dharma."
Noor berlari keluar
dari kamar sambil menangis. Dia berpapasan dengan Khorasan. Melihat
putrinya tidak bahagia di malam pengantinya, Khorasan bertanya, "kenapa
Noor?" Noor memberitahu Khorasan kalau Bindusara telah jatuh cinta pada
Dharma dan akan menjadikannya seorang ratu, "dia telah menikahinya."
Khorasan berguman, "mustahil!" Dia ingat saat dia bertemu Dharma dan
bIndusara mengenalkan gadis itu padanya. Dengan geram Khorasan berkata,
"Noor, aku bisa membakar apapun hingga menjadi abu untuk menghentikan
airmatamu."
Dharma sedang duduk di halaman sambil
menumbuk sesuatu ketika Khorasan datang. Dengan wajah bahagia, Dharma
menyambutnya, "aku tahu dia akan memanggilku. Silahkan masuk, aku akan
bersiap-siap." Khorasan dengan geram berkata, "dia Samrat. Dia
menghabiskan malam bersamamu dan kau berpikir akan menjadi ratu
Magadha?" Dharama tertegun kaget. Dia teringat bagaimana Bindusara
melamarnya, lalu mereka menikah dan melakukan malam pengantin. Dharma
berkata, "apa yang anda katakan? Dia menikahiku dan saya sedang
mengandung anaknya." Dengan licik Khorasan berkata, "dia tahu hal ini
akan terjadi, karena itu dia menyuruhku untuk menghabisimu." dengan
pedang terhunus, Khorasan siap menebas Dharma. Tapi ayah Dharma yang
mendegar ribut-ribut keluar dan membentak Khorasan, "beraninya kau
berkata seperti itu padanya!" Khorasan dengan sekuat tenaga menedang
dada orang tua itu dan menebas lehernya. Dharma berteriak, "ayah!" Tapi
tak bis aberbuat apa-apa. Melihat dirinya dalam bahaya, Dharma segera
melarikan diri masuk kedalam rumah danmenguncinya. Khorasan dan anak
buahnhya menunggu di depan pintu gerbang. Melihat Dharma mengurung diri
di pondok, Khorasan memerintahkan anak buahnay membakar pondok itu.
Seketika itu juga api melahap pondok beratap alang-alang itu. Dalam
pondok Dharma tergeletak di lantai sambil mengerang kesakitan.
Rintihannya terdengar sampai ketelinga Khorasan. Khorasan tersenyum
puas. Setelah api semakin besar, Khorasan mengajak anak buahnya
meninggalkan rumah Dharma.
Dalam kesakitannya
Dharma berdoa memohon bantuan dari dewa. Lalu muncullah singa yang
perkasa. Sambil mengaum, singa itu berputar mengintari ruangan. APi pun
berhenti menyebar. Sang singa kemudian mengaum keras. Bersamaan dengan
itu Dharma melahirkan. Kembali singa mengaum keras. Dengan di kelilingi
oleh api yangbelum padam, Dharma membopong bayinya sambil berkata penuh
bahagia, "aku menjadi lengkap setelah memilikimu. Kau akan di panggil Ashoka." Sinopsis Ashoka Samrat episode 3
0 komentar:
Posting Komentar